Rabu, 26 Mei 2010

Khalwat yang diharamkan adalah khalwat (bersendiriannya) antara lelaki dan wanita sehingga tertutup dari pandangan manusia.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Janganlah salah seorang dari kalian berkhalwat dengan seorang wanita karena sesungguhnya syaitan menjadi orang ketiga diantara mereka berdua.” (HR. Ahmad 1/18, Ibnu Hibban [lihatShahih Ibnu Hibban 1/436], At-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Awshoth 2/184, dan Al-Baihaqi dalam sunannya 7/91. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah 1/792 no. 430)

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah ia berkhalwat dengan seorang wanita tanpa ada mahrom wanita tersebut, karena syaitan menjadi orang ketiga diantara mereka berdua.” (HR. Ahmad dari hadits Jabir 3/339. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalamIrwaul Gholil jilid 6 no. 1813)

“Dari Ibnu Abbas, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Janganlah seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita kacuali jika bersama dengan mahrom sang wanita tersebut.’ Lalu berdirilah seseorang dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, istriku keluar untuk berhaji, dan aku telah mendaftarkan diriku untuk berjihad pada perang ini dan itu,’ maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, ‘Kembalilah!, dan berhajilah bersama istrimu.’”(HR. Al-Bukhari no. 5233 dan Muslim 2/975)

Faedah:

Kalau ada yang berkata, “Namun bagaimana dengan sebagian shohabiaat yang berhijrah dari Mekah ke Madinah tanpa mahrom?”

Tidaklah boleh bagi seorang wanita untuk bersafar tanpa mahrom kecuali tatkala hijrah dari Mekah ke Madinah karena keburukan dan bahaya yang ada di kota Mekah saat itu yang menyebabkannya lari lebih bahaya dan lebih buruk dari perkara yang ditakutkannya menimpa dirinya (jika ia bersafar tanpa mahrom). Ummu Kaltsum binti ‘Uqbah bin Abi Ma’ith dan para wanita yang lain telah berhijrah dari Mekah ke Madinah tanpa mahrom. Demikian juga hadirnya seorang wanita dalam majelis persidangan di hadapan hakim tanpa mahrom, hal ini adalah darurat karena dikawatirkan hilangnya hak penuntut. Demikian juga tatkala seorang wanita yang belum nikah melakukan perzinahan maka ia disingkan tanpa mahromnya karena hal ini adalah hukuman hadd baginya. (Syarhul ‘Umdah 2/177-178).

Apa maksud perkataan Nabi “syaitan menjadi orang ketiga diantara mereka berdua”?

Al-Munawi berkata, “Yaitu syaitan menjadi penengah (orang ketiga) diantara keduanya dengan membisikan mereka (untuk melakukan kemaksiatan) dan menjadikan syahwat mereka berdua bergejolak dan menghilangkan rasa malu dan sungkan dari keduanya serta menghiasi kemaksiatan hingga nampak indah dihadapan mereka berdua, sampai akhirnya syaitanpun menyatukan mereka berdua dalam kenistaan (yaitu berzina) atau (minimal) menjatuhkan mereka pada perkara-perkara yang lebih ringan dari zina yaitu perkara-perkara pembukaan dari zina yang hampir-hampir menjatuhkan mereka kepada perzinahan.” (Faidhul Qodir 3/78).

As-Syaukani berkata, “Sebabnya adalah lelaki senang kepada wanita karena demikanlah ia telah diciptakan memiliki kecondongan kepada wanita, demikian juga karena sifat yang telah dimilikinya berupa syahwat untuk menikah. Demikian juga wanita senang kepada lelaki karena sifat-sifat alami dan naluri yang telah tertancap dalam dirinya. Oleh karena itu syaitan menemukan sarana untuk mengobarkan syahwat yang satu kepada yang lainnya maka terjadilah kemaksiatan.” (Nailul Autor9/231).

Imam An-Nawawi berkata, “…Diharamkannya berkhalwat dengan seorang wanita ajnabiah dan dibolehkannya berkholwatnya (seorang wanita) dengan mahamnya, dan dua perkara ini merupakan ijma’ (para ulama).” (Al-Minhaj 14/153).

Apakah yang Dimaksud dengan Mahrom??

Berkata As-Suyuthi, “Para sahabat kami (para pengikut madzhab Syafi’i) mengatakan, Mahrom adalah wanita yang diharamkan untuk dinikahi untuk selama-lamanya baik karena nasab maupun dikarenakan sebab tertentu yang dibolehkan dan dikarenakan kemahroman wanita tersebut.”

Dari definisi ini maka diketahui bahwa:

(wanita yang diharamkan untuk dinikahi), maka bukanlah mahrom anak-anak paman dan anak-anak bibi (baik paman dan bibi tersebut saudara sekandung ayah maupun saudara sekandung ibu).
(untuk selama-lamanya), maka bukanlah mahrom saudara wanita istri dan juga bibi (tante) istri (baik tante tersebut saudara kandung ibu si istri maupun saudara kandung ayah si istri) karena keduanya bisa dinikahi jika sang istri dicerai, demikian juga bukanlah termasuk mahrom wanita yang telah ditalak tiga, karena ia bisa dinikahi lagi jika telah dinikahi oleh orang lain kemudian dicerai. Demikian juga bukanlah termasuk mahrom wanita selain ahlul kitab (baik yang beragama majusi, budha, hindu, maupun kepercayaan yang lainnya) karena ia bisa dinikahi jika masuk dalam agama Islam.
(dikarenakan sebab tertentu yang dibolehkan), maka bukanlah mahrom ibu yang dijima’i oleh ayah dengan jima’ yang syubhat (tidak dengan pernikahan yang sah) dan juga anak wanita dari ibu tersebut. Ibu tersebut tidak boleh untuk dinikahi namun ia bukanlah mahrom karena jima’ syubhat tidak dikatakan boleh dilakukan.
(dikarenakan kemahroman wanita tersebut), maka bukan termasuk mahrom wanita yang dipisah dari suaminya karena mula’anah (Mawahibul Jalil 4/116), karena wanita tersebut diharamkan untuk dinikahi kembali oleh suaminya yang telah melaknatnya selama-lamanya namun bukan karena kemahroman wanita tersebut namun karena sikap ketegasan dan penekanan terhadap sang suami. (Al-Asybah wan Nadzoir 1/261).
Dan jika telah jelas bahwa sang wanita adalah mahromnya maka tidak boleh baginya untuk menikahinya dan boleh baginya untuk memandangnya dan berkhalwat dengannya dan bersafar menemaninya, dan hukum ini mutlak mencakup mahrom yang disebabkan karena nasab atau karena persusuan atau dikarenakan pernikahan. (Al-Asybah wan Nadzoir 1/262).

Peringatan:

Berkata Imam An-Nawawi, “Yang dimaksud mahrom dari sang wanita ajnabiah yang jika ia berada bersama sang wanita maka boleh bagi seorang pria untuk duduk (berkhalwat) bersama wanitaajnabiah tersebut, disyaratkan harus merupakan seseorang yang sang pria ajnabi sungkan (malu/tidak enak hati) dengannya. Adapun jika mahrom tersebut masih kecil misalnya umurnya dua atau tiga tahun atau yang semisalnya maka wujudnya seperti tidak adanya tanpa ada khilaf.” (Al-Majmu’ 4/242).

Apakah yang Dimaksud dengan Khalwat?

Anas bin Malik berkata,

“Datang seorang wanita dari kaum Ansor kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun berkhalwat dengannya, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, ‘Demi Allah kalian (kaum Anshor) adalah orang-orang yang paling aku cintai.’” (HR. Al-Bukhari no. 5234, Kitabun Nikah)

Imam Al-Bukhori memberi judul hadits ini dengan perkataannya “Bab: Dibolehkannya seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita jika di hadapan khalayak.”

Ibnu Hajar berkata, “Imam Al-Bukhori menyimpulkan hukum (dalam judul tersebut dengan perkataannya) “di hadapan khalayak” dari perkataan Anas bin Malik dari riwayat yang lain (*)“Maka Nabi pun berkhalwat dengannya di sebagian jalan atau sebagian (sukak).” adalah jalan digunakan untuk berjalan yang biasanya selalu dilewati manusia.”

(*) Diantaranya diriwayatkan oleh Imam Muslim (4/1812):

“Dari Anas bin Malik bahwasanya seorang wanita yang peikirannya agak terganggu berkata kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, ‘Wahai Rasulullah, saya punya ada perlu denganmu,’ maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya, ‘Wahai Ummu fulan, lihatlah kepada jalan mana saja yang engkau mau hingga aku penuhi keperluanmu.’ Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun berkhalwat dengan wanita tersebut di sebuah jalan hingga wanita tersebut selesai dari keperluannya.”

Ibnu Hajar berkata, “Yaitu ia tidak berkhalwat dengan wanita tersebut hingga keduanya tertutup dari pandangan khalayak (tersembunyi dan tidak kelihatan-pen), namun maksudnya dibolehkan khalwat jika (mereka berdua kelihatan oleh khalayak) namun suara mereka berdua tidak terdengar oleh khalayak karena ia berbicara dengannya perlahan-lahan, contohnya karena suatu perkara yang wanita tersebut malu jika ia menyebutkan perkara tersebut di hadapan khalayak.”

Ibnu Hajar menjelaskan bahwasanya ada khalwat yang diharamkan dan ada khalwat yang diperbolehkan:

Khalwat yang diperbolehkan adalah sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersama wanita tersebut, yaitu memojok dengan suara yang tidak di dengar oleh khalayak namun tidak tertutup dari pandangan mereka. Hal ini juga sebagaimana penjelasan Al-Muhallab, “Anas tidak memaksudkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkhalwat dengan wanita tersebut hingga tidak kelihatan oleh orang-orang sekitar Nabishallallahu ‘alaihi wasallam tatkala itu, namun Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkhalwat dengan wanita tersebut hingga orang-orang di sekitarnya tidak mendengar keluhan sang wanita dan pembicaraan yang berlangsung antara Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan wanita tersebut. Oleh karena itu Anas mendengar akhir dari pembicaraan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan wanita tersebut lalu iapun menukilnya (meriwayatkannya) dan ia tidak meriwayatkan pembicaraan yang berlangsung antara Nabishallallahu ‘alaihi wasallam dan wanita itu karena ia tidak mendengarnya.” (Fathul Bari9/413. Adapun perkataan Imam Nawawi bahwa “kemungkinan wanita tersebut adalah mahrom Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seperti Ummu Sulaim dan saudara wanitanya.” (Al-Minhaj 16/68), maka kuranglah tepat karena sebagaimana dalam riwayat Imam Muslim bahwa wanita tersebut pikirannya agak terganggu, dan ini bukanlah merupakan sifat Ummu Sulaim).
Khalwat yang diharamkan adalah khalwat (bersendiriannya) antara lelaki dan wanita sehingga tertutup dari pandangan manusia. Berkata Al-Qodhi dalam Al-Ahkam As-Sulthoniahtentang sifat penegak amar ma’ruf nahi mungkar, “Jika ia melihat seorang pria yang berdiri bersama seorang wanita di jalan yang dilewati (orang-orang) dan tidak nampak dari keduanya tanda-tanda yang mencurigakan maka janganlah ia menghardik mereka berdua dan janganlah ia mengingkari. Namun jika mereka berdua berdiri di jalan yang sepi maka sepinya tempat mencurigakan maka ia boleh mengingkari pria tersebut dan hendaknya ia jangan segera memberi hukuman terhadap keduanya khawatir ternyata sang pria adalah mahrom sang wanita. Hendaknya ia berkata kepada sang pria -jika ternyata ia adalah mahrom sang wanita- jagalah wanita ini dari tempat-tempat yang mencurigakan. -Dan jika ternyata wanita tersebut adalah wanita ajnabiah- hendaknya ia berkata kepada sang pria, “Aku ingatkan kepadamu dari bahaya berkhalwat dengan wanita ajnabiah yang bisa menjerumuskan.”
Syaikh Sholeh Alu Syaikh berkata:

“Dan khalwat yang diharamkan adalah jika disertai dengan menutup (mengunci) rumah atau kamar atau mobil atau yang semisalnya atau tertutup dari pandangan manusia (khalayak). Inilah khalwat yang terlarang, dan demikianlah para ahli fikh mendefinisikannya.”

Jadi khalwat yang diharamkan ada dua bentuk sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Sholeh Alu Syaikh. Dan bukanlah merupkan kelaziman bahwa ruangan yang tertutup melazimkan juga tertutupnya dari pandangan khalayak.

Jika ada yang mengatakan, “Berdasarkan definisi khalwat yang diharamkan di atas maka berdua-duaannya seorang wanita dan pria di emperan jalan-jalan raya bukanlah khalwat yang diharamkan karena semua orang memandang mereka??”

Memang benar hal itu bukanlah merupakan khalwat yang diharamkan, namun ingat diantara hikmah diharamkan khalwat adalah karena khalwat merupakan salah satu sarana yang mengantarakan kepada perbuatan zina, sebagaimana mengumbar pandangan merupakan awal langkah yang akhirnya mengantarkan pada perbuatan zina. Oleh karena itu bentuk khalwat yang dilakukan oleh kebanyakan pemuda meskipun jika ditinjau dari hakikat khalwat itu sendiri bukanlah khalwat yang diharamkan, namun jika ditinjau dari fitnah yang timbul akibat khalwat tersebut maka hukumnya adalah haram. Para pemuda-pemudi yang berdua-duaan tersebut telah jatuh dalam hal-hal yang haram lainnya seperti saling memandang antara satu dengan yang lainnya, sang wanita mendayu-dayukan suaranya dengan menggoda, belum lagi pakaian sang wanita yang tidak sesuai dengan syari’at, dan lain sebagaianya yang jauh lebih parah. Khalwat yang asalnya dibolehkan ini namun jika tercampur dengan hal-hal yang haram ini maka hukumnya menjadi haram. Khalwat yang tidak aman dari munculnya fitnah maka hukumnya haram.

Ibnu Hajar berkata, “Hadits ini (yaitu hadits Anas di atas) menunjukan akan bolehnya berbincang-bincang dengan seorang wanita ajnabiah (bukan mahrom) dengan pembicaraan rahasia (diam-diam), dan hal ini bukanlah celaan terhadap kehormatan agama pelakunya jika ia aman dari fitnah. Namun perkaranya sebagaimana perkataan Aisyah “Dan siapakah dari kalian yang mampu menahan gejolak nafsunya sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bisa menahan syahwatnya.”(Fathul Bari 9/414).

Sa’id bin Al-Musayyib berkata,

“Aku telah mencapai usia delapan puluh tahun dan yang paling aku takutkan adalah para wanita.”(Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Musonnaf-nya 7/17, ia berkata, “Telah menyampaikan kepada kami Aswad bin ‘Amir, (ia berkata), ‘Telah menyampaikan kepada kami Hammad bin Salamah, dari Ali bin Zaid dari Sa’id bin Al-Musayyib…).

Dalam riwayat yang lain dari Ali bin Zaid bin Jad’an bahwasanya Sa’id berkata, “Tidaklah syaitan berputus asa dari (menggoda) sesuatu kecuali ia mencari jalan keluar dengan mempergunakan para wanita (sebagai senjatanya untuk menggoda)”, Ali bin Zaid bin Jad’an berkata, “Kemudian Sa’id berkata (padahal waktu itu ia telah berumur 84 tahun dan matanya yang satu tidak bisa digunakan untuk melihat lagi, dan mata yang satunya lagi rabun): “Tidak ada sesuatu yang lebih aku takutkan daripada para wanita.” (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman 4/373 no. 5452 dengan sanadnya hingga Ali bin Al-Madini dari Sufyan dari Ali bin Zaid bin Jad’an).

Rasulullah bersabda,

“Tidak pernah aku tinggalkan fitnah yang lebih berbahaya terhadap kaum pria daripada finah para wanita.” (HR. Al-Bukhari no. 5096 [Kitabun Nikah] dan Mulim no. 97,98 [Kitab Adz-Dzikir])

Abdurrouf Al-Munawi mengomentari hadits ini, “Hal ini dikarenakan seorang wanita tidaklah menyuruh suaminya kecuali kepada perkara-perkara yang buruk, dan tidak memotivasinya kecuali untuk melakukan keburukan, dan bahaya wanita yang paling minimal adalah ia menjadikan suaminya cinta kepada dunia hingga akhirnya binasa dalam dunianya, dan kerusakan apa yang lebih parah dari hal ini, belum lagi wanita adalah sebab timbulnya mabuk asmara dan fitnah-fitnah yang lainnya yang sulit untuk dihitung.â€

Ibnu Abbas berkata,

“Tidaklah kafir orang-orang terdahulu kecuali dikarenakan para wanita dan demikian juga dengan orang-orang yang di masa mendatang.”

Para raja mengirimkan hadiah-hadiah kepada para ahli fikih maka mereka pun menerima hadiah tersebut, adapun Fudhail ia menolak hadiah tersebut. Istrinya pun berkata kepadanya, “Engkau menolak sepuluh ribu (dinar atau dirham) padahal kita tidak memiliki makanan untuk dimakan pada hari ini?”, Fudhail pun menimpali, “Permisalan antara aku dan engkau (wahai istriku) sebagaimana suatu kaum yang memiliki seekor sapi yang mereka membajak dengan menggunakan sapi tersebut, tatkala sapi tersebut telah tua maka mereka pun menyembelihnya. Demikianlah aku, engkau ingin menyembelihku setelah aku mencapai usia senja, lebih baik engkau mati dalam keadaan lapar sebelum engkau menyembelih Fudhail.” (Al-Faidul Qodir 5/436).

Dari Imron bin Abdillah, Sa’id bin Al-Musayyib berkata,

“Tidaklah aku takut pada sesuatu menimpa diriku sebagaimana ketakutanku kepada (fitnah) para wanita.”

Para sahabat beliau berkata,

“Wahai Abu Muhammad, orang yang sepertimu tidak menghendaki para wanita dan para wanita pun tidak menghendakinya!”

Sa’id berkata, “Kenyataannya sebagaimana yang telah aku katakan kepada kalian.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad dalam At-Tobaqoot Al-Kubro (5/136) ia berkata, “Telah mengabarkan kepada kami ‘Amr bin ‘Ashim, ia berkata, “Telah mengabarkan kepada kami Salam bin Miskin, ia berkata, “Telah menyampaikan kepada kami ‘Imron bin ‘Abdillah,” ‘Ato’ berkata,

“Jika aku diberi kepercayaan untuk menjaga baitul mal (tempat penyimpanan harta kaum muslimin) maka aku akan menjalankan amanah tersebut, namun aku tidak bisa menjamin diriku dari seorang budak wanita yang cantik.”

Imam Ad-Dzahabi mengomentari perkataan ‘Ato ini,

“Sungguh benar perkataan ‘Ato’ -semoga Allah merahmati beliau- sebagaimana telah disebutkan dalam hadits, “Janganlah seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita karena syaitan menjadi orang ketiga diantara mereka berdua.” (Siyar A’lam An-Nubala 5/87-88).

Maka sungguh benarlah perkataan Ahmad bin ‘Ashim Al-Anthoki (beliau meninggal tahun 239 H),

“Barangsiapa yang lebih mengenal Allah maka ia akan lebih takut kepada Allah.” (Al-Bidayah wan Nihayah 10/318, Bugyatut Tolab fi Tarikh Al-Halab 2/750).

Lihatlah para salaf seperti Sa’id bin Al-Musayyib yang tidaklah pernah dikumandangkan adzan selama empat puluh tahun kecuali Sa’id telah berada di mesjid (Tahdzibut Tahdzib 4/87), demikian juga ‘Ato yang Ibnu Juraij berkata tentangnya,

“Mesjid adalah tempat tidur ‘Ato’ selama dua puluh tahun, dan beliau adalah orang yang paling baik sholatnya.” (Siyar A’lam An-Nubala 5/84, Tahdzibul Kamal 20/80, Tarikh Ibnu ‘Asakir 40/392,Hilyatul Auliya’ 3/310).

Dengan ibadah mereka yang luar biasa tersebut maka mereka lebih mengenal Rob mereka shingga mereka lebih takut kepada Allah, takut kalau diri mereka terjerumus dalam kemaksiatan. Tidak sebagaimana halnya sebagian kaum muslimin yang merasa percaya diri untuk terselamatkan dari fitnah, apalagi fitnah yang sangat berbahaya yaitu fitnah wanita???

Dan diharamkan berkhalwatnya seseorang dengan lawan jenisnya yang bukan merupakan mahromnya, dan hal ini umum mencakup seluruh bentuk, dan sama saja apakah disertai nafsu syahwat ataupun tidak, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang berkhalwat secara mutlak baik disertai syahwat maupun tidak.

Dikatakan kepada Abul Qosim An-Nasr Abadzi, “Sebagian orang duduk (bergaul) dengan para wanita dan mereka berkata, “Saya bisa terjaga untuk tidak memandang mereka.” Ia pun berkata, “Selama jasad masih utuh maka perintah dan larangan juga tetap berlaku dan penghalalan dan pengharaman juga tetap ditujukan dengan keduanya (yaitu perintah dan larangan) dan tidaklah memberanikan diri kepada syubhat-syubhat kecuali orang yang menjerumuskan dirinya untuk jatuh dalam hal-hal yang haram.” (Syaradzatuz Dzahab 3/58, Tobaqoot As-Sufiah 1/364).

Peringatan:

Diharamkan berkhalwatnya seorang wanita dengan hewan yang bisa tertarik dan bernafsu kepada seorang wanita seperti monyet, karena dikawatirkan terjadinya fitnah (hal yang tidak diinginkan) sebagaimana disebutkan oleh Ibnu ‘Aqil dan Ibnul Jauzi, serta Syaikh Taqiyuddin. (Kasyful Qina’ 5/16).
Orang yang banci bersama seorang wanita hukumnya ia seperti seorang pria (maka berlaku hukum-hukum khalwat), dan demikian juga jika bersama banyak wanita. Dan jika bersama seorang pria maka ia hukumnya seperti seorang wanita, demikian juga jika ia bersama banyak lelaki, dalam rangka untuk berhati-hati. (Al-Majmu’ 4/241).
Berkhalwat dengan seorang amrod (anak muda yang belum tumbuh rambut wajahnya) yang berparas tampan hukumnya sebagaimana khalwat bersama seorang wanita, meskipun khalwat tersebut untuk kemaslahatan belajar mengajar atau pendidikan. Imam Ahmad berkata kepada seseorang yang berjalan bersama seorang anak yang tampan yang merupakan keponakan orang tersebut; “Menurutku hendaknya engkau tidak berjalan bersamanya di jalan.” Ibnul Jauzi berkatam “Para salaf berkata tentang amrod: “Fitnahnya lebih besar daripada fitnah wanita perawan.” (Kasyful Qona’ 5/16). Berkata Ibnu Katsir, “Banyak salaf yang mengatakan bahwa mereka melarang seorang pria menajamkan pandanganya (menatapi dengan serius) kepada amrod.” (Tafsir Ibnu Katsir, tafsir surat 24 ayat 30). Berkata Syaikh Taqiyyuddin (Ibnu Taimiyah), “Barangsiapa yang mengulangi pendangannya kepada amrod dan terus memandangnya lantas ia berkata “Aku tidak memandangnya dengan syahwat,” maka ia telah berdusta.” (Matholib Ulin Nuha 5/19). Berkata Imam An-Nawawi, “Imam As-Syafi’i menyatakan akan haramnya memandang (wajah) amrod, dan jika memandang saja haram maka berkhalwat dengan amrad lebih haram lagi karena hal itu lebih jelek dan lebih dekat kepada mafsadah dan hal yang dikawatirkan (jika berkhalwat bersama seorang wanita) juga ada (jika berkhalwat dengan amrod.” (Al-Majmu’ 4/241).
Hukum Memandang Amrod (Mukhtasor Al-Fatawa Al-Mishriyah 1/29-30)

Berkata Ibnu Taimiyah, “Memandang amrod dengan syahwat hukumnya haram dan ini merupakan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin, demikian juga memandang kepada para wanita yang merupakan mahrom (namun dengan syahwat) dan berjabat tangan dengan mereka serta berledzat-ledzat dengan mereka. Barangsiapa yang mengatakan bahwa hal ini adalah ibadah maka ia telah kafir, dan dia seperti orang yang menjadikan bantuan kepada orang yang ingin berbuat nista sebagai ibadah, bahkan memandang kepada pepohonan, kuda, dan hewan-hewan jika dengan perasaan menganggap indah dan baik dunia, kekuasaan dan kepemimpinan, seta harta benda, maka pandangan seperti ini tercela sebagaimana firman Allah:

“Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan di dunia untuk Kami cobai mereka dengannya. Dan karunia Rabbmu adalah lebih baik dan lebih kekal.” (QS. 20:131)

Adapun jika pandangan tersebut dengan perasaan tanpa merendahkan agama, namun dengan pandangan tersebut timbul rileks jiwa seperti memandang bunga-bunga maka ini termasuk kebatilan yang dimanfaatkan untuk kebenaran.

Terkadang seseorang memandang kepada orang lain karena keimanan dan ketakwaan yang dimiliki oleh orang yang dipandang tersebut maka pandangan yang seperti ini patokannya adalah hati dan amal orang yang dipandang tersebut bukan karena rupa orang itu.

Terkadang seseorang memandang orang tersebut karena keindahan rupa orang tersebut sehingga mengingatkan dia akan Dzat yang menciptakan rupa tersebut (yaitu Allah) maka pendangan seperti ini baik.

Terkadang seseorang memandang orang lain hanya karena keindahan rupanya. Maka masing-masing model memandang di atas kapan saja disertai dengan nafsu maka hukumnya haram tanpa diragukan lagi, sama saja apakah syahwat yang menimbulkan syahwat untuk berjima’ ataupun tidak. Dan berbeda antara perasaan seseorang tatkala memandang bunga-bunga dengan perasaannya tatkala memandang wanita dan amrod, dikarenakan perbedaan ini maka dibedakan juga dalam hukum syar’inya, maka jadilah memandang kepada amrod ada tiga macam:

Jika pandangan tersebut disertai dengan syahwat maka hukumnya adalah haram.
Yang dibolehkan karena tidak disertai dengan syahwat seperti seseorang yang wara’ yang memandang kepada putranya yang tampan dan putrinya yang cantik. Pandangan yang seperti ini tidak disertai dengan syahwat kecuali dilakukan oleh orang yang paling fajir. Kapan saja pandangan ini disertai dengan syahwat maka hukumnya adalah haram. Oleh karena itu barangsiapa yang hatinya tidak condong kepada amrod sebagaimana para sahabat, sebagaimana sebuah umat yang tidak pernah mengenal kemaksiatan yang nista ini. Seorang dari mereka tidak membedakan antara pandangannya kepada wajah amrod dengan pandangannya kepada putranya, putra tetangganya, anak kecil ajnabi. Sama sekali tidak terbetik dihatinya syahwat, karena ia tidak terbiasa dengan hal itu, hatinya bersih. Budak-budak wanita di zaman para sahabat keluar berjalan di jalan-jalan dalam keadaan terbuka wajah-wajah mereka dan mereka melayani (membantu) para lelaki dan hati-hati mereka dalam keadaan bersih. Kalau di negeri ini dan saat ini ada orang yang ingin membiarkan budak-budak wanitanya dari Turki berjalan di jalan-jalan maka akan timbul kerusakan. Demikian pula dengan amrod-amrod yang tampan, tidak dibenarkan untuk keluar di tempat-tempat dan di waktu-waktu yang dikhawatirkan mereka akan terkena fitnah kecuali sebatas keperluan. Maka tidaklah mungkin pemuda amrod yang tampan berjalan santai atau duduk di tempat pemandian umun diantara lelaki asing…
Hanyalah timbul perbedaan pendapat diantara para ulama pada jenis yang ketiga yaitu memandang kepada para amrod tanpa disertai syahwat, namun ada kekawatiran akan timbulnya gejolak syahwat, maka ada dua pendapat pada madzhab Imam Ahmad. Dan yang paling benar dari dua pendapat tersebut adalah pendapat yang juga merupakan pernyataan Imam As-Syafi’i dan yang lainnya yaitu tidak boleh. Pendapat yang kedua boleh, karena yang merupakan asal adalah tidak timbulnya gejolak syahwat. Pendapat pertamalah yang lebih benar.
Barangsiapa yang berlama-lama memandang amrod lalu mengatakan bahwa ia tidak memandangnya dengan syahwat maka ia telah berdusta, karena kalau memang tidak ada sesuatu (yaitu syahwat) yang mendorongnya untuk terus memandang tentunya ia tidak akan memandang. Sesungguhnya ia tidak mengulangi pandangannya kepada amrod kecuali karena ada keledzatan yang terdapat dalam hatinya.”

Hukum berkhalwatnya seorang pria dengan beberapa wanita tanpa mahrom

Para ulama berselisih pendapat tentang hukum berkhalwatnya seorang pria dengan wanita ajnabiah jika jumlah wanita tersebut lebih dari satu, demikian juga sebaliknya (berkhalwatnya seorang wanita dengan beberapa lelaki ajnabi).

Berkata Imam An-Nawawi, “Tidak ada perbedaan tentang diharamkannya berkhalwat antara tatkala sholat maupun di luar sholat.” (Al-Majmu’ 4/242).

Imam An-Nawawi berkata, “Berkata para sahabat kami (yang bermadzhab Syafi’i), jika seorang pria mengimami seorang wanita yang merupakan mahromnya dan berkhalwat dengannya maka tidaklah mengapa dan sama sekali tidak makruh karena boleh baginya untuk berkhalwat dengannya di luar shalat. Dan jika ia mengimami seorang wanita ajnabiah dan berkhalwat dengannya maka hukumnya adalah haram… dan jika ia mengimami banyak wanita yang ajnabiah dengan kondisi berkhalwat bersama mereka maka ada dua pendapat. Jumhur ulama berpendapat akan bolehnya hal itu… karena para wanita yang berkumpul biasanya tidak memungkinkan seorang laki-laki untuk berbuat sesuatu hal yang buruk terhadap salah seorang dari mereka dihadapan mereka. Imamul Haromain dan penulis buku Al-’Uddah menukil bahwasanya Imam As-Syafii menyatakan bahwa diharamkannya seorang pria mengimami beberapa wanita kecuali diantara wanita tersebut ada mahrom pria tersebut atau istrinya. Dan Imam As-Syafii meyakinkan akan haramnya berhalwatnya seorang pria dengan para wanita kecuali jika ada mahrom pria tersebut bersama mereka.” (Al-Majmu’ 4/241).

Renungkanlah betapa tegasnya Imam As-Syafii dalam pengharaman kholwat antara wanita dan pria, sampai-sampai beliau mengharamkan seorang laki-laki mengimami para wanita (dalam keadaan berkhalwat dengan mereka) kecuali jika ada diantara wanita tersebut mahrom sang imam atau istri sang imam. Padahal ini dalam keadaan beribadah yang sangat agung (yaitu sholat) yang tentunya orang yang sedang sholat jauh dari pikiran-pikiran yang kotor, selain itu sang imam pun berada di depan dan para wanita berada dibelakangnya sehingga ia tidak melihat mereka, namun demikian Imam Syafi’i tetap mengharamkan hal ini.

Berkata As-Sarkashi, “Kemakruhan (atau keharoman) hal ini (menurut Imam As-Syafi’i-pen) tidak akan hilang hingga ada diantara para wanita tersebut mahrom mereka, sebagaimana dalam hadits Anas bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sholat mengimami mereka di rumah mereka, Anas pun berkata, “Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan aku dan seorang anak yatim di belakangnya (pada shaf pertama) dan menjadikan ibuku dan Ummu Sulaim di belakang kami.” (HR. Al-Bukhari 1/149, Muslim 1/457)(*). Karena dengan adanya mahrom hilanglah kekhawatiran akan timbulnya fitnah, dan hal sama saja apakah mahrom tersebut adalah mahrom bagi semua wanita tersebut atau hanya merupakan mahrom bagi sebagian mereka dan diperbolehkan sholat dalam seluruh keadaan tersebut, karena kebencian (terhadap khalwat tersebut) berada jika di luar sholat.” (Al-Mabshuth karya As-Sarkashi 1/166).

(*) Lengkap haditsnya (-ed):

“Dari Anas bin Malik ia berkata bahwasanya neneknya (yang bernama) Mulaikah mengundang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk memakan makanan yang telah dibuatnya untuk Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Maka Nabi pun memakannya kemudian ia shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, ‘Marilah sholat aku akan mengimami kalian.’ Anas berkata, ‘Maka akupun mengambil sebuah tikar milik kami yang sudah menghitam karena telah lama dipakai lalu akupun memercikkan air pada tidak tersebut.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri (untuk sholat) dan aku bersama seorang anak yatim berdiri satu shaf di belakang beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dan orang yang tua (yaitu nenek beliau) di belakang kami. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sholat dua rakaat kemudian beliau berpaling (selesai dari sholat).”

Peringatan:

Berkata Imam An-Nawawi, “Dan sama hukumnya tentang diharamkannya berkhalwat antara orang yang buta dengan orang yang bisa melihat.” (Al-Majmu’ 4/242).
Beliau juga berkata, “Ketahuilah bahwasanya mahrom yang dengan keberadaannya bersama sang wanita membolehkan untuk duduk (berkhalwat) dengan sang wanita adalah sama saja baik mahrom tersebut adalah mahrom sang pria maupun mahrom sang wanita, atau yang semakna dengan mahrom seperti suami sang wanita atau istri sang pria, wallahu a’lam.” (Al-Majmu’ 4/242).
Diharamkannya berkhalwatnya seorang wanita dengan seorang pria meskipun dengan alasan dalam rangka pengobatan kecuali bersama wanita tersebut mahrom, atau suaminya, atau wanita tsiqoh (yang bisa dipercaya). Karena kenyataan yang banyak terjadi memang benar terkadang hanya terdapat dokter lelaki yang bisa menangani penyakit seorang wanita dengan penanganan yang baik dan terjamin walaupun karena darurat maka sang dokter harus melihat aurat wanita tersebut. Namun yang perlu diperhatikan tidak semua pengobatan keadaannya darurat yang mengharuskan tidak boleh sang wanita ditemani oleh mahromnya. Apalagi merupakan kenyataan yang menyedihkan banyak dari para wanita yang jika mereka bertemu dengan dokter pria maka seakan-akan dokter tersebut adalah mahromnya.
Hukum berkhalwatnya Seorang Wanita dengan Beberapa Lelaki (lebih dari satu orang)

“Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash bahwasanya beberapa orang dari bani Hasyim masuk (menemui) Asma’ binti ‘Umais, lalu Abu Bakar masuk -dan tatkala itu Asma’ telah menjadi istri Abu Bakar As-Siddiq- lalu Abu Bakar melihat mereka dan ia membenci hal itu, lalu iapun menyampaikan hal itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan ia berkata, “Aku tidak melihat sesuatu kecuali kebaikan.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Sesungguhnya Allah telah menyatakan kesuciannya dari perkara tersebut (perkara yang jelek),” kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri di atas mimbar dan berkata, “Setelah hari ini tidaklah boleh seorang laki-laki menemui mughibah (yaitu seorang wanita yang suaminya sedang tidak berada di rumah) kecuali bersamanya seorang laki-laki (yang lain) atau dua orang.” (HR. Muslim 4/1711, Shahih Ibnu Hibban 12/398).

Yang dimaksud dengan mughibah adalah wanita yang suaminya sedang tidak berada di rumah, baik karena sedang bersafar keluar kota maupun keluar dari rumah namun masih dalam kota, dalilnya adalah hadits ini. Dikatakan bahwa Abu Bakar sedang tidak berada di rumah, bukan sedang keluar kota. (Al-Minhaj 4/155).

Berkata Imam An-Nawawi, “Dzohir dari hadits ini menunjukan akan bolehnya berkhalwatnya dua atau tiga orang lelaki dengan seorang wanita ajnabiah, dan yang masyhur menurut para sahabat kami (yaitu penganut madzhab syafi’iah) akan haramnya hal ini. Oleh karena itu hadits ini (bolehnya berkhalwat) dibawakan kepada kepada sekelompok orang yang kemungkinannya jauh untuk timbulnya kesepakatan diantara mereka untuk melakukan perbuatan nista karena kesholehan mereka, atau muru’ah mereka dan yang lainnya.” (Al-Minhaj 4/155).

Adapun para ulama yang mengatakan akan bolehnya berkhalwatnya seorang wanita dengan beberapa lelaki mereka menyaratkan bahwa para lelaki tersebut merupakan orang-orang yang terpercaya dan tidak bersepakat untuk melakukan hal yang nista terhadap wanita tersebut.

Berkata Imam An-Nawawi, “Adapun berkholwatnya dua orang lelaki atau lebih dengan seorang wanita maka yang masyhur adalah haramnya hal ini dikarenakan bisa jadi mereka para lelaki tersebut bersepakat untuk melakukan hal yang keji (zina) terhadap wanita itu. Dan dikatakan bahwa jika mereka adalah termasuk orang-orang yang jauh dari perbuatan seperti itu maka tidak mengapa.” (Al-Majmu’ 4/241).

Peringatan:

Diantara perkara yang dianggap remeh oleh masyarakat namun sangat berbahaya adalah berkhalwatnya kerabat suami (yang bukan mahrom istri) dengan istrinya.

“Dari ‘Uqbah bin ‘Amir bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Waspadailah diri kalian dari masuk (menemui) para wanita!”, lalu berkatalah seseorang dari kaum Anshor, “Wahai Rasulullah, bagaimana menurutmu dengan Al-Hamwu?”, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Al-Hamwu adalah maut (kematian).” (HR. Al-Bukhari no. 5232)

Berkata Ibnu Hajar, “Larangan masuk (terhadap kerabat suami) untuk menemui para wanita menunjukan bahwa larangan untuk berkhalwat lebih utama untuk dilarang (min bab aula).” (Fathul Bari 9/411).

Imam Nawawi berkata, “Para ulama bahasa telah sepakat bahwa Al-Ahmaa’adalah karib kerabat suami seperti ayah, saudara laki-laki, keponakan laki-laki, sepupu, dan yang semisalnya, dan Al-Akhtan adalah karib kerabat dari istri, dan Al-Ashhar mencakup keduanya (Al-Ahmam dan Al-Akhtaan)…dan yang dimaksud dengan Al-Ahmamdisini adalah kerabat karib suami selain ayahnya dan anak-anaknya(*), karena mereka adalah mahrom bagi sang istri dan boleh bagi mereka untuk berkhalwat dengannya dan mereka tidak disifati dengan maut, namun yang dimaksudkan di sini adalah saudara laki-laki sang suami, paman, sepupu, dan yang semisalnya yang bukan merupakan mahrom bagi sang wanita dan kebiasaan masyarakat mereka menggampangkan hal ini (kurang peduli) dan membiarkan seseorang berkhalwat dengan istiri saudaranya. Inilah maut, dan kerabat seperti ini lebih utama untuk dilarang daripada laki-laki asing (yang tidak ada hubungan kerabat).†(Al-Minhaj 14/154).

(*) Adapun Al-Maziri, maka beliau menyatakan bahwa makna Al-Hamwu adalah bapak suami, dan pendapat inipun diikuti oleh Ibnul Atsir dalam An-Nihayah, namun dzahirnya Ibnul Atsir juga tidak membatasi makna Al-Hamwu pada bapak sang suami tapi ia memang Al-Hamwu itu adalah umum mencakup seluruh kerabat suami tanpa mengecualikan bapak dan anak-anak suami. Beliau berkata,Al-Hamwu, “Kerabat-kerabat suami.” (An-Nihayah 1/440) Berkata Imam An-Nawawi, “Ini adalah pendapat yang rusak dan tertolak.” (Al-Minhaj 14/154). Ibnu Hajar menjelaskan bahwa penafsiran dan penjelasan para imam menunjukan bahwa pendapat ini bukanlah pendapat yang rusak. (Fathul Bari 9/412).

Al-Maziri mengisyaratkan bahwa disebutkannya bapak suami untuk dilarang masuk menemuimughibah sebagai peringatan bahwa pelarangan terhadap selain bapak suami terlebih lagi. (Al-Fath9412).

Ibnul Atsir berkata, “Jika menurut sang suami bahwa bapaknya adalah maut (jika masuk ke dalam rumahnya dan ia dalam keadaan tidak di rumah) -padahal ia adalah mahrom istrinya- bagaimana jika yang masuk adalah orang asing??!, maksudnya yaitu “Lebih baik ia (sang istri) mati saja dan janganlah ia (sang istri) melakukannya (membiarkan ada yang masuk rumahnya tanpa kehadiran sang suami)”…, ia berkata, “Maknanya adalah berkhalwatnya Al-Hamwu bersama sang istri lebih berbahya daripada berkhalwat dengan orang asing, karena terkadang jika Al-Hamwu tersebut berbuat baik pada sang istri atau memintanya untuk melakukan perkara-perkara yang menurut suami adalah hal yang berat seperti mencari sesuatu yang di luar kemampuan sang suami maka jadilah rusaklah hubungan antara suam istri karena hal itu. Dan karena seorang suami tidak suka jika Al-Hamwu mengetahui urusan dalam keluarganya jika ia masuk dalam rumahnya.” (An-Nihayah1/440).

Ibnu Hajar mengomentari perkataan Ibnul Atsir ini, “Seakan-akan perkataannya Al-Hamwu maut yaitu mesti terjadi dan tidak mungkin mencegah sang istri dari masuknya Al-Hamwu, sebagaimana kematian itu tidak bisa dihindari. Dan pendapat yang terakhir ini dipilih oleh Syaikh Taqiyyuddin (Ibnu Taimiyah) dalam Syarhul ‘Umdah.” (Al-Fath 9/413).

Makna Perkataan Al-Hamwu adalah Maut (kematian)

Imam An-Nawawi berkata, “Maknanya bahwa ketakutan terhadap Al-Hamwu lebih daripada terhadap yang lainnya, dan kerusakan lebih mungkin terjadi dan fitnah lebih besar karena memungkinkannya untuk sampai kepada sang wanita dengan tanpa diingkari. Berbeda dengan seseorang yang asing (yang tidak punya hubungan kerabat dengan suami).”

Ibnul ‘Arabi berkata, “Ini adalah ungkapan yang dikatakan oleh orang-orang Arab, sebagaimana dikatakan “Singa adalah maut (kematian)”, yaitu bertemu dengannya seperti kematian”. Berkata Al-Qodhi, “Maknanya bahwa berkhalwatdengan Al-Ahma’ menjerumuskan kepada fitnah dan kebinasaan dalam agama, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam pun menjadikan perkara ini seperti kebinasaan, maka ungkapan seperti ini untuk penegasan dengan keras.” (Perkataan kedua ulama ini dinukil oleh Imam An-Nawawi dalam Al-Minhaj 14/154).

Al-Qurthubi berkata, “…(masuknya Al-Hamwu) menjerumuskan sang wanita pada kematiannya dengan diceraikan oleh suaminya tatkala cemburu atau ia dirajam jika berzina dengan al-hamwu tersebut.” (Umdatul Qori 20/214).

Imam An-Nawawi berkata, “Dan dikecualikan dari pengharaman (semua bentuk berkhalwat) ini adalah kondisi-kondisi yang darurat seperti jika seorang pria mendapati seorang wanita ajnabiah yang tersesat di tengah daratan dan yang semisalnya, maka boleh baginya untuk menemani wanita tersebut bahkan hal itu wajib atasnya jika sang pria mengkhawatirkan keamanan dan kondisi sang wanita jika ia membiarkannya sendirian. Dan hal ini tidak ada perbedaan pendapat diantara para ulama. Dalil yang menunjukan akan hal ini adalah kisah Al-Ifk.” (Majmu’ 4/242).

- Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam

Daftar Pustaka

Fathul Bari, karya Ibnu Hajar Al-Asqolani, terbitan Darus Salam, cetakan pertama 1421 H.
Umdatul Qori, karya Badaruddin Al-’Aini, terbitan Dar Ihyaut Turots Al-’Arobi
Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, karya An-Nawawi terbitan Daru Fikr.
Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, karya Imam An-Nawawi terbitan Dar Ihyaut Turots, cetakan ketiga.
An-Nihayah fi Ghoribil Hadits, karya Ibnul Atsir, terbitan Darul Ma’rifah, tahqiq Syaikh Kholil Ma’mun.
Al-Mabsuth, karya As-Sarkhasi, terbitan Darul Ma’rifah.
Mukhatasor Al-Fatawa Al-Misriyah li Ibni Taimiyah, karya Badaruddin bin ‘Ali Al-Hanbali, terbitan Dar Ibnul Qoyyim, tahqiq Muhammad Hamid Al-Faqi.
Siyar A’lam An-Nubala’, karya Imam Adz-Dzahabi, tahqiq Al-Arnauth, terbitan Muassasah Ar-Risalah.
Syadzaratudz Dzahab karya Abdul Hay bin Ahmad, tahqiq Abdul Qodir Al-Arnauth, terbitan Dar Ibnu Katsir.
Kasyful Qina’, karya Mansur bin yunus bin Idris Al-Bahuti, tahqiq Hilal Musthofa Hilal, terbitan Darul Fikr.
Faidul Qodir, karya Abdurrouf Al-Munawi, terbitan Al-Maktabah At-Tijariah.
Mawahibul Jalil, karya Muhammad bin Abdirrahman Al-Magribi, terbitan Darul Fikr.
Al-Asybah wan Nadzoir, karya As-Suyuthi terbitan Darul Kutub Ilmiyah.
Nailul Author, karya As-Syaukani, terbitan Dar Al-Jail.
Al-Adab As-Syar’iah, karya Ibnu Muflih terbitan tahqiq Syu’aib Al-Arnauth terbitan Muassasah Ar-Risalah.
Al-Bidayah wan Nihayah, karya Ibnu Katsir terbitan Matabah Al-Ma’arif.
At-Thobaqot Al-Kubro, karya Muhammad bin Sa’d terbitan Dar Shodir.
Tahdzibut Tahdzib, karya Ibnu Hajar, tahqiq Muhammad Awwamah, terbitan Dar Rosyid.
At-Thobaqoot As-Syafiiyah Al-Kubro, karya As-Subki tahqiq DR. Muhammad bin Mahmud At-Thonuhi, Terbitan Hajr.
Tafsir Ibnu Katsir
***

Penulis: Ust. Firanda Andirja
READ MORE - Khalwat yang diharamkan adalah khalwat (bersendiriannya) antara lelaki dan wanita sehingga tertutup dari pandangan manusia.

Koreksi Terhadap Kitab Manaqib Syaikh Abdul Qadir Jailani

Syekh Abdul Qadir al-Jailani merupakan tokoh sufi paling masyhur di Indonesia. Tokoh yang diyakini sebagai cikal bakal berdirinya Tarekat Qadiriyah ini lebih dikenal masyarakat lewat cerita-cerita karamahnya dibandingkan ajaran spiritualnya.Terlepas dari pro dan kontra atas kebenaran karamahnya, Biografi (manaqib) tentangnya sering dibacakan dalam majelis yang dikenal di masyarakat dengan sebutan manaqiban.

Nama lengkapnya adalah Abdul Qadir ibn Abi Shalih Abdullah Janki Dusat al-Jailani. Al-Jailani merupakan penisbatan pada Jilan, daerah di belakang Tabaristan. Di tempat itulah ia dilahirkan. Selain Jilan, tempat ini disebut juga dengan Jailan dan Kilan.

Kitab-kitab Manaqib Syaikh Abdul Qadir Jaelani yang banyak beredar di Indonesia, pada umumnya disusun oleh penulis-penulis Indonesia yang maraji’nya (sumber pengambilan) dari kitab-kitab berbahasa Arab yang antara lain, seperti Tafrijul Khathir, Muzkin Nufus, Lujainid-Dani.

Buku-buku tentang BARJANZI versi Indonesia antara lain :

1. Madarij Al-Su’ud ila Iktisah Al-Burud - Muhammad Nawawi Bin Umar Al-Jawi Al Bantani. Berbagai Terbitan.

2. Sabil Al-Munji (berbahasa Jawa)- Abu Ahmad Abd Al-Hamid Al-Qandali (Kendal)

3. Nur Al-Lail Al-Duji wa Miftah Bab Al-Yasar (berbahasa Jawa) – Hasan Al-Attas- Pekalongan.

4. Munyah Al-Martaji fi Tarjamah Maulid Al Barjanzi (berbahasa Jawa) – Asrari Ahmad- Wonosari Tempuran.

5. Al Qaul Al-Munji Ala Ma’ani Al Barjanzi (berbahasa Jawa) – Sa’ad Bin Nashir bin Nabhan. Surabaya

6. Badr Al-Daji Fi Tarjamah Maulid Al-Barjanzi (berbahasa Indonesia) –M. Mizan Asrari Zain Muhammad (Sidawaya, Rembang).



Di bawah ini buku-buku Manaqib Syaikh Abdul Qadir Jailani (asal terjemahan dari- Lujjain Al-Dani. Penulis, Ja’far Ibn Hasan Ibn ‘Abd Al-Karim Ibn Muhammmad (1690-1764) beliau juga menulis buku Al-Iqd Al Jawahir (al-Barjanzi) dan Qishshah Al-Mi’raj); di terbitkan di Indonesia dengan berbagai versi ;

1. Jauhar Al-Asnani ‘Ala Al-Lujjain Al-Dani Fi Manaqib Abd Al Qadir - Abu Ahmad Abd Al Hamid Al-Qandali (Kendal) : Semarang , Al Munawwir.

2. Al-Nur Al Burhani Fi Tarjamah Al Lujjain Al-Dani - Muslih Bin Abd Al Rahman Al Maraqi (Mranggen) : Semarang, Toha Putra.

3. Lubab Al Ma’ani Fi Tarjamah Lujjain Al-Dani –Abu Muhammad Salih Mustamir Al Hajaini (Kajen) : Kudus, Menara.

4. Al Nur Al-Amani Fi Tarjamah Al Lujjain Al-Dani – M.Mizan Asrari Zain Muhammad (Sidawaya Rembang) ; Terbitan sendiri.

5. Khulashah Al Manaqib Li- Al-Syaikh ‘Abd Al-Qadir ‘Abd Al Qadir Al-Jilani - Asrari Ahmad (Wonosari, Tempuran) Surabaya, ‘ Istiqomah.

6. Wawacan Kangjeng Syaikh ‘Abd Al-Qadir Jilani R.A (berbahasa Sunda) Bandung, Sindangdjaja.

7. Manaqib Syeikh Abdulqadir Jailani Radhiyallahu Anhu (berbahasa Arab dan Indonesia) –Abdallah Shonhaji. Semarang, Al-Munawir.

8. Lubabul Ma’ani - Abi Shaleh Mustamir (Juana, Jawa Tengah)

9. Miftahul Babil Amani -Moh. Hambali. (Semarang, Jawa Tengah)

10. An Nurul Burhani – A. Lutfi Hakim dkk (Semarang, Jawa Tengah)

11. Nailul Amani – A.Subhi Masyhadi. (Pekalongan, Jawa Tengah)



Koreksi Terhadap Kitab Manaqib Syaikh Abdul Qadir Jailani
Dalam kitab Manaqib tersebut tertulis;

1.Syaikh Abdul Qadir Jailani pernah duduk selama 30 tahun dengan tidak bergeser dari tempatnya karena ketaatannya kepada nabi Khidir.

Pada waktu pertama kali masuk Irak, Syaikh Abdul Qadir Jailani ditemani Khidir, dan Syaikh belum pernah mengenalnya sebelum itu. Kemudian Khidir memberikan isyarat kepadanya agar ia tidak disalahi dan kalau sampai hal itu terjadi maka akan menjadi sebab perpisahan antara keduanya. Maka berkatalah Khidir kepadanya : Duduklah di sini ! Maka beliaupun duduk ditempat yang ditunjuk oleh Khidir itu selama tiga tahun, yang selalu dikunjunginya setiap setahun sekali dan katanya lagi: Janganlah engkau bergeser dari tempat itu sampai aku datang [Lubabul Ma'ani hal. 20]


Bantahan :
Cerita ini terlalu mengada-ada. Duduk selama 3 tahun tanpa beranjak/bergeser dari tempat duduknya adalah mustahil. Bagaimana Syaikh Abdul Qadir Jailani mengambil air wudhu, Shalat Jum'at dan Shalat 'Id ?

2.Diceritakan juga bahwa Syaikh Abdul Qadir Jailani pernah bermimpi junub sebanyak 40 kali dalam waktu semalam.[Lubabul ma'ani, hal. 20-21]


Bantahan :
Kebohongan yang luar biasa, cukupkah waktu untuk 40 kali tidur, 40 kali bermimpi bersetubuh dan 40 kali mandi janabat ?

3.100 ulama merobek-robek baju sendiri [Lubabul Ma'ani, hal. 23-24]


Bantahan :
Sungguh tidak masuk akal dan tidak pernah terbayang dalam angan-angan orang yang normal akalnya bahwa seorang yang saleh dan ulama yang ikhlas seperti Syaikh Abdul Qadir Jailani sampai hati melihat para 'aimmah merobek-robek pakainnya dan bertingkah polah seperti orang yang tidak waras.

4. Di antara kekeramatan Syaikh Abdul Qadir Jailani, bahwa seekor burung Elang yang terbang di atas majlis syaikh, dimohon kepada angin agar dipenggal leher burung tersebut, maka putuslah leher burung Elang tersebut.[Lubabul Ma'ani, hal. 59]


Bantahan :
Burung adalah binatang yang tidak dibekali akal seperti manusia dan tidak dibebani tata tertib hidup serta tidak terikat dengan berbagai aturan sesamanya. Ia terbang mengikuti naluri hayawani tanpa memperdulikan apakah ada makhluk lain yang terganggu olehnya. Maka alangkah teganya hati Syaikh Abdul Qadir Jailani untuk membunuh burung Elang tersebut.

Dan apakah mereka tidak memperhatikan burung-burung yang mengembangkan dan mengatupkan sayapnya di atas mereka? Tidak ada yang menahannya (di udara) selain Yang Maha Pemurah. Sesungguhnya Dia Maha Melihat segala sesuatu. (QS. Al Mulk : 19)

Tidakkah kamu tahu bahwasanya Allah: kepada-Nya bertasbih apa yang di langit dan di bumi dan (juga) burung dengan mengembangkan sayapnya. Masing-masing telah mengetahui (cara) sembahyang dan tasbihnya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.
(QS. An Nur : 41)


5. Diantara kekeramatan lainnya. Matinya seorang pelayan karena sorotan mata Syaikh Abdul Qadir Jailani karena kesalahannya tidak sudi meletakkan kendi kearah kiblat.[Lubabul ma'ani, hal. 58-59]


Bantahan :
Peristiwa kesalahan yang tidak patal sehingga membuat Syaikh Abdul Qadir Jailani untuk membunuh, apakah mungkin dilakukan bagi seorang syaikh yang berakhlaq mulia ?

6. Syaikh Abdul Qadir Jailani meramal nasib [Lubabul Ma'ani, hal. 59-64]


Bantahan :
Mirip Mama Lauren aja.

7. Syaikh Abdul Qadir Jailani menjamin para muridnya masuk surga [Lubabul Ma'ani, hal. 80-81]


Bantahan :
Lebih hebat daripada Rasulullah

8. Syaikh Abdul Qadir Jailani mengejar Malaikat Maut untuk membatalkan kematian salah seorang muridnya, sehingga Malaikat Maut mengembalikan lagi ruh yang sudah dicabut tadi. [Dikutip dari Tafsir al manar, Rasyid Juz XI hal. 423, oleh HAS. Al Hamdani dalam bukunya Sorotan terhadap Manaqib Syaikh Abdul Qadir Jailani]


Bantahan :
????

9. Syaikh Abdul Qadir Jailani mendapat sepucuk surat dari Allah.[Lubabul ma'ani, hal. 89]


Bantahan :
???

Silahkan juga dibaca link ini :
http://www.facebook.com/anwar.barubelajar?v=app_2347471856#!/note.php?note_id=104897932886724

Wallahu a'lam.
Anwar Baru Belajar


Beberapa nasehat Beliau;

"Janganlah berbuat bid'ah dan sesuatu yang baru dalam agama Allah. Ikutilah para saksi yang adil berdasarkan Al Qur'an dan Sunnah karena keduanya akan mengantarkanmu kepada Tuhanmu 'Azza wa Jalla. Jika kamu berbuat bid'ah, saksimu adalah akal dan hawa nafsumu sendiri. Keduanya akan mengantarkanmu kepada neraka dan mempertautkanmu dengan Fir'aun, Haman, beserta bala tentaranya. Jangan engkau berhujah dengan qadr, karena itu tidak akan diterima darimu. Engkau harus masuk Darul Ilmi dan belajar, beramal, lalu ikhlas". (Syaikh Abdul Qadir Jailani dlm Al Fath Ar Rabbani, al Majlis 47)

"Ber-ittiba'lah dan jangan berbuat bid'ah. Patuhilah dan janganlah membangkang. Bersabarlah dan jangan khawatir. Tunggulah dan jangan berputus asa". (Al Sya'rani, al Thabaqat al Kubra hal. 129)

"Hendaklah kalian ber-ittiba' dan tidak berbuat bid'ah. Hendaklah kalian bermazhab kepada Salafus Shalih. Berjalanlah pada jalan yang lurus". (Syaikh Abdul Qadir Jailani dlm Al Fath Ar Rabbani, al Majlis 4)

"Ikutilah sunnah Rasul dengan penuh keimanan, jangan membuat bid'ah, patuhlah selalu kepada Allah dan Rasul-Nya, jangan melanggar, junjung tinggi tauhid dan jangan menyekutukan Dia". (Syaikh Abdul Qadir Jailani dlm FUTUH GHAIB risalah 2).

Syaikh Abdul Qadir Jailani berkata; Nabi bersabda : "Barangsiapa berbuat sesutu yang tidak kami perintahkan, maka perbuatnnya tertolak. Hal ini meliputi kehidupan, kata dan perilaku. Hanya Nabilah yang dapat kita ikuti, dan hanya berdasarkan al Qur'anlah kita berbuat. Maka jangan menyimpang dari keduanya ini, agar engkau tidak binasa, dan agar hawa nafsu serta setan tidak menyesatkanmu". (Syaikh Abdul Qadir Jailani dlm FUTUH GHAIB risalah 36).


READ MORE - Koreksi Terhadap Kitab Manaqib Syaikh Abdul Qadir Jailani

Penjelasan Ulama Seputar Ucapan: "Jazaakallahu Khayr"

Penjelasan Ulama Seputar Ucapan: "Jazaakallahu Khayr.."

Ditulis Oleh Abu Karimah
http://ibnulqoyyim.com/index.php?option=com_content&task=view&id=36&Itemid=1

HUKUM SEPUTAR UCAPAN "JAZAKALLAHU KHAERAN"

Ini adalah beberapa fatwa yang bermanfaat dari Al-Allamah Asy-Syaikh Al-Muhaddits Abdul Muhsin Al-Abbad hafizhahullah Ta’ala,menjawab beberapa pertanyaan setelah Beliau menjelaskan hadits Usamah bin Zaid radhiallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda:


من صُنِعَ إليه مَعْرُوفٌ فقال لِفَاعِلِهِ جَزَاكَ الله خَيْرًا فَقَدْ أَبْلَغَ في الثَّنَاءِ


“Barangsiapa yang diberikan satu perbuatan kebaikan kepadanya lalu dia membalasnya dengan mengatakan : jazaakallahu khaer (semoga Allah membalasmu dengan kebaikan), maka sungguh hal itu telah mencukupi dalam menyatakan rasa syukurnya.”
(HR.At-Tirmidzi (2035), An-Nasaai dalam Al-kubra (6/53), Al-Maqdisi dalam Al-mukhtarah: 4/1321, Ibnu Hibban: 3413, Al-Bazzar dalam musnadnya:7/54. Hadits ini dishahihkan Al-Albani dalam shahih Tirmidzi)


Berikut ini fatwa Al-Allamah Abdul Muhsin hafizhahullah, semoga bermanfaat!

Pertanyaan 1:

sebagian ikhwan ada yang menambah pada ucapannya dengan mengatakan "jazakallah khaeran wa zawwajaka bikran" (semoga Allah membalasmu dengan kebaikan dan menikahkanmu dengan seorang perawan),dan yang semisalnya. Bukankah tambahan ini merupakan penambahan dari sabda Rasul shallallahu alaihi wasallam ,dimana beliau mengatakan "sungguh dia telah mencukupi dalam menyatakan rasa syukurnya.?

Beliau menjawab:

Tidak perlu (penambahan) doa seperti ini,sebab boleh jadi (orang yang didoakan) tidak menginginkan do'a yang disebut ini.Boleh jadi orang yang dido'akan dengan do'a ini tidak menghendakinya.Seseorang mendoakan kebaikan,dan setiap kebaikan sudah mencakup dalam keumuman doa ini.

Namun jika seseorang menyebutkan do'a ini,bukan berarti bahwa Rasulullah melarang untuk menambah dari do'a tersebut.Namun beliau hanya mengabarkan bahwa ucapan ini telah mencukupi dalam menyatakan rasa syukurnya. Namun seandainya jia dia mendoakan dan berkata: “jazakallahu khaer wabarakallahu fiik wa ‘awwadhaka khaeran” (semoga Allah membalas kebaikanmu dan senantiasa memberkahimu dan menggantimu dengan kebaikan pula” maka hal ini tidak mengapa.Sebab Rasul Shallallahu alaihi wasallam tidak melarang adanya tambahan do’a.Namun tambahan do’a yang mungkin saja tidak pada tempatnya,boleh jadi yang dido’akan dengan do’a tersebut tidak menghendaki apa yang disebut dalam do’a itu.

Pertanyaan 2:
Ada sebagian orang berkata:ada sebagian pula yang menambah tatkala berdo’a dengan mengatakan : jazaakallahu alfa khaer” (semoga Allah membalasmu dengan seribu kebaikan” ?

Beliau -hafidzahullah- menjawab:
“Demi Allah ,kebaikan itu tidak ada batasnya,sedangkan kata seribu itu terbatas,sementara kebaikan tidak ada batasnya.Ini seperti ungkapan sebagian orang “beribu-ribu terima kasih”,seperti ungkapan mereka ini.Namun ungkapan yang disebutkan dalam hadits ini bersifat umum.”
Pertanyaan: apakah ada dalil bahwa ketika membalasnya dengan mengucapkan “wa iyyakum” (dan kepadamu juga) ?

Beliau menjawab:
tidak, sepantasnya dia juga mengatakan “jazakallahu khaer” (semoga Allah membalasmu kebaikan pula), yaitu didoakan sebagaimana dia berdo’a, meskipun perkataan seperti “wa iyyakum” sebagai athaf (mengikuti) ucapan “jazaakum”, yaitu ucapan “wa iyyakum” bermakna “sebagaimana kami mendapat kebaikan,juga kalian” ,namun jika dia mengatakan “jazaakalallahu khaer” dan menyebut do’a tersebut secara nash,tidak diragukan lagi bahwa hal ini lebih utama dan lebih afdhal.”

(transkrip dari kaset: durus syarah sunan At-Tirmidzi,oleh Al-Allamah Abdul Muhsin Al-Abbad hafidzahullah,kitab Al-Birr wa Ash-Shilah,nomor hadits:222).
(Diterjemahkan oleh Al Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal)

Berikut ini transkrip dalam bahasa Arab:


يقول السائل : بعض الإخوة يتطرق فيزيد على (جزاك الله خيرا وزوجك بكرا) ونحو ذلك.أليس في هذا استدراك على قول النبي صلى الله عليه وسلم فإنه يقول ((فقد أبلغ في الثناء))
فأجاب :ولا حاجة بهذا الدعاء قد يكون ما يريد هذا الشيء الذي دعي به ,أي نعم قد يكون الإنسان الذي دعي بهذا أنه لا يريده .فالإنسان يدعو بالخير وكل خير يدخل تحت هذا العموم .فالإنسان يأتي بهذا الدعاء وليس معنى ذلك أن الرسول × نهى عن ذلك يعني لا يزيد على هذا وإنما أخبر أن هذا فيه إبلاغ بالثناء ,لكنه لو دعا له فقال: جزاك الله خيرا وبارك الله فيك وعوضك خيرا ما فيه بأس ,لأن الرسول × مامنع من الزيادة .لكن مثل هذه الزيادة التي قد تكون في غير محلها ,قد يكون صاحب المدعو له لا يريد هذا الشيء الذي دعي له به .
السؤال: والآخر يقول :يزيد البعض فيقول : جزاك الله ألف خير
فأجاب: والله الخير ليس له حد ,ليس له حد والألف هذا محدود,والخير بدون حد .لكن هذا مثل عبارات بعض الناس :ألف شكر شكر مثل ما يعبرون.لكن التعبير بهذا الذي جاء في هذا الحديث عام
السؤال: هل هناك دليل على أن الرد يكون بصيغة (وإياكم)؟
فأجاب: لا , الذي ينبغي أن يقول :(وجزاكم الله خيرا) يعنى يدعى كما دعا, وإن قال (وإياكم) مثلا عطف على جزاكم ,يعني قول (وإياكم) يعني كما يحصل لنا يحصل لكم .لكن إذا قال: أنتم جزاكم الله خيرا ونص على الدعاء هذا لا شك أنها أوضح وأولى
(مفرغ من شريط دروس شرح سنن الترمذي ,كتاب البر والصلة ,رقم:222)

READ MORE - Penjelasan Ulama Seputar Ucapan: "Jazaakallahu Khayr"

Seandainya Mereka Diam, tentu Kami pun Diam!

Seandainya Mereka Diam, tentu Kami pun Diam!

Posted by: fery achmad on: 8 Mei 2010

Karena Mereka Menambah, maka Kami Tambah. Seandainya Mereka Diam, tentu Kami pun Diam

لما زادوا زدنا ولو سكتوا لسكتنا

Oleh: Syaikh Salim Ath Thawil hafidzahullah

Segala puji hanya milik Alloh semata, sholawat dan salam senantiasa tercurah kepada yang tidak ada Nabi lagi setelahnya. Amma ba’du,

… وإن العلماء ورثة الأنبياء، وإن الأنبياء لم يوّرثوا ديناراً ولا درهماً وإنما ورثوا العلم، فمن أخذه أخذ بحظ وافر

Sesungguhnya Alloh telah menyempurnakan agama ini dan mencukupkan nikmat kepada hamba-hamba-Nya, dan Dia telah meridhoi Islam sebagai agama bagi mereka. Tatkala Rosululloh – shollallohu ‘alaihi wa sallam – meninggal dunia, beliau telah meninggalkan warisan dan ahli waris. Adapun warisan beliau adalah ilmu, sedangkan ahli warisnya adalah para ulama. Sebagaimana hal itu disebutkan dalam hadits Abu Darda – rodhiyallohu ‘anhu – dari Nabi – shollallohu ‘alaihi wa sallam – bahwa beliau bersabda,

“… dan sesungguhnya para ulama adalah ahli waris para Nabi. Sedangkan para Nabi tidak meninggalkan warisan berupa dinar dan dirham, akan tetapi mereka hanyalah meninggalkan warisan berupa ilmu. Maka barangsiapa mengambilnya, dia telah mengambil bagian yang melimpah.” [Riwayat Abu Daud (3641), at-Tirmidzi (2682), dan Ibnu Majah (223). Dishohihkan oleh al-Albani dalam Shohihul Jami' (2697)]

Dan sungguh para ulama telah mengeluarkan usaha yang sangat besar. Mereka senantiasa menuliskan ilmu dan menyusunnya dengan teratur. Ada yang menafsirkan al-Qur`an, ada yang menuliskan hadits, ada yang mensyarah (memberikan penjelasan) ada juga yang membuatkan judul-judul bab pembahasan. Di antara mereka ada yang menyusun ilmu dalam bentuk syair, ada yang meringkas, ada yang memberi komentar, ada yang mentahqiq, ada yang memilah antara shohih dan dhoif, ada yang membuat daftar isi, dan sebagainya, dan sebagainya. Dan semuanya adalah orang yang sangat bersungguh-sungguh pada usahanya masing-masing. Semoga Alloh membalas mereka dengan sebaik-baik pembalasan.

Kemudian ketahuilah wahai pembaca, bahwa ulama yang paling besar perjuangan dan keutamaannya adalah para ulama yang membantah ahli bid’ah, pengikut hawa nafsu dan orang-orang yang sesat lagi menyimpang. Yaitu ulama yang mempertahankan islam, membela sunnah, menolong akidah dan menolak kesesatan. Maka engkau melihat mereka di segala medan selalu mengawasi setiap orang yang sesat dan suka mempermainkan.

Demikianlah mereka menolong kebenaran dan petunjuk. Dan inilah sebagian contoh yang akan menampakkan bagimu dengan gamblang bagaimana mereka menghadapi setiap orang yang digoda oleh hawa nafsunya untuk mempermainkan agama.

Contoh pertama:

Orang-orang pengikut keyakinan wihdatul wujud dan hululiyah – yang mana mereka adalah orang-orang yang paling sesat – menyangka bahwa Alloh ta’ala berada di setiap tempat. Adapun pengikut keyakinan wihdatul wujud mengatakan bahwa segala sesuatu yang ada itu hakikatnya adalah Alloh ‘azza wa jalla, apa yang kita lihat di antara berbagai makhluk tidak lain adalah bentuk yang bermacam-macam terhadap hakikat yang satu, yaitu Dzat Alloh ta’ala. Sampai-sampai mereka berkata, “Tuhan adalah hamba, dan hamba adalah tuhan.”

Dan sebagian thoghut-thoghut itu berkata, “Maha suci engkau maha suci aku, alangkah agungnya perkaraku.” Dan sebagian mereka berkata, “Aku adalah Tuhan, aku adalah Tuhan.” Maha tinggi Alloh dengan ketinggian yang besar, dari apa yang dikatakan oleh orang-orang zholim itu. Dan mereka berkata tentang Alloh dengan perkataan batil yang sangat banyak.

Adapun orang-orang hululiyah, tidak jauh berbeda dari pengikut keyakinan wihdatul wujud. Mereka menyangka bahwa Alloh ta’ala dengan dzat-Nya menitis (menempati) pada dzat-dzat sebagian makhluk, dari kalangan para wali dan orang-orang sholih. Mereka menyangka bahwa beribadah kepada wali adalah beribadah kepada Alloh ta’ala, karena Alloh telah menitis (menempati) wali tersebut. Ini adalah keyakinan hulul khosh (yaitu, keyakinan bahwa Alloh menitis hanya pada sebagian makhluk tertentu -pent). Dan di antara mereka ada yang menyangka bahwa Alloh menitis pada dzat seluruh makhluk, sampai pun pada hewan-hewan. Maha tinggi Alloh dengan ketinggian yang besar, dari apa yang mereka katakan.

Saya katakan, maka para ulama pun menghadapi orang-orang zindiq lagi menyimpang itu. Para ulama berkata, bahkan Alloh ta’ala tinggi berada di atas ‘arsy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya. Lalu para ahli bid’ah memprotes dan berkata, dari mana kalian mengatakan, “Terpisah dari makhluk-Nya” padahal Alloh ta’ala hanya berfirman,

عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى

“Dia berada tinggi di atas ‘Arsy.” [Thoha: 5] dan Dia tidak berfirman, “Terpisah dari makhluk-Nya”?

Maka tatkala ahli bid’ah berkata, bahwa Alloh ta’ala menitis pada makhluk-Nya dan bercampur pada mereka, para ulama sunnah pun berkata, bahkan Alloh “terpisah dari makhluk-Nya.” Maka para ulama menghadapi kebatilan mereka dengan kebenaran.

Dan demikianlah; karena mereka menambah, maka kami pun menambah. Dan seandainya mereka diam, tentu kami pun diam.

Contoh kedua:

Alloh ta’ala memiliki wajah yang hakiki, sebagaimana firman-Nya,

(كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ (26) وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ (27

“Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal wajah Robbmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” [ar-Rohman: 26-27]

Dan Alloh juga memiliki dua tangan yang hakiki, sebagaimana firman-Nya,

بَلْ يَدَاهُ مَبْسُوطَتَانِ

“(Tidak demikian), tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka.” [al-Maidah: 64]

Inilah keyakinan Ahlussunnah wal Jama’ah. Lalu ahli bid’ah berkata, kenapa kalian berkata, “wajah yang hakiki” dan “dua tangan yang hakiki” padahal Alloh tidak mengatakan seperti itu, tidak pula Rosul-Nya dan bahkan tidak pula para sahabat?

Ahlussunnah berkata, tatkala muncul orang yang beranggapan bahwa Alloh tidak memiliki wajah dan dua tangan, dan menganggap bahwa hal itu hanya sebagai majaz bukan sesuatu yang hakiki, maka ahlussunnah pun perlu untuk membantah mereka. Sehingga mereka (ahlussunnah) berkata, bahkan Alloh memiliki wajah yang hakiki bukan sebagai majaz, Dia juga memiliki dua tangan yang hakiki, bukan sebagai majaz. Karena mereka menambah, maka kami pun menambah. Dan seandainya mereka diam, tentu kami pun diam.

Contoh ketiga:

Ahlussunnah berkata, sesungguhnya Alloh ta’ala turun ke langit dunia “dengan dzat-Nya.” Lalu ahli bid’ah berkata kepada ahlussunnah, dari mana kalian mendapatkan bahwa Alloh ta’ala turun “dengan dzat-Nya” bukankah dalam hadits tidak ada keterangan turun dengan dzat-Nya, akan tetapi yang ada dalam hadits hanyalah “Alloh turun” dan “Robb kita turun” tidak ada penyebutan dengan dzat-Nya?

Ahlussunnah menjawab, tatkala ahli bid’ah memalingkan perkataan Rosul – shollallohu ‘alaihi wa sallam – sehingga mereka berkata, “Alloh turun” maksudnya adalah perintah-Nya yang turun, atau salah satu malaikat-Nya yang turun, atau rohmat-Nya yang turun; maka ahlussunnah berkata, bahkan yang turun adalah Alloh ta’ala “dengan dzat-Nya”. Mereka (ahlussunnah) menambah penjelasan “dengan dzat-Nya” untuk membantah orang-orang yang berkata, yang turun itu selain Alloh. Karena mereka menambah, maka kami pun menambah. Dan seandainya mereka diam, tentu kami pun diam.

Contoh keempat:

Ahlussunnah berkata, Alloh ta’ala memiliki sifat-sifat yang Dia bersifat dengan sifat-sifat tersebut “sesuai dengan bentuk yang layak bagi-Nya.” Ahli bid’ah berkata, dari mana kalian mendapatkan kalimat “sesuai dengan bentuk yang layak bagi-Nya”, padahal tidak ada kalimat ini dalam al-Kitab maupun as-sunnah?

Ahlussunnah menjawab, tatkala muncul orang-orang yang menolak sifat-sifat Alloh ta’ala dengan dalih bahwa penetapan sifat itu akan berkonsekuensi pada tamtsil (penyerupaan sifat Alloh dengan makhluk-Nya), maka ahlussunnah membantah mereka dengan berkata, bahkan Alloh ta’ala bersifat dengan sifat-sifat yang Dia sifatkan untuk diri-Nya atau disifatkan oleh Rosul-Nya – shollallohu ‘alaihi wa sallam – untuk-Nya “sesuai dengan bentuk yang layak bagi-Nya” tanpa ada penyerupaan. Karena mereka menambah, maka kami pun menambah. Dan seandainya mereka diam, tentu kami pun diam.

Contoh kelima:

Ahlussunnah wal Jama’ah berkata, sesungguhnya Alloh ta’ala datang pada hari kiamat dengan kedatangan yang hakiki dengan dzat-Nya. Mereka mengatakan demikian sebagai bantahan atas orang yang berkata, Dia datang secara majaz yakni yang datang adalah perintah-Nya. Demikianlah, karena mereka menambah, maka kami pun menambah. Dan seandainya mereka diam, tentu kami pun diam.

Contoh keenam:

Ahlussunnah berkata, al-Qur`an adalah perkataan Alloh ta’ala bukan makhluk, sebagaimana Alloh ta’ala telah berfirman,

وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلَامَ اللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ

“Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman (perkataan) Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya.” [at-Taubah: 6]

Ahli bid’ah berkata, Alloh ta’ala tidak berfirman tentang perkataan-Nya “bukan makhluk” lalu dari mana kalian mendapatkan hal itu?

Ahlussunnah berkata, dahulu kami tidak mengatakan “al-Qur`an adalah perkataan Alloh bukan makhluk” dan inilah yang dahulu dipegangi kaum salaf pada masa-masa pertama Islam. Dan tatkala muncul orang yang mengatakan bahwa al-Qur`an perkataan Alloh itu adalah makhluk, ahlussunnah pun tidak tinggal diam dengan tangan terbelenggu, bahkan mereka (ahlussunnah) berkata “al-Qur`an adalah kalam (perkataan) Alloh bukan makhluk.” Karena mereka menambah, maka kami pun menambah. Dan seandainya mereka diam, tentu kami pun diam.

Contoh ketujuh:

Ahlussunnah mengatakan, bahwa kekafiran ada dua macam; yang besar dan yang kecil. Maka tidak semua yang disebut oleh Pembuat syariat sebagai kekafiran akan mengeluarkan (pelakunya) dari agama. Bahkan di sana ada kekafiran yang tidak akan mengeluarkan pelakunya dari Islam, meskipun hal itu terjadi atau muncul darinya. Inilah yang dimaksud kufur ashghor (kekafiran yang kecil). Dan mereka juga menyebutnya dengan istilah “Kufrun duna kufrin”, dan yang semisalnya juga adalah istilah “Fisqun duna fisqin” atau “Zhulmun duna zhulmin.” Maka ahli bid’ah pun berkata, dalam nash-nash al-Kitab dan as-Sunnah tidak ada apa yang kalian sangka ini, lalu dari mana kalian mendapatkan ini?

Ahlussunnah berkata, bahkan hal itu ada dalam al-Kitab dan as-Sunnah, akan tetapi kalian tidak memperhatikannya. Pembuat syariat telah menyebutkan sebagian amalan dan perkataan dengan sebutan kafir, namun Dia tidak menghendaki dengannya kekafiran yang mengeluarkan dari Islam. Oleh karena itu Ibnu Abbas – rodhiyallohu ‘anhuma – berkata, “Ini bukanlah kekafiran yang kalian pahami, akan tetapi ini adalah kufrun duna kufrin.” Inilah yang dipegangi oleh para ahli tafsir dari kalangan salaf dan para ahli tahqiq dari kalangan ulama. Seandainya bukan karena pemahaman ahli bid’ah terhadap nash-nash al-Kitab dan as-Sunnah yang tidak sesuai dengan kehendak Alloh dan Rosul-Nya – shollallohu ‘alaihi wa sallam – tentu kami tidak perlu mengatakan “kufrun duna kufrin.” Karena mereka menambah, maka kami pun menambah. Dan seandainya mereka diam, tentu kami pun diam.

Contoh kedelapan:

Ahlussunnah wal Jama’ah berkata, terkadan Pembuat syariat meniadakan keimanan namun yang Dia kehendaki bukanlah peniadaan hakikat keimanan, atau pokok keimanan, atau peniadaan keimanan secara mutlak (keseluruhannya -pent). Bahkan terkadang Pembuat syariat meniadakan keimanan dan yang Dia maksudkan adalah peniadaan kesempurnaan iman, sebagaimana dalam hadits,

لاَ يَزْنِي الزَّانِي حِيْنَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ

“Tidaklah berzina seorang pezina ketika dia berzina dalam keadaan beriman.” [Riwayat Muslim (104) dari Abu Huroirah – rodhiyallohu 'anhu]

Sesungguhnya dengan sabdanya ini beliau menghendaki peniadaan kesempurnaan iman yang wajib. Yakni, ketika dia berzina orang itu tidak memiliki keimanan yang mutlak lagi sempurna yang bisa mencegahnya dari perbuatan zina.

Ahli bid’ah pun berkata, kenapa kalian menambah “peniadaan kesempurnaan” kepada hadits itu.

Ahlussunnah menjawab, ini adalah salah satu uslub gaya bahasa arab yang mereka gunakan untuk berkata-kata. Karena mereka menambah, maka kami pun menambah. Dan seandainya mereka diam, tentu kami pun diam.

Wahai saudaraku pembaca, tidak diragukan lagi di sana banyak contoh lain selain yang saya sebutkan kepadamu. Dan maksud saya hanyalah menjelaskan bantahan kepada orang-orang yang membantah ahlussunnah dengan anggapan bahwa mereka (ahlussunnah) memberikan tambahan kepada al-Kitab dan as-Sunnah sesuatu yang tidak ada padanya. Maka saya katakan, mereka (ahlussunnah) hanyalah menambahkan untuk menjelaskan kebenaran ketika para pengusung kebatilan memiliki berbagai persangkaan-persangkaan (batil). Karena mereka menambah, maka kami pun menambah. Dan seandainya mereka diam, tentu kami pun diam.

Dan segala puji hanya milik Alloh, semenjak awal sampai akhir, secara lahir dan batin. Semoga Alloh mencurahkan sholawat, salam dan berkah kepada Nabi-Nya Muhammad, dan juga kepada keluarga dan para sahabat beliau seluruhnya.

[Makalah Syaikh yang mulia Salim ath-Thowil, Dinukil dari surat kabar al-Wathon Kuwait hari senin tanggal 28 Dzulqo'dah 1430 H yang bertepatan dengan 16 November 2009 M] [Disalin dari: http://www.direktori-islam.com/]
READ MORE - Seandainya Mereka Diam, tentu Kami pun Diam!

Tahukah Anda Di Mana Allah?

Perjuangan gigih para ulama’ salaf dalam membela aqidah dari qoncangan faham-faham hitam Jahmiyyah sangatlah kuat, sehingga begitu banyak kitab para ulama yang berjudul “Ar-Radd ‘ala Jahmiyyah” (Bantahan Terhadap Jahmiyyah) seperti yang ditulis oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Utsman bin Sa’id Ad-Darimi, Ibnu Mandah, Ibnu Baththah dan lain sebagainya.

Sungguh benar Imam Ibnu Qayyim rahimahullah yang telah berkata:

“Pertempuran antara ahli hadits dengan kelompok Jahmiyyah lebih dahsyat daripada pertempuran antara pasukan kafir dengan pasukan Islam”.[1]

Munculnya ide pembahasan ini karena merebaknya para pengibar bendera Jahmiyyah di negeri ini. Sebagai contoh, Dr. M. Quraish Shihab yang mengatakan dalam bukunya “Membumikan Al-Qur’an” hal. 371-372 cet. Al-Mizan[2], Bandung pada judul “Selamat Natal[3] Menurut Al-Qur’an!!!”:

Nabi SAW[4] sering menguji pemahaman umat tentang Tuhan. Beliau tidak sekalipun bertanya “Di mana Tuhan?”. Tertolak riwayat yang menggunakan redaksi itu karena ia menimbulkan kesan keberadaan tuhan pada satu tempat, hal yang mustahil bagi-Nya dan mustahil pula diucapkan oleh Nabi SAW…”.

Pada pembahasan kali ini, sebagai pembelaan terhadap hadits Nabi صلى الله عليه و سلم dan penjagaan umat dari goncangan kerancuan aqidah, penulis melakukan penelitian terhadap salah satu hadits tentang masalah penting ini secara riwayah dan dirayah. Semoga Allah menjadikannya bermanfaat bagi kita semua. Amin.

.

A. TEKS HADITS

عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ الْحَكَمِ السُّلَمِيِّ رضي الله عنه قَالَ: …وَكَانَتْ لِيْ جَارِيَةٌ تَرْعَى غَنَمًا لِيْ قِبَلَ أُحُدٍ وَالْجَوَّانِيَةِ فَاطَّلَعْتُ ذَاتَ يَوْمٍ, فَإِذَا بِالذِّئْبِ قَدْ ذَهَبَ بِشَاةٍ مِنْ غَنَمِهَا, وَأَنَا رَجُلٌ مِنْ بَنِيْ آدَمَ, آسَفُ كَمَا يَأْسَفُوْنَ, لَكِنِّيْ صَكَكْتُهَا صَكَّةً, فَأَتَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم عليه و سلم فَعَظَّمَ ذَلِكَ عَلَيَّ, قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ, أَفَلاَ أُعْتِقُهَا؟ قَالَ: ائْتِنِيْ بِهَا, فَقَالَ لَهَا: أَيْنَ اللهُ؟ قَالَتْ: فِيْ السَّمَاءِ, قَالَ: مَنْ أَنَا؟ قَالَتْ: أَنْتَ رَسُوْلُ اللهِ, قَالَ: فَأَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ.

Dari Muawiyah bin Hakam As-Sulami -radhiyallahu ‘anhu- berkata: “…Saya memiliki seorang budak wanita yang bekerja sebagai pengembala kambing di gunung Uhud dan Al-Jawwaniyyah (tempat dekat gunung Uhud). Suatu saat saya pernah memergoki seekor serigala telah memakan seekor dombanya. Saya termasuk dari bani Adam, saya juga marah sebagaimana mereka juga marah, sehingga saya menamparnya, kemudian saya datang pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ternyata beliau menganggap besar masalah itu. Saya berkata: “Wahai Rasulullah, apakah saya merdekakan budak itu?” Jawab beliau: “Bawalah budak itu padaku”. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Dimana Allah?” Jawab budak tersebut: “Di atas langit”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi: “Siapa saya?”. Jawab budak tersebut: “Engkau adalah Rasulullah”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Merdekakanlah budak ini karena dia seorang wanita mukminah”.

a. Takhrij Hadits

Seluruh jalan hadits ini melewati dua jalur berikut:

  1. Jalur Imam Malik bin Anas – Hilal bin Ali bin Abu Maimunah – Atha’ bin Yasar – Muawiyah bin Hakam As-Sulami.
  2. Jalur Yahya bin Abi Katsir – Hilal bin Ali bin Abi Maimunah – Atha’ bin Yasar – Muawiyah bin Hakam As-Sulami.

Adapun perinciaan takhrij hadits ini sebagai berikut:

1. Jalur Imam Malik

Hal ini sebagaimana riwayat beliau sendiri dalam Al-Muwatha (2/772/no.8), Imam Syafi’i dalam Ar-Risalah (no. 242 -Tahqiq Syaikh Ahmad Syakir-), Nasa’i dalam Sunan Kubra sebagaimana dalam Tuhfatul Asyraf (8/427) oleh Al-Mizzi, Utsman bin Said Ad-Darimi dalam Ar-Radd ‘ala Jahmiyyah (no. 62), Ibnu Huzaimah dalam Kitab Tauhid (hal. 132 -Tahqiq Syaikh Khalil Haras-), Al-Baihaqi dalam Sunan Kubra (10/98/no. 19984), Al-Baghawi dalam Syarh Sunnah (9/246/no. 2365), Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid (9/69-70) dan Al-Ashbahani dalam Al-Hujjah fi Bayanil Mahajjah (2/102/no. 57).

(Faedah)

Dalam sanad imam Malik tertulis “Umar bin Hakam” sebagai ganti dari “Mu’awiyah bin Hakam”. Para ulama’ menilai bahwa hal ini merupakan kesalahan imam Malik. Imam pembela sunnah, As-Syafi’i berkata -setelah meriwayatkan hadits ini dari imam Malik- : “Yang benar adalah Mua’wiyah bin Hakam sebagaimana diriwayatkan selain Malik dan saya menduga bahwa Malik tidak hafal namanya”.[5]

Imam Ibnu Abdil Barr berkata: “Demikianlah perkataan Malik dalam hadits ini dari Hilal dari Atha’ dari Umar bin Hakam. Para perawi darinya (Malik) tidak berselisih dalam hal itu. Tetapi hal ini termasuk kesalahan beliau (Malik) menurut seluruh ahli hadits karena tidak ada sahabat yang bernama Umar bin Hakam, yang ada adalah Mu’awiyah (bin Hakam). Demikianlah riwayat seluruh orang yang meriwayatkan hadits ini dari Hilal. Mua’wiyah bin Hakam termasuk dari kalangan sahabat yang terkenal dan hadits ini juga masyhur darinya. Diantara ulama’ yang menegaskan bahwa Malik keliru dalam hal itu adalah Al-Bazzar, At-Thahawi dan selainnya”.[6]

2. Jalur Yahya bin Abi Katsir

Sepanjang penelitian saya, ada empat orang yang meriwayatkan dari Yahya bin Abi Katsir. Berikut perinciannya:

Hajjaj bin Abu Utsman Ash-Shawwaf

  • Diriwayatkan imam Ahmad dalam Musnadnya (5/448), Al-Bukhari dalam Juz’ul Qira’ah (hal. 70), Abu Daud (no. 931 dan 3282), Nasa’i dalam Sunan Kubra sebagaimana dalam Tuhfatul Asyraf (8/427), Ibnu Khuzaimah dalam Kitab Tauhid (hal. 132), Al-Baghawi dalam Syarh Sunnah (3/237-239/no. 726) dan At-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Kabir (19/398/no. 938) dari Yahya bin Sa’id Al-Qhoththon dari Hajjaj dengannya.
  • Dan diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf (6/162/no.30333) dan al-Iman (84), Muslim dalam Shahihnya (no. 537), Ahmad (5/447), Abu Daud (no. 931), Ibnu Hibban (165), Utsman bin Sa’id Ad-Darimi dalam Ar-Radd ‘ala Jahmiyyah (no.61), Ibnu Abi Ashim dalam As-Sunnah (490) dan Ibnu Jarud dalam Al-Muntaqo (no.212 -Ghautsul Makdud oleh Al-Huwaini-) dari Ismail bin Ibrahim (bin ‘Ulayyah) dari Hajjaj dengannya.

(Faedah)

Dalam kitab “Juz’ul Qira’ah” hal. 20 oleh imam Bukhari cet. Darul Kutub ‘Ilmiyyah tertulis begini Yahya bin Hilal ( حَدَّثَنَا يَحْيَ بْنُ هِلاَلٍ). Ini adalah keliru yang benar adalah Yahya ‘an (dari) Hilal (حَدَّثَنَا يَحْيَ عَنْ هِلاَلٍ). Yahya namanya adalah Yahya bin Abi Katsir dan Hilal namanya adalah Hilal bin Ali bin Abi Maimunah. Wallahu A’lam.

.

Al-Auza’i

  • Diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahihnya (537), Abu Awanah dalam al-Mustkhraj (2/141), Nasa’i dalam Sunan Sughra (3/14-18/no.1216), Ibnu Khuzaimah dalam Kitab Tauhid (hal.121), At-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Kabir (19/398/no.937), Al-Baihaqi dalam As-Sunan Kubra (10/98/19984) dan Al-Asma’ wa Sifat (2/326/890-891), ath-Thahawi dalam Syarh Musykil Atsar (13/367), Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid (9/71) dan Al-Ashbahani dalam Al-Hujjah fi Bayanil Mahajjah (2/100/no. 69).

.

Aban bin Yazid Al-Aththar

  • Diriwayatkan Abu Awanah dalam Al-Mustakhraj ‘ala Shahih Muslim (2/1141), At-Thoyyalisi dalam Musnadnya (1105), Ahmad dalam Musnadnya (5/448), Ibnu Abi Ashim dalam As-Sunnah (489), Utsman bin Sa’id Ad-Darimi dalam Ar-Radd ‘ala Jahmiyyah (no. 60) dan Naqdh Alal Marisy (122), At-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Kabir (939), Al-Baihaqi dalam Al-Asma’ wa Sifat (2/326/890-891) dan Al-Lalikai dalam Syarh Ushul I’tiqad Ahli Sunnah (3/434-435/no. 652).

.

Hammam bin Yahya

  • Diriwayatkan Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya (5/448).

Hadits ini juga memiliki syawahid (penguat) dari sahabat Abu Hurairah, Abu Juhaifah, Ibnu Abbas, Ukkasyah Al-Ghanawi dan Abdur Rahman bin Hathib secara mursal.[7]

.

b. Komentar Para Ulama’ Ahli Hadits

Hadits ini disepakati keabsahannya oleh seluruh ulama’ kaum muslimin. Berikut sebagian komentar mereka:

1. Syaikh Muhammad Nasiruddin Al-Albani berkata: “Hadits ini disepakati keabsahannya oleh para ulama muslimin semenjak dahulu hingga sekarang dan dijadikan hujjah oleh imam-imam besar seperti Malik, Syafi’i, Ahmad dan lainnya. Dan dishahihkan oleh Muslim, Abu Awanah, Ibnu Jarud, Ibnu Huzaimah, Ibnu Hibban dan orang-orang yang mengikuti mereka dari para pakar dan sebagian mereka adalah para pentakwil seperti Al-Baihaqi, Al-Baghawi, Ibnul Jauzi, adz-Dzahabi, (Ibnu Hajar) Al-Asqalani dan lainnya. Lantas bagaimana pendapat seorang muslim yang berakal terhadap orang jahil dan sombong yang menyelishi para imam dan pakar tersebut, bahkan mencela lafadz Nabi n yang telah dishahihkan oleh para ulama tersebut?!!..”.[8]

2. Imam Al-Baihaqi berkata: “Hadits ini shahih, dikeluarkan Muslim”.[9]

3. Imam Al-Baghawi berkata: “Hadits ini shahih, dikeluarkan Muslim dari Abu Bakar bin Abi Syaibah dari Ismail bin Ibrahim dari Hajjaj”.[10]

4. Imam Al-Ashbahani berkata: “Dan sungguh telah shahih dari Nabi n bahwasanya beliau bertanya kepada seorang budak wanita yang akan dibebaskan oleh tuannya: Dimana Allah? Jawab budak tersebut: Di atas langit….”.[11]

5. Imam Ibnu Qudamah berkata: “Hadits ini shahih”.[12]

6. Imam Adh-Dzahabi berkata: “Hadits ini shahih, dikeluarkan Muslim, Abu Daud, Nasa’i dan imam-imam lainnya dalam kitab-kitab mereka dengan memperlakukannya sebagaimana datangnya tanpa ta’wil dan tahrif”.[13]

7. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Hadits shahih, diriwayatkan Muslim”.[14]

8. Al-Wazir al-Yamani berkata: “Hadits ini tsabit (shahih), diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya”.[15]

9. Imam Muhammad Nasiruddin Al-Albani berkata

وَهَذَا الْحَدِيْثُ صَحِيْحٌ بِلاَ رَيْبٍ لاَ يَشُكُّ فِيْ ذَلِكَ إِلاَّ جَاهِلٌ أَوْ مُغْرِضٌ مِنْ ذَوِيْ الأَهْوَاءِ الَّذِيْنَ كُلَّمَا جَاءَهُمْ نَصٌّ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ يُخَالِفُ مَاهُمْ عَلَيْهِ مِنَ الضَّلاَلِ حَاوَلُوا الْخَلاَصَ مِنْهُ بِتَأْوِيْلِهِ بَلْ تَعْطِيْلِهِ, فَإِنْ لَمْ يُمْكِنْهُمْ ذَلِكَ حَاوَلُوْا الطَّعْنَ فِيْ ثُبُوْتِهِ كَهَذَا الْحَدِيْثِ فَإِنَّهُ مَعَ صِحَّةِ إِسْنَادِهِ وَتَصْحِيْحِ أَئِمَّةِ الْحَدِيْثِ إِيَّاهُ دُوْنَ خِلاَفٍ بَيْنَهُمْ فِيْمَا أَعْلَمُهُ

“Hadits ini shahih dengan tiada keraguan. Tidak ada yang meragukan hal itu kecuali orang jahil atau pengekor hawa nafsu yang setiapkali datang pada mereka dalil dari Rasulullah n yang menyelisihi keyakinan sesat mereka, maka mereka langsung berusaha membebaskan diri darinya dengan mentakwil, bahkan meniadakannya. Dan apabila mereka tidak mampu, maka mereka berupaya untuk mementahkan keabsahannya seperti hadits ini yang shahih sanadnya serta dishahihkan oleh seluruh ulama’ ahli hadits tanpa ada perselisihan pendapat di kalangan mereka sepanjang pengetahuan saya”.[16]

  • Setelah takhrij dan komentar para ulama ahli hadits diatas[17], kita dapat mengetahui bagaimana kadar ilmu DR. Quraish Syihab!! -semoga Allah memberinya hidayah- tentang ilmu hadits. Ataukah memang dia sengaja berusaha untuk menyebarkan racun pemikirannya kepada orang-orang awam?!. Tidak..Tidak …Demi Allah, pasti akan ada pejuang kebenaran yang akan menepis kerancuan fahamnya.

لاَ تَزَالُ طاَئِفَةٌ مِنْ أُمَّتِيْ ظَاهِرِيْنَ عَلَى الْحَقِّ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُاللهِ

Akan senantiasa ada segolongan dari umatku yang tegak diatas Al-Haq, orang yang melecehkan mereka tidak akan membahayakan mereka sehingga datang hari kiamat[18].

(Faedah)

Lafadz fi (فِيْ) dalam hadits bermakna ‘ala (عَلَى) yakni diatas, bukan bermakna zharaf (di dalam) sebagaimana dijelaskan oleh para ulama seperti Ibnu Abdil Barr[19] dan Al-Baihaqi[20]. Hal ini semakna dengan firman Allah:

ءَأَمِنتُم مَّن فِي السَّمَآءِ أَن يَخْسِفَ بِكُمُ اْلأَرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُورُ

Apakah kamu merasa aman terhadap Yang di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?. (QS. Al-Mulk: 16).

قُلْ سِيرُوا فِي اْلأَرْضِ ثُمَّ انْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ

Katakanlah: “Berjalanlah di atas muka bumi, kemudian perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu”. (QS. Al-An’aam: 11).

Demikian juga semakna dengan hadits:

الرَّاحِمُوْنَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ تَبَارَكَ وَتعَالَى, ارْحَمُوْا مَنْ فِيْ الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِيْ السَّمَاءِ

Orang-orang yang pengasih akan dikasihi oleh Yang Maha Pengasih. Kasihilah (makhluk) yang di atas bumi, niscaya Yang di atas langit akan mengasihi kalian[21].

Demikianlah penafsiran Ahlu Sunnah wal Jama’ah yang beriman dengan dalil-dalil Al-Qur’an dan hadits mutawatir yang menetapkan Allah di atas langit. Tidak ada penafsiran yang benar selain ini.[22]

.

B. FIKIH HADITS

Hadits ini memiliki beberapa faedah yang sangat banyak sekali, namun agar tidak terlalu panjang, maka kita cukupkan dua faedah saja yaitu:

b.1. Disyariatkannya pertanyaan: Di mana Allah?

  • Imam Ad-Dzahabi berkata:

فَفِيْ الْخَبَرِ مَسْأَلَتَانِ:

إِحْدَاهُمَا: مَشْرُوْعِيَّةُ قَوْلِ الْمُسْلِمِ أَيْنَ اللهُ؟
وَثَانِيْهَا: قَوْلُ الْمَسْؤُوْلِ: فِيْ السَّمَاءِ. فَمَنْ أَنْكَرَ هَاتَيْنِ الْمَسْأَلَتَيْنِ فَإِنَّمَا يُنْكِرُ عَلَى الْمُصْطَفَى n

Dalam hadits ini terdapat dua masalah:

Pertama: Disyari’atkannya pertanyaan seorang muslim; Dimana Allah?

Kedua: Jawaban orang yang ditanya: Di atas langit. Barangsiapa yang mengingkari dua masalah ini, maka berarti dia mengingkari Nabi”[23].

Syariat pertanyaan “Dimana Allah?” ini dikuatkan oleh hadits dan atsar sebagai berikut:

  • a. Hadits

عَنْ أَبِيْ رَزِيْنٍ قَالَ : قُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ ! أَيْنَ كَانَ رَبُّنَا قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ خَلْقَهُ؟ قَالَ :كَانَ فِيْ عَمَاءٍ مَا تَحْتَهُ هَوَاءٌ وَمَا فَوْقَهُ هَوَاءٌ وَمَا ثَمَّ خَلْقٌ, عَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ

Dari Abu Razin berkata: Saya pernah bertanya: Ya Rasulullah, dimana Allah sebelum menciptakan makhlukNya? Nabi menjawab: Dia berada di atas awan, tidak ada udara di bawahnya maupun di atasnya, tidak makhluk di sana, dan ArsNya di atas air”. [24]

  • b. Atsar

Dari Zaid bin Aslam bercerita: “Ibnu Umar pernah melewati seorang pengembala kambing lalu berkata: Hai pengembala kambing, adakah kambing yang layak untuk disembelih? Jawab si pengembala tersebut: “Tuan saya tidak ada di sini”. Ibnu Umar mengatakan: “Bilang saja sama tuanmu bahwa kambingnya dimakan oleh serigala! Pengembala itu lalu mengangkat kepalanya ke langit seraya mengatakan: “Lalu dimana Allah?”! Ibnu Umar berkata: Demi Allah, sebenarnya saya yang lebih berhak mengatakan: Dimana Allah? Kemudian beliau membeli pengembala serta kambingnya, membebaskannya dan memberinya kambing[25].

  • Abdul Ghoni al-Maqdisi berkata mengomentari hadits ini: “Siapakah yang lebih jahil dan rusak akalnya serta tersesat jalannya melebihi seorang yang mengatakan bahwa tidak boleh bertanya di mana Allah setalah ketegasan pembuat syari’at dengan perkataannya dimana Allah?!”.[26]
  • Imam Ibnu Qoyyim juga berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya: “Di mana Allah?” Lalu dijawab oleh yang ditanya bahwa Allah berada di atas langit. Nabi n pun kemudian ridha akan jawabannya dan mengetahui bahwa itulah hakekat iman kepada Allah dan beliau juga tidak mengingkari pertanyaan ini atasnya. Adapun kelompok Jahmiyyah, mereka menganggap bahwa pertanyaan “Dimana Allah?” seperti halnya pertanyaan: Apa warnanya, apa rasanya, apa jenisnya dan apa asalnya dan lain sebagainnya dari pertanyaan yang mustahil dan batil!”.[27]
  • Syaikh Al-Allamah Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz mengatakan: “Pendapat yang benar menurut ahli sunnah adalah mensifati Allah dengan sifat uluw (tinggi) yaitu diatas arsy berdasarkan dalil-dalil Al-Qur’an dan hadits dan boleh juga menurut ahlu sunnah bertanya: “Dimana Allah” sebagaimana dalam Shahih Muslim Nabi shallallahu a’laihi wa sallam bertanya kepada budak perempuan: “Dimana Allah?” Jawabnya: “Di atas langit”.[28]
  • Syaikh Al-Muhaddits Muhammad Nasiruddin Al-Albani juga berkata: “Hadits ini merupakan cemeti dahsyat bagi orang-orang yang meniadakan sifat-sifat Allah, karena hampir saja engkau tidak bertanya kepada seorang diantara mereka dengan pertanyaan di mana Allah? Kecuali mereka langsung mengingkarimu! Si miskin (jahil) ini tidak tahu bahwa sebenarnya dia telah mengingkari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga Allah melindungi kita semua dari ilmu kalam (filsafat)”.[29]
  • Abu Ubaidah -semoga Allah menambahkan ilmu baginya- berkata: “Perhatikanlah perkataan para ulama’ di atas lalu bandingkan dengan ucapan mayoritas para tokoh agama zaman sekarang yang jauh lebih jahil daripada budak wanita diatas, dimana mereka mengatakan: “Allah ada dimana-dimana” bahkan mengatakan: Pertanyaan “Dimana Allah” itu adalah bid’ah. Ironisnya, aqidah sesat bin menyesatkan ini ditanamkan kepada anak-anak dan murid-murid yang lugu, tak mengerti apa-apa. Saya masih teringat pada bulan Ramadhan 1423H, saya pernah diundang untuk sebagai pemateri di sebuah sekolah Islam. Ketika saya lontarkan sebuah pertanyaan sederhana “Dimana Allah?” ini kepada mereka, ternyata tak seorang siswa maupun siswi-pun yang dapat menjawab secara benar bahkan seorang diantara mereka mengatakan: “Kata pak guru, bertanya seperti itu enggak boleh!!!”. Wallahul Musta’an.

b.2. Allah berada di atas langit

  • Imam Utsman ad-Darimi berkata: “Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa seorang apabila tidak mengetahui kalau Allah itu di atas langit bukan di bumi maka dia bukan seorang mukmin. Apakah anda tidak tahu bahwa Nabi menjadikan tanda keimanannya adalah pengetahuannya bahwa Allah di atas langit?!! Dan dalam pertanyaan Nabi “Di mana Allah “ terdapat bantahan ucapan sebagian kalangan yang mengatakan bahwa Allah berada di setiap tempat, tidak disifati dengan “di mana”, sebab sesuatu yang ada di mana-mana tidak mungkin disifati “dimana”. Seandainya Allah ada dimana-mana sebagaimana anggapan para penyimpang, tentu Nabi akan mengingkari jawabannya…”.[30]
  • Memang sederhana soalnya, tapi sungguh aneh bin ajaib jawabannya. Bagaimana tidak? Seandainya Anda mau berkeliling Indonesia mengajukan satu pertanyaan sederhana ini, niscaya Anda akan mendengarkan berbagai macam jawaban yang beraneka ragam; Alloh ada di mana-mana… Alloh tidak di atas tidak di bawah… Alloh tidak di kanan tidak di kiri… Alloh ada di hatiku… dan sederet jawaban lainnya. Ironisnya, mayoritas dari para penjawab yang konyol itu adalah orang-orang yang notabene intelektual, ulama, kyai, atau kaum terpelajar. Bagaimanakah sebenarnya masalah ini? Mari kita ikuti ulasan berikut ini.

.

C. Dalil-Dalil Bahwa Allah di Atas Arsy

Sungguh tidak syak (ragu) lagi terutama bagi orang yang mau membaca ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi n/ serta kitab-kitab ulama kita bahwa Alloh berada di atas ‘arsy (singgasana)-Nya di atas langit. Berikut ini dalil-dalilnya.

c.1. Dalil dari al-Qur’an

Banyak sekali dalil-dalil al-Qur’an yang menunjukkan ketinggian Alloh dengan beberapa versi:

a. Kadang dengan lafazh ‘ali (tinggi) dan istiwa’ (bersemayam) di atas ‘arsy. Seperti firman Alloh:

وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيْمُ

Dan Alloh Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS. al-Baqarah: 255)

الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى

Ar-Rahman (Yang Maha Pemurah) bersemayam di atas ‘arsy. (QS. Thaha: 5)

b. Kadang juga dengan naiknya sesuatu kepada-Nya. Seperti firman Alloh:

إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ

Kepada-Nyalah naik perkataan yang baik, dan amal shalih dinaikkan-Nya. (QS. Fathir: 10)

تَعْرُجُ الْمَلاَئِكَةُ وَالرُّوْحُ إِلَيْهِ

Malaikat-malaikat dan Jibril naik kepada-Nya. (QS. al-Ma’arij: 4)

c. Kadang lagi dengan turunnya sesuatu dari-Nya. Seperti firman Alloh:

قُلْ نَزَّلَهُ رُوحُ الْقُدُسِ مِن رَّبِّكَ بِالْحَقِّ

Katakanlah Ruh Qudus (Jibril) menurunkan al-Qur’an dari Rabbmu dengan benar. (QS. an-Nahl: 102)

.

c.2. Dalil dari as-Sunnah

Ketinggian Alloh di atas langit juga ditegaskan dalam banyak sekali hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan beberapa versi, baik berupa perkataan, perbuatan, dan taqrir (persetujuan). Seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِنَّ اللهَ لَمَّا قَضَى الْخَلْقَ كَتَبَ عِنْدَهُ فَوْقَ عَرْشِهِ إِنَّ رَحْمَتِيْ سَبَقَتْ غَضَبِيْ

Sesungguhnya Alloh tatkala menetapkan penciptaan, Dia menulis di sisi-Nya di atas ‘arsy: “Rahmat-Ku mengalahkan kemarahan-Ku.” [31]

Dan juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

أَلاَ تَأْمَنُوْنِيْ وَأَنَا أَمِيْنُ مَنْ فيِ السَّمَاءِ

Tidakkah kalian mempercayaiku padahal aku dipercaya oleh Dzat yang di atas langit. [32]

Dan telah tetap pula bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat tangannya ke atas langit pada saat khutbah di Arafah ketika mereka mengatakan, “Kami bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan dan menunaikan serta menasehati.” Di saat itu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya Alloh saksikanlah.”[33]

.

c.3. Ijma’ (Kesepakatan) Para Ulama

Para sahabat, para tabi’in, serta para imam-imam kaum muslimin telah bersepakat akan ketinggian Alloh di atas langit-Nya, bersemayam di atas ‘arsy-Nya. Perkataan mereka sangatlah banyak dan masyhur, Di antaranya:

1. Imam al-Auza’i berkata, “Kami dan seluruh tabi’in bersepakat mengatakan, Alloh berada di atas ‘arsy-Nya. Dan kami semua mengimani sifat-sifat yang dijelaskan dalam as-Sunnah.”[34]

2. Imam Abdullah Ibnu Mubarak berkata, “Kami mengetahui Rabb kami, Dia bersemayam di atas ‘arsy berpisah dari makhluk-Nya. Dan kami tidak mengatakan sebagaimana kaum Jahmiyah yang mengatakan bahwa Alloh ada di sini (beliau menunjuk ke bumi).” [35]

3. I’tiqad salafiyah ini merupakan syi’ar salafiyun, ahlus sunnah wal jama’ah sejak dahulu hingga sekarang, bahkan di antaranya adalah Imam Syafi’i, Abul Hasan al-Asy’ari, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, dan lain-lain. Tidak ada seorang pun dari ulama terdahulu yang mengatakan bahwa Alloh ada di mana-mana, tidak di atas tidak di bawah, dan tidak seorang pun menganggap tabu pertanyaan “Di mana Alloh”!!

1. Imam Syafi’i berkata:

الْقَوْلُ فِيْ السُّنَّةِ الَّتِيْ أَنَا عَلَيْهَا وَرَأَيْتُ عَلَيْهَا الَّذِيْنَ رَأَيْتُهُمْ مِثْلُ سُفْيَانَ وَمَالِكٍ وَغَيْرِهِمَا الإِقْرَارُ بِشَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَأَنَّ اللهَ عَلَى عَرْشِهِ فِيْ سَمَائِهِ …

Aqidah yang saya yakini dan diyaikini oleh orang-orang yang pernah aku temui seperti Sufyan, Malik dan selainnya adalah menetapkan syahadat bahwa tidaka ada sesembahan yang berhak kecuali Allah dan Muhammad adalah Rasulullah dan bahwasanya Allah di atas arsy-Nya yakni di atas langitnya. (Adab Syafi’I wa Manaqibuhu Ibnu Abi Hatim hal. 93)

2. Imam Abul Hasan Al-Asy’ari berkata dalam Al-Ibanah fi Ushul Diyanah hal. 17 menceritakan aqidahnya:

وَأَنَّ اللهَ عَلَى عَرْشِهِ كَمَا قَالَ ( الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى )

Dan bahwasanya Allah di atas arsy-Nya sebagaimana firman-Nya: “Ar-Rahman tinggi di atas arsy”.

Pada hal. 69-76, beliau memaparkan dalil-dalil yang banyak sekali tentang keberadaan Allah di atas arsy. Di antara perkataan beliau:

وَرَأَيْنَا الْمُسْلِمِيْنَ جَمِيْعًا يَرْفَعُوْنَ أَيْدِيَهُمْ -إِذَا دَعَوْا- نَحْوَ السَّمَاءِ لِأَنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ مُسْتَوٍ عَلَى الْعَرْشِ الَّذِيْ هُوَ فَوْقَ السَّمَاوَاتِ, فَلَوْلاَ أَنَّ اللهَ عَلَى الْعَرْشِ لَمْ يَرْفَعُوْا أَيْدِيَهُمْ نَحْوَ الْعَرْشِ

Dan kita melihat seluruh kaum muslimin apabila mereka berdo’a, mereka mengangkat tangannya ke arah langit, karena memang Allah tinggi di atas arsy dan arsy di atas langit. Seandainya Allah tidak berada di atas arsy, tentu mereka tidak akan mengangkat tangannya ke arah arsy.

وَزَعَمَتِ الْمُعْتَزِلَةُ وَالْحَرُوْرِيَّةُ وَالْجَهْمِيَّةُ أَنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ فِيْ كُلِّ مَكَانٍ, فَلَزِمَهُمْ أَنَّهُ فِيْ بَطْنِ مَرْيَمَ وَفِيْ الْحُشُوْشِ وَالأَخْلِيَةِ, وَهَذَا خِلاَفُ الدِّيْنِ, تَعَالَى اللهُ عَنْ قَوْلِهِمْ

Dan kaum Mu’tazilah, Haruriyyah dan Jahmiyyah beranggapan bahwa Allah berada di setiap tempat. Hal ini melazimkan mereka bahwa Allah berada di perut Maryam, tempat sampah dan WC. Faham ini menyelisihi agama. Maha suci Allah dari ucapan mereka.

Oleh karenanya, saya tidak mengerti, sebenarnya saudara-saudara kita yang berfaham Allah dimana-dimana, siapa sebenarnya yang mereka ikuti?! Nabi, para ulama salaf, ataukah…?!! Fikirkanlah!

.

c.4. Dalil Akal

Setiap akal manusia yang masih sehat, tentu akan mengakui ketinggian Alloh di atas makhluk-Nya. Hal tersebut dapat ditinjau dari dua segi:

Pertama: Ketinggian Alloh merupakan sifat yang mulia bagi Alloh.

Kedua: Kebalikan tinggi adalah rendah, sedang rendah merupakan sifat yang kurang bagi Alloh, Maha Suci Alloh dari sifat-sifat yang rendah.

.

c.5. Dalil Fithrah

  • Sesungguhnya Alloh telah memfithrahkan kepada seluruh makhluk-Nya, baik Arab maupun non-Arab dengan ketinggian Alloh. Marilah kita berpikir bersama di saat kita memanjatkan do’a kepada Alloh, ke manakah hati kita berjalan? Ke bawah atau ke atas? Manusia yang belum rusak fithrahnya tentu akan menjawab ke atas.
  • Pernah dikisahkan bahwa suatu hari Imam Abdul Malik al-Juwaini mengatakan dalam majelisnya, “Alloh tidak di mana-mana, sekarang ia berada di mana pun Dia berada.” Lantas bangkitlah seorang yang bernama Abu Ja’far al-Hamdani seraya berkata, “Wahai ustadz! Kabarkanlah kepada kami tentang ketinggian Alloh yang sudah mengakar di hati kami, bagaimana kami menghilangkannya?” Abdul Malik al-Juwaini berteriak dan menampar kepalanya seraya mengatakan, “Al-Hamdani telah membuat diriku bingung, al-Hamdani telah membuat diriku bingung.”[36] Akhirnya Imam Juwaini pun mendapat hidayah Alloh dan kembali ke jalan yang benar. Semoga saudara-saudara kita yang tersesat bisa mengikuti jejak beliau.
  • Sebenarnya masih sangat banyak lagi dalil-dalil dalam masalah ini, semua ini telah dijelaskan oleh para ulama kita dalam kitab-kitab mereka. Bahkan di antara mereka ada yang membahas masalah ini dalam kitab tersendiri seperi Imam Dzahabi dalam bukunya al-‘Uluw lil Aliyyil Azhim.
  • Semoga Alloh merahmati Imam Ibnu Abil Izzi al-Hanafi yang telah mengatakan –setelah menyebutkan 18 segi dalil–, “Dan jenis-jenis dalil-dalil ini, seandainya dibukukan tersendiri, maka akan tertulis kurang lebih seribu dalil[37]. Oleh karena itu, kepada para penentang masalah ini, hendaknya menjawab dalil-dalil ini. Tapi sungguh sangatlah mustahil mereka mampu menjawabnya.” [38]

.

D. SYUBHAT DAN BANTAHANNYA

Adapun syubhat yang dilontarkan oleh Dr. Quraish Syihab:Karena ia menimbulkan kesan keberadaan tuhan pada satu tempat, hal yang mustahil bagi-Nya dan mustahil pula diucapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam”.

Jawaban:

Apabila yang maksud “tempat” adalah yang tersirat dalam benak fikiran kita yaitu setiap yang meliputi dan membatasi seperti langit, bumi, kursi, arsy dan sebagainya maka benar hal itu mustahil bagi Allah karena Allah tidak mungkin dibatasi dan diliputi oleh makhluk, bahkan Dia lebih besar dan agung, bahkan kursi-Nya saja meliputi langit dan bumi. Allah f berfirman:

وَمَاقَدَرُوا اللهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَاْلأَرْضُ جَمِيعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّمَاوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ

Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Tuhan dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan. (QS. Az-Zumar: 67).

Dan telah shahih dalam Bukhari (6519) dan Muslim (7050) dari Nabi bahwa beliau bersabda:

يَقْبِضُ اللهُ بِالأَرْضِ وَيَطْوِيْ السَّمَاوَاتِ بِيَمِيْنِهِ ثُمَّ يَقُوْلُ : أَنَا الْمَلِكُ أَيْنَ مُلُوْكُ الأَرْضِ؟

Allah menggenggam bumi dan melipat langit dengan tangan kanan-Nya kemudian berfirman: “Saya adalah Raja, manakah raja-raja bumi?”

Adapun apabila maksud “tempat” adalah sesuatu yang tidak meliputi yakni diluar alam semesta, maka Allah di luar alam semesta sebagaimana keberadaan-Nya sebelum menciptakan makhluk.

Jadi, Allah di tempat yang bermakna kedua ini bukan makna pertama[39].

Kemudian, khabarkanlah padaku: Apabila tuan mengingkari ketinggian Allah, lantas saya bertanya kepada tuan tentang keyakinan tuan: “Dimanakah Allah?”. Saya sangat yakin bahwa jawaban tuan tidak keluar dari dua hal:

Pertama: Allah ada dimana-mana

Faham yang satu ini banyak dianut oleh mayoritas kaum muslimin sekarang ini. Padahal tahukah mereka pemahaman siapakah ini sebenarnya?! Faham ini dicetuskan oleh kaum Jahmiyyah dan Mu’tazilah. Imam Ahmad bin Hanbal telah menepis dan membongkar kerusakan faham ini dalam kitabnya “Ar-Rad ‘ala Al-Jahmiyyah” hal. 53, beliau mengatakan: “Apabila engkau ingin mengetahui kedustaan kaum Jahmiyyah tatkala mengatakan bahwa Allah dimana-mana dan tidak berada di satu tempat, maka katakanlah padanya: “Bukankah dahulu hanya Allah saja dan tidak ada sesuatu lainnya?” Dia akan menjawab: “Benar” Lalu katakanlah padanya lagi: “Tatkala Allah menciptakan sesuatu, apakah Dia menciptakannya pada diri-Nya ataukah diluar dari diri-Nya?” Jawaban dia tidak akan keluar dari tiga hal:

1. Apabila dia menyangka bahwa Allah menciptakan makhluk pada diri-Nya, maka ini merupakan kekufuran karena dia telah menganggap bahwa Jin, manusia, syetan dan iblis pada diri Allah!

2. Apabila dia mengatakan: Allah menciptakan mereka di luar diri-Nya kemudian Allah masuk pada mereka, maka ini juga kekufuran karena dia menganggap bahwa Allah berada di setiap tempat yang menjijikkan dan kotor!

3. Apabila dia mengatakan: Allah menciptakan mereka di luar dari diri-Nya kemudian Allah tidak masuk pada mereka, maka ini adalah pendapat Ahlus Sunnah wal Jama’ah”. [40]

Konsekuansi faham sesat “Allah dimana-mana” ini sangatlah batil sekali yaitu Allah berada di tempat-tempat yang kotor dan membatasi Allah pada makhluk sebagaimana diceritakan dari Bisyr Al-Mirrisyi tatkala dia mengatakan: “Allah berada di segala sesuatu”, lalu ditanyakan padanya: Apakah Allah berada di kopyahmu ini?! Jawabnya: Ya, ditanyakan lagi padanya: Apakah Allah ada dalam keledai?! Jawabnya: Ya!!!

Perkataan ini sangatlah hina dan keji sekali terhadap Allah!!! Oleh karena itulah sebagian ulama’ salaf mengatakan: “Kita masih mampu menceritakan perkataan Yahudi dan Nasrhani tetapi kita tak mampu menceritakan perkataan Jahmiyyah!

Kedua: Allah tidak di atas, tidak di bawah, tidak di kanan, tidak dikiri, tidak di depan, tidak di belakang, tidak di dalam, tidak di luar, tidak bersambung, tidak berpisah sebagaimana keyakinan ahli kalam (filsafat).

Ucapan di atas jelas-jelas menunjukkan bahwa Allah tidak ada. Inilah ta’thil (peniadaan) yang amat nyata. Maha suci Allah dari apa yang mereka ucapkan. Alangkah indahnya perkataan Mahmud bin Subaktukin terhadap orang yang mensifati Allah dengan seperti itu: “Bedakanlah antara Allah yang engkau tetapkan dengan sesuatu yang tidak ada![41]. Oleh karena itulah, sebagian ulama’ salaf juga mengatakan:

الْمُجَسِّمُ يَعْبُدُ صَنَمًا وَالْمُعَطِّلُ يَعْبُدُ عَدَمًا

Al-Mujassim itu menyembah patung dan Al-Mua’tthil menyembah sesuatu yang tidak ada

Walhasil, kedua jawaban diatas merupakan kebatilan yang tidak samar lagi bagi orang yang beri hidayah oleh Allah. Semoga Allah merahmati Al-Allamah Ibnu Qayyim tatkala mengatakan dalam qasidahnya “An-Nuniyyah” (2/446-447 -Taudhihul Maqasid cet. Mkt Islami):

Allah Maha besar, tidak ada satu makhlukpun di atas-Nya

Allah Maha besar, arsy-Nya meliputi langit dan bumi demikian pula kursi-Nya

Allah di atas arsy dan kursi, tak bisa dijangkau oleh fikiran manusia

Janganlah engkau membatasinya pada satu tempat dengan ucapan kalian: “Allah ada di setiap tempat”

Dengan modal kejahilan, kalian mensucikan Allah dari arsy-Nya padahal kalian membatasinya pada satu tempat

Janganlah kalian tiadakan Allah dengan ucapan kalian: “Allah tidak di dalam dan tidak pula di luar alam”

Allah Maha besar, Dia telah membongkar tirai kalian dan nampak bagi orang yang punya dua mata

Allah Maha besar, Dia suci dari penyerupaan dan peniadaan, kedua sumber kekufuran.

.

E. KONTRADIKSI ARGUMEN Dr. M. QURAISH SHIHAB

Setelah anda mengetahui bahwa Dr. M. Quraish Shihab mengingkari ketinggian Allah dalam bukunya “Membumikan Al-Qur’an”. Anehnya, kalau kita cermati bersama dan kalau saja DR. M. Quraish Shihab juga mau mencermati, maka akan kita jumpai dalil-dalil yang menolak fahamnya. Diantaranya:

1. Dalam “Membumikan Al-Qur’an” hal. 338-345, Dr. Quraish Syihab mengulas makna Isra’ Mi’raj. Dia menetapkan adanya peristiwa Isra dan Mi’raj serta membantah gugatan kaum empirisis dan rasiaonalis yang memustahilkannya seraya mengatakan: “Memang, pendekatan yang paling tepat untuk memahaminya adalah pendekatan imaniy. Inilah yang ditempuh oleh Abu Bakar ash-Shiddiq, seperti tergambar dalam ucapannya: Apabila Muhammad memberitakannya, pastilah benar”.

Alangkah indahnya ucapan ini!! Namun sayangnya, mengapa beliau tidak menerapkan hal yang sama dalam masalah ketinggian Allah ini?! Bukankah dalam peristiwa Isra Mi’raj terdapat pelajaran berharga tentang ketinggian Allah?!! Al-Hafizh Ibnu Abil Izzi al-Hanafi mengatakan: “Dalam hadits Mi’raj ini terdapat dalil tentag ketinggian Allah ditinjau dari beberapa segi bagi orang yang menceramatinya”.[42] Semoga saya dan anda termasuk orang-orang yang bisa mencermatinya.

2. Dalam “Membumikan Al-Qur’an” hal. 314 pada judul Lailatul Qadr, Dr. Quraish Shihab membawakan dalil:

تَنَزَّلُ الْمَلاَئِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ أَمْرٍ

Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. (QS. Al-Qadr: 4).

Ayat mulia ini juga kalau kita mencermatinya dengan baik merupakan salah satu dalil tentang ketinggian Allah, karena para Malaikat dan Jibril yang berada di dekat Allah turun pada malam Lailatul Qadr, sedang kita faham semua bahwa makna kata turun berarti dari sesuatu yang tinggi ke tempah yang lebih rendah. Semoga Allah menjadikan kita manusia yang berakal.

.

F. TUDUHAN DAN JAWABANNYA

Satu pembahasan lagi yang perlu diselesaikan yaitu tuduhan keji yang keluar dari mulut kotor ahli bid’ah terhadap ahli haq yang menyatakan bahwa Allah berada di atas langit disebut dengan kaum “Musyabbihah” atau “Mujassimah”. Dalam bukuAqidah Ahli Sunnah wal Jama’ah” oleh KH. Sirajuddin Abbas dan dicopi oleh KH. Ach. Masduqi dalam “Konsep Dasar Pengertian Ahlus Sunnah Wal Jama’ah” hal. 83 dikatakan demikian: “Golongan Musyabbihah ini juga dinamakan golongan Mujassimah. Golongan ini mempunyai I’tiqad yang bertentangan dengan golongan ASWAJA, antara lain:

  1. Tuhan itu berada di atas langit.
  2. Menurut golongan ASWAJA, Tuhan itu tidak berada di atas langit”.

Dan pada hal. 84, penulis ini mengatakan: “Pada mulanya Ibnu Taimiyyah adalah pengikut madzhab Hanbali dan banyak pengetahuannya dalam bidang fiqih dan ushuluddin. Akan tetapi sayang sekali beliau terpengaruh oleh faham golongan Musyabbihah/Mujassimah yang menyerupakan Tuhan dengan makhluk…”.

Jawaban:

Tuduhan seperti sudah tidak aneh lagi bagi kami karena memang demikianlah kebiasaan ahli bid’ah semenjak dahulu hingga sekarang. Semoga Allah merahmati imam Abu Hatim Ar-Razi yang telah mengatakan:

وَعَلاَمَةُ أَهْلِ الْبِدَعِ : الْوَقِيْعَةُ فِيْ أَهْلِ الأَثَرِ وَعَلاَمَةُ الْجَهْمِيَّةِ أَنْ يَسُمُّوْا أَهْلَ السُّنَّةِ مُشَبِّهَةً

Tanda ahli bid’ah adalah mencela ahli atsar. Dan tanda Jahmiyyah adalah menggelari ahli sunnah dengan Musyabbihah. [43]

Ishaq bin Rahawaih mengatakan:

عَلاَمَةُ جَهْمٍ وَأَصْحَابِهِ دَعْوَاهُمْ عَلَى أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ مَا أُوْلِعُوْا مِنَ الْكَذِبِ أَنَّهُمْ مُشَبِّهَةٌ بَلْ هُمُ الْمُعَطِّلَةُ

Tanda Jahm dan pengikutnya adalah menuduh ahli sunnah dengan penuh kebohongan dengan gelar Musyabbihah padahal merekalah sebenarnya Mu’atthilah (meniadakan/mengingkari sifat bagi Allah). [44]

Adapun tuduhan terhadap Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah bahwa beliau termasuk golongan Mujassimah atau Musyabbihah, dengarkanlah perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah sendiri:

“Kelompok Mu’tazilah dan Jahmiyyah dan sejenisnya dari kalangan pengingkar sifat, mereka menuduh orang-orang yang menetapkannya dengan gelar Mujassimah/Musyabbihah, bahkan diantara mereka ada yang menuduh para imam populer seperti Malik, Syafi’I, Ahmad dan para sahabatnya dengan gelar Mujassimah dan Musyabbihah sebagaimana diceritakan oleh Abu Hatim, penulis kitab “Az-Zinah” dan sebagainya”.[45]

  • Padahal, kalau mau dicermati, ternyata tuduhan “Mujassimah” itu sebenarnya mereka sendiri yang pantas menerimanya (senjata makan tuan). Mengapa demikian? Karena orang yang berfaham bahwa Allah berada di setiap tempat, dia telah membatasi Allah pada tempat yang terbatas. Maha suci Allah dari apa yang mereka ucapkan.
  • Adapun pendapat yang menyatakan bahwa Allah di atas langit, tidaklah melazimkan tajsim (membentuk). Mengapa demikian? Karena perkataan kita: “Allah tinggi di atas arsy dan berpisah dari makhluknya” tidaklah berkonotasi membatasi Allah pada satu tempat, sebab tempat itu sesuatu yang terbatas di langit dan bumi serta antara keduanya, sedangkan di atas arsy tidak ada tempat.[46]

  • [1] Ijtima’ Al-Juyusy Al-Islamiyyah hal. 96

    [2] Penerbit Mizan, Bandung ini banyak menerbitkan buku-buku berbahaya, sesat dan menyesatkan kaum muslimin. Waspadalah!!

    [3] Al-Hafizh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata dalam Ahkam Ahli Dzimmah 1/205: “Mengucapkan selamat kepada orang kafir hukumnya haram menurut kesepakatan ulama seperti ucapan selamat hari raya dan sebagainya. Kalau bukan kekufuran, maka minimal adalah haram, sebab hal tersebut sama halnya dengan memberi selamat atas sujud mereka terhadap salib”. (Lihat pula Syarh Mumti’ Ibnu Utsaimin 8/75)

    [4] Ringkasan shalawat seperti ini tidak dibenarkan, hendaknya ditulis secara sempurna.

    [5] Ar-Risalah (hal. 76),

    [6] At-Tamhid (9/67-68) Lihat pula Syarh Az-Zurqani (4/84) dan Tanwir Hawalik (3/5) oleh as-Suyuthi.

    [7] Lihat As-Sunnah Ibnu Abi Ashim (hal. 226-227 -Dhilalul Jannah Al-Albani-) atau (1/344 -Tahqiq Dr. Basim Al-Jawabirah-) dan Silsilah Ahadits As-Shahihah no. 3161 oleh Syaikh Al-Albani.

    [8] Silsilah Ahadits As-Shahihah (1/11)

    [9] Al-Asma’ wa Sifat (hal. 532-533 cet. Dar Kutub ‘ilmiyyah)

    [10] Syarh Sunnah (3/239) dan (9/247

    [11] Al-Hujjah fi Bayanil Mahajjah (2/118)

    [12] Itsbat Sifatil Uluw hal. 47

    [13] Al-Uluw lil ‘Aliyyin Adzim 1/249, tahqiq Abdullah bin Shalih al-Barrok

    [14] Fathul Bari (13/359)

    [15] Al-Qowashim wal ‘Awashim 1/379-380

    [16] Mukhtashar Al-Uluw hal. 82

    [17] Setelah itu, penulis mendapatkan dua kitab khusus tentang pembelaan hadits ini, yaitu buku Aina Allah? Difa’ ‘an Hadits Jariyah Riwayah wa Dirayah oleh Syaikh Salim al-Hilali dan risalah Takhilul Ain bi Jawaz Sual ‘anillah bi Ain oleh DR. Shadiq bin Salim bin Shadiq. Bagi yang ingin memperluas lagi pembhasan hadits ini, kami persilahkan membaca dua risalah ini. Dan sebagai amanat juga, kita harus mengingatkan pembaca dari para ahli bid’ah yang berusaha untuk mementehkan hadits ini seperti al-Kautsari, al Ghumari, as-Saqqof dan lain sebagainya, bahkan as-Saqqof memiiki buku berjudul “Menyuntik Pe-mahaman Dangkal Tentang Peniadaan Lafazh Dimana Allah dalam Hadits Jariyah (budak wanita)” sebagaimana dalam Kutub Hadzdzara minha Ulama I/300, Syaikh Masyhur Hasan Salman.

    [18] Mutawatir. Sebagaimana ditegaskan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Iqtidha’ Shirath Mustaqim 1/34, as-Suyuthi dalam al-Azhar al-Mutanatsirah hal. 216, al-Kattani dalam Nadhmul Mutanatsir hal. 93, az-Zabidi dalam Samtul Aali hal. 68-71, al-Albani dalam Shalatul I’dain hal. 39-40. (Lihat Bashair Dzawi Syaraf hal. 87-98 oleh Salim al-Hilali).

    [19] At-Tamhid (7/129, 130, 134)

    [20] Al-Asma’ wa Sifat (377)

    [21] Shahih. HR. Abu Daud (4941), Tirmidzi (1/350), Ahmad (2/160), Al-Humaidi (591), Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf (8/526), Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (4/159). Dan dishahihkan Al-Hakim, Ad-Dzahabi, Al-‘Iraqi, Ibnu Hajar dan lain sebagainya. Lihat As-Shahihah 3/594-595/922 oleh Al-Albani).

    [22] Lihat Silsilah Ahadits As-Shahihah 6/474-475 oleh Al-Albani.

    [23] Al-‘Uluw lil ‘Aliyyil Adzim (hal. 81 -Mukhtasar Al-Albani-)

    [24] HR. Tirmidzi (2108), Ibnu Majah (182), Ibnu Hibban (39 -Al-Mawarid), Ibnu Abi Ashim (1/271/612), Ahmad (4/11,12) dan Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid (7/137). Lihat As-Shahihah 6/469).

    [25] Shahih. Riwayat At-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Kabir (12/263/13054) dan sanadnya shahih sebagaimana dikatakan Al-Albani dalam As-Shahihah 6/470 dan Muhktasar Al-Uluw hal. 127.

    [26] al-Iqtishod fil I’tiqod hal. 89

    [27] I’lamul Muwaqqi’in (3/521)

    [28] Ta’liq Fathul Bari (1/188)

    [29] dalam Irwaul Ghalil (1/113)

    [30] Ar-Radd ala Jahmiyyah hal. 46-47

    [31] HR. Bukhari 7422 dan Muslim 2751

    [32] HR.Bukhari 4351 dan Muslim 1064

    [33] HR. Muslim 1218

    [34] Shahih. Diriwayatkan Baihaqi dalam Asma’ wa Sifat 408, adz-Dzahabi dalam al-‘Uluw hal. 102 dan dishahihkan Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, dan al-Albani.

    [35] Shahih. Dikeluarkan ash-Shabuni dalam Aqidah Salaf 28 dan ad-Darimi dalam ar-Radd ala Jahmiyyah hal. 47.

    [36] Lihat kisah lengkapnya dalam Siyar A’lam Nubala 18/475, al-‘Uluw hal. 276-277 oleh adz-Dzahabi

    [37] Sebagian pembesar sahabat Syafi’I berkata: “Dalam Al-Qur’an terlebih seribu dalil atau lebih yang menunjukkan bahwa Allah tinggi di atas para hambaNya”. (Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah 5/121)

    [38] Syarh Aqidah Thahawiyah hal. 386.

    [39] Muqaddimah Mukhtasar Al-‘Uluw hal. 70-71 oleh Al-Albani.

    [40] Lihat pula Ijtima’ Al-Juyusy Al-Islamiyyah hal. 76-80 oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah.

    [41] Lihat At-Tadmuriyyah hal. 41 oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.

    [42] Syarh Aqidah ath-Thahawiyyah 1/277

    [43] Syarh Ushul I’tiqad Ahli Sunnah wal Jama’ah Al-Lalikai 1/204, Dzammul Kalam al-Harawi 4/390.

    [44] Syarh Ushul I’tiqad al-Lalikai (937), Syarh Aqidah At-Thahawiyyah 1/85 oleh Ibnu Abi Izzi Al-Hanafi.

    [45] Minhajus Sunnah (2/75)

    [46] Lihat “Al-Jama’at Al-Islamiyyah” hal. 230 oleh Salim Al-Hilali.

    Related posts:

    1. TURUNNYA ALLAH KE LANGIT DUNIA
    2. Kita Tidak Mungkin Bersatu dengan Allah !!!
    3. NIKAH TANPA WALI: Bolehkah?
    4. Wanita di Saudi Arabia
    5. PENYAKIT MENULAR: ANTARA ILMU HADITS DAN ILMU MEDIS

    Related posts brought to you by wp-related posts.

    Posted in Telaah Hadits. Tagged with , , , , .

    READ MORE - Tahukah Anda Di Mana Allah?