Jumat, 29 Januari 2010

Acara Tujuh Bulan Kehamilan, Islamikah?

Penulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah & Salmah

Sekilas Gambaran Satu dari Sekian Banyak Acara Tujuh Bulanan

Dari depan sebuah rumah besar, terlihat adanya keramaian. Tampak perangkat-perangkat adat daerah kawasan Indonesia tengah, tepatnya Sulawesi Selatan dipajang di sekitar rumah, menandai sedang ada hajatan. Memang di rumah itu sedang berlangsung upacara adat tujuh bulan kehamilan ala Bugis Bone yang dilakukan oleh sepasang suami istri dalam menyambut kedatangan anak pertamanya. Upacara semacam ini pun dikenal di daerah lain di Indonesia misalnya di daerah Jawa.

Upacara tujuh bulan kehamilan, dalam bahasa Bugis Bone disebut Mappassili, artinya memandikan. Makna upacara ini adalah untuk tolak bala atau menghindari dari malapetaka/bencana, menjauhkan dari roh-roh jahat sehingga segala kesialan hilang dan lenyap. Acara itu diawali dengan iring-iringan pasangan muda tersebut, dalam pakaian adat Bugis menuju sebuah rumah-rumahan yang terbuat dari bambu dengan hiasan bunga dan pelaminan yang meriah oleh warna-warna yang mencolok. Sebelumnya, calon ibu yang hamil tujuh bulan dari pasangan muda ini harus melewati sebuah anyaman bambu yang disebut Sapana yang terdiri dari tujuh anak tangga, memberi makna agar rezeki anak yang dilahirkan bisa naik terus seperti langkah kaki menaiki tangga. Upacara Mappassili diawali dengan membacakan doa-doa yang diakhiri oleh surat Al-Fatihah oleh seorang ustadzah. Bunyi tabuh-tabuhan dari kuningan yang dipegang oleh seorang bocah laki-laki mengiringi terus upacara ini.

Selanjutnya upacara ini dipimpin oleh seorang dukun. Ia mengambil tempat pembakaran dupa dan diputar-putarkan di atas kepala sang ibu. Asap dupa yang keluar, diusap-usapkan di rambut calon ibu tersebut. Perbuatan ini memberi makna untuk mengusir roh-roh jahat yang bisa mengganggu kelahiran bayi. Menurut kepercayaan mereka, roh jahat itu terbang bersama asap dupa.

Kalau dalam adat Jawa, upaca nujuh bulan dilakukan dengan menyiram tubuh calon ibu, namun di Mappassili hanya memercikkan air dengan beberapa helai daun ke bagian tubuh tertentu, mulai dari atas kepala, bahu, lalu turun ke perut. Bahu menyimbolkan agar anak punya tanggung jawab yang besar dalam kehidupannya. Demikian pula tata cara percikan air dari atas kepala turun ke perut, tak lain agar anaknya nanti bisa meluncur seperti air, mudah dilahirkan dan kehidupannya lancar bagai air.

Usai dimandikan, dilanjutkan dengan upacara makarawa babua yang berarti memegang atau mengelus perut. Pernik-pernik pelengkap upacara ini lebih meriah lagi ditambah lagi dengan beraneka macam panganan yang masing-masing memiliki symbol tertentu.

Calon ibu yang telah berganti pakaian adat Bone berwarna merah ditidurkan di tempat pelaminan. Sang dukun akan mengelus perut calon ibu tersebut dan membacakan doa. Selanjutnya daun sirih yang ditaburi beras diletakkan di kaki, perut, kening kepala calon ibu dimaksudkan agar pikiran ibu tetap tenang, tidak stress. Diletakkan di bagian kaki sebagai harapan agar anak melangkahkan kakinya yang benar. Sementara beras sebagai perlambang agar anak tak kekurangan pangan. Seekor ayam jago sengaja diletakkan di bawah kaki calon ibu. Bila ternyata ayam tersebut malas mematuk beras, menurut mereka ini pertanda anak yang akan lahir perempuan.

Tahap akhir upacara tujuh bulan Bugis Bone ini adalah suap-suapan yang dilakukan oleh dukun, pasangan tersebut (sebagai calon bapak dan ibu) dan orang tua keduanya.

Acara ditutup dengan rebutan hiasan anyaman berbentuk ikan dan berisi telur bagi ibu-ibu yang memiliki anak gadis atau yang sudah menikah. Ini sebagai perlambang agar anak-anaknya segera mendapat jodoh yang baik, dan nantinya melahirkan dengan mudah.

Tinjauan Syari’at

Setiap orang tua pasti mengharapkan anak yang bakal lahir kelak menjadi anak yang baik dan dapat memenuhi harapan mereka terhadapnya. Apalagi sebagai seorang muslim dan muslimah, harapan ditanamkan setinggi-tinggi agar anak yang bakal lahir akan menjadi hamba Allah yang shalih dan berbakti kepada kedua orang tuanya. Upacara adat tujuh bulanan yang dilakukan oleh sepasang suami istri yang beragama Islam di atas, juga dimaksudkan untuk kebaikan bagi anak yang dikandung. Dan tidaklah mereka melakukan upacara tersebut melainkan untuk tujuan kebaikan dan keselamatan, harapan mereka agar anak yang akan lahir menjadi anak yang shalih, menjadi hamba Allah yang jujur, bermanfaat bagi agama dan bangsa. Suatu tujuan yang mulia sebenarnya, yang andai ditimbang dengan perasaan ya… rasanya baik juga upacara itu diadakan. Benarkah demikian?

Bila kita berbicara tentang syari’at, maka perasaan harus disingkirkan karena agama itu dibangun bukan berdasarkan perasaan manusia. Agama itu adalah apa kata Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Acara tujuh bulanan di atas (maupun acara tujuh bulanan yang lain menurut adat masing-masing) tidak ada dan tidak pernah dikenal dalam syari’at Islam yang diturunkan kepada Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Seandainya itu baik, tentu yang paling pertama mengerjakannya adalah para shahabat Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam, yang mereka itu adalah orang-orang yang paling bersegera dalam kebaikan dan telah dipersaksikan kebaikan mereka oleh Allah dan Rasul-Nya. Lalu kalau ada yang mengatakan: “Itu memang bukan dari Islam. Itu kan hanya adat dan yang demikian sudah umum di tengah masyarakat kita.” Maka dijawab bahwa kalau itu hanya adat maka tidak boleh bertentangan dengan syari’at Islam, bilamana bertentangan maka sekali-kali kita tidak boleh melakukannya, dan ukurannya bukan sudah umum atau belum umum bagi masyarakat.

Ibnu Taimiyah rahimahullâh ketika membahas tentang perbedaan ibadah dan adat, beliau berkata: “Pada asalnya ibadah itu tidak disyari’atkan untuk mengerjakannya kecuali apa yang telah disyari’atkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sedangkan adat itu pada asalnya tidak dilarang untuk mengerjakannya kecuali apa yang dilarang Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana perkataan Imam Ahmad bin Hambal dan para imam yang lainnya: Asal kesesatan pada penduduk bumi sesungguhnya tumbuh dari dua perkara berikut:

1. Mengambil agama dari apa yang tidak disyari’atkan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
2. Mengharamkan apa yang tidak diharamkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Lihat Iqtidha’ Shirathal Mustaqim oleh Ibnu Taimiyah, juz 2, hal. 584 bersama tahqiq)

Sekarang kita lihat ringkasan acara tujuh bulanan di atas, ternyata penuh dengan khurafat dan kesyirikan di samping menghambur-hamburkan harta, pemborosan dan perbuatan haram lainnya. Kita tidak membatasi dengan upacara ala Bugis Bone saja, namun seluruh upacara yang bertentangan dengan syari’at Islam mengandung hal-hal demikian.

Syari’at Islam memang menghasung para orang tua agar berupaya memiliki anak yang shalih dan berharap agar anak dapat lahir dengan selamat, namun tidak berarti segala cara harus ditempuh.

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menurunkan Islam kepada kita, yang berisi aturan-aturan hidup yang sangat lengkap dan sempurna. Dalam permasalahan penjagaan keselamatan anak (janin yang dikandung) dari gangguan setan (yang mereka istilahkan ruh-ruh jahat dalam upacara adat yang biasa dilakukan), jauh sebelum kehamilan sang anak, Islam telah menetapkan aturan lewat lisan Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Beliau menuntunkan kepada seorang suami yang ingin berjima’ dengan istrinya agar berdoa:

بِسْمِ اللهِ اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا، فَقُضِيَ بَيْنَهُمَا وَلَدٌ لَمْ يَضُرَّهُ. (حديث صحيح رواه البخاري ص ١٤١ ومسلم ص ١٤٣٤ وأبو داود ص ٢١٦١ والترمذي ص ١٠٩٢ وابن ماجه ص ١٩١٩ والدارمي ص ٢٢١٢ وأحمد ١/٢١٧، ٢٢٠، ٢٤٣، ٢٨٦)

Dengan nama Allah, Ya Allah jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan dari apa yang Engkau anugerahkan pada kami. Apabila ditakdirkan bagi mereka berdua seorang anak (dari jima’ tersebut) maka setan tidak akan memberi mudharat pada anak tersebut. (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ad-Darimi dan Ahmad)

Dalam sebagian riwayat disebutkan dengan lafadh:

فَإِنَّهُ إِنْ يُقَدَّرْ بَيْنَهُمَا وَلَدٌ فِي ذَلِكَ لَمْ يَضُرَّهُ الشَّيْطَانُ.

Apabila ditakdirkan bagi keduanya (mendapat) seorang anak dalam jima’ tersebut maka setan tidak akan memudharatkannya selama-lamanya.

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullâh menukilkan dalam Fathul Bari 9/229 perkataan dari Ad-Dawudi bahwasanya yang dimaksud dengan “tidak akan memudharatkannya” yakni setan tidak akan menyelewengkannya (menyimpangkannya) dari agamanya kepada kekufuran (murtad -pent) dan tidaklah yang dimaksud bahwasanya ia (anak tersebut) terpelihara dari godaan setan untuk berbuat maksiat (yakni tidak berarti anak tersebut suci dari perbuatan maksiat yang tidak sampai memurtadkannya dari Islam -pent). Masih banyak pendapat-pendapat yang lain tentang makna “setan tidak akan memudharatkannya”, bisa dilihat dalam kitab Fathul Bari juz 9, hal. 229 dan dalam Syarhu Muslim jilid 4, juz 10, hal. 5.

Dalam hadits di atas terkandung pengarahan bagi orang tua agar tidak meninggalkan doa. Doa akan dapat melindungi anak dan membentenginya dari gangguan setan tatkala (calon anak tersebut) diletakkan dalam rahim. Hal ini karena setan terus-menerus mendekati (atau bersama) dengan anak Adam dan tidak akan menjauh darinya kecuali bila anak Adam itu berdzikir kepada Allah dan memohon perlindungan kepada-Nya dari gangguan/godaan setan. Inilah perhatian Islam yang besar terhadap penjagaan janin yang dikandung seorang ibu, sejak dimulainya pembentukan janin tersebut dalam rahim ibunya sampai terlahir ke alam ini. (Lihat Ahkamuth Thifl bab Maa Yuqaalu ‘inda al-jima’ lihifz ath-thifl oleh Ahmad Al-‘Aysawi).

Termasuk pula penjagaan Islam terhadap janin adalah apa yang disabdakan oleh Rasululllah shallallâhu ‘alaihi wa sallam berikut ini:

اُقْتُلُوْا ذَا الطُّفْيَتَيْنِ فَإِنَّهُ يَطْمِسُ الْبَصَرَ وَيُصِيْبُ الْحَبَلَ. (حديث صحيح رواه البخاري ص ٣٣٠٨ عن عائشة رضي الله عنها)

Bunuhlah dza ath-thufyatain (nama dari sejenis ular berbisa -pen) karena dapat membutakan pandangan dan menggugurkan kandungan. (HR. Bukhari no. 3308 dari ‘Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ)

Hadits ini juga dikeluarkan oleh Bukhari no. 3297 dari Ibnu ‘Umar radhiyallâhu ‘anhumâ bahwasanya ia mendengar Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di atas mimbar dengan berkata:

اُقْتُلُوا الْحَيَّاتِ وَاقْتُلُوْا ذَا الطُّفْيَتَيْنِ وَالأَبْتَرَ فَإِنَّهُمَا يَطْمِسَانِ الْبَصَرَ وَيَسْتَسْقِطَانِ الْحَبَلَ. (أخرجه مسلم ص ٢٢٣٣)

Bunuhlah ular-ular dan bunuhlah dza ath-thufyatain dan abtar (nama dari dua jenis ular berbisa) karena keduanya membutakan pandangan dan menggugurkan kandungan. (HR. Muslim hadits no. 2233)

Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 6/401 membawakan perkataan Ibnu ‘Abdil Barr: “Bahwasanya dza ath-thufyatain adalah sejenis ular yang di punggungnya terdapat dua buah garis berwarna putih.” Adapun “Al-Abtar” kata Al-Hafizh adalah: “(Ular) yang terpotong ekornya (seolah-olah ekornya terpotong karena pendeknya).” An-Nadhr bin Syumail menambahkan bahwasanya ular itu berwarna biru dan tatapan matanya dapat menggugurkan kandungan wanita yang hamil. Berkata Ad-Dawudi: “Ular jenis ini ukurannya sejengkal atau lebih besar sedikit.” (Lihat Fathul Bari juz 9)

Islam menuntunkan bagi wanita yang sedang hamil untuk terus memberi makan pada janinnya agar dapat tumbuh berkembang dengan baik. Karena itulah syari’at Islam memberikan keringanan (rukhshah) untuk berbuka puasa bagi wanita hamil, baik puasa wajib terlebih lagi puasa sunnah. Dalam hadits Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam disebutkan bahwasanya seorang laki-laki datang menemui beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam di Madinah tatkala beliau sedang makan siang, maka beliau bersabda kepadanya (artinya):

“Mari makan siang.” Laki-laki itu menjawab: “Aku sedang puasa.” Maka Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla meletakkan (menggugurkan kewajiban) puasa bagi musafir dan mengurangi setengan dari shalat (qashar -pen) dan (menggugurkan kewajiban puasa tersebut) dari wanita yang hamil dan menyusui.” (HR. Nasa’i, Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah. Hadits ini memiliki syahid dari hadits lain yang diriwayatkan oleh Nasa’i, lihat Sunan Nasa’i 4/180-182, dan juga Ibnu Majah no. 1668. Dihasankan oleh Syaikh Nashiruddin Al-Albani dalam Shahih Sunan Nasa’i, dan beliau berkata dalam Shahih Sunan Ibnu Majah no. 1353: “Hadits hasan shahih,” wallahu a’lam).

Islam juga menuntunkan agar setiap hamba senantiasa berupaya untuk terus mendekatkan dirinya kepada Dzat yang telah menciptakannya dan memberikan nikmat kepadanya. Karena itu yang paling utama untuk dilakukan oleh seorang ibu selama masa kehamilannya adalah memperbanyak taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan ibadah seperti shalat, doa, dzikir dan membaca Al-Qur’an. Ini penting sekali untuk menambah bekal keimanan seorang ibu, yang dengan iman tersebut insya’ Allah ia akan siap dalam menghadapi segala keadaan.

Satu hal yang tidak boleh dilupakan oleh orang tua, bahwasanya seorang anak bisa tetap menjadi manusia yang baik selama fithrahnya terus dijaga dan dididik dengan tarbiyah islamiyah yang shahihah. Karena itu bila orang tua mendambakan agar anaknya kelak menjadi “manusia yang baik” dalam arti yang sebenarnya, maka hendaklah mereka mulai dari diri mereka sendiri, menyiapkan diri, berbekal ilmu dan amal.

Penutup

Syari’at Islam sudah terlalu cukup untuk kita. Tak ada satu sisi kehidupan pun atau satu masalah pun melainkan sudah diatur dalam syari’at Islam. Bagaimana tidak, padahal yang menetapkan syari’at tersebut adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala, Rabbnya sekalian manusia yang Maha Tahu apa yang dapat mendatangkan maslahat bagi hamba-hamba-Nya dan Maha Tahu apa yang dapat menimbulkan mudharat bagi mereka. Karena itu tengoklah kepada syari’at Islam ini saja, jangan berpaling pada yang lain. Timbanglah segala sesuatu dengan syari’at ini. Bila ternyata bertentangan, tinggalkan tanpa keberatan sedikitpun.

Wallahu a’lam.

Maraji:

1. Ahkamuth Thifl, Asy-Syaikh Ahmad Al-‘Aysawi
2. Iqtidha’ Ash-Shirath Al-Mustaqim, Ibnu Taimiyah, bersama tahqiq.
3. Fathul Bari, Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani
4. Shahih Muslim Syarhun Nawawi, Imam Nawawi

(Dinukil dari Majalah Salafy Muslimah/Edisi XIX/Rabi’ul Awwal/1418/1997, Keluarga Sakinah, judul: Acara Tujuh Bulan Kehamilan, Islamikah?, hal. 14-18, untuk http://almuslimah.co.nr)
READ MORE - Acara Tujuh Bulan Kehamilan, Islamikah?

Adab mengucapkan do'a kepada kaum muslimin

Mengenai ucapan "Jazaakallåhu khåirån"

Ada satu hadits yang menjelaskan sunnahnya mengucapkan "jazakallahu khairan", dari Usamah bin Zaid radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda:

“Barangsiapa yang diberikan satu perbuatan kebaikan kepadanya lalu dia membalasnya dengan mengatakan : jazaakallahu khairån (semoga Allah membalasmu dengan kebaikan), maka sungguh hal itu telah mencukupi dalam menyatakan rasa syukurnya.”

(HR.At-Tirmidzi (2035), An-Nasaai dalam Al-kubra (6/53), Al-Maqdisi dalam Al-mukhtarah: 4/1321, Ibnu Hibban: 3413, Al-Bazzar dalam musnadnya:7/54. Hadits ini dishahihkan Al-Albani dalam shahih Tirmidzi)

Beberapa fawaid hadits:

- Salah satu cara kita mensyukuri kebaikan seseorang kepada kita adalah mendoakan kebaikan untuknya.

- Ucapan "Jazaakallåhu khåirån" telah mencukupi rasa syukur.

- Maka yang kita ucapkan adalah JAZAAKALLÅHU KHÅIRÅN, bukan hanya "jazaakallåh" saja karena jika hanya jazaakallåh (semoga Allåh membalasmu) saja, maka balasan seperti apa? maka alangkah baiknya, kita mengikuti sunnah dan mengucapkannya secara keseluruhan, yakni mengucapkan "jazaakallåhu khåirån". maka dengan ini pula, alangkah baiknya kita menjauhi dari penambahan-penambahan, seperti menambahnya "katsirån" dibelakangnya. kalaulah penambahan katsiran itu kebaikan, tentulah dalam hadits diatas telah dijelaskan tambahannya. wallåhu a'lam.

Tata cara mengucapkan do'a ini

- Jika kita mengucapkannya kepada pria secara langsung, maka kita ucapkan:

"jazaa-KA-llåhu khåirån" atau "baaråkallåhu fiy-KA"

- Jika kita mengucapkannya kepada wanita secara langsung, maka kita ucapkan:

"jazaa-KI-llaahu khåirån" atau "baaråkallåhu fiy-KI"

- Jika kita mengucapkanya kepada dua orang secara langsung (kedua-duanya pria, atau salah satu dari mereka pria), maka kita ucapkan:

"jazaa-KUMA-llåhu khåirån" atau "baaråkallåhu fiy-KUMAA"

- Jika kita mengucapkannya kepada tiga orang atau lebih (atau kepada seseorang yang terhormat), maka kita ucapkan:

"jazaa-KUMU-llåhu khåirån" atau "baaråkallåhu fiy-KUM

- Jika kita mengucapkannya untuk seorang pria secara tidak langsung, maka kita ucapkan:

"jazaa-HU-llåhu khåyrån" atau "baaråkallåhu fiy-HI"

- Jika kita mengucapkannya untuk seorang wanita secara tidak langsung, maka kita ucapkan:

"jazaa-HA-llåhu khåyrån" atau "baaråkallåhu fiy-HA"

- Jika kita mengucapkannya untuk dua orang pria atau dua orang wanita atau dua orang yang terdiri pria dan wanita, secara tidak langsung:

"jazaa-HUMA-llåhu khåyrån atau "baaråkallåhu fiy-HIMAA"

- Jika kita mengucapkannya untuk 3 orang atau lebih, secara tidak langsung:

"jazaa-HUMU-llåhu khåyrån" atau "baaråkallåhu fiy-HIM"

Mengenai "Baaråkallåhu fiyk"

Apabila ada seseorang yang telah mengucapkan do'a "Baarakallahu fiikum atau Baarakallahu fiika" kepada kita, maka kita menjawabnya: "Wafiika barakallah" (Semoga Allah juga melimpahkan berkah kepadamu)

(Lihat Ibnu Sunni hal. 138, no. 278, lihat Al-Waabilush Shayyib Ibnil Qayyim, hal. 304. Tahqiq Muhammad Uyun)

Banyak orang yang sering mengucapkan "waiyyak (dan kepadamu juga)" atau “waiyyakum (dan kepada kalian juga)” ketika telah dido'akan atau mendapat kebaikan dari seseorang.

Apakah ada sunnahnya mengucapkan seperti ini? Lalu bagaimanakah ucapan yang sebenarnya ketika seseorang telah mendapat kebaikan dari orang lain misalnya ucapan "jazakallah khair atau barakalahu fiikum"?

Berikut fatwa Ulama yang berkaitan dengan "Jazaakallåhu khåirån"

Asy Syaikh Ahmad bin Yahya An Najmi

Beliau ditanya:

Apa hukumnya mengucapkan, “Syukran (terimakasih)” bagi seseorang yang telah berbuat baik kepada kita?

Beliau menjawab:

Yang melakukan hal tersebut sudah meninggalkan perkara yang lebih utama, yaitu mengatakan, “Jazaakallahu khairan (semoga ALLAH membalas kebaikanmu.” Dan pada Allah-lah terdapat kemenangan.

Asy Syaikh Muhammad 'Umar Baazmool

Beliau ditanya:

Beberapa orang sering mengatakan "Amiin, waiyyaak" (yang artinya "Amiin, dan kepadamu juga") setelah seseorang mengucapkan "Jazakallahu khairan" (yang berarti "semoga ALLAH membalas kebaikanmu"). Apakah merupakan suatu keharusan untuk membalas dengan perkataan ini setiap saat?

Beliau menjawab:

Ada banyak riwayat dari sahabat dan dari Rasulullah shallahu 'alaihi wasallam, dan ada riwayat yang menjelaskan tindakan ulama. Dalam riwayat mereka yang mengatakan "Jazakalahu khairan," tidak ada yang menyebutkan bahwa mereka secara khusus membalas dengan perkataan "wa iyyaakum."

Karena ini, mereka yang berpegang pada perkataan "wa iyyaakum," setelah doa apapun, dan tidak berkata "Jazakallahu khairan," mereka telah jatuh ke dalam suatu yang baru yang telah ditambahkan (untuk agama).

Al-Allamah Asy-Syaikh Al-Muhaddits Abdul Muhsin Al-Abbad

Beliau ditanya:

Apakah ada dalil bahwa ketika membalasnya dengan mengucapkan “wa iyyakum” (dan kepadamu juga)?

Beliau menjawab:

“Tidak ada dalilnya, sepantasnya dia juga mengatakan “jazakallahu khair” (semoga Allah membalasmu kebaikan pula), yaitu dido'akan sebagaimana dia berdo’a, meskipun perkataan seperti “wa iyyakum” sebagai athaf (mengikuti) ucapan “jazaakum”, yaitu ucapan “wa iyyakum” bermakna “sebagaimana kami mendapat kebaikan, juga kalian” ,namun jika dia mengatakan “jazakalallahu khair” dan menyebut do’a tersebut secara nash, tidak diragukan lagi bahwa hal ini lebih utama dan lebih afdhal.”

---

Beliau ditanya:

sebagian ikhwan ada yang menambah pada ucapannya dengan mengatakan "jazakallah khaeran wa zawwajaka bikran" (semoga Allah membalasmu dengan kebaikan dan menikahkanmu dengan seorang perawan), dan yang semisalnya. Bukankah tambahan ini merupakan penambahan dari sabda Rasul shallallahu alaihi wasallam, dimana beliau mengatakan "sungguh dia telah mencukupi dalam menyatakan rasa syukurnya.?

Beliau menjawab:

Tidak perlu (penambahan) doa seperti ini, sebab boleh jadi (orang yang didoakan) tidak menginginkan do'a yang disebut ini. Boleh jadi orang yang dido'akan dengan do'a ini tidak menghendakinya. Seseorang mendoakan kebaikan, dan setiap kebaikan sudah mencakup dalam keumuman doa ini.

Namun jika seseorang menyebutkan do'a ini, bukan berarti bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam melarang untuk menambah dari do'a tersebut. Namun beliau hanya mengabarkan bahwa ucapan ini telah mencukupi dalam menyatakan rasa syukurnya.

Namun seandainya jia dia mendoakan dan berkata: “jazakallahu khaer wabarakallahu fiik wa ‘awwadhaka khaeran” (semoga Allah membalas kebaikanmu dan senantiasa memberkahimu dan menggantimu dengan kebaikan pula” maka hal ini tidak mengapa.

Sebab Rasul Shallallahu alaihi wasallam tidak melarang adanya tambahan do’a. Namun tambahan do’a yang mungkin saja tidak pada tempatnya, boleh jadi yang dido’akan dengan do’a tersebut tidak menghendaki apa yang disebut dalam do’a itu.

---

Beliau ditanya:

Ada sebagian orang berkata: ada sebagian pula yang menambah tatkala berdo’a dengan mengatakan : jazaakallahu alfa khaer” (semoga Allah membalasmu dengan seribu kebaikan” ?

Beliau menjawab:

“Demi Allah, kebaikan itu tidak ada batasnya, sedangkan kata seribu itu terbatas, sementara kebaikan tidak ada batasnya. Ini seperti ungkapan sebagian orang “beribu-ribu terima kasih”, seperti ungkapan mereka ini. Namun ungkapan yang disebutkan dalam hadits ini bersifat umum.”

(transkrip dari kaset: durus syarah sunan At-Tirmidzi,oleh Al-Allamah Abdul Muhsin Al-Abbad hafidzahullah, kitab Al-Birr wa Ash-Shilah, nomor hadits: 222)

Kesimpulan

Ucapan "Waiyyak" secara harfiah artinya "dan kepadamu juga". Ini adalah do'a `yang walaupun ulama kita tidak menemukan itu sebagai sunnah. Maka tidak boleh kita menganggap ini sebagai 'sunnah' dalam menjawab ucapan 'jazaakallåhu khåirån'.

Dalam kasus manapun, namun tidak ada ulama yang melarang berdo'a dengan selain ucapan "Jazakumullah khairan" dengan syarat tidak boleh menganggapnya merupakan bagian dari sunnah. Namun untuk lebih afdholnya kita ucapkan saja "jazakallah khairån" untuk menjawabnya, inilah sunnahnya.

Ada satu kaidah ushul fiqih yang dengan ini mudah-mudahan kita bisa terhindar dari bid'ah dan kesalahan-kesalahan dalam beramal atau beribadah.

Al-Imam Al-Bukhari (dalam kitab Al-Ilmu) beliau berkata, "Ilmu itu sebelum berkata dan beramal".

Perkataan ini merupakan kesimpulan yang beliau ambil dari firman Allah ta’ala:

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ

“Maka ilmui-lah (ketahuilah)! Bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu” (QS. Muhammad: 19).

Dari ayat yang mulia ini, Allah ta’ala memulai dengan ilmu sebelum seseorang mengucapkan syahadat, padahal syahadat adalah perkara pertama yang dilakukan seorang muslim ketika ia ingin menjadi seorang muslim, akan tetapi Allah mendahului syahadat tersebut dengan ilmu, hendaknya kita berilmu dahulu sebelum mengucapkan syahadat, kalau pada kalimat syahadat saja Allah berfirman seperti ini maka bagaimana dengan amalan lainnya? Tentunya lebih pantas lagi kita berilmu baru kemudian mengamalkannya. Kita tidak boleh asal ikut-ikutan orang lain tanpa dasar ilmu, seseorang sebelum berbuat sesuatu harus mengetahui dengan benar dalil-dalilnya.

Sumber: achfan.multiply.com/review
s/item/160 (dengan beberapa penambahan dan perubahan)
READ MORE - Adab mengucapkan do'a kepada kaum muslimin

Adab dalam menuliskan Pujian kepada Allåh (سبحانه وتعالى), Shålawat kepada Råsulullåh (ﷺ), dan Salam kepada kaum muslimin

Salah satu bentuk ibadah yang terlalaikan, namun dianggap sebagai hal biasa di kalangan kaum muslimin sekarang ini adalah menulis salam dan shalawat dengan disingkat. Padahal telah diketahui bahwa dalam kaidah penggunaan bahasa Arab, kesempurnaan tulisan dan pembacaan lafadz akan mempengaruhi arti dan makna dari sebuah kata dan kalimat.

Lalu, bagaimana jika salam dan shalawat disingkat dalam penulisannya? Apakah akan merubah arti dan makna kalimat tersebut?

Adab Menulis Salam

Kata salaam memuat makna keterbebasan dari setiap malapetaka dan perlindungan dari segala bentuk aib dan kekurangan. Salaam juga berarti aman dari segala kejahatan dan terlindung dari peperangan. Oleh karena itu, Islam memerintahkan supaya menampakkan salam dan menyebarluaskannya (Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali dalam kitab Bahjatun Naadzirin Syarah Riyadhush Shalihin, Bab Keutamaan Salam dan Perintah Untuk Menyebarluaskannya).

Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَاۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا

“Dan apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu.” (Qs. An-Nisaa’: 86)

Yang dimaksud dengan penghormatan pada ayat diatas adalah ucapan salam, yaitu:

- Assalaamu ‘alaykum
- Atau assalaamu ‘alaykum warahmatullaah
- Atau assalamu ‘alaykum warahmatullaah wabarakaatuh

Dalam ayat diatas juga terdapat perintah untuk membalas salam dengan yang lebih baik atau serupa dengan itu. Misalkan ada yang memberi salam dengan ucapan assalaamu ‘alaykum maka balaslah dengan yang serupa, yaitu wa’alaykumussalaam. Atau yang lebih baik dari itu, yaitu, wa’alaykumussalaam warahmatullaah, dan seterusnya.

Dari ayat yang mulia di atas dapat diketahui bahwa hukum menjawab atau membalas salam dengan lafadz yang serupa atau sama dengan apa yang diucapkan adalah fardhu atau wajib. Sedangkan membalas salam dengan lafadz yang lebih baik dari itu hukumnya adalah sunah. Dan berdosalah orang yang tidak menjawab atau membalas salam dengan lafadz yang serupa atau yang lebih baik dari itu. Karena dengan sendirinya dia telah menyalahi perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memerintahkan untuk membalas salam orang yang memberi salam kepada kita (al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat dalam kitab Al-Masaail, Masalah Kewajiban Membalas Salam).

Dari penjelasan di atas, lafadz “aslkm” bahkan “ass” dan singkatan yang sejenisnya bukan termasuk dalam kategori salam. Dan bagaimana lafadz-lafadz tersebut dapat disebut salam, sementara dalam lafadz tersebut tidak mengandung makna salam yaitu penghormatan dan do’a bagi penerima salam. Bahkan lafadz “ass”, dalam perbendaharaan kosa kata asing memiliki pengertian yang tidak sepantasnya, bahkan mengandung unsur penghinaan (wal ‘iyyadzu billah).

Adab Menulis Shalawat

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam kitab-Nya yang mulia

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

“Sesungguhnya Allah dan Malaikat-Malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai, orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (Qs. Al-Ahzaab: 56)

Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala memuliakan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik di masa hidup maupun sepeninggal beliau. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan kedudukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di sisi-Nya dan membersihkan beliau dari tindakan atau pikiran jahat orang-orang yang berinteraksi dengan beliau.

Yang dimaksud shalawat Allah adalah puji-pujian-Nya kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan yang dimaksud shalawat para malaikat adalah do’a dan istighfar. Sedangkan yang dimaksud shalawat dari ummat beliau adalah do’a dan mengagungkan perintah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam (Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali dalam kitab Bahjatun Naadzirin Syarah Riyadhush Shalihin Bab Shalawat Kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).

Disunnahkan –sebagian ulama mewajibkannya– mengucapkan shalawat dan salam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, setiap kali menyebut atau disebut nama beliau, yaitu dengan ucapan: “shallallahu ‘alaihi wa sallam” (al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat dalam kitab Sifat Shalawat dan Salam Kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).

Dalam sebuah riwayat dari Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,

البخيل من ذكرت عنده فلم يصل علي

“Orang yang bakhil (kikir/pelit) itu ialah orang yang (apabila) namaku disebut disisinya, kemudian ia tidak bershalawat kepadaku shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

(Diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hambal no. 1736, dengan sanad shahih)

Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali mengatakan bahwa disunnahkan bagi para penulis agar menulis shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara utuh, tidak disingkat (seperti SAW, penyingkatan dalam bahasa Indonesia – pent) setiap kali menulis nama beliau.

Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat juga mengatakan dalam kitab Sifat Shalawat dan Salam Kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa disukai apabila seseorang menulis nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka bershalawatlah dengan lisan dan tulisan.

Ketahuilah, shalawat ummat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bentuk dari sebuah do’a. Demikian pula dengan makna salam kita kepada sesama muslim. Dan do’a merupakan bagian dari ibadah. Dan tidaklah ibadah itu akan mendatangkan sesuatu selain pahala dari Allah Jalla wa ‘Ala. Maka apakah kita akan berlaku kikir dalam beribadah dengan menyingkat salam dan shalawat, terutama kepada kekasih Allah yang telah mengajarkan kita berbagai ilmu tentang dien ini?

Apakah kita ingin menjadi hamba-hamba-Nya yang lalai dari kesempurnaan dalam beribadah?

Wallahu Ta’ala a’lam bish showwab.

[dikutip dari: http://muslimah.or.id/fikih/adab-salam-dan-shalawat.html, dengan beberapa perubahan tanpa merubah makna, dan dengan penambahan lafazh aråb dalam ayat dan hadits]

Perkataan para 'ulama mengenai penyingkatan shålawat

An-Nawawi rahimahullah menjelaskan,

“Dianjurkan bagi penulis hadits apabila melalui penyebutan (nama) Allah ‘azza wa jalla agar menuliskan kata-kata ‘azza wa jalla (yang maha perkasa lagi mulia) atau ta’ala (yang maha tinggi), atau subhanahu wa ta’ala (yang maha suci lagi tinggi), atau tabaraka wa ta’ala (penuh berkah dan maha tinggi), atau jalla dzikruhu (yang mulia sebutannya), atau tabarakasmuhu (pemilik nama yang penuh berkah), atau jallat ‘azhamatuhu (maha mulia kebesarannya), atau yang serupa dengannya."

"Begitu pula hendaknya menuliskan kata-kata shallallahu ‘alaihi wa sallam secara sempurna ketika menyebutkan nama Nabi (Muhammad), tidak dengan menyingkatnya, dan tidak pula mencukupkan diri pada salah satunya (salam atau shalawat saja).”

“Demikian pula dikatakan radhiyallahu’anhu ketika menyebut nama Sahabat. Apabila Sahabat itu anak dari Sahabat yang lain, maka dikatakan radhiyallahu’anhuma. Hendaknya juga mendoakan keridhaan dan rahmat bagi segenap ulama dan orang-orang baik/salih."

"Hendaknya semua ucapan tersebut ditulis, meskipun dalam naskah aslinya tidak tertulis, karena hal ini bukan termasuk periwayatan, namun sekedar doa. Orang yang membaca (hadits) juga hendaknya membaca setiap ucapan yang telah kami sebutkan tadi, meskipun di dalam teks yang dibacanya doa-doa tersebut tidak disebutkan"

" Janganlah dia merasa bosan mengulang-ulanginya. Barangsiapa yang lalai melakukannya niscaya akan terhalang meraih kebaikan yang amat besar dan kehilangan keutamaan yang sangat agung.” (Muqadimah Syarh Muslim, 1/204).

Dikisahkan oleh As-Suyuthi rahimahullah di dalam Tadribu Ar-Rawi bahwa orang yang pertama kali menuliskan shad-lam-’ain-mim dihukum dengan dipotong tangannya [!!]

(Dinukil dari Ma’alim fi Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 249, http://abumushlih.com/untuk-para-penulis.html/)

Ibnu Shalah dalam Ulumul-Hadits berkata:

”Bagi orang yang menulis hadits, diharuskan untuk memberikan shalawat dan salam pada saat dia menyebutkan nama Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam. Dia dituntut untuk tidak bosan dalam mengulang-ulang jika dia berulangkali menyebut kan nama Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam. Karena hal itu merupakan faedah yang terbesar bagi orang-orang yang menuntut ilmu hadits dan orang-orang yang menulisnya. Dan barangsiapa yang lalai akan hal itu, maka dia pada saat itu telah menghilangkan keberuntungan yang sangat besar......” (Ulumul Hadits li Ibni Shalah halaman 41 menurut tartib donlotan maktabah sahab).

Selanjutnya beliau mengatakan menyebutkan dua kebiasaan yang SALAH dalam penulisan shalawat dan salam terhadap Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam yang HARUS DIJAUHI oleh para penulis hadits :

Pertama: Menulisnya dengan tulisan yang kurang (menyingkat) dengan dua huruf atau yang semisalnya [misalnya dia hanya menulisnya dengan dua huruf Shad dan Mim atau lainnya = atau dalam tulisan kita : SAW – Abu Al-Jauzaa’].

Kedua: Menulisnya dengan tulisan yang maknanya berkurang. Misalnya menulisnya dengan : Wasallam. Meskipun kita kadang-kadang menemuinya di dalam tulisan ulama-ulama terdahulu”

[idem]

[dikutip dari komentar abul jauzaa dalam salah satu artikel di website salafyitb]

Al-Fairuz-Abadi berkata dalam Ash-Shalatu wal-Basyar:

”Tidak seharusnya tulisan shalawat itu mempunyai rumus-rumus tertentu, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang-orang yang malas, orang-orang yang bodoh, dan murid-murid yang awam. Mereka menulis shallallaahu ’alaihi wasallam dengan tulisan ”Shal’am” [صلعم]. Untuk itulah, maka tulisan dan bacaan shalawat harus ditulis dan dibaca dengan lengkap, tidak boleh dikurang-kurangi”.

[idem]

Fatwa-Fatwa 'Ulama Mengenai Penyingkatan Shålawat

Fatwa Al Lajnah Ad-Daimah (Dewan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia)

Soal:

Bolehkah menulis huruf ص yang maksudnya shalawat (ucapan shallallahu ‘alaihi wasallam). Dan apa alasannya?

Jawab:

Yang disunnahkan adalah menulisnya secara lengkap –shallallahu ‘alaihi wasallam- karena ini merupakan doa. Doa adalah bentuk ibadah, begitu juga mengucapkan kalimat shalawat ini.

Penyingkatan terhadap shalawat dengan menggunakan huruf – ص atau ص- ع – و (seperti SAW, penyingkatan dalam Bahasa Indonesia -pent) tidaklah termasuk doa dan bukanlah ibadah, baik ini diucapkan maupun ditulis.

Dan juga karena penyingkatan yang demikian tidaklah pernah dilakukan oleh tiga generasi awal Islam yang keutamaannya dipersaksikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Wabillahit taufiq, dan semoga shalawat dan salam tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarga serta para sahabat beliau.

Dewan Tetap untuk Penelitian Islam dan Fatwa

Ketua: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Ibn Abdullaah Ibn Baaz;
Anggota: Syaikh ‘Abdur-Razzaaq ‘Afifi;
Anggota: Syaikh ‘Abdullaah Ibn Ghudayyaan;
Anggota: Syaikh ‘Abdullaah Ibn Qu’ood

(Fataawa al-Lajnah ad-Daa.imah lil-Buhooth al-’Ilmiyyah wal-Iftaa, – Volume 12, Halaman 208, Pertanyaan ke-3 dari Fatwa No.5069)

[Diterjemahkan dari http://fatwa-online.com/fataawa/miscellaneous/enjoiningthegood/0020919.htm untuk http://ulamasunnah.wordpress.com]

Fatwa Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullåh

Soal:

“Sebagian orang menulis huruf “ص” di antara dua tanda kurung yang mereka maksudkan dengan itu sebagai simbol dari kalimat shallallaahu ‘alaihi wa sallam (صلى الله عليه وسلم). Apakah hal ini dapat dibenarkan menulis huruf “ص” sebagai simbol dalam penulisan shalawat ?

Jawab:

Termasuk bagian dari adab-adab menulis hadits sebagaimana dijelaskan oleh para ‘ulama mushthalah (hadits), adalah tidak menyingkat penulisan kalimat shalawat dengan huruf “ص”. Begitu pula tidak dituliskan dengan singkatan “صلعم" [Atau dalam bahasa Indonesia sering ditulis dengan singkatan “SAW” -abul jauzaa]. Tidak diragukan lagi bahwasannya penulisan simbol atau singkatan akan menyebabkan seseorang luput dari pahala bershalawat kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Apabila ia menulis kalimat shalawat dan kemudian ada orang yang membaca tulisan tersebut, maka Penulis pertama akan mendapatkan pahala sebagaimana pahala orang yang membacanya. Tidaklah samar bagi kita apa yang disabdakan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam secara shahih :

“Barangsiapa yang bershalawat kepada beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam satu kali, maka Allah akan bershalawat kepadanya sepuluh kali”

[Shahih; diriwayatkan oleh Muslim no. 384, Abu Dawud no. 523, dan An-Nasa’i no. 678 (tambahan takhrij hadits dari abul jauzaa)]

Tidak sepatutnya bagi seorang mukmin untuk menghalangi dirinya perolehan pahala dan ganjaran akibat ketergesa-gesaannya untuk menyelesaikan apa yang akan ia tulis (dari kalimat shalawat).

[Diambil dan diterjemahkan dari Kitaabul-‘Ilmi karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimin rahimahullah, pertanyaan no. 72, hal. 128-129, tahqiq : Shalaahuddin Mahmuud; Maktabah Nuurul-Hudaa, http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/03/fatwa-asy-syaikh-ibnu-utsaimin.html].

Fatwa asy-Syaikh Wasiyullah Abbas (Ulama Masjidil Haram, pengajar di Ummul Qura)

Soal:

Banyak orang yang menulis salam dengan menyingkatnya, seperti dalam Bahasa Arab mereka menyingkatnya dengan س- ر-ب. Dalam bahasa Inggris mereka menyingkatnya dengan “ws wr wb” (dan dalam bahasa Indonesia sering dengan “ass wr wb” – pent). Apa hukum masalah ini?

Jawab:

Tidak boleh untuk menyingkat salam secara umum dalam tulisan, sebagaimana tidak boleh pula menyingkat shalawat dan salam atas Nabi kita shallallahu ‘alaihi wasallam. Tidak boleh pula menyingkat yang selain ini dalam pembicaraan.

[Diterjemahkan dari www.bakkah.net untuk http://ulamasunnah.wordpress.com]
READ MORE - Adab dalam menuliskan Pujian kepada Allåh (سبحانه وتعالى), Shålawat kepada Råsulullåh (ﷺ), dan Salam kepada kaum muslimin

Bila Ada Yang Menyatakan Bahwa Demokrasi Itu Merupakan Khilafiyah, Maka...


Jawaban Untuk Masalah Demokrasi Yang Dianggap Khilafiyah





Bismillaahirrohmanirrohiim.

Laa haula wa laa quwwata illa billaah...
Saudara-saudariku yang semoga dirahmati oleh Allah : Afwan, dimanakah letak khilafiyahnya bila segala sesuatunya sudah sangat jelas dan Allah subhanahu wa ta'ala pun berfirman:

"Apabila dikatakan kepada mereka : "Marilah kamu kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul", niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi dengan sekuat-kuatnya dari kamu." (QS.4:61).

Lalu siapakah orang-orang MUNAFIK yang dimaksud-Nya itu?

Maka dalam hal ini Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:

Ya ayyuhal-laziina amanu lima taqulu ma la taf’alun. Kabura maqtam ‘indallahi an taqulu ma la taf’alun.”---yang artinya:
"Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS.61: 2-3).

MasyaAllah...TIDAK mengerjakan sesuatu yang dikatakan saja, Allah sudah membencinya. Bagaimana jika sesuatu itu adalah yang dimurkai-Nya? DIA-pun berfirman:

"La ikraha fid-din, qat tabayyanar-rusydu minal-gayy, fa may yakfur bit-taguti wa yu'mim billahi fa qadistamsaka bil'urwatil-wusqa lanfisama laha, wallahu sami'un 'alim."---yang artinya :
"Tidak ada paksaan untuk agama ; sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS.2:256).

Maka jelas bukan bahwa mencampur-aduk antara sesuatu yang haq dengan bathil atau sebaliknya, bukanlah merupakan perintah-Nya. Melainkan sekadar sesuatu yang engkau ada-ada-kan atau sangka-kan saja. Bukankah perintah-Nya adalah "Innama kana qaulal-mu’minuna-iza du’u ilallahi wa rasulihi li yahkuma bainahum ay yaqulu sami’na wa ata’na, wa ula’ika humul-muflihun."---yang artinya: "Sesungguhnya jawaban orang-orang mu'min, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum di antara mereka ialah ucapan. "Kami mendengar, dan kami patuh". Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS.24: 51).

Tidakkah engkau ingin masuk kedalam kelompok hamba-hamba Allah yang seperti demikian? Apakah engkau juga melupakan peringatan yang pernah di sampaikan oleh Baginda Rasulullaah Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam?

"Akan datang kepada kalian masa yang penuh dengan tipudaya; ketika orang-orang akan mempercayai kebohongan dan mendustakan kebenaran. Mereka mempercayai para pengkhianat dan tidak mempercayai para pembawa kebenaran. Pada masa itu, ruwaibidhah akan berbicara. Mereka bertanya, Apakah itu ruwaibidhah? ; Rasulullah berkata, Ruwaibidhah adalah orang-orang bodoh (yang berbicara) tentang urusan umat. (HR Ibnu Majah dari Abu Hurairah ra.)

Begitu juga sabda Beliau saw. yang mengatakan bahwa "Seorang mukmin itu tidak akan sudi JATUH untuk kedua-kalinya pada lubang yang sama?"

Apabila engkau berkenan memahami pesan amar makruf nahi mungkar yang kami sampaikan selama ini, SEPAHIT apapun itu, cobalah engkau renungkan juga ayat-ayat-Nya berikut ini, insyaAllah...

"Dan orang yang beriman itu berkata: "Hai kaumku, sesungguhnya aku khawatir kamu akan ditimpa seperti peristiwa kehancuran golongan yang bersekutu." (QS.40:30)

"Orang-orang yang telah Kami berikan kitab kepada mereka bergembira dengan kitab yang diturunkan kepadamu, dan di antara golongan-golongan yang bersekutu, ada yang mengingkari sebahagiannya. Katakanlah "Sesungguhnya aku hanya diperintah untuk menyembah Allah dan tidak mempersekutukan sesuatupun dengan Dia. Hanya kepada-Nya aku seru dan hanya kepada-Nya aku kembali"." (QS.13:36)

"Dan tatkala orang-orang mu'min melihat golongan-golongan yang bersekutu itu, mereka berkata : "Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita". Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya. Dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan." (QS.33:22)

"Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik." (QS.15:94)

"Dan sungguh Allah telah menurunkan kekuatan kepada kamu di dalam Al Qur'an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan , maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya , tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam," (QS.4:140)

"Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika syaitan menjadikan kamu lupa , maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat." (QS.6:68).

Yaa Allah yaa Hakiim...
Sungguh tiada daya dan upaya kami selain berserah diri pada kehendak-Mu. Yaa Allaah... buka-kan-lah hati kami yang mungkin sedang terlena dan lalai dalam menunaikan perintah-Mu. Sesungguhnya rahmat dan hidayah-Mu-lah yang kami mohonkan yaa Allaah...

Allahumma laa sahla illaa maa ja’altahuu sahlaa, wa anta taj’alul huzna idzaa syi’ta sahlaa.
(Ya Allah, tidak ada kemudahan kecuali apa yang Engkau jadikan mudah. Dan Engkau membuat kesedihan menjadi kemudahan jika Engkau menghendaki).



Billahi taufik wal hidayah,
Wassalamua'laikum wr.wb.
Nchie Dive,---



Jawaban Untuk Akhi Adhitya Saudara Kami (http://dj2islam.multiply.com/journal/item/295)

PERTANYAAN :

Assalammu`alaykum wr.wb
saya hanya ingin bertanya dan meminta pendapat teman2 dari dj2islam. Apabila semua ummat muslim di Indonesia yang bercita-cita menegakkan syariat Islam di negara ini melakukan golput, maka saya membayangkan bahwa dalam pemilu yang sebentar lagi akan dilaksanakan ini, akan terpilih pemimpin-pemimpin berpaham sekuler atau bahkan pemimpin kafir. Nah, seandainya hal itu yang benar-benar terjadi (semoga saja tidak), maka apa yang harus kita lakukan? Apakah teman-teman di dj2islam memiliki solusi konkrit, bukan sekedar wacana, apa yang harus dilakukan seandainya hal tersebut benar2 terjadi. Klo ada, tolong jelaskan kepada saya.

Jujur, pertanyaan saya ini bukan bermaksud memancing perdebatan konyol yang bertema "nyontreng v.s golput", bukan! tujuan saya bukan itu. Saya murni ingin tahu apa yang harus saya lakukan pada tanggal 9 April nanti. Karena sejujurnya dapat saya katakan bahwa saya masih sangat awam dalam ilmu Islam, jadi saya belum mengerti "keuntungan" apa yang akan Islam dapatkan dengan melakukan golput.

Saya mohon maaf apabila pertanyaan yang saya ajukan terlihat sangat "dangkal" dan tidak berbobot, hal ini murni karena ketidaktahuan saya. Oleh karena itu saya berharap teman2 di dj2Islam bersedia menjawab pertanyaan saya. Terima kasih



INSYAALLAH JAWABAN :

Waa'laikumsalam wr.wb.

Akhi Adhitya saudara kami rahima kumullah,
sesungguhnya pertanyaan yang akhi sampaikan itu merupakan sesuatu yang cerdas dan bijaksana. Artinya akhi tidak meng-counter tulisan kami itu dengan pendapat yang terkesan membela diri, namun akhi pun tidak menerimanya begitu saja. Semoga dengan begitu kita masih berkomunikasi dalam konten yang berkesesuaian...

InsyaAllah saya akan menjawabnya lewat suatu presentasi maupun dalam bentuk meng-analogi-kan-nya. Semoga Allah subhanahu wa ta'ala membimbing kita kepada sesuatu yang benar dan di ridhoi-Nya, aamiin.

Bismillaahirrohamnirrohiim.

1. Selama Indonesia (tercatat merdeka), bukankah kita selalu memiliki Presiden yang beragama Islam? Namun (afwan), sudah adakah di antara mereka yang "kita ketahui" telah berislam secara kaffah? Bukankah setiap bentuk "keputusan" ada di tangan mereka, di samping keinginan rakyat Indonesia yang 80% muslim-pun, menghendaki tegaknya syari'at Islam? Maka sebagaimana sabda Baginda Rasul saw., bahwa : "Seorang mukmin itu tidak akan sudi masuk kedalam lubang yang sama untuk kedua kalinya."

2. Sebelum membicarakan perihal konkret sebagaimana akhi kehendaki, alhamdulillah pada bagian atas (Jawaban Untuk Masalah Demokrasi Yang Dianggap Khilafiyah) saya telah mencukupi keterangan ini dengan menyertakan dalil-dalil yang dapat kita jadikan sebagai pembelajaran, sekaligus menjawab dasar dari argumentasi ini.

3. Ketika kita membicarakan sesuatu yang konkret, tentu komunikasi seperti ini merupakan suatu perencanaan yang mendekati "kepastian" dalam tindakan. Maka selain perencanaan konkret bukanlah wewenang kita, melainkan keputusan utuh dari Ulil Amri (Pemimpin Umat Islam). Meskipun demikian---sah-sah saja apabila kita berusaha---menganalogikan hal ini dalam beberapa kaitan, sebagai berikut:

A. Mukmin di perintahkan oleh untuk sami'na wa atho'na kepada Allah ta'ala dan Rasul-Nya (QS.24:51). Untuk perihal ini mari analogikan dengan seseorang yang bekerja pada suatu perusahaan ataupun kepada seorang bos. Selanjutnya akan terdapat hukum timbal-balik di antaranya? Hak dan Kewajiban perusahaan/bos kepada anak buahnya, maupun sebaliknya. Maka akhir dari kesepakatan mereka diharapkan menghasilkan win-win-solution. Begitulah manusia dengan manusia...

B. Namun hal demikian TIDAK BERLAKU sama sekali bagi hubungan antara manusia dengan Allah subhanahu wa ta'ala. ALLAH swt. tidak membutuhkan manusia sama sekali, melainkan manusia-lah yang sesungguhnya SANGAT membutuhkan Allah. Sebab ALLAH menciptakan Jin dan Manusia hanya untuk tunduk dan patuh kepada-Nya, agar mereka dapat selamat hingga di hari akhirat nanti.

Lalu bagaimana dengan orang2 yang kafir dan ingkar kepada-Nya? Allah ta'ala adalah DZAT Yang Mahaadil lagi Mahapenyayang, dan tiada serupa dengan analogi bos dan karyawan tadi. Sebab selama dunia ini BELUM ditentukan-Nya KIAMAT, maka OKSIGEN akan tetap diberikan-Nya secara GRATIS kepada seluruh isi Bumi Milik-Nya pula. Ada orang kafir yang kaya, ada pula muslim yang miskin, ATAU SEBALIKNYA. Ada orang muslim yang bodoh, ada pula orang kafir yang cerdas, ATAU SEBALIKNYA. silakan cari sebanyak2nya contoh lain, dan itu merupakan suatu bentuk keadilan dari ALLAH subhanahu wa ta'ala untuk seluruh makhluk di muka bumi ini. Tetapi untuk akhirat, NANTI DULU...!!!

C. Mendapati analogi seperti tersebut di atas, tidakkah saudara-saudariku dapat membayangkan apakah REWARD yang akan diperoleh jika kita Sami'na wa Atho'na kepada APAPUN PERINTAH-NYA...!? Ingatlah wahai saudara kami, kepada orang-orang kafir dan munafik saja, ALLAH tetap memberikan keadilan-Nya. Bagaimana pula dengan para mukmin yang bersedia MENDENGAR dan PATUH kepada seluruh Syari'at-Nya secara KAFFAH?

Sungguh hanya keimanan dan KECINTAAN kepada Allah subhanahu wa ta'ala dan Baginda Rasulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam yang dapat menjawab segala sesuatunya ini....


Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:

"Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, nanti Kami akan menarik mereka dengan berangaur-angsur , dengan cara yang tidak mereka ketahui." (QS.7:182).

Yaa Allah yaa Dzal Jalaali Wal Ikroom...
Sungguh tiada daya dan upaya kami selain berserah diri kepada ketentuan-Mu yaa Allah. Sebab apapun upaya dan pemikiran yang keluar dari otak kami yang lemah ini, ibarat nasib sebutir debu di tengah samudera, masyaAllaah...

Yaa Allah yaa Jaami'... kumpulkanlah hati dan pikiran yang berserakkan ini agar kembali sami'na wa atho'na hanya kepada-Mu dan juga Rasul-Mu.
Amin Allahumma aamiin...

"Allahumma la ya’ti bil hasanat illa anta, wa la yadzhab bis sai’at illa anta, wa laa haula wala quwwata illa billah"
(Ya Allah, sesungguhnya hanya Engkaulah yang menghindarkan kejelekan. Dan tiada daya dan upaya yang melebihi Engkau).


Jakarta, 8 April 2009

Billahi taufik wal hidayah,
Wassalamua'laikum wr.wb.
Muhammad Dive.



Saudara-saudariku yang di rahmati oleh Allah jalla sanu'hu;
Semoga tulisan dan argumentasi tersebut dapat kita jadikan sebagai hujjah bagi para Democrazy Thinker, ketika mereka yang tengah lalai itu masih saja membangga-banggakan sebuah sistem Kafir yang jelas-jelas sudah GAGAL pula dari tempat asalnya.

Barakallaahu fiikum


Wassalam
~Jeanny Muslimah~

post by : TM
READ MORE - Bila Ada Yang Menyatakan Bahwa Demokrasi Itu Merupakan Khilafiyah, Maka...

Hukum menyingkat sholawat dan salam

Assalammu'alaykum warahmatullah warabakatuh

Ana hanya ingin menjelaskan kepada antum/anti, hendaknya kita membiasakan diri untuk tidak menyingkat sholawat, atau asma Allah dengan akhiran SWT.

Sekecil apapun perbuatan itu pasti ada nilainya disisi Allah Azza wa jall, dan sesungguhnya amal ibadah seseorang itu tergantung dari keikhlasan masing-masing individu, kalaulah kita hendak bersholawat, hendaknya menuliskannya dengan lengkap (tidak dengan menyingkatnya), sebagai bukti keikhlasan kita dalam mengamalkannya.

insya Allah dengan membiasakan ini amalan kita akan menjadi sempurna, Inilah adab kepada Allah dan Rasul-Nya yang harus kita perhatikan. Inilah yang bisa ana sampaikan dalam beramar ma'ruf.

Fatwa Syaikh Wasiyullah Abbas (Ulama Masjidil Haram, pengajar di Ummul Qura)

Soal:
Banyak orang yang menulis salam dengan menyingkatnya, seperti dalam Bahasa Arab mereka menyingkatnya dengan wrwb islam Fatwa Larangan Penyingkatan Salam dan Shalawat Dalam bahasa Inggris mereka menyingkatnya dengan “ws wr wb” (dan dalam bahasa Indonesia sering dengan “ass wr wb” – pent). Apa hukum masalah ini?

Jawab:
Tidak boleh untuk menyingkat salam secara umum dalam tulisan, sebagaimana tidak boleh pula meningkat shalawat dan salam atas Nabi kita shallallahu ‘alaihi wasallam. Tidak boleh pula menyingkat yang selain ini dalam pembicaraan.
Diterjemahkan dari www.bakkah.net
Fatwa Lajnah Ad-Daimah (Dewan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia)

Soal: Bolehkah menulis huruf ? yang maksudnya shalawat (ucapan shallallahu ‘alaihi wasallam). Dan apa alasannya?

Jawab:
Yang disunnahkan adalah menulisnya secara lengkap –shallallahu ‘alaihi wasallam- karena ini merupakan doa. Doa adalah bentuk ibadah, begitu juga mengucapkan kalimat shalawat ini.
Penyingkatan terhadap shalawat dengan menggunakan huruf shad islam Fatwa Larangan Penyingkatan Salam dan Shalawat atau saw islam Fatwa Larangan Penyingkatan Salam dan Shalawat (seperti SAW, penyingkatan dalam Bahasa Indonesia -pent) tidaklah termasuk doa dan bukanlah ibadah, baik ini diucapkan maupun ditulis. Dan juga karena penyingkatan yang demikian tidaklah pernah dilakukan oleh tiga generasi awal Islam yang keutamaannya dipersaksikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Wabillahit taufiq, dan semoga shalawat dan salam tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarga serta para sahabat beliau.

Dewan Tetap untuk Penelitian Islam dan Fatwa
Ketua: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Ibn Abdullaah Ibn Baaz;
Anggota: Syaikh ‘Abdur-Razzaaq ‘Afifi;
Anggota: Syaikh ‘Abdullaah Ibn Ghudayyaan;
Anggota: Syaikh ‘Abdullaah Ibn Qu’ood
(Fataawa al-Lajnah ad-Daa.imah lil-Buhooth al-’Ilmiyyah wal-Iftaa., - Volume 12, Halaman 208, Pertanyaan ke-3 dariFatwa No.5069)
Diterjemahkan dari http://fatwa-online.com/fataawa/miscellaneous/enjoiningthegood/0020919.htm

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Apa keutamaan bershalawat untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam? Bolehkah kita menyingkat ucapan shalawat tersebut dalam penulisan, misalnya kita tulis Muhammad SAW atau dengan tulisan Arabslm islam Fatwa Larangan Penyingkatan Salam dan Shalawat , singkatan dari salallahualaihiwassalam islam Fatwa Larangan Penyingkatan Salam dan Shalawat ?

Jawab:
Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz menjawab:
“Mengucapkan shalawat untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan perkara yang disyariatkan. Di dalamnya terdapat faedah yang banyak. Di antaranya menjalankan perintah Allah , menyepakati Allah Subhanallahu Wa ta’ala dan para malaikat-Nya yang juga bershalawat untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Allah berfirman:
“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah untuk Nabi dan ucapkanlah salam kepadanya.” (Al-Ahzab: 56)

Faedah lainnya adalah melipatgandakan pahala orang yang bershalawat tersebut, adanya harapan doanya terkabul, dan bershalawat merupakan sebab diperolehnya berkah dan langgengnya kecintaan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam. Sebagaimana bershalawat menjadi sebab seorang hamba beroleh hidayah dan hidup hatinya. Semakin banyak seseorang bershalawat kepada beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dan mengingat beliu, akan semakin kental pula kecintaan kepada beliau di dalam hati. Sehingga tidak tersisa di hatinya penentangan terhadap sesuatu pun dari perintahnya dan tidak pula keraguan terhadap apa yang beliau sampaikan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri telah memberikan anjuran untuk mengucapkan shalawat atas beliau dalam beberapa hadits. Di antaranya hadits yang diriwayatkan Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya dari Abu Hurairah Radhiallahuanhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Siapa yang bershalawat untukku satu kali maka Allah akan bershalawat untuknya sepuluh kali.”

Dari hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu juga, disebutkan bahwa Rasululah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Janganlah kalian menjadikan rumah-rumah kalian seperti kuburan (Dengan tidak dikerjakan shalat sunnah di dalamnya, demikian pula Al-Qur’an tidak dibaca di dalamnya. (-pent.)) dan jangan kalian jadikan kuburanku sebagai id (tempat kumpul-kumpul -pent). Bershalawatlah untukku karena shalawat kalian sampai kepadaku di mana pun kalian berada.” [Diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad dan Abu Dawud, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Abi Dawud]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah pula bersabda:
“Terhinalah seorang yang aku (namaku) disebut disisinya namun ia tidak mau bershalawat untukku.”
[HR. At-Tirmidzi, kata Asy-Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad Mimma Laisa fish Shahihain, “Hadits hasan gharib.”]

Bershalawat untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam disyariatkan dalam tasyahhud shalat, dalam khutbah, saat berdoa serta beristighfar. Demikian pula setelah adzan, ketika keluar serta masuk masjid, ketika mendengar nama beliau disebut, dan sebagainya.

Perkaranya lebih ditekankan ketika menulis nama beliau dalam kitab, karya tulis, risalah, makalah, atau yang semisalnya berdasarkan dalil yang telah lewat. Ucapan shalawat ini disyariatkan untuk ditulis secara lengkap/sempurna dalam rangka menjalankan perintah Allah Aza Wajallah kepada kita dan agar pembaca mengingat untuk bershalawat ketika melewati tulisan shalawat tersebut. Tidak sepantasnya lafazh shalawat tersebut ditulis dengan singkatan misalnya shad1 islam Fatwa Larangan Penyingkatan Salam dan Shalawat atau slm1 islam Fatwa Larangan Penyingkatan Salam dan Shalawat ataupun singkatan-singkatan yang serupa dengannya, yang terkadang digunakan oleh sebagian penulis dan penyusun. Hal ini jelas menyelisihi perintah Allah Aza Wajallah dalam firman-Nya:
“… bershalawatlah untuk Nabi dan ucapkanlah salam kepadanya.”

Dan juga dengan menyingkat tulisan shalawat tidak akan sempurna maksudnya serta tidak diperoleh keutamaan sebagaimana bila menuliskannya secara sempurna. Terkadang pembaca tidak perhatian dengan singkatan tersebut atau tidak paham maksudnya.
Menyingkat lafazh shalawat ini dibenci oleh para ulama dan mereka memberikan peringatan akan hal ini.

Ibnu Shalah
Ibnu Shalah dalam kitabnya ‘Ulumul Hadits yang lebih dikenal dengan Muqqadimah Ibnish Shalah mengatakan, “(Seorang yang belajar hadits ataupun ahlul hadits) hendaknya memerhatikan penulisan shalawat dan salam untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bila melewatinya. Janganlah ia bosan menulisnya secara lengkap ketika berulang menyebut Rasulullah.”

Ibnu Shalah juga berkata, “Hendaklah ia menjauhi dua kekurangan dalam penyebutan shalawat tersebut:
Pertama, ia menuliskan lafazh shalawat dengan kurang, hanya meringkasnya dalam dua huruf atau semisalnya.
Kedua, ia menuliskannya dengan makna yang kurang, misalnya ia tidak menuliskan wassalam islam Fatwa Larangan Penyingkatan Salam dan Shalawat

Al-‘Allamah As-Sakhawi
Al-‘Allamah As-Sakhawi dalam kitabnya Fathul Mughits Syarhu Alfiyatil Hadits lil ‘Iraqi, menyatakan, “Jauhilah wahai penulis, menuliskan shalawat dengan singkatan, dengan engkau menyingkatnya menjadi dua huruf dan semisalnya, sehingga bentuknya kurang. Sebagaimana hal ini dilakukan oleh orang jahil dari kalangan ajam (non Arab) secara umum dan penuntut ilmu yang awam. Mereka singkat lafazh shalawat dengan sm islam Fatwa Larangan Penyingkatan Salam dan Shalawat , shad2 islam Fatwa Larangan Penyingkatan Salam dan Shalawat atau [Dalam bahasa kita sering disingkat dengan SAW. (-pent.) ]slm2 islam Fatwa Larangan Penyingkatan Salam dan Shalawat . Karena penulisannya kurang, berarti pahalanya pun kurang, berbeda dengan orang yang menuliskannya secara lengkap.

As-Suyuthi
As-Suyuthi berkata dalam kitabnya Tadribur Rawi fi Syarhi Taqrib An-Nawawi, “Dibenci menyingkat tulisan shalawat di sini dan di setiap tempat yang syariatkan padanya shalawat, sebagaimana disebutkan dalam Syarah Muslim dan selainnya, berdalil dengan firman Allah : assuyuthi islam Fatwa Larangan Penyingkatan Salam dan Shalawat
As-Suyuthi juga mengatakan, “Dibenci menyingkat shalawat dan salam dalam penulisan, baik dengan satu atau dua huruf seperti menulisnya dengan slm3 islam Fatwa Larangan Penyingkatan Salam dan Shalawat , bahkan semestinya ditulis secara lengkap.”

Inilah wasiat saya kepada setiap muslim dan pembaca juga penulis, agar mereka mencari yang utama/afdhal, mencari yang di dalamnya ada tambahan pahala dan ganjaran, serta menjauhi perkara yang dapat membatalkan atau menguranginya.”

(Diringkas dari fatwa Asy-Syaikh Ibn Baz yang dimuat dalam Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, 2/396-399)
Sumber: Majalah Asy Syari’ah, Vol. III/No. 36/1428 H/2007, Kategori Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah, Hal. 89-91.

Sumber:
http://bakkah.net/interactive/q&a/aawa004.htm
http://bakkah.net/articles/SAWS.htm
http://fatwa-online.com/fataawa/miscellaneous/enjoiningthegood/0020919.htm
READ MORE - Hukum menyingkat sholawat dan salam

Takbiran Hari Raya

Takbiran Hari Raya

Waktu Mulai & Berakhir Takbiran

a. Takbiran Idul Fitri

Takbiran pada saat idul fitri dimulai sejak maghrib malam tanggal 1 syawal sampai selesai shalat ‘id.

Hal ini berdasarkan dalil berikut:

1. Allah berfirman, yang artinya: “…hendaklah kamu mencukupkan bilangannya (puasa) dan hendaklah kamu mengagungkan Allah (bertakbir) atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu.” (Qs. Al Baqarah: 185)

Ayat ini menjelaskan bahwasanya ketika orang sudah selesai menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadlan maka disyariatkan untuk mengagungkan Allah dengan bertakbir.

2. Ibn Abi Syaibah meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar rumah menuju lapangan kemudian beliau bertakbir hingga tiba di lapangan. Beliau tetap bertakbir sampai sahalat selesai. Setelah menyelesaikan shalat, beliau menghentikan takbir. (HR. Ibn Abi Syaibah dalam Al Mushannaf 5621)

Keterangan:

1. Takbiran idul fitri dilakukan dimana saja dan kapan saja. Artinya tidak harus di masjid.

2. Sangat dianjurkan untuk memeperbanyak takbir ketika menuju lapangan. Karena ini merupakan kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat. Berikut diantara dalilnya:

* Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar rumah menuju lapangan kemudian beliau bertakbir hingga tiba di lapangan. Beliau tetap bertakbir sampai sahalat selesai. Setelah menyelesaikan shalat, beliau menghentikan takbir. (HR. Ibn Abi Syaibah dalam Al Mushannaf)
* Dari Nafi: “Dulu Ibn Umar bertakbir pada hari id (ketika keluar rumah) sampai beliau tiba di lapangan. Beliau tetap melanjutkan takbir hingga imam datang.” (HR. Al Faryabi dalam Ahkam al Idain)
* Dari Muhammad bin Ibrahim (seorang tabi’in), beliau mengatakan: “Dulu Abu Qotadah berangkat menuju lapangan pada hari raya kemudian bertakbir. Beliau terus bertakbir sampai tiba di lapangan.” (Al Faryabi dalam Ahkam al Idain)

b. Takbiran Idul Adha

Takbiran Idul Adha ada dua:

1. Takbiran yang tidak terikat waktu (Takbiran Mutlak)

Takbiran hari raya yang tidak terikat waktu adalah takbiran yang dilakukan kapan saja, dimana saja, selama masih dalam rentang waktu yang dibolehkan.

Takbir mutlak menjelang idul Adha dimulai sejak tanggal 1 Dzulhijjah sampai waktu asar pada tanggal 13 Dzulhijjah. Selama tanggal 1 – 13 Dzulhijjah, kaum muslimin disyariatkan memperbanyak ucapan takbir di mana saja, kapan saja dan dalam kondisi apa saja. Boleh sambil berjalan, di kendaraan, bekerja, berdiri, duduk, ataupun berbaring. demikian pula, takbiran ini bisa dilakukan di rumah, jalan, kantor, sawah, pasar, lapangan, masjid, dst. Dalilnya adalah:

a. Allah berfirman, yang artinya: “…supaya mereka berdzikir (menyebut) nama Allah pada hari yang telah ditentukan…” (Qs. Al Hajj: 28)

Allah juga berfirman, yang artinya: “….Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang…” (Qs. Al Baqarah: 203)

Tafsirnya:

* Yang dimaksud berdzikir pada dua ayat di atas adalah melakukan takbiran
* Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan: “Yang dimaksud ‘hari yang telah ditentukan’ adalah tanggal 1 – 10 Dzulhijjah, sedangkan maksud ‘beberapa hari yang berbilang’ adalah hari tasyriq, tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah.” (Al Bukhari secara Mua’alaq, sebelum hadis no.969)
* Dari Sa’id bin Jubair dari Ibn Abbas, bahwa maksud “hari yang telah ditentukan” adalah tanggal 1 – 9 Dzulhijjah, sedangkan makna “beberapa hari yang berbilang” adalah hari tasyriq, tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah. (Disebutkan oleh Ibn Hajar dalam Fathul Bari 2/458, kata Ibn Mardawaih: Sanadnya shahih)

b. Hadis dari Abdullah bin Umar, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak ada amal yang dilakukan di hari yang lebih agung dan lebih dicintai Allah melebihi amal yang dilakukan di tanggal 1 – 10 Dzulhijjah. Oleh karena itu, perbanyaklah membaca tahlil, takbir, dan tahmid pada hari itu.” (HR. Ahmad & Sanadnya dishahihkan Syaikh Ahmad Syakir)

c. Imam Al Bukhari mengatakan: “Dulu Ibn Umar dan Abu Hurairah pergi ke pasar pada tanggal 1 – 10 Dzulhijjah. Mereka berdua mengucapkan takbiran kemudian masyarakat bertakbir disebabkan mendengar takbir mereka berdua.” (HR. Al Bukhari sebelum hadis no.969)

d. Disebutkan Imam Bukhari: “Umar bin Khatab pernah bertakbir di kemahnya ketika di Mina dan didengar oleh orang yang berada di masjid. Akhirnya mereka semua bertakbir dan masyarakat yang di pasar-pun ikut bertakbir. Sehingga Mina guncang dengan takbiran.” (HR. Al Bukhari sebelum hadis no.970)

e. Disebutkan oleh Ibn Hajar bahwa Ad Daruqutni meriwayatkan: “Dulu Abu Ja’far Al Baqir (cucu Ali bin Abi Thalib) bertakbir setiap selesai shalat sunnah di Mina.” (Fathul Bari 3/389)

2. Takbiran yang terikat waktu

Takbiran yang terikat waktu adalah takbiran yang dilaksanakan setiap selesai melaksanakan shalat wajib. Takbiran ini dimulai sejak setelah shalat subuh tanggal 9 Dzulhijjah sampai setelah shalat Asar tanggal 13 Dzulhijjah. Berikut dalil-dalilnya:

a. Dari Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau dulu bertakbir setelah shalat shubuh pada tanggal 9 Dzulhijjah sampai setelah dluhur pada tanggal 13 Dzulhijjah. (Ibn Abi Syaibah & Al Baihaqi dan sanadnya dishahihkan Al Albani)

b. Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau bertakbir setelah shalat shubuh pada tanggal 9 Dzulhijjah sampai ashar tanggal 13 Dzulhijjah. Beliau juga bertakbir setelah ashar. (HR Ibn Abi Syaibah & Al Baihaqi. Al Albani mengatakan: “Shahih dari Ali radhiyallahu ‘anhu“)

c. Dari Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau bertakbir setelah shalat shubuh pada tanggal 9 Dzulhijjah sampai tanggal 13 Dzulhijjah. Beliau tidak bertakbir setelah maghrib (malam tanggal 14 Dzluhijjah). (HR Ibn Abi Syaibah & Al Baihaqi. Al Albani mengatakan: Sanadnya shahih)

d. Dari Ibn Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau bertakbir setelah shalat shubuh pada tanggal 9 Dzulhijjah sampai ashar tanggal 13 Dzulhijjah. (HR. Al Hakim dan dishahihkan An Nawawi dalam Al Majmu’)

Lafadz Takbir

Tidak terdapat riwayat lafadz takbir tertentu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hanya saja ada beberapa riwayat dari beberapa sahabat yang mencontohkan lafadz takbir. Diantara riwayat tersebut adalah:

Pertama, Takbir Ibn Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Riwayat dari beliau ada 2 lafadz takbir:

أ- اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله ُ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ وللهِ الْحَمْدُ
ب- اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله ُ، اللَّهُ أَكْبَرُ وللهِ الْحَمْدُ

Keterangan:
Lafadz: “Allahu Akbar” pada takbir Ibn Mas’ud boleh dibaca dua kali atau tiga kali. Semuanya diriwayatkan Ibn Abi Syaibah dalam Al Mushannaf.

Kedua, Takbir Ibn Abbas radliallahu ‘anhuma:

اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، وَلِلَّهِ الْحَمْدُ، اللَّهُ أَكْبَرُ وَأَجَلُّ
اللَّهُ أَكْبَرُ، عَلَى مَا هَدَانَا

Keterangan:
Takbir Ibn Abbas diriwayatkan oleh Al Baihaqi dan sanadnya dishahihkan Syaikh Al Albani.

Ketiga, Takbir Salman Al Farisi radhiyallahu ‘anhu:

اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا

Keterangan: Ibn Hajar mengatakan: Takbir Salman Al Farisi radhiyallahu ‘anhu diriwayatkan oleh Abdur Razaq dalam Al Mushanaf dengan sanad shahih dari Salman.

Catatan Penting

As Shan’ani mengatakan: “Penjelasan tentang lafadz takbir sangat banyak dari berberapa ulama. Ini menunjukkan bahwa perintah bentuk takbir cukup longgar. Disamping ayat yang memerintahkan takbir juga menuntut demikian.”

Maksud perkataan As Shan’ani adalah bahwa lafadz takbir itu longgar, tidak hanya satu atau dua lafadz. Orang boleh milih mana saja yang dia suka. Bahkan sebagian ulama mengucapkan lafadz takbir yang tidak ada keterangan dalam riwayat hadis. Allahu A’lam.

Kebiasaan yang Salah Ketika Takbiran

Ada beberapa kebiasaan yang salah ketika melakukan takbiran di hari raya, diantaranya:

a. Takbir berjamaah di masjid atau di lapangan

Karena takbir yang sunnah itu dilakukan sendiri-sendiri dan tidak dikomando. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat Anas bin Malik bahwa para sahabat ketika bersama nabi pada saat bertakbir, ada yang sedang membaca Allahu akbar, ada yang sedang membaca laa ilaaha illa Allah, dan satu sama lain tidak saling menyalahkan… (Musnad Imam Syafi’i 909)

Riwayat ini menunjukkan bahwa takbirnya para sahabat tidak seragam. Karena mereka bertakbir sendiri-sendiri dan tidak berjamaah.

b. Takbir dengan menggunakan pengeras suara

Perlu dipahami bahwa cara melakukan takbir hari raya tidak sama dengan cara melaksanakan adzan. Dalam syariat adzan, seseorang dianjurkan untuk melantangkan suaranya sekeras mungkin. Oleh karena itu, para juru adzan di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti Bilal, dan Abdullah bin Umi Maktum ketika hendak adzan mereka naik, mencari tempat yang tinggi. Tujuannya adalah agar adzan didengar oleh banyak orang. Namun ketika melakukan takbir hari raya, tidak terdapat satupun riwayat bahwa Bilal naik mencari tempat yang tinggi dalam rangka melakukan takbiran. Akan tetapi, beliau melakukan takbiran di bawah dengan suara keras yang hanya disengar oleh beberapa orang di sekelilingnya saja.

Oleh karena itu, sebaiknya melakukan takbir hari raya tidak sebagaimana adzan. Karena dua syariat ini adalah syariat yang berbeda.

c. Hanya bertakbir setiap selesai shalat berjamaah

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa takbiran itu ada dua. Ada yang terikat waktu dan ada yang sifatnya mutlak (tidak terikat waktu). Untuk takbiran yang mutlak sebaiknya tidak dilaksanakan setiap selesai shalat fardlu saja. Tetapi yang sunnah dilakukan setiap saat, kapan saja dan di mana saja.

Ibnul Mulaqin mengatakan: “Takbiran setelah shalat wajib dan yang lainnya, untuk takbiran Idul Fitri maka tidak dianjurkan untuk dilakukan setelah shalat, menurut pendapat yang lebih kuat.” (Al I’lam bi Fawaid Umadatil Ahkam: 4/259)

Amal yang disyariatkan ketika selesai shalat jamaah adalah berdzikir sebagaimana dzikir setelah shalat. Bukan melantunkan takbir. Waktu melantunkan takbir cukup longgar, bisa dilakukan kapanpun selama hari raya. Oleh karena itu, tidak selayaknya menyita waktu yang digunakan untuk berdzikir setelah shalat.

d. Tidak bertakbir ketika di tengah perjalanan menuju lapangan

Sebagaimana riwayat yang telah disebutkan di atas, bahwa takbir yang sunnah itu dilakukan ketika di perjalanan menuju tempat shalat hari raya. Namun sayang sunnah ini hampir hilang, mengingat banyaknya orang yang meninggalkannya.

e. Bertakbir dengan lafadz yang terlalu panjang

Sebagian pemimpin takbir sesekali melantunkan takbir dengan bacaan yang sangat panjang. Berikut lafadznya:

الله أكبر كَبِيرًا وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا وَسُبْحَانَ اللَّهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَلَا نَعْبُدُ إلَّا إيَّاهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ…

Takbiran dengan lafadz yang panjang di atas tidak ada dalilnya. Allahu a’lam.

***

Penulis: Ammi Nur Baits
Artikel www.muslim.or.id
READ MORE - Takbiran Hari Raya

arti'y syafa'at n rahmat?

Adakalanya kita dengar seseorang mengatakan, “Wahai Muhammad, berilah syafa’at kepada kami!” atau “Wahai Muhammad, syafa’atilah kami!”

Kaum muslimin sekalian, memang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lah akan diberi izin oleh Allah untuk memberikan syafa’at besok di hari kiamat. Tapi permasalahannya, bolehkan kita meminta langsung kepada beliau? Ini adalah permasalahan yang sangat penting, jika seseorang salah di dalamnya maka ia dapat jatuh ke dalam kesyirikan.

Syafa’at Adalah Doa... Baca Selengkapnya... Baca Selengkapnya

Telah sama-sama kita ketahui bahwa ibadah mutlak hanya boleh ditujukan untuk Allah, baik berupa doa, sembelihan, nadzar dan sebagainya. Barang siapa yang menujukan ibadah bukan untuk Allah, walaupun kepada Nabi atau Malaikat dan walaupun hanya satu macam ibadah saja, atau sekali saja maka itulah perbuatan syirik.

Kemudian ketahuilah, bahwa syafa’at hakikatnya adalah doa, atau memerantarai orang lain untuk mendapatkan kebaikan dan menolak keburukan. Atau dengan kata lain syafa’at adalah memintakan kepada Allah di akhirat untuk kepentingan orang lain. Dengan demikian meminta syafa’at berarti meminta doa, sehingga permasalahan syafa’at ialah sama dengan doa.

Syafa’at Hanyalah Milik Allah

Perhatikanlah firman Allah, “Katakanlah: Hanya kepunyaan Allah lah syafa’at itu semuannya. Milik-Nya lah kerajaan langit dan bumi. Kemudiaan kepada-Nyalah kamu dikembalikan.” (Az Zumar: 44)

Ketahuilah, ayat tersebut dengan jelas menyebutkan bahwa syafa’at segenap seluruh macamnya itu hanya milik Allah semata. Allah kemudian memberikan kepada sebagian hamba-Nya untuk memberikan syafa’at kepada sebagian hamba yang lainnya dengan tujuan untuk memuliakan menampakkan kedudukannya pemberi syafa’at dibanding yang disyafa’ati serta memberikan keutamaan dan karunia-Nya kepada yang disyafa’ati untuk bisa mendapatkan kenikmatan yang lebih baik atau kebebasan dari adzab-Nya.

Syarat Terjadinya Syafa’at

Orang yang memberi syafa’at dan orang yang diberi syafa’at itupun bukan sembarang orang. Syafa’at hanya terjadi jika ada izin Allah kepada orang yang memberi syafa’at untuk memberi syafa’at dan ridha Allah kepada pemberi syafa’at dan yang disyafa’ati. Allah berfirman, “Allah mengetahui segala sesuatu yang di hadapan mereka (malaikat) dan yang di belakang mereka, dan mereka tiada memberi syafa’at melainkan kepada orang yang diridhai Allah, dan mereka itu selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya.” (Al Anbiya: 28) dan firman Allah, “Dan berapa banyaknya malaikat di langit, syafa’at mereka sedikitpun tidak berguna kecuali sesudah Allah mengizinkan bagi orang yang dikehendaki dan diridhai-(Nya).” (An Najm: 26). Dan juga firman-Nya, “Dan tiadalah berguna syafa’at di sisi Allah melainkan bagi orang yang telah diizinkan-Nya memperoleh syafa’at itu, sehingga apabila telah dihilangkan ketakutan dari hati mereka, mereka berkata: ‘Apakah yang telah difirmankan oleh Tuhan-mu?’ Mereka menjawab: ‘(Perkataan) yang benar, dan Dia-lah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar’.” (Saba: 22-23)

Ahli Tauhidlah Orang yang Diridhoi Allah

Orang yang diridhoi itulah ahli tauhid. Abu Huroiroh telah bertanya kepada Nabi shollAllahu ‘alaihi wa sallam, “Siapakah orang yang paling beruntung dengan syafa’at engkau?” Beliau menjawab, “Ialah orang yang mengucapkan La Ilaha Illallah dengan ikhlas dari dalam hatinya.” (HR. Ahmad dan Bukhori). Mengucapkan di sini bukanlah maksudnya mengucapkan dengan lisan semata, tetapi juga harus diikuti dengan konsekuensi-konsekuensinya
dengan memurnikan ibadah kepada Allah semata dan tidak menyekutukannya.

Orang Kafir Tidak Akan Menerima Syafa’at

Allah tidak akan memberikan syafa’at kepada orang kafir, karena mereka itulah ahli syirik. Dan Allah tidak akan pernah ridho dengan kesyirikan dan pelaku kesyirikan. Namun dalam hal ini dikecualikan untuk Abu Tholib, dialah satu-satunya orang musyrik yang mendapatkan syafa’at keringanan adzab dengan memandang jasanya yang begitu besar dalam melindungi Rasulullah shollAllahu ‘alaihi wa sallam semasa hidupnya. Adapun orang kafir selain Abu Tholib maka tidak akan mendapatkan syafa’at sedikit pun.

Macam-Macam Syafa’at

Syafa’at ada bermacam macam, diantaranya ada yang khusus dilakukan oleh Nabi Muhammad, yaitu syafa’at bagi manusia ketika di padang Mahsyar dengan memohon kepada Allah agar segera memberikan keputusan hukum bagi mereka, syafa’at bagi calon penduduk surga untuk bisa masuk surga, syafa’at bagi pamannya yaitu Abu Thalib untuk mendapat keringanan adzab.

Ada pula syafa’at yang dilakukan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam maupun para pemberi syafa’at lainnya, yaitu: Syafa’at bagi penduduk surga untuk mendapatkan tingkatan surga yang lebih tinggi dari sebelumnya, syafa’at bagi mereka yang seimbang antara amal sholihnya dengan amal buruknya untuk masuk surga, syafa’at bagi mereka yang amal buruknya lebih berat dibanding amal sholihnya untuk masuk surga, syafa’at bagi pelaku dosa besar yang telah masuk neraka untuk berpindah ke surga, syafa’at untuk masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab.

Hukum Meminta Syafa’at

Sekarang tinggal tersisa satu permasalahan, bagaimanakah hukumnya meminta syafa’at. Telah kita ketahui bersama bahwa syafa’at adalah milik Allah, maka meminta kepada Allah hukumnya disyariatkan, yaitu meminta kepada Allah agar para pemberi syafa’at diizinkan untuk mensyafa’ati di akhirat nanti. Seperti, “Ya Allah, jadikanlah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pemberi syafa’at bagiku. Dan janganlah engkau haramkan atasku syafa’atnya”.

Adapun meminta kepada orang yang masih hidup, maka jika ia meminta agar orang tersebut berdo’a kepada Allah agar ia termasuk orang yang mendapatkan syafa’at di akhirat maka hukumnya boleh, karena meminta kepada yang mampu untuk melakukanya. Namun, jika ia meminta kepada orang tersebut syafa’at di akhirat maka hukumnya syirik, karena ia telah meminta kepada seseorang suatu hal yang tidak mampu dilakukan selain Allah. Adapun meminta kepada orang yang sudah mati maka hukumnya syirik akbar baik dia minta agar dido’akan atau meminta untuk disyafa’ati.

Rahmat Allah Itu Sangat Luas. Sesungguhnya rahmat Allah itu sangat luas, Rahmat Allah itu meliputi segala sesuatu. Tidak ada lagi rahmat selian dari rahmat Allah di dunia ini. Rahamat itu meliputi untuk orang-orang kafir dan untuk orang-orang beriman secara merata. Kemanapun kamua menghadapkan wajahmu di alam ini, niscaya kamu akan menemukan rahmat Allah sebagai bukti ke maha besar kuasa dan pengusaan-Nya.

Sebagai contoh dapat dilihat pada air hujan yang diturunkan dari langit, yang dengan air tersebut Allah menghidupkan bumi yang sudah mati, menumbuhkan tanaman, memperbanyak air susu hewan serta memberi minum kepada banyak orang dan banyak suku bangsa dan Allah telah menyeru kepada kita semua agar mau memikirkannya dan meneliti hal yang terjadi karena sebab turunnya air hujan.

Diantara rahmat-rahmat Allah tersebut, pengutusan Yang Mulia Saydina Rasululullah Muhammad saw kemuka bumi ini sebagai nabi dan rasul terakhir. Penutup dari sekalian nabi yang pernah diutus sebelumnya dan hamba yang tersebab karena dia seluruh alam ini diciptakan dengan membawa risalah kitab suci Al-Quran sebagai kitab tauhid terakhir merupakan rahmat Allah yang paling besar dan paling mulia bagi seluruh umat manusia yang berakal.... Baca Selengkapnya... Baca Selengkapnya

“ Sesungguhnya Al Quran ini menjelaskan kepada Bani lsrail sebahagian besar dari (perkara-perkara) yang mereka berselisih tentangnya. dan Sesungguhnya Al-Qur’an itu benar-benar menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS : 027 : An Naml : 76 dan 77)

“ Ssesudah amarah Musa menjadi reda, lalu diambilnya (kembali) luh-luh (Taurat) itu; dan dalam tulisannya terdapat petunjuk dan rahmat untuk orang-orang yang takut kepada Tuhannya.” (QS : 007 : Al-A’raf : 154)

“ lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami[*].(QS : 018 : Al-kahfi : 065)

[*] Menurut ahli tafsir hamba di sini ialah Khidhr, dan yang dimaksud dengan rahmat di sini ialah wahyu dan kenabian. sedang yang dimaksud dengan ilmu ialah ilmu tentang yang ghaib seperti yang akan diterangkan dengan ayat-ayat berikut.

Melalui ayat-ayat Al-Quran tersebut Allah secara tegas menyatakan bahwa sesunguhnya Taurat itu juga rahmat dari Allah.

Perbedaan antara rahmat Allah untuk orang mukmin dan orang kafir itu adalah bahwa rahmat Allah di akhirat hanya diperutukkan untuk orang-orang mukmin saja, sedangkan di dunia rahmat itu diberikan secara merata merata untuk seluruh makhluk, baik itu orang kafir ataupun orang mukmin, hewan dan tumbuhan.

“ Dari Abu Hurairah sesungguhnya Rasulullah bersabda : Allah telah menciptakan seratus macam dan hanya menurunkan satu rahmat saja yang diperutukkan bagi seluruh makhluk-Nya yang diantara mereka saling mengasihi dengan rahmat tersebut. Allah masih mempunyai sembilan puluh sembilan rahmat yang dapat dipergunakan mereka untuk saling mengasihi “ ( HR : Tirmidzi )

Hanya dengan satu rahmat saja dari Allah, sudah mencakup seluruh kebaikan, cinta dan kasih sayang yang ada di dunia ini. Hanya dengan satu rahmat itu saja seorang ibu dengan sepenuh cinta dan kasih sayang yang dimiliknya mau dan rela menyusui anaknya, Seorang kekasih mencintai pujaan hatinya. Sedangkan di akhirat kelak Allah mesih menyimpan sembilan puluh sembilan rahmat lagi yang hanya bisa dipergunakan olah orang yang beriman.

“ Jika seorang mukmin dapat mengetahui siksa yang dimiliki Allah, niscaya tidak seorang pun dari mereka yang berharap dapat masuk surga. Jika seorang kafir mengetahui rahmat yang dimiliki Allah, niscaya tidak seorang pun yang putus asa dari mengharap surga Allah “ ( HR Tirmidzi )

Sebagaimana rahmat Allah, Siksa Allah juga sangat luas dan sangat pedih. Namun rahmat Allah melebihi murkanya

“ Kerika Allah menciptakan Makhluk, Dia menetapkan atas Dirinya dengan Tangan-Nya: “ Rahmat-Ku melebihi murka-Ku “ ( HR : Ibnu Majah )

Allah masih memberi kesempatan kepada orang-orang kafir untuk menikmati rahmat-Nya sambil tetap mendustakan dan menipu dirinya sendiri dengan mengingkari cahaya atau nur kebenaran yang sesungguhnya atau Allah masih memberi kesempatan kepada orang-orang kafir tersebut agar mau bertobat dan berserah diri kepada Allah, Tuhan Sang Maha Pengasih dan Maha Penyayang dengan cara berserah diri dan berusaha untuk sebanyak mungin mendapatkan dan mengumpulkan rahmat-Nya di dunia

Beberapa cara untuk mendapatkan rahmat Allah itu di dunia dan akhirat diantaranya dengan banyak mengamalkan dan mendengarkan bacaan Al-Quran. Mendirikan shalat, membayarkan zakat dan taat kepada Rasulullah saw, memperbanyak istighfar dan berbuat baik kebaikan secara ikhlas. Selain itu yang tak kalah pentingnya adalah berdoa dan memohon rahmat untuk diri kita dan saudara-saudara kita terutama kedua orang tua kita agar diberi rahmat oleh Allah didunia dana akhirat sebagaimana yang diperintahkan Allah dalam Al-Quran

Musa berdoa: “Ya Tuhanku, ampunilah aku dan saudaraku dan masukkanlah Kami ke dalam rahmat Engkau, dan Engkau adalah Maha Penyayang di antara Para Penyayang”.(QS : 007 : Al-A’raf : 151) Dan “ … dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil “. (QS : 017 : Al-Israa’ : 24)



Syafaat itu kita sebagai umat nabi muhamad akan di selamatkan ato di beri pertolongan oleh nabi muhamad di akhirat kelak ketika tidak ada lagi pertolongan yg bisa menolong ,makanya banyak2 membaca shalawat kepada jungjungan nabi ... Baca Selengkapnyabesar muhamad.saw agar mendapatkan syafat dari beliau,tapi jngan lupa shalat 5 waktu jangan di tinggal....itu kunci utamanya.
Rahmat kata rahmat dalam bahasa indondsia adalah kata serapan dari bahasa arab rahmah,dalam kitab lisan al-arab di jelaskan bahwa sifat rahmah mencakup sifat penyayang,pengasih dan pengampun, Allah memiliki sifat ar-rahmah ,karena Allah maha penyayang,maha pengasih dan pengampun ,jadi rahmat Allah=kasih sayang Allah,pengampunan dari Allah,pengasih/pemberian dari Allah.
READ MORE - arti'y syafa'at n rahmat?

Kewajiban Taat Kepada Pemerintah


Bismillah,

Kewajiban taat kepada pemerintah merupakan salah satu prinsip Islam yang agung. Prinsip ini selalu akan dijaga dan dikibarkan oleh Ahlus Sunnah Wal Jama'ah dari satu generasi ke generasi berikutnya. Namun manakala umat Islam semakin jauh dari bimbingan Al-Qur'an dan As-Sunnah serta para ulama Salaf, maka prinsip ini pun terasa asing dan aneh. Demikianlah ketetapan dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam yang artinya :

“Sesungguhnya Islam datang dalam keadaan asing dan akan kembali pula daam keadaan asing, maka berbahagialah orang-orang dikatakan asing.” (HR. Muslim dari hadits Abu Hurairah dan Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma)

Dalam prinsip Ahlus Sunnah bahwa taat kepada penguasa itu adalah wajib hukumnya, sekali pun penguasa itu jahat dan zhalim. Kejahatan dan kezhaliman sang penguasa tidaklah menghalalkan untuk keluar dari ketaatan atau mengadakan perlawanan (pemberontakan), selama penguasa itu tidak menampakkan kekufuran yang nyata. Inilah manhaj (prinsip) agung dan syi'ar Ahlus Sunnah sepanjang zaman hingga akhir zaman.

"Senantiasa akan ada suatu kelompok dari umatku yang selalu tampak di atas kebenaran, yang tidak akan memudharatkan mereka orang-orang yang menelantarkan (tidak mau menolong) mereka sampai datang keputusan Allah (hari kiamat)." (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Di dalam Al Qur'an, Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah menegaskan tentang kewajiban menaati waliyul amr (pemerintah). Sebagaimana firman-Nya (artinya):

"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri (penguasa) di antara kamu." (An Nisaa':59)

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam sebagai penyampai dan sekaligus sebagai penjelas wahyu-Nya telah menyampaikan dan menjelaskan jalan terbaik yang dapat membuahkan mashalahat (kebaikan) lebih besar bagi rakyat adalah sabar dengan segala sifat dan perangai dari sang penguasa.

Dari 'Adi bin Hatim -radhiallaahu`anhu-, dia berkata (yang artinya): "Kami mengatakan: "Wahai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, kami tidak bertanya tentang ketaatan kepada orang-orang yang bertaqwa, tetapi ketaatan kepada orang yang berbuat begini dan begitu.." (disebutkan kejelekan-kejelekan), maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda (yang artinya): "Bertaqwalah kepada Allah! Dengar dan taatlah!" (HR. Ibnu Abi 'Ashim dalam As Sunnah, dan lain-lain. Lihat Al Wardhul Maqthuf. Hal.32)

Wajib taat dan mendengar kepada sang penguasa walaupun dalam kondisi serba susah dan sulit. Jika dia merampas hak kita, maka kewajiban kita adalah sabar dan meminta kepada Allah hak kita yang telah dirampas.

Dari Junada bin Abu Umayyah -radhiallaahu`anhu-, dia berkata: "Kami masuk ke rumah Ubadah bin Ash Shamit ketika beliau dalam keadaan sakit, lalu kami berkata kepadanya: "Sampaikanlah hadits kepada kami -semoga Allah menyembuhkanmu- yang engkau dengar dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, yang dengannya (dengan hadits tersebut-red) Allah akan memberikan manfaat bagi kami!", maka ia pun berkata (yang artinya):

"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam memanggil kami kemudian membai'at kami. Dan di antara bai'atnya adalah agar kami bersumpah setia untuk mendengar dan ta'at ketika kami suka maupun duka, berat maupun ringan, ataupun ketika kami diperlakukan secara tidak adil. Dan agar kami tidak merebut urusan kepemimpinan dari orang yang berhak (beliau berkata): Kecuali jika kalian melihat kekufuran yang nyata, yang kalian memiliki bukti di sisi Allah." (HR.Al Bukhari dan Muslim)

Dari Abdullah bin Mas'ud -radhiallaahu`anhu-, dia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda (yang artinya):

"Akan muncul setelahku atsarah (penguasa yang mengutamakan diri mereka sendiri dan tidak memberikan hak rakyatnya -red) dan perkara-perkara yang kalian ingkari." Para shahabat-red) bertanya: "Apa yang engkau perintahkan kepada kami, wahai Rasulullah?" Beliau Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda (yang artinya):

"Tunaikanlah kewajiban kalian kepada mereka dan mintalah hak kalian kepada Allah." (HR Al Bukhari dan Muslim)

Dari Hudzaifah Ibnul Yaman -radhiallahu 'anhu-, dia berkata: "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda (yang artinya):

"Akan datang setelahku para penguasa yang tidak mengikuti petunjukku dan tidak menjalani sunnahku dan akan berada bersama para penguasa orang-orang yang hati mereka adalah hati-hati syaithan yang berada dalam jasad manusia." (Hudzaifah berkata): "Wahai Rasulullah, apa yang aku perbuat jika aku menemui mereka?" Beliau menjawab: "Engkau dengar dan engkau taati walaupun punggungmu dicambuk dan hartamu diambil." (HR. Muslim)

Menurut Al Imam An Nawawi rahimahullah: "Kesimpulannya adalah sabar terhadap kezhaliman penguasa dan tidak gugur ketaatan (kepada mereka) dengan kezhaliman mereka." (Syarh Shahih Muslim, 12/222)

Ibnu Hajar rahimahullah berkata: "Wajib berpegang dengan jama'ah muslimin dan penguasa-penguasa mereka walaupun mereka bermaksiat." (Fathul Bari bi Syarhi Shahihil Bukhari)

Meski sang penguasa itu cacat atau berasa dari bangsa budak, kita tetap wajib taat dan berada di bawah kepemimpinannya.

Dari Abu Dzar -radhiyallahu 'anhu-, bahwa dia berkata:
"Telah mewasiatkan kepadaku kekasihku agar aku mendengar dan taat walaupun yang berkuasa adalah budak yang terpotong hidungnya (cacat)." (HR Al Bukhari dan Muslim)

Dari Suwaid bin Ghafalah, dia berkata: "Umar berkata kepadaku: "Wahai Abu Umayyah, aku tidak tahu apakah aku akan bertemu dengan engkau lagi setelah tahun ini ..., jika dijadikan amir (pemimpin) atas kalian seorang budak dari Habasyah, bahkan terpotong hidungnya, maka dengarlah dan taatlah! Jika dia memukulmu, sabarlah! Jika dia tidak memberikan hakmu, sabarlah! Jika ia ingin sesuatu yang mengurangi agamamu, maka katakanlah aku mendengar dan taat pada darahku bukan pada agamaku, dan tetaplah kamu jangan memisahkan diri dari jama'ah."

Bahkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam mengancam barangsiapa yang memisahkan diri dari jama'ah dan memberontak kepada penguasanya, maka matinya adalah mati jahiliyyah. Yaitu mati dalam keadaan bermaksiat kepada Allah seperti keadaan orang-orang jahiliyyah. Ibnu 'Abbas -radhiyallahu 'anhu- berkata: "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda (yang artinya) :

"Barangsiapa yang melihat sesuatu yang tidak dia sukai dari penguasanya, maka bersabarlah! Karena barangsiapa yang memisahkan diri dari jamaah sejengkal saja, maka ia akan mati dalam keadaan mati jahiliyyah." (HR Al Bukhari dan Muslim)

Mengapa harus sabar dan mengalah ? Bukankah penguasa itu telah berbuat zhalim dan maksiat ?

Jawabannya adalah firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala (yang artinya):
"Dan demikianlah kami jadikan sebagian orang-orang zhalim itu sebagai teman (wali, pemimpin -pent) atas sebagian yang lainnya disebabkan apa yang mereka usahakan sendiri." (Al An'am:192)

Al Hasan Al Bashri mengatakan: "Ketahuilah -semoga Allah memberimu keselamatan- bahwa kezhaliman para penguasa merupakan adzab dari Allah, dan adzab Allah tidak dihadapi dengan pedang akan tetapi dihadapi dengan do'a, taubat, kembali kepada Allah dan mencabut segala dosa. Sungguh adzab Allah jika dihadapi dengan pedang, maka ia akan lebih bisa memotong (mudharatnya lebih besar daripada mashalahatnya -pent)." (Asy Syari'ah karya Al-Imam Al Ajurri, hal 38)

Al Imam Abul Walid Ath Thurtusi berkata: "Jika kamu berkata bahwa raja-raja (penguasa) di masa ini tidak seperti raja-raja di masa lalu, maka (dijawab) bahwa rakyat sekarang pun tidak seperti rakyat di masa lalu. Dan kamu tidak lebih berhak mencela penguasamu ketika kamu menengok (membandingkan dengan) penguasa dahulu daripada penguasamu mencela kamu ketika dia menengok rakyat yang hidup di masa lalu. Maka jika penguasamu berbuat zhalim terhadap kamu hendaknya kamu bersabar dan dosanya ditanggung (penguasa itu)." (Sirajul Muluk, hal. 100-101, dinukil dari Fiqh Siyasah Syar'iyyah, hal. 165-166)

Al Imam Ibnu Katsir rahimahullah dalam kitab tafsirnya berakta: "Demikianlah Kami berbuat terhadap orang-orang zhalim yaitu dengan Kami jadikan sebagian orang zhalim sebagai pemimpin sebagian yang lainnya." (Al Misbahhul Munir)

Inilah hakekat yang sangat perlu direnungkan. Bahwa munculnya penguasa yang zhalim disebabkan oleh dosa-dosa dan kemaksiatan rayatnya sendiri, karena penguasa itu berasal dari rakyat juga. Sikap mencaci-maki, merendahkan dan bahkan mengkafirkan penguasa hanya akan menambah kezhaliman penguasa, yang akibatnya tidak hanya menimpa kepada orang-orang yang bersalah, namun juga akan menimpa kepada orang-orang yang tidak bersalah. Akibatnya, sikap seperti ini justru akan menimbulkan mudharat (kejelekan) yang lebih besar dibanding mashalahat (kebaikan) yang diperoleh, tentunya hal ini merupakan perkara yang dilarang agama.

Ketika Abu Dzar keluar ke daerah Rabadzah karena menaati perintah khalifah 'Utsman, disebabkan ia memiliki sebuah permasalahan dengan seseorang, ia berjumpa dengan serombongan orang-orang Iraq yang mengatakan:
"Wahai Abu Dzar sungguh telah sampai kepada kami apa yang diperlakukan terhadap dirimu. Maka tegakkanlah bendera (maksudnya ajakan untuk memberontak) niscaya akan datang kepadamu orang-orang dari mana saja kamu mau." Maka beliau menjawab: "Jangan terburu-buru wahai kaum muslimin, sungguh saya mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Akan datang setelahku penguasa maka muliakanlah dia. Barangsiapa yang menghinakannya berarti ia telah membuat satu lubang dalam Islam dan tidak akan diterima taubat darinya sampai ia mengembalikannya seperti sebelumnya." (HR Ibnu Abi 'Ashim dalam As-Sunnah no.1709)

Perlu diketahui bahwa munculnya penguasa-penguasa yang jahat bukan merupakan suatu hal yang baru. Dalam sejarah Islam tercatat sejak para shahabat masih hidup telah muncul seorang pemimpin yang luar biasa bengisnya melebihi para penguasa di masa ini. Bahkan penguasa itu sampai mendapat julukan resmi dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam sebagai Al Mujbir (pembinasa). Penguasa tersebut adalah Hajjaj bin Yusuf Ats Tsaqafi. Bukan hanya ulama yang ia bunuh, bahkan sebagian shahabat pun ia bunuh. Jumlahnya pun bukan sekedar ratusan, namun mencapai ribuan. Ibnu Hajar rahimahullah menukilkan riwayat dari Hisyam bin Hassan, bahwa ia mengatakan: "Kami menghitung orang yang dibunuh Hajjaj dengan cara shabran (dibunuh dengan cara tidak diberi makan dan minum) mencapai 120.000 jiwa." (Tahdzibut Tahdzib, 2/211)

Meski demikian keadaannya, para ulama dan (termasuk) para shahabat yang masih hidup pada masa itu tidak mencabut kepemimpinannya. Demikian pula teladan mulia dari Al Imam Ahmad rahimahullah, ketika beliau dipenjara dan disiksa oleh penguasa yang zhalim, tetap memerintahkan kaum muslimin mendengar dan taat serta tidak memberontak kepada penguasa tersebut. Beliau berkata:

"Hendaknya kalian mengingkari kemungkaran tersebut dengan menggunakan hati kalian. Dan jangan sekali-kali kalian mencabut tangan kalian dari ketaatan. Dan jangan pula kalian mematahkan tongkat persatuan kaum muslimin, serta jangan pula kalian menumpahkan darah-darah kalian sendiri dan darah-darah kaum muslimin. Pertimbangkan akibat dari tindakan kalian tersebut dan sabarlah kalian sampai orang-orang yang baik meninggal dunia atau sebaliknya pimpinan yang zhalim itulah yag meninggal dunia." (As Sunnah, hal 90, karya Al Imam Al Khallal)

Kewajiban taat kepada pemerintah ini sebatas dalam hal yang ma'ruf. Bila pemerintah memerintahkan kepada hal yang mungkar, maka tidak perlu menaatinya dengan tetap tidak memisahkan diri dari kepemimpinannya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda (yang artinya):

"Tidak ada ketaan kepada (seorang) makhluk pun dalam bermaksiat kepada Sang Khalik (Allah Subhanahu Wa Ta'ala)." (Shahih Al Jami' Ash Shaghir no.7520)

Wallahu 'alam bish showab

Sumber : Buletin Islam Al-Ilmu edisi 43
READ MORE - Kewajiban Taat Kepada Pemerintah