Jumat, 26 Februari 2010

enarkah Ibnu Taimiyah, Ibnu Hajar, Shalahuddin Al Ayubi Pro Maulid Nabi

Sebagian orang selalu mencari-cari dalil untuk membenarkan amalan tanpa tuntunan yang ia lakukan. Di antara cara yang dilakukan adalah menjadikan perkataan ulama Ahlus Sunnah sebagai argumen untuk mendukung bid’ah mereka. Inilah yang terjadi dalam perayaan Maulid Nabi. Di antara perkataan ulama Ahlus Sunnah yaitu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, disalahpahami oleh sebagian kalangan sehingga beliau pun disangka mendukung perayaan Maulid. Begitu pula ada perkataan lain dari Ibnu Hajar Al ‘Asqolani mengenai hal ini. Ibnu Hajar adalah di antara ulama yang memiliki ketergelinciran dalam masalah Maulid. Nantinya kami juga akan membahas syubhat (kerancuan) lainnya yang sengaja disuarakan oleh para simpatisan Maulid seperti pemutarbalikkan sejarah Maulid yang disangka dipelopori oleh Shalahuddin Al Ayubi. Semoga Allah memudahkan untuk mengungkap yang benar dan yang batil. Allahumma yassir wa a’in (Ya Allah, mudahkan dan tolonglah).

Kerancuan Pertama: Salah Paham dengan Perkataan Ibnu Taimiyah

Di salah satu website yang kami telusuri, ada perkataan Syaikhul Islam sebagai berikut, “Merayakan maulid dan menjadikannya sebagai kegiatan rutin dalam setahun sebagaimana yang telah dilakukan oleh sebagian orang, akan mendapatkan pahala yang besar sebab tujuannya baik dan mengagungkan Rasulullah SAW.”

Perkataan beliau inilah yang menjadi dasar sebagian kalangan yang menyatakan bahwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mendukung Maulid. [1]

Kalimat selengkapnya terdapat dalam kitab Iqtidho’ Ash Shirothil Mustaqim sebagai berikut.

فتعظيم المولد واتخاذه موسما قد يفعله بعض الناس ويكون له فيه أجر عظيم لحسن قصده وتعيظمه لرسول الله صلى الله عليه وآله وسلم كما قدمته لك أنه يحسن من بعض الناس ما يستقبح من المؤمن المسدد ولهذا قيل للامام أحمد عن بعض الأمراء إنه أنفق على مصحف ألف دينار ونحو ذلك فقال دعه فهذا أفضل ما أنفق فيه الذهب أو كما قال مع أن مذهبه أن زخرفة المصاحف مكروهة وقد تأول بعض الأصحاب أنه أنفقها في تجديد الورق والخط وليس مقصود أحمد هذا وإنما قصده أن هذا العمل فيه مصلحة وفيه أيضا مفسدة كره لأجلها فهؤلاء إن لم يفعلوا هذا وإلا اعتاضوا الفساد الذي لا صلاح فيه مثل أن ينفقها في كتاب من كتب الفجور ككتب الأسماء أوالأشعار أو حكمة فارس والروم

“Adapun mengagungkan maulid dan menjadikannya acara tahunan, hal ini terkadang dilakukan oleh sebagian orang. Mereka pun bisa mendapatkan pahala yang besar karena tujuan baik dan pengagungannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang aku telah jelaskan sebelumnya bahwasanya hal itu dianggap baik oleh sebagian orang tetapi tidak dianggap baik oleh mukmin yang mendapat taufik.

Oleh karena itu, diceritakan kepada imam Ahmad mengenai beberapa pemimpin (umaro’) bahwasanya mereka menginfaqkan 1000 dinar untuk pencetakan Mushaf. Maka beliau berkata, “Biarkan mereka melakukan itu, itulah infaq terbaik yang dapat mereka lakukan dengan emas” atau sebagaimana yang Imam Ahmad katakan. Padahal menurut madzhab Imam Ahmad, makruh hukumnya memperindah mushaf. Namun sebagian pengikut Imam Ahmad menafsirkan maksud Imam Ahmad adalah beliau memakruhkan memperbaharui kertas dan khothnya. Namun sebenarnya maksud Imam Ahmad bukanlah seperti yang ditafsirkan ini. Imam Ahmad memaksudkan bahwa memperindah mushaf ini ada mashlahat (manfaat) di satu sisi dan ada pula mafsadatnya (bahayanya). Inilah yang beliau makruhkan.

Namun perlu diketahui bahwa jika mereka (para umara’) tidak melakukan hal ini (yaitu memperindah mushaf), tentu mereka akan melakukan hal-hal lain yang tidak berfaedah. Misalnya para umara’ tersebut malah menyalurkan infaq mereka untuk mencetak buku-buku tidak bermoral: buku cerita yang hanya menghabiskan waktu, buku sya’ir (yang sia-sia belaka) dan buku filsafat dari Persia dan Romawi.”[2] Demikian perkataan beliau rahimahullah.

Jika seseorang membaca teks di atas secara utuh, insya Allah dia tidak memiliki pemahaman yang keliru. Lihat baik-baik perkataan beliau di atas: ”Mereka pun bisa mendapatkan pahala yang besar karena tujuan baik dan pengagungannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang aku telah jelaskan sebelumnya bahwasanya hal itu dianggap baik oleh sebagian orang tetapi tidak dianggap baik oleh mukmin yang mendapat taufik”. Dari perkataan beliau ini menunjukkan bahwa perayaan Maulid tidak dianggap baik oleh orang-orang yang mendapat taufik. Jika ada yang menganggap amalan Maulid itu baik, maka dia adalah orang yang keliru. Maka ini menunjukkan bahwa Maulid bukanlah amalan yang baik.

Coba kita lihat kembali perkataan Syaikhul Islam lainnya dalam kitab yang sama (Iqtidho’ Ash Shirothil Mustaqim) agar kita tidak salah keliru dengan perkataan beliau di atas. Dalam beberapa lembaran sebelumnya, Syaikhul Islam mengatakan,

وكذلك ما يحدثه بعض الناس إما مضاهاة للنصارى في ميلاد عيسى عليه السلام وإما محبة للنبي صلى الله عليه و سلم وتعظيما له والله قد يثيبهم على هذه المحبة والاجتهاد لا على البدع من اتخاذ مولد النبي صلى الله عليه و سلم عيدا مع اختلاف الناس في مولده فإن هذا لم يفعله السلف مع قيام المقتضى له وعدم المانع منه ولو كان هذا خيرا محضا أو راجحا لكان السلف رضي الله عنهم أحق به منا فإنهم كانوا أشد محبة لرسول الله صلى الله عليه و سلم وتعظيما له منا وهم على الخير أحرص وإنما كمال محبته وتعظيمه في متابعته وطاعته واتباع أمره وإحياء سنته باطنا وظاهرا ونشر ما بعث به والجهاد على ذلك بالقلب واليد واللسان فإن هذه هي طريقة السابقين الأولين من المهاجرين والأنصار والذين اتبعوهم بإحسا

“Begitu pula halnya dengan kebiasaan yang dilakukan oleh sebagian orang. Boleh jadi perbuatan mereka menyerupai tingkah laku Nashrani sebagaimana Nashrani pun memperingati kelahiran (milad) ‘Isa ‘alaihis salam. Boleh jadi maksud mereka adalah mencintai dan mengagungkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Boleh jadi Allah memberi ganjaran kepada mereka dikarenakan kecintaan dan kesungguhan mereka, dan bukan bid’ah maulid Nabi yang mereka ada-adakan sebagai perayaan. Padahal perlu diketahui bahwa para ulama telah berselisih pendapat mengenai tanggal kelahiran beliau. Apalagi merayakan maulid sama sekali tidak pernah dilakukan oleh para salaf (sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in). Padahal ada faktor pendorong (untuk memuliakan nabi) dan tidak ada faktor penghalang di kala itu. Seandainya merayakan maulid terdapat maslahat murni atau maslahat yang lebih besar, maka para salaf tentu lebih pantas melakukannya daripada kita. Karena sudah kita ketahui bahwa mereka adalah orang yang paling mencintai dan mengagungkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam daripada kita. Mereka juga tentu lebih semangat dalam kebaikan dibandingkan kita. Dan perlu dipahami pula bahwa cinta dan pengagungan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sempurna adalah dengan ittiba’ (mengikuti) dan mentaati beliau yaitu dengan mengikuti setiap perintah, menghidupkan ajaran beliau secara lahir dan batin, menyebarkan ajaran beliau dan berjuang (berjihad) untuk itu semua dengan hati, tangan dan lisan. Inilah jalan hidup para generasi utama dari umat ini, yaitu kalangan Muhajirin, Anshor dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.”[3]

Kami rasa sudah jelas jika kita memperhatikan penjelasan beliau yang kedua ini. Jelas sekali beliau menyatakan perayaan Maulid itu tidak ada salafnya (pendahulunya) artinya amalan yang tidak ada tuntunannya, bahkan merayakan Maulid sama halnya dengan Natal yang dirayakan oleh Nashrani. Lantas dengan penjelasan beliau ini apakah masih menuduh beliau rahimahullah mendukung maulid?!

Mohon jangan menukil perkataan beliau sebagian saja, cobalah pahami perkataan beliau secara utuh di halaman-halaman lainnya dalam kitab Iqtidho’. Simak baik-baik perkataan beliau di atas: “Boleh jadi Allah memberi ganjaran kepada mereka dikarenakan kecintaan dan kesungguhan mereka, dan bukan bid’ah maulid Nabi yang mereka ada-adakan sebagai perayaan.” Dari sini, beliau menggolongkan maulid sebagai bid’ah karena memang tidak pernah diadakan oleh para salaf dahulu (sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in). Namun perayaan ini dihidupkan dan diada-adakan oleh Dinasti ‘Ubaidiyyun[4]. Dan ingat, beliau katakan bahwa mudah-mudahan mereka mendapat pahala karena mengangungkan dan mencintai beliau, namun bukan pada acara bid’ah maulid yang mereka ada-adakan. Mohon pahami baik-baik perkataan beliau ini. Semoga Allah beri kepahaman.

Lebih tegas lagi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan mengenai Maulid Nabi dapat dilihat dalam Majmu’ Al Fatawa sebagai berikut.

وَأَمَّا اتِّخَاذُ مَوْسِمٍ غَيْرِ الْمَوَاسِمِ الشَّرْعِيَّةِ كَبَعْضِ لَيَالِي شَهْرِ رَبِيعٍ الْأَوَّلِ الَّتِي يُقَالُ : إنَّهَا لَيْلَةُ الْمَوْلِدِ أَوْ بَعْضِ لَيَالِيِ رَجَبٍ أَوْ ثَامِنَ عَشَرَ ذِي الْحِجَّةِ أَوْ أَوَّلِ جُمْعَةٍ مِنْ رَجَبٍ أَوْ ثَامِنِ شَوَّالٍ الَّذِي يُسَمِّيهِ الْجُهَّالُ عِيدَ الْأَبْرَارِ فَإِنَّهَا مِنْ الْبِدَعِ الَّتِي لَمْ يَسْتَحِبَّهَا السَّلَفُ وَلَمْ يَفْعَلُوهَا وَاَللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى أَعْلَمُ .

“Adapun melaksanakan perayaan tertentu selain dari hari raya yang disyari’atkan (yaitu Idul Fithri dan Idul Adha) seperti perayaan pada sebagian malam dari bulan Rabi’ul Awwal (yang disebut dengan malam Maulid Nabi), perayaan pada sebagian malam Rojab, hari ke-8 Dzulhijjah, awal Jum’at dari bulan Rojab atau perayaan hari ke-8 Syawal -yang dinamakan orang yang sok pintar (alias bodoh) dengan ‘Idul Abror (lebaran ketupat)-; ini semua adalah bid’ah yang tidak dianjurkan oleh para salaf (sahabat yang merupakan generasi terbaik umat ini) dan mereka juga tidak pernah melaksanakannya. Wallahu subhanahu wa ta’ala a’lam.”[5]

Renungkan perkataan beliau baik-baik. Apakah bisa dipahami dari perkataan terakhir ini bahwa beliau mendukung Maulid? Semoga Allah memberikan taufiknya kepada kita sekalian agar bisa membedakan mana yang benar dan mana yang keliru.

Kerancuan Kedua: Ibnu Hajar Al ‘Asqolani Membolehkan Maulid Nabi

Perkataan berikut kami nukil dari kitab Al Hawiy yang ditulis oleh Imam As Suyuthi.[6]

وقد سئل شيخ الإسلام حافظ العصر أبو الفضل بن حجر عن عمل المولد فأجاب بما نصه: أصل عمل المولد بدعة لم تنقل عن أحد من السلف الصالح من القرون الثلاثة ولكنها مع ذلك قد اشتملت على محاسن وضدها فمن تحرى في عملها المحاسن وتجنب ضدها كان بدعة حسنة وإلا فلا قال وقد ظهر لي تخريجها على أصل ثابت وهو ما ثبت في الصحيحين من أن النبي صلى الله عليه وسلم قدم المدينة فوجد اليهود يصومون يوم عاشوراء فسألهم فقالوا هو يوم أغرق الله فيه فرعون ونجى موسى فنحن نصومه شكرا لله تعالى فيستفاد منه فعل الشكر لله على ما من به في يوم معين من إسداء نعمة أو دفع نقمة ويعاد ذلك في نظير ذلك اليوم من كل سنة والشكر لله يحصل بأنواع العبادة كالسجود والصيام والصدقة والتلاوة وأي نعمة أعظم من النعمة ببروز هذا النبي نبي الرحمة في ذلك اليوم وعلى هذا فينبغي أن يتحرى اليوم بعينه حتى يطابق قصة موسى في يوم عاشوراء ومن لم يلاحظ ذلك لا يبالي بعمل المولد في أي يوم من الشهر بل توسع قوم فنقلوه إلى يوم من السنة وفيه ما فيه - فهذا ما يتعلق بأصل عمله، وأما ما يعمل فيه فينبغي أن يقتصر فيه على ما يفهم الشكر لله تعالى من نحو ما تقدم ذكره من التلاوة والإطعام والصدقة وإنشاد شيء من المدائح النبوية والزهدية المحركة للقلوب إلى فعل الخير والعمل للآخرة وأما ما يتبع ذلك من السماع واللهو وغير ذلك فينبغي أن يقال ما كان من ذلك مباحا بحيث يقتضي السرور بذلك اليوم لا بأس بإلحاقه به وما كان حراما أو مكروها فيمنع وكذا ما كان خلاف الأولى

Syaikhul Islam Hafizh di masa ini, Abul Fadhl Ibnu Hajar ditanya mengenai amalan Maulid, beliau pun menjawab dengan redaksi sebagai berikut:

“Asal melakukan maulid adalah bid'ah, tidak diriwayatkan dari ulama salaf dalam tiga abad pertama, akan tetapi didalamnya terkandung kebaikan-kebaikan dan juga kesalahan-kesalahan. Barangsiapa melakukan kebaikan di dalamnya dan menjauhi kesalahan-kesalahan, maka ia telah melakukan buid'ah yang baik (bid'ah hasanah). Saya telah melihat landasan yang kuat dalam hadist sahih Bukhari dan Muslim bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah, beliau menemukan orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura, maka beliau bertanya kepada mereka, dan mereka menjawab, "Itu hari dimana Allah menenggelamkan Firaun, menyelamatkan Musa, kami berpuasa untuk mensyukuri itu semua.” Dari situ dapat diambil kesimpulan bahwa boleh melakukan syukur pada hari tertentu di situ terjadi nikmat yang besar atau terjadi penyelamatan dari mara bahaya, dan dilakukan itu tiap bertepatan pada hari itu. Syukur bisa dilakukan dengan berbagai macam ibadah, seperti sujud, puasa, sedekah, membaca al-Qur'an dll. Apa nikmat paling besar selain kehadiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di muka bumi ini. Maka sebaiknya merayakan maulid dengan melakukan syukur berupa membaca Qur'an, memberi makan fakir miskin, menceritakan keutamaan dan kebaikan Rasulullah yang bisa menggerakkan hati untuk berbuat baik dan amal sholih. Adapun yang dilakukan dengan mendengarkan musik dan memainkan alat musik, maka hukumnya dikembalikan kepada hukum pekerjaan itu. Kalau perkara yang dilakukan ketika itu mubah maka hukum merayakannya mubah, kalau itu haram maka hukumnya haram dan kalau itu kurang baik maka begitu seterusnya".[7]

Sanggahan untuk kerancuan di atas:

Pertama: Yang harus dipahami dari setiap perkataan ulama bahwa mereka tidaklah ma’shum, artinya mereka tidaklah luput dari kesalahan dan ketergelinciran. Oleh karenanya, seharusnya yang jadi pegangan adalah dalil. Janganlah bersikap mengambil pendapat mereka yang ganjil berdasarkan selera dan hawa nafsu. Jika ketergelinciran dan kekeliruan mereka yang diambil, maka pasti kita pun akan menuai kejelekan.

Sulaiman At Taimi mengatakan,

لَوْ أَخَذْتَ بِرُخْصَةِ كُلِّ عَالِمٍ اِجْتَمَعَ فِيْكَ الشَّرُّ كُلُّهُ

“Seandainya engkau mengambil setiap ketergelinciran ulama, maka pasti akan terkumpul padamu kejelekan.” Setelah mengemukakan perkataan ini, Ibnu ‘Abdil Barr mengatakan, ”Ini adalah ijma’ (kesepakatan) para ulama, saya tidak mengetahui adanya perselisihan dalam hal ini.”

Al Auza’i mengatakan,

مَنْ أَخَذَ بِنَوَادِرِ العُلَمَاءِ خَرَجَ مِنَ الإِسْلاَمِ

“Barangsiapa yang mengambil pendapat yang ganjil dari para ulama, maka ia bisa jadi keluar dari Islam.” Asy Syatibi menyampaikan adanya ijma’ (kesepakatan para ulama) bahwa mencari-cari pendapat yang ganjil dari para ulama tanpa ada pegangan dalil syar’i adalah suatu kefasikan dan hal ini jelas tidak dibolehkan.[8]

Kedua: Ibnu Hajar rahimahullah telah mengatakan di atas: “Asal melakukan maulid adalah bid'ah, tidak diriwayatkan dari ulama salaf dalam tiga abad pertama”, maka sebenarnya perkataan beliau ini sudah cukup untuk menyatakan tercelanya perayaan Maulid. Cukup sebagai sanggahannya,

لَوْ كَانَ خَيرْاً لَسَبَقُوْنَا إِلَيْهِ

“Seandainya amalan tersebut (perayaan maulid) baik, tentu mereka (para sahabat dan tabi’in) sudah mendahului kita untuk melakukannya.”

Ketiga: Justru dalil puasa Asyura di atas bisa berbalik pada orang yang pro Maulid. Jika puasa Asyura adalah dalil untuk memperingati Maulid, maka tentu para salaf dahulu akan menjadikannya sebagai dalil. Sudah dipastikan bahwa mereka telah berijma’ (bersepakat) tidak merayakan maulid karena tidak satu pun di antara generasi awal Islam yang merayakannya. Argumen yang dikemukakan oleh Ibnu Hajar rahimahullah sebenarnya telah menyelisihi ijma’ (kesepakatan) para ulama salaf dari sisi pemahaman dan pengamalan. Siapa saja yang menyelisihi ijma’ salaf, berarti ia telah keliru. Karena para salaf tidaklah mungkin bersatu melainkan dalam petunjuk.

Keempat: Menyimpulkan dibolehkannya perayaan Maulid dari puasa Asyura adalah pendalilan yang terlalu memberat-beratkan diri dan pendalilan semacam ini tertolak. Karena ingatlah bahwa Maulid adalah ibadah dan bukan amalan sosial sebagaimana kata sebagian orang. Buktinya adalah yang merayakan maulid ingin merealisasikan cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun lewat jalan yang keliru. Dan juga setiap yang merayakannya pasti ingin cari pahala. Bagaimana mungkin ini dikatakan bukan ibadah?! Jika perayaan tersebut adalah ibadah, maka landasannya adalah dalil dan mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan hanya sangkaan baik semata. Jika masih mengklaim bahwa Maulid adalah bid’ah hasanah, maka cukup kami sanggah dengan perkataan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu,

وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ

“Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun tidak mendapatkannya.”[9]

Ibnu ‘Umar mengatakan,

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ ، وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً

“Setiap bid’ah adalah sesat, walaupun manusia menganggapnya baik.”[10]

Kelima: Ingatlah bahwa mengenai puasa Asyura ada dorongan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melakukannya. Hal ini jauh berbeda dengan perayaan Maulid yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sama sekali tidak mendorong untuk melakukannya.[11]

Kerancuan Ketiga: Shalahuddin Al Ayubi Mempelopori Peringatan Maulid

Di negeri ini lebih terkenal kalau Shalahuddin Al Ayubi adalah pelopor Maulid Nabi dalam rangka menyemangati para pemuda.

Kami merasa aneh kenapa pejuang Sunnah yang anti Rafidhah (Syi’ah) malah diklaim sebagai pemrakarsa perayaan Maulid. Perlu diketahui bahwa Shalahuddin Al Ayubi adalah seorang raja dan panglima Islam. Beliau bahkan yang melenyapkan perayaan Maulid yang sebenarnya diprakarsai oleh Dinasti Fatimiyyun sebagaimana dinyatakan oleh banyak ahli sejarah. Berikut perkataan ahli sejarah mengenai Maulid Nabi.

Al Maqriziy, seorang pakar sejarah mengatakan, “Para khalifah Fatimiyyun memiliki banyak perayaan sepanjang tahun. Ada perayaan tahun baru, hari ‘Asyura, maulid (hari kelahiran) Nabi, maulid Ali bin Abi Thalib, maulid Hasan dan Husain, maulid Fatimah al Zahra, maulid khalifah yang sedang berkuasa, perayaan malam pertama bulan Rajab, perayaan malam pertengahan bulan Rajab, perayaan malam pertama bulan Sya’ban, perayaan malam pertengahan bulan Rajab, perayaan malam pertama bulan Ramadhan, perayaan malam penutup Ramadhan, perayaan ‘Idul Fithri, perayaan ‘Idul Adha, perayaan ‘Idul Ghadir, perayaan musim dingin dan musim panas, perayaan malam Al Kholij, hari Nauruz (Tahun Baru Persia), hari Al Ghottos, hari Milad (Natal), hari Al Khomisul ‘Adas (3 hari sebelum paskah), dan hari Rukubaat.”[12]

Asy Syaikh Bakhit Al Muti’iy, mufti negeri Mesir dalam kitabnya Ahsanul Kalam (hal. 44) mengatakan bahwa yang pertama kali mengadakan enam perayaan maulid yaitu: perayaan Maulid (hari kelahiran) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maulid ‘Ali, maulid Fatimah, maulid Al Hasan, maulid Al Husain –radhiyallahu ‘anhum- dan maulid khalifah yang berkuasa saat itu yaitu Al Mu’izh Lidinillah (keturunan ‘Ubaidillah dari dinasti Fatimiyyun) pada tahun 362 H.

Begitu pula Asy Syaikh ‘Ali Mahfuzh dalam kitabnya Al Ibda’ fi Madhoril Ibtida’ (hal. 251) dan Al Ustadz ‘Ali Fikriy dalam Al Muhadhorot Al Fikriyah (hal. 84) juga mengatakan bahwa yang mengadakan perayaan Maulid pertama kali adalah ‘Ubaidiyyun (Fatimiyyun).[13]

Lalu siapakah sebenarnya ‘Ubaidiyyun (Fatimiyyun)?

Al Qodhi Al Baqillaniy menulis kitab khusus untuk membantah Fatimiyyun yang beliau namakan “Kasyful Asror wa Hatkul Astar (Menyingkap rahasia dan mengoyak tirai)”. Dalam kitab tersebut, beliau membuka kedok Fatimiyyun dengan mengatakan, “Mereka adalah suatu kaum yang menampakkan pemahaman Rafidhah (Syi’ah) dan menyembunyikan kekufuran semata.”

Ahmad bin ‘Abdul Halim Al Haroni Ad Dimasqiy mengatakan, “Tidak disangsikan lagi, jika kita melihat pada sejarah kerajaan Fatimiyyun, kebanyakan dari raja (penguasa) mereka adalah orang-orang yang zholim, sering menerjang perkara yang haram, jauh dari melakukan perkara yang wajib, paling semangat dalam menampakkan bid’ah yang menyelisihi Al Kitab dan As Sunnah, dan menjadi pendukung orang munafik dan ahli bid’ah. Perlu diketahui, para ulama telah sepakat bahwa Daulah Bani Umayyah, Bani Al ‘Abbas (‘Abbasiyah) lebih dekat pada ajaran Allah dan Rasul-Nya, lebih berilmu, lebih unggul dalam keimanan daripada Daulah Fatimiyyun. Dua daulah tadi lebih sedikit berbuat bid’ah dan maksiat daripada Daulah Fatimiyyun. Begitu pula khalifah kedua daulah tadi lebih utama daripada Daulah Fatimiyyun.”

Beliau rahimahullah juga mengatakan, “Bani Fatimiyyun adalah di antara manusia yang paling fasik (banyak bermaksiat) dan paling kufur.”[14]

Bani Fatimiyyun atau ‘Ubaidiyyun juga menyatakan bahwa mereka memiliki nasab (silsilah keturunan) sampai Fatimah. Ini hanyalah suatu kedustaan. Tidak ada satu pun ulama yang menyatakan demikian.

Ahmad bin ‘Abdul Halim juga mengatakan dalam halaman yang sama, “Sudah diketahui bersama dan tidak bisa disangsikan lagi bahwa siapa yang menganggap mereka di atas keimanan dan ketakwaan atau menganggap mereka memiliki silsilah keturunan sampai Fatimah, sungguh ini adalah suatu anggapan tanpa dasar ilmu sama sekali. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.” (QS. Al Israa’: 36). Begitu juga Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Kecuali orang yang bersaksi pada kebenaran sedangkan mereka mengetahuinya.” (QS. Az Zukhruf: 86). Allah Ta’ala juga mengatakan saudara Yusuf (yang artinya), “Dan kami hanya menyaksikan apa yang kami ketahui.” (QS. Yusuf: 81). Perlu diketahui bahwa tidak ada satu pun ulama yang menyatakan benarnya silsilah keturunan mereka sampai pada Fatimah.”[15]

Begitu pula Ibnu Khallikan mengatakan, “Para ulama peneliti nasab mengingkari klaim mereka dalam nasab [yang katanya sampai pada Fatimah].”[16]

‘Abdullah At Tuwaijiriy mengatakan, “Al Qodhi Abu Bakr Al Baqillaniy dalam kitabnya ‘yang menyingkap rahasia dan mengoyak tirai Bani ‘Ubaidiyyun’, beliau menyebutkan bahwa Bani Fatimiyyun adalah keturunan Majusi. Cara beragama mereka lebih parah dari Yahudi dan Nashrani. Bahkan yang paling ekstrim di antara mereka mengklaim ‘Ali sebagai ilah (Tuhan yang disembah) atau ada sebagian mereka yang mengklaim ‘Ali memiliki kenabian. Sungguh Bani Fatimiyyun ini lebih kufur dari Yahudi dan Nashrani.

Al Qodhi Abu Ya’la dalam kitabnya Al Mu’tamad menjelaskan panjang lebar mengenai kemunafikan dan kekufuran Bani Fatimiyyun. Begitu pula Abu Hamid Al Ghozali membantah aqidah mereka dalam kitabnya Fadho-ihul Bathiniyyah (Mengungkap kesalahan aliran Batiniyyah).”[17]

Bagaimana mungkin Shalahuddin menghidupkan perayaan Maulid sedangkan beliau sendiri yang menumpas ‘Ubaidiyyun?! Ahmad bin ‘Abdul Halim Al Haroni rahimahullah mengatakan,

صَلَاحِ الدِّينِ الَّذِي فَتَحَ مِصْرَ ؛ فَأَزَالَ عَنْهَا دَعْوَةَ العبيديين مِنْ الْقَرَامِطَةِ الْبَاطِنِيَّةِ وَأَظْهَرَ فِيهَا شَرَائِعَ الْإِسْلَامِ

“Sholahuddin-lah yang menaklukkan Mesir. Beliau menghapus dakwah ‘Ubaidiyyun yang menganut aliran Qoromithoh Bathiniyyah (aliran yang jelas sesatnya, pen). Shalahuddin-lah yang menghidupkan syari’at Islam di kala itu.”[18]

Dalam perkataan lainnya, Ahmad bin ‘Abdul Halim Al Haroni rahimahullah mengatakan,

فَتَحَهَا مُلُوكُ السُّنَّة مِثْلُ صَلَاحِ الدِّينِ وَظَهَرَتْ فِيهَا كَلِمَةُ السُّنَّةِ الْمُخَالِفَةُ لِلرَّافِضَةِ ثُمَّ صَارَ الْعِلْمُ وَالسُّنَّةُ يَكْثُرُ بِهَا وَيَظْهَرُ

“Negeri Mesir kemudian ditaklukkan oleh raja yang berpegang teguh dengan Sunnah yaitu Shalahuddin. Beliau yang menampakkan ajaran Nabi yang shahih di kala itu, berseberangan dengan ajaran Rafidhah (Syi’ah). Di masa beliau, akhirnya ilmu dan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam[19][20] semakin terbesar luas.”

Dari penjelasan ini, sangat mustahil jika kita katakan bahwa Shalahuddin Al Ayubi yang menjadi pelopor perayaan Maulid, padahal beliau sendiri yang menumpas ‘Ubaidiyyun. Sungguh, jika ada yang menyatakan bahwa Shalahuddin sebagai pelopor Maulid, maka ini sama saja memutar balikkan sejarah. Sejarah yang benar, Shalahuddin itu menumpas ‘Ubaidiyyun sebelum diadakan perang salib karena ‘Ubaidiyyun yang sebenarnya melemahkan kaum muslimin dengan maulid yang mereka ada-adakan. Namun inilah kenyataan sejarah yang direkayasa yang diputarbalik dan disebar di negeri ini. Hanya Allah yang beri taufik.

Kerancuan Keempat: Argumen Peringatan Maulid dengan Puasa Senin Kamis

Berikut adalah kerancuan lainnya dari kalangan pro Maulid. Mereka mengatakan, “Rasulullah SAW sendiri mensyukuri atas kelahirannya. Dalam sebuah hadits dinyatakan:

عَنْ أَبِيْ قَتَادَةَ الأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ صَوْمِ الْإِثْنَيْنِ فَقَالَ فِيْهِ وُلِدْتُ وَفِيْهِ أُنْزِلَ عَلَيَّ . رواه مسلم

"Dari Abi Qotadah al-Anshori RA sesungguhnya Rasulullah SAW pernah ditanya mengenai puasa hari senin. Rasulullah SAW menjawab: Pada hari itu aku dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku". (H.R. Muslim, Abud Dawud, Tirmidzi, Nasa'I, Ibnu Majah, Ahmad, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Ibnu Abi Syaibah dan Baghawi).”[21]

Sanggahan terhadap syubhat di atas:

Pertama: Bagaimana mungkin dalil di atas menjadi pendukung untuk merayakan hari kelahiran beliau[?] Ini sungguh tidak tepat dalam berdalil. Lihatlah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melaksanakan puasa pada tanggal kelahirannya yaitu tanggal 12 Rabiul Awwal, dan itu kalau benar pada tanggal tersebut beliau lahir. Karena dalam masalah tanggal kelahiran beliau masih terdapat perselisihan. Yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan adalah puasa pada hari Senin bukan pada 12 Rabiul Awwal[!] Seharusnya kalau mau mengenang hari kelahiran Nabi dengan dalil di atas, maka perayaan Maulid harus setiap pekan bukan setiap tahun.

Kedua: Ingatlah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan hanya menjadikan hari Senin untuk berpuasa namun juga hari kamis. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan,

إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَتَحَرَّى صِيَامَ الاِثْنَيْنِ وَالْخَمِيسِ.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menaruh pilihan berpuasa pada hari senin dan kamis.”[22] Sehingga hadits yang dikemukakan kalangan pro Maulid bukan menunjukkan bahwa beliau ingin memperingati hari kelahirannya.

Ketiga: Jika memperingati maulid adalah dalam rangka bersyukur kepada Allah atas kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka cara memperingatinya adalah dengan berpuasa sebagaimana yang beliau contohkan. Namun kami belum ketahui ada yang bersyukur dengan cara seperti ini. Yang ada bentuk syukurnya adalah dengan membaca shalawat tanpa tuntunan, bahkan ada pula yang memperingatinya dengan bermusik ria.[23]

Demikian pembahasan kami mengenai beberapa syubhat yang ada dari para simpatisan pro Maulid. Namun masih banyak syubhat dan kerancuan lainnya, moga-moga lain waktu bisa kami lengkapi insya Allah. Intinya, syubhat yang dimunculkan tidak terlepas dari dua kemungkinan, yaitu boleh jadi dengan anggapan baik semata (tanpa dalil) dan boleh jadi dengan dalil namun salah dalam memahami.

Semoga apa yang kami sajikan ini bermanfaat bagi kaum muslimin sekalian. Cukuplah maksud kami ini sebagaimanan yang dikatakan oleh Nabi Syu’aib.

إِنْ أُرِيدُ إِلَّا الْإِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُ وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِاللَّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ

“Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (QS. Huud: 88)

Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.


Disempurnakan berkat pertolongan Allah di Pangukan-Sleman, Jum’at - 12 Rabi’ul Awwal 1431 H (26/02/2010)

***

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.muslim.or.id , dipublish ulang oleh http://rumaysho.com

[1] Syubhat ini dikemukakan di salah satu web pro Maulid Nabi. Silakan lihat link berikut >> http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?option=com_content&task=view&id=1150&Itemid=1 . Begitu pula Syubhat ini dilontarkan oleh pemilik blog Salafytobat di sini >> http://salafytobat.wordpress.com/2009/03/04/sunnah-maulid-nabi-allah-pun-merayakan-maulid-nabi-nabi/ .

[2] Lihat Iqtidho’ Ash Shirothil Mustaqim li Mukholafati Ash-haabil Jahiim, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Tahqiq & Ta’liq: Dr. Nashir ‘Abdul Karim Al ‘Aql, 2/126-127, Wizarotusy Syu’un Al Islamiyah, cetakan ketujuh, tahun 1419 H

[3] Lihat Iqtidho’ Ash Shirothil Mustaqim, 2/123-124.

[4] Coba lihat pembahasan tentang “Sejarah Kelam Maulid Nabi” di sini >> http://rumaysho.com/belajar-islam/jalan-kebenaran/2925-sejarah-kelam-maulid-nabi.html atau di sini >> http://muslim.or.id/manhaj/antara-cinta-nabi-dan-perayaan-maulid-nabi-2.html . Insya Allah akan kami singgung pula dalam penjelasan selanjutnya.

[5] Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 25/298, Darul Wafa’,

[6] Lihat Al Hawi Lil Fatawa, As Suyuthi, 1/282, Asy Syamilah

[7] Syubhat ini disampaikan dari web pro Maulid Nabi di link berikut >> http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?option=com_content&task=view&id=1150&Itemid=1

[8] Lihat Kasyful Jaani, Muhammad At Tiijani, hal. 96, Asy Syamilah.

[9] HR. Ad Darimi. Dikatakan oleh Husain Salim Asad bahwa sanad hadits ini jayid.

[10] Lihat Al Ibanah Al Kubro li Ibni Baththoh, 1/219, Asy Syamilah

[11] Sanggahan ini kami olah dengan beberapa tambahan dari Al Bida’ Al Hawliyah, ‘Abdullah bin ‘Abdil ‘Aziz bin Ahmad At Tuwaijiri, hal. 159-161, Darul Fadhilah, cetakan pertama, tahun 1421 H.

[12] Al Mawa’izh wal I’tibar bi Dzikril Khutoti wal Atsar, 1/490. Dinukil dari Al Maulid, hal. 20 dan Al Bida’ Al Hawliyah, hal. 145-146

[13] Dinukil dari Al Maulid, hal. 20

[14] Majmu’ Al Fatawa, 35/127

[15] Idem.

[16] Wafayatul A’yan, 3/117-118

[17] Al Bida’ Al Hawliyah, 142-143

[18] Majmu’ Al Fatawa, 35/138

[19] Majmu’ Al Fatawa, 3/281.

[20] Untuk mengetahui selengkapnya mengenai Shalahuddin Al Ayubi apakah mendukung Maulid, silakan baca di buku “Benarkan Shalahudin Al Ayubi mengerjakan Maulid Nabi?”, yang ditulis oleh Al Ustadz Ibnu Saini bin Muhammad bin Musa, Maktabah Muawiyah bin Abi Sofyan.

[21] Syubhat ini dijadikan dalil bolehnya perayaan Maulid Nabi di web pada link berikut >> http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?option=com_content&task=view&id=1150&Itemid=1 .

[22] HR. An Nasai no. 2360 dan Ibnu Majah no. 1739. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Shahihul Jaami’ no. 4897.

[23] Lihat sanggahan dalam kitab Al Bida’ Al Hawliyah, hal. 176.
READ MORE - enarkah Ibnu Taimiyah, Ibnu Hajar, Shalahuddin Al Ayubi Pro Maulid Nabi

Di Antara Sekian Kerusakan Perayaan Maulid Nabi

Di dalam kitab beliau, Minhaj Al-Firqoh An-Najiyah wat Thoifah Al-Manshuroh, Asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu menjelaskan kerusakan dan penyimpangan acara peringatan Maulid Nabi. Di antaranya adalah sebagai berikut:

Pertama: Kebanyakan orang-orang yang mengadakan peringatan Maulid terjatuh pada perbuatan syirik, yakni ketika mereka menyanyikan bait-bait syair (nasyid-nasyid atau qosidah) pujian kepada Rasulullah dalam acara itu (yang sering di sebut sholawatan). Mereka mengatakan:

يا رسول الله غوثا و مدد يا رسول الله عليك المعتمد
يا رسول الله فرج كربنا ما رآك الكرْبُ إلا و شرَد

“Wahai Rasulullah, berilah kami pertolongan dan bantuan.
Wahai Rasulullah, engkaulah sandaran kami.
Wahai Rasulullah, hilangkanlah derita kami.
Tiadalah derita itu melihatmu, kecuali ia akan melarikan diri. “

Sungguh, seandainya saja Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam hidup dan mendengar nyanyian tersebut, tentu beliau akan menghukuminya dengan syirik besar (bahkan beliau pasti akan melarang mereka dari perbuatan tersebut). Mengapa? Karena pemberian pertolongan, tempat sandaran dan pembebasan dari segala derita hanyalah Allah Ta’ala saja.

Allah Ta’ala berfirman:
أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ
“Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan (siapakah pula) yang menghilangkan kesusahan….”(QS. An-Naml: 62).

Allah Ta’ala memerintahkan Rasulullah shollahu ‘alaihi wa sallam agar menyampaikan kepada segenap manusia:

قُلْ إِنِّي لا أَمْلِكُ لَكُمْ ضَرًّا وَلا رَشَدًا

“Katakanlah (Wahai Muhammad): “Sesungguhnya aku tidak kuasa mendatangkan suatu kemudharatan pun kepadamu dan tidak pula suatu kemanfaatan….” (QS. Al-Jin: 21).

Bahkan Nabi Muhammad shollahu ‘alaihi wa sallam sendiripun bersabda (dalam rangka memberi nasehat kepada Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma dan juga umat beliau lainnya):

إِذَا سَأَلْتَ فَسْأَلِ اللَّهَ ، وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ

“Bila engkau meminta, mintalah kepada Allah. Dan apabila engkau meminta pertolongan, maka mintalah pertolongan kepada Allah). “ HR. At-Tirmidzi, dan beliau berkata: “Hadits ini Hasan Shohih”).

Kedua: Mayoritas perayaan maulid yang diadakan itu di dalam terdapat sikap Al-Ithro’ (berlebih-lebihan) dan menambah-nambah dalam menyanjung (memuji) Nabi shollallahu ‘alahi wa sallam. Padahal Nabi sholallahu ‘alaihi wa sallam melarang hal tersebut dalam sabda beliau:

لاَ تــطروْنِيْ كَماَ أطرتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ فَقَوُلْوا عَبْدُ اللهِ وَ رَسُوْلِهِ

“Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku, sebagaimana orang-orang Nasrani berlebih-lebihan dalam memuji Isa bin Maryam. Aku tak lebih hanya seorang hamba, maka katakanlah (tentang aku) ‘Abdulllah (Hamba Allah) dan Rasul-Nya!’“ (HR. Al-Bukhari).

Kemudian dalam acara Maulid itu juga, sering dibacakan kitab Diba’ yang berisi sejarah perjuangan Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam salah satu syair kitab ini menceritakan dan diyakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan Nabi Muhammad sholallahu ‘alahi wa sallam dari cahaya-Nya, lalu Ia menciptakan segala sesuatu dari Nur Muhammad (cahaya Muhammad).

Sungguh ini adalah ucapan dusta. Sebaliknya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itu justru diciptakan Allah dengan perantara seorang bapak dan ibu. Beliau adalah manusia biasa yang dimuliakan dengan diberi wahyu oleh Allah.
Bahkan mereka juga menyenandungkan syair Diba’ yang menyatakan bahwa Allah menciptakan alam semesta ini kerena Muhammad. Inipun juga ucapan dusta, karena Allah Ta’ala justru berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku. “(QS. Adz-Dzaariyaat: 56).

Ketiga: Dalam acara perayaan atau peringatan maulid Nabi itu banyak terjadi ikhthilat, (bercampur laki-laki dan wanita dalam satu tempat, tanpa adanya hijab/tabir pemisah diantara mereka), padahal ini diharamkan dalam syariat agama kita.

Keempat: Dalam penyelenggaraan acara maulid Nabi ini, sering terjadi sikap tabzdir (pemborosan harta), baik untuk biaya dekorasi, konsumsi, transportasi dan sebagainya yang terkadang mencapai jumlah jutaan. Uang sebanyak itu habis dalam sekejap padahal mengumpulkannya sering dengan susah-payah, dan sesungguhnya hal itu lebih dibutuhkan umat Islam untuk keperluan lainnya, seperti membantu fakir-miskin, memberi beasiswa belajar bagi anak-anak yatim dan sebagainya.

Kelima: Waktu yang digunakan untuk mempersiapkan dekorasi, konsumsi dan transportasi sering membuat lengah atau lalai para panitia peringatan maulid, sehingga tidak jarang mereka sampai meninggalkan sholat berjamaah dengan alasan sibuk atau yang lainnya.

Dan tak jarang pula acara peringatan Maulid itu berlangsung hingga larut malam, akibatnya banyak di kalangan mereka tidak sholat Subuh berjamaah di masjid (karena bangun kesiangan) atau bahkan ada yang tidak Subuh sama sekali.

Keenam: Merayakan maulid (hari kelahiran) adalah sikap tasyabbuh (meniru atau menyerupai) orang-orang kafir. Mengapa? Lihatlah, orang-orang Nasrani punya tradisi memperingati natal (hari kelahiran) Isa Al-Masih, dan juga hari Natal atau ulang tahun setiap anggota keluarga mereka. Lalu, umat Islam pun ikut-ikutan merayakan bid’ah tersebut. Padahal, Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam mengingatkan kita:

مَنْ تَـشَـبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka. “(HR. Abu Dawud, shahih).

Ketujuh: Sudah menjadi tradisi dalam peringatan maulid itu, bahwa di akhir bacaan maulid, sebagian hadirin berdiri karena mereka menyakini bahwa pada waktu itu Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam hadir dalam majelis mereka. Sungguh ini adalah kedustaan yang nyata. Mengapa? Ya karena Allah Ta’ala berfirman:

وَمِنْ وَرَائِهِمْ بَرْزَخٌ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ
“Dan di hadapan mereka (orang-orang yang telah mati) ada barzakh (dinding) sampai hari mereka dibangkitkan. “(QS. Al-Mu’minin: 100).

Yang dimaksud barzakh (dinding) pada saat tersebut adalah pembatasan antara dunia dan akhirat, sehingga tidak mungkin orang yang telah mati bangkit atau ruhnya yang bangkit.

Di samping itu, seandainya Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam masih hidup, tentu beliau tidak senang di sambut dengan cara berdiri menghormat beliau, sebagaimana dinyatakan oleh Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:

“Tidak ada seorang pun yang lebih dicintai oleh para sahabat daripada Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam. Tetapi jika mereka melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka tidak berdiri untuk (menghormati) beliau, karena mereka mengetahui bahwa Rasulullah membenci hal tersebut. “(HR. Ahmad dan At-Tirmidzi, shohih)

Maroji’:
Minhaj Al-Firqoh An-Najiyah, karya Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu.
READ MORE - Di Antara Sekian Kerusakan Perayaan Maulid Nabi

Melepas Belenggu Taklid dan Fanatisme..

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar”. (Fusshilat: 53)

Dr. Muhammad Abdullah As-Syarqawi mengomentari ayat di atas dengan mengatakan bahwa sesungguhnya Allah Yang Maha Suci dan Maha Tinggi, di dalam Al-Qur’an telah mendorong akal manusia agar senantiasa memperhatikan, berpikir, serta merenung agar akal dan kalbunya merasa puas terhadap aspek ketuhanan, risalah dan kebangkitan.

Sungguh anugerah terbesar Allah kepada umat manusia adalah akal. Jika potensi ini tidak difungsikan atau difungsikan tidak maksimal, maka akan melahirkan sikap jumud yang membawa kepada taklid dan fanatisme buta. Justru Islam datang membawa prinsip keseimbangan (washathiyyah) setelah ideologi sebelumnya sangat kental dengan jumud dan fanatisme. “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang wasath (adil, pilihan, seimbang)”. (Al-Baqarah: 143)

Tindakan mengabaikan anugerah akal bisa menjerumuskan seseorang ke dalam siksa Allah seperti yang disaksikan sendiri oleh para penghuni neraka ketika mereka menyesali sikapnya dengan mengatakan, “Sekiranya kami mau mendengarkan atau menggunakan akal pikiran, niscaya kami tidak termasuk penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Al-Mulk: 10)

Untuk keluar dari jebakan taklid buta, umat Islam dituntut untuk berani melakukan “ijtihad” sebagai salah satu pilar tegaknya syariat dalam kehidupan manusia. Ketertinggalan umat Islam dari hakikat agama dan persoalan dunia, tiada lain karena ketertutupan akal mereka yang hanya cukup dengan apa yang mereka terima secara turun temurun (taklid buta). “Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah”, mereka menjawab, “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari nenek moyang kami, walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun dan tidak mendapat petunjuk”. (Al-Baqarah: 170)

Di dalam ayat lain, Allah mencela sikap taklid buta dengan menjelaskan keterlibatan syaitan yang membelenggu manusia untuk tetap bersikap jumud dan mengedepankan fanatisme. ““Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah”, mereka menjawab, “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya”. Apakah mereka (akan mengikuti bapak-bapak mereka) walaupun syaitan itu menyeru mereka ke dalam siksa apai yang menyala-nyala”. (Luqman: 21)

Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi mengingatkan bahwa jati diri umat Islam sekarang ini telah hilang; ciri-ciri peradabannya telah cerai berai dan terlupakan. Saat ini umat Islam hidup di bawah kekuasaan peradaban asing dengan segala aspek negatif dan penyimpangannya. Bahkan, justru kita menemukan bahwa ketundukan umat Islam terhadap kekuasaan peradaban asing adalah lebih besar daripada ketundukan orang-orang Barat sendiri selaku pemilik sekaligus pewaris peradaban tersebut. Ini berarti, bangunan masyarakat Islam saat ini telah miring, pilar-pilarnya telah condong ke bawah dan tidak mampu lagi berdiri tegak. Dalam kondisi labil seperti ini, umat Islam dituntut untuk melepaskan belenggu taklid buta dan sikap ikut-ikutan.

Dengan ijtihad, Allah hendak memberikan karunia kepada hamba-Nya, agar aktifitas ibadah yang mereka lakukan didasarkan kepada pemahaman (ijtihad), sebagaimana Allah mewajibkan jihad agar para hambanya yang shalih menjadi para syuhada. Apabila keutamaan mujahid adalah karena darah yang tercurah di medan perang, maka keutamaan para mujtahid adalah karena mereka mengerahkan segenap kesungguhan di dalam menggali hukum dalam rangka meninggikan kalimatullah.

Di sini, Allah telah mewajibkan kepada hamba-Nya untuk berijtihad (dalam pengertian secara bahasa yakni bersungguh-sungguh) dan menguji ketaatan mereka di dalam lingkup persoalan ijtihad, sebagaimana ketaatan mereka diuji dalam persoalan-persoalan lainnya. Allah berfirman, “Dan sesungguhnya Kami benar-benar akam menguji kamu agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar diantara kamu; dan agar Kami menyatakan (baik buruknya) hal ihwalmu”. (Muhammad: 31)

Dalam pandangan Dr. Wahbah Zuhaili, ijtihadlah yang akan menghidupkan kembali syariat di atas muka bumi Allah ini. Syariat tidak akan bisa bertahan selama aktifitas ijtihad tidak hidup, tidak memiliki daya kerja dan daya gerak. Sebab berbagai faktor pertumbuhan dan perkembangan kehidupan serta pentingnya penyebaran syariat Islam ke seluruh pelosok dunia meniscayakan kebutuhan akan ijtihad, terutama di masa kita sekarang ini, masa yang serba instan, komplek, serta penuh dengan tantangan peristiwa dan permasalahan baru. Sehingga tanpa ijtihad dan melepaskan belenggu taklid buta, syariat Islam akan kehilangan relevansinya di setiap zaman dan tempat. Ia akan membuat manusia merasa sempit dengan kehadirannya dan akan menimbulkan kekeliruan di dalam memandang agamanya. Padahal ijtihad merupakan salah satu karakteristik syariat Islam yang tidak akan tertutup pintunya sampai hari kiamat. Di sinilah bukti rahmat Islam yang akan membebaskan umatnya dari kesempitan. Allah menegaskan, “Dia tidak menjadikan di dalam agama ini suatu kesempitan bagi kalian”.(Al-Hajj: 78)

Mencermati realitas umat Islam dewasa ini yang semakin terpuruk dan tertinggal, maka karya nyata, kreativitas, ijtihad yang segar sangat ditunggu-tunggu untuk mengembalikan umat kepada kejayaannya yang gilang-gemilang dengan tetap komitmen dengan ajaran Islam yang komprehensif. Wallahu A’lam

Oleh: Dr. Attabiq Luthfi, MA
READ MORE - Melepas Belenggu Taklid dan Fanatisme..

Belenggu-Belenggu Hizbiyah

Oleh
Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Atsari



Seorang Imam tsiqah, Ayub As-Sakhtiyaniy pernah berkata : "Jika engkau ingin mengerti kesalahan gurumu, maka duduklah engkau untuk belajar kepada orang lain" [1]

Justru karena inilah, maka kaum hizbiyun (aktifis fanatik terhadap golongan) melarang pengikut-pengikutnya untuk menimba ilmu dari orang-orang selain golongan atau simpatisannya.

Kalaupun sikap mereka menjadi lunak, namun mereka akan memberikan kelonggaran dengan banyak syarat serta ikatan-ikatan yang njelimet, supaya akal-akal pikiran para pengikutnya tetap tertutup bila mendengar hal-hal yang bertentangan dengan jalan mereka atau mendengar bantahan terhadap bid'ah mereka.

Dengan cara ini, sesungguhnya mereka telah mengambil uswah kaum tarekat sufi dan mengambil qudwah pada khurafatnya hubungan antara seorang "syaikh (sufi) dengan pengikutnya". Manakala persyaratan seorang syaikh atas pengikutnya yang pernah di contohkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang wajibnya taat melaksanakan "Baiat Islamiyyah yang menjadi keharusan ?" [2]

Imam As-Suyuthi rahimahullah [3] pernah di tanya tentang seorang sufi yang telah berba'iat kepada seorang syaikh, tetapi kemudian ia memilih syaikh lain untuk diba'iatnya : "Adakah kewajiban yang mengikat itu, bai'at yang pertama atau yang kedua..?.

Maka beliau -rahimahullah- menjawab : "Tidak ada yang mengikatnya, baik bai'at yang pertama [4] maupun bai'at yang kedua dan yang demikian itu tidak ada asal-usulnya. [5]

Semua ikatan-ikatan dan persyaratan-persyaratan itu adalah bathil, tidak ada asal-usulnya sama sekali dari Al-Qur'an maupun As-Sunnah. "Setiap persyaratan yang tidak ada terdapat dalam kitabullah, maka persyaratan itu bathil, sekalipun berjumlah seratus persyaratan" [6]

Belengu-belengu Hizbiyah yang memprihatinkan di antaranya ialah :

"Sikap memperkecil arti pentingnya ilmu Syar'i"

Ilmu adalah sesuatu, sedangkan kalam adalah sesuatu yang lain. As-Salafushalih adalah ahli ilmu yang bermanfa'at, sedangkan "Al-Khalaf" adalah ahli kalam yang kalamnya berhamburan.

Ilmu salaf sedikit bilangannya, tapi berkah dan pekat, sedangkan ilmu kaum "khalaf", banyak jumlah kata-katanya tetapi sedikit faedahnya.

Umat Islam adalah umat ilmu dan amal, maka ilmunya adalah dalil, petunjuk dan akar. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

" Artinya : Dan katakanlah : "Wahai Rabbku, tambahkanlah padaku ilmu" [Thaha : 114]

"Artinya : Dan tidaklah memahaminya melainkan orang-orang yang berilmu" [Al-Ankabut : 43]

"Artinya : Katakanlah : "Apakah sama orang yang berilmu dengan orang-orang yang tidak berilmu". [Az-Zummar : 9]

"Artinya : Allah mengangkat orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat". [Al-Mujadalah : 11].

Anda tidak bisa mengingkari adanya orang yang meremehkan persoalan mencari ilmu, dengan alasan : yang penting memahami realitas, da'wah ilallah (da'wah kepada Allah) dan bergerak menerjuni medan ..... tapi ingat, dengan apakah ia memahi realitas.... untuk maksud apakah ia berda'wah ...? dan dengan apakah ia bergerak...?

Suatu teori memang mempunyai kedudukan tersendiri... tetapi teori itu bukanlah ilmu. Pidato berapi-api terkadang memang membangkitkan... tetapi itu tidak membentuk bangunan. Dan daya khayal yang cepat memang mengagumkan... tetapi ia akan cepat pula hilang. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Atinya : Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya, adapun yang memberi manfa'at kepada manusia, maka ia tetap di bumi". [Ar-Ra'du :17] [7]

Belengu-belengu (Hizbiyah) ini sebagaimana telah dijelaskan di muka, mempunyai tokoh-tokoh pendahulunya, dan alangkah buruknya tokoh pendahulu itu, yaitu kaum sufi.

Ibnul Jauzi dalam "Talbisu Iblis" [8] telah meriwayatkan tentang perkataan Abu Abdillah bin Khafif sebagai berikut :

"Bersibuk dirilah kamu mempelajari ilmu dan jangan terperdaya oleh omongan orang-orang sufi. Sesungguhnya aku dulu pernah menyembunyikan tintaku di saku bajuku, dan pernah menyembunyikan kertas dilipatan celanaku. Dulu aku pernah secara sembunyi-sembunyi pergi menuju ahlul ilmi, tetapi jika mereka (kaum sufi -pen) memergokiku, mereka akan menentangku[9], seraya berkata : "Kamu tidak akan beruntung".

Kemudian berkembanglah belengu semacam ini, hingga di zaman sekarang bentuk yang ditonjolkan dan dibuahkan oleh kelompok-kelompok hizbiyah menjadi beraneka ragam.

Diantara beberapa perkara yang paling berbahaya yang ditonjolkan oleh para penyeru hizbiyah ialah adanya istilah baru (seperti) : Ulama Harakah, Ulama Al-Waqi' (Ulama yang paham realitas) Mufakkir (pemikir), manusia haraki dan ... hingga mereka menghempaskan dan mengisolir umat ini dari para ulamanya yang hakiki yaitu Ulama Syari'ah.

Peristilahan ini mirip sekali dengan peristilahan kaum sufi, yaitu ada 'Alim terhadap Syari'at dan ada 'Alim terhadap Hakikat.

Kemiripan itu dilihat dari beberapa segi, diantaranya :

[a] Pengisolasian manusia dari para ulama syari'ah (ulama hakiki -pen).
[b] Klaim bahwa ada ilmu yang tidak bisa dicapai serta dipahami oleh para ulama syari'at.

Padahal, peristilahan baru tersebut hanyalah hasil rekaan para kaum haraki, perasaan- perasaan dan segala apa yang tercetus dari benak-benak mereka berupa teori-teori, gambaran-gambaran serta pandangan-pandangan tentang masa depan, yang menyebabkan akal pikiran para pengikutnya menjadi bingung, tanpa pernah bisa sampai memahaminya, hingga bagi mereka tidak ada jalan lain kecuali menerima.

Mereka (orang-orang hizbiyah) mengatakan : ada orang 'alim terhadap Harakah, dan ada orang 'alim terhadap Syari'ah.

Maka para ulama harakah bangkit menerjuni medan amal Islami, tetapi dengan menjauhkan para Ulama Syari'ah, seperti Al-'Alamah Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Muhaddist Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi'i dan seluruh ulama syariah yang adil lainnya, dengan dalih bahwa para ulama tersebut tidak mengerti Realitas, dan alasan-alasan lain berupa syubhat yang mereka tanamkan kepada benak para pemuda.

Itulah kejahatan besar, memisahkan da'wah dari para ulamanya yang hakiki, ulama pembawa Al-Kitab was Sunnah. Mereka lenyapkan keagungan ilmu dan keagungan ulama pembawa syari'at. Mereka letakkan lingkaran-lingkaran syetan di atas harakah, di atas aktifis harakah dan di atas barang-barang dagangan (ilmu-ilmu bawaan) mereka yang terbentuk dari susunan angan-angan, perasaan dan teori-teori mereka.

Oleh karena itu jika anda katakan kepada mereka (bahwa) Al-'Alamah Bin Baz berkata : ........., maka mereka akan menjawab : "Dia tidak tahu Realitas". Juga jika anda katakan (bahwa) As-Syaikh Al Muhaddist Nashiruddin Al-Albani berkata : ......., mereka pun akan menjawab : "Dia tidak tahu Politik".

Sampai akhirnya terjadi bahwa apa yang disebut ulama harakah dan aktifis harakah itulah yang dinamakan tokoh-tokoh da'wah dan penanggung jawab pelaksananya. Sedangakan para ulama syari'ah hanya berfungsi sebagai pengikut yang tidak perlu didengar (kata-katanya).

Anda hampir-hampir tidak akan menemukan satu kelompok hizbi pun melainkan ia pasti telah menetapkan satu manhaj haraki tersendiri baginya. Dan hampir tidak ada satu masalahpun baik itu masalah i'tiqadiyah maupun masalah amaliyah, akan diputuskan sebelum masalah tersebut dinyatakan sejalan dengan "Realitas Haraki" yang dipaparkannya sesuai dengan alur pemikiran tentang masa depan. Akhirnya muncullah masalah-masalah tersebut ke permukaan dengan terpolesi hiasan angan-angan, sangkaan-sangkaan (zhan), dan gambaran-gambaran mereka belaka.

Selanjutnya seorang anggota hizbiyah yang telah mengental akan segera menyambutnya, kemudian melontarkannya dengan kekuatan dan tekanan ke dalam benak serta otak para pengikutnya.[10]

Celakalah orang yang sampai berani menuntut dalil atau memberikan kritik dengan ayat dan hadits, dalam upaya memulai hidup baru berdasarkan pemahaman salaf....., tak pelak ia dihadapan teman-temannya akan menjadi seperti seekor unta yang terserang borok.


[Disalin dari kitab Ad-Da'wah Ilallah Baina At-Tajammu' Al-Hizbi Wa Ta'awun As-Syar'i, Sub Judul Quyud Hizbiyah oleh Syaikh Ali bin Hasan bin Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari, dan diketik ulang dari Majalah As-Sunnah Edisi 07/1/1414-1993 diterjemahkan oleh Ahmaz Faiz]
_________
Foote Note
[1]. Diriwayatkan oleh Ad-Darimi dalam Sunannya (1/153
[2]. Al-Muntaqa An-Nafis min Tablis Iblis, hal 250. Di sana ada ta'liq sebagai berikut : "Persis seperti itulah, dengan segala bentuk dan bentukannya apa yang diperbuat oleh kaum Hizbiyun (aktifis golongan yang fanatik) pada abad sekarang ini berupa pengambilan ikrar, ikatan janji (bai'at-pen) dan lain-lain yang itu jelas-jelas merupakan hal batil
[3]. Di dalam kitab Al-Hawiy Lil Fatwa (1/253
[4]. Di dalam kitab Al-Minhah Al-Muhammadiyah Fi Bayan Al-Aqaid As-Salafiyyah Lis Syuqairi, terdapat penjelasan panjang lebar tentang penetapan-penetapan bid'ah dan bathilnya bai'at-bai'at semacam ini
[5]. Jadi pernyataan sebagian tentang apa yang menjadikan mereka terhimpun dalam sebuah tandzim hizbi bahwa sesungguhnya itu adalah : "Ikrar atau bai'at khusus dan lain-lain adalah hal-hal yang tidak ada asal-usulnya dan tidak ada benarnya sama sekali
[6]. Seperti telah shahih dari Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dan lain-lain, sedang lafadz diatas adalah lafadz Ibnu Majah (2521) dari "Aisyah radhiyallu 'anha.
[7]. Al-Harakah Al-Islamiyah Al-Mu'ashirah hal : 16, Lis Syaikh 'A-idl Al-Qorny]
[8]. Dalam Al-Muntaqa An-Nafis Min Tablis Iblis, ada komentar sebagai berikut : Betapa persisnya hari ini dan hari kemarin, ternyata banyak dikalangan aktifis hizbiyah dewasa ini yang melakukan tindakan yang lebih fatal dari tindakan ini (kaum sufi) -naudzubillah-. sedangkan mereka mengira bahwa mereka telah melakukan suatu kebaikan
[10]. Jadi mereka taqlid terahadap syaikh-syaikh mereka tanpa ber-itiba' kepada dalil atau yang semisalnya, maka mereka melaksanakan apa-apa yang diperintahkan oleh syaikhnya...... Hal ini dikatakan oleh Ibnul Jauzi dalam Tablis Iblis hal : 495

Wahai Kaum Muslimin

Sungguh, kini manusia telah dipisahkan dari hubungan dengan ulama Al-Kitab was Sunnah, telah dipisahkan dari pergaulannya bersama dhahirnya syari'ah dengan cara-cara dan sarana-sarana bid'ah yang coraknya bermacam-macam sesuai dengan perubahan zaman.

Oleh karena itu hendaklah anda berpegang kepada para "Ulama Syari'ah" dan para pengkaji "Ilmu Syar'i", yang menjadi pembela-pembela Al-Kitab was Sunnah dari segenap bid'ah dan noda. Hendaknya anda duduk dan mengitari mereka untuk mendengarkan perkataan mereka. Ingatlah akan firman Allah Ta'ala.

"Artinya : Dan siapakah yang lebih dhalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Rabb-Nya, kemudian dia berpaling daripadanya". [Al-Kahfi : 57][11]

Demikianlah, bahwa hizbiyah mempunyai cara-cara dan sepak terjang bid'ah yang tidak pernah dilakukan para SALAF. Hal demikian teranggap sebagai penghambat ilmu dan sebab terbesar bagi terpecah belahnya jama'ah. Karena betapa banyaknya tali persatuan Islam telah menjadi berantakan, dan betapa banyaknya kaum muslimin menjadi lengah karenanya. [12]

Semua itu merupakan salah satu penyakit "Ta'ashub" (berfanatik golongan).

Bahwa sesungguhnya menelaah (mempelajari) bermacam-macam arah pandang (wijhatun nadhar), kemdian membanding-bandingkan satu dengan lainnya, akan memberikan kesiapan dan kemampuan kepada seseorang untuk instrospeksi, memberikan nasihat-nasihat, melakukan pembetulan dan pelurusan. [13]

Namun hal-hal serupa ini justru telah hilang di kalangan para ahzab (golongan-golongan), orang-orang yang memecah belah agamanya menjadi terserak di lembah-lembah dan di bukit-bukit.

Satu lagi bentuk belengu hizbiyah yang nampak nyata ialah : "Sirriyah (kerahasiaan)"

Sesunggunya telah menjadi jelas berdasarkan apa yang telah kami sebutkan bahwa ; Ahlus Sunnah ialah orang-orang yang itiba'' sedangkan Ahlul Bid'ah ialah orang-orang yang mengada-ngadakan sesuatu yang sebelumnya belum pernah ada dan tanpa ada sandarannya.

Oleh sebab itulah mereka (ahlul bid'ah) merahasiakan bid'ah mereka. Sementara itu Ahlus Sunnah tidak pernah menyembunyikan madzhab mereka. Kalimat-kalimatnya jelas, madzhabnya masyhur, dan akibat baiknya terkembali kepada mereka. [14]

Imam Ahmad di dalam "Az-Zuhdi" hal : 45. dan Ad-Darimi dalam "Sunannya" (1/19) telah meriwayatkan dari Umar bin Abdul Aziz bahwa beliau berkata : "Apabila kamu melihat ada sekelompok orang (kaum) saling berbisik-bisik tentang sesuatu mengenai agamanya, tanpa (melibatkan) orang umum, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka sedang membangun kesesatan".

Khabar di atas disebutkan pula oleh Ibnul Jauzi dalam Tablis Iblis. Kemudian dalam Al-muntaqa An Nafis (hal.89), saya memberikan komentar sebagai berikut. "Agama kita (segala puji bagi Allah) adalah jelas lagi nyata, tiada yang tersembunyi, tersimpan, dan terrahasiakan. Maka sesungguhnya apa yang dilakukan oleh kaum hizbiyun berupa hal demikian (sembunyi-sembunyi/berahas
ia-rahasian -pen), adalah satu pintu kesesatan, wal-iyadzubillah ta'ala.

Namun betapa mengherankannya ketika mereka berdalil tentang sirriyah (kerahasian) yang mereka klaim itu, dengan dalil-dalil Al-Qur'an atau As-Sunnah. Ternyata ketika diteliti dan diperhatikan, tidak ada sedikitpun di antara dalil-dalil itu yang bisa diterima.

Diantara dalil-dalil tersebut adalah :

[a]. Menyembunyikannya Ibrahim 'alaihis salam, tentang penghancuran patung-patung sebagaimana tersebut dalam surat Al-Anbiya 62-63.
[b]. Menyembunyikannya seorang mukmin dari kalangan keluarga Fir'aun akan keimanannya, seperti tersebut dalam surat Ghafir : 28-29.
[c]. Dan kisah-kisah lain tentang orang-orang terdahulu yang termuat di dalam kitab Allah Subhanahu wa Ta'ala. Mereka juga berdalil tentang keadaan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pada periode Makkah, dengan segala sirriyah yang meliputi da'wahnya.

Begitu pula berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

" Artinya ; Jadikanlah kitman (bersembunyi) sebagai alat bantu untuk mensukseskan apa yang menjadi kebutuhanmu".

Sebagai jawaban atas istidlal-istidlal (argumentasi) di atas, ialah bahwa semua dalil-dalil ini selain dalil yang terakhir, terjadi sebagai berikut :

Manakala kaum muslimin dalam keadaan tertindas (mustadl'afin) dan dalam keadaan mereka takut jika men-jahar-kan (berterang-teranganan) Islam. Di samping itu sesungguhnya "Sebagian besar keadaan bersembunyinya kaum muslim, tetap dalam keadaan tegak berpegang kepada perintah-perintah yang diterimanya dari wahyu". [15]

Atau manakala seorang da'i dalam keadaan tidak mampu mengatakan bahwa dirinya seorang muslim.

Adapun hadits yang terakhir [16] maka sebenarnya tidalah tepat kalau ditempatkan sehubungan dengan permasalahan ini, sebab didalamnya ada satu penggal hadits bagian akhir yang dihilangkan, dan itulah justru yang menjadi tujuan sirriyyah (yang dimaksud oleh penggalan hadits yang pertama) yaitu sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.

"....Sesungguhnya setiap yang mendapatkan nikmat niscaya ada yang dengki padanya".

Penggalan terakhir ini memberi penjelasan tentang sisi sebenarnya yang di-istidlal-kan dengan hadits diatas, yaitu bahwa hadits tersebut dengan menyembunyikan (merahasiakan) ni'mat dan tidak menceritakannya, sebab dikhawatirkan akan dijahili oleh orang yang dengki, ini telah melahiran sebuah jalan bagi terobek-robeknya umat dengan melalui dua sisi :

Sisi dari pihak penguasa yang menyeleweng yang memiliki aturan-aturan sesat, yakni para oknum yang mengkhawatirkan kursi serta kedudukannya. Pihak ini dengan tangan besinya tentu akan membabat siapapun, bukan saja kepada orang-orang yang memastikan dirinya berkecimpung dan menerjuni dunia sirriyyah, tetapi juga kepada orang-orang yang pada sangkaan mereka punya unsur sirriyah.

Bersama pihak kaum muslimin sendiri, akan terdapat jurang pemisah yang dalam di antara mereka, sebab mereka akan (saling) menyembunyikan apa-apa yang justru tidak boleh di sembunyikan, mereka akan saling merahasiakan apa-apa yang sebenarnya tidak boleh dirahasiakan ..."

Akibatnya jiwa-jiwa manusia menjadi terdzalimi, dari hati-hati orang pun menjadi hitam pekat...

Kedua sisi perkara di atas, (mestinya) wajib dijauhi oleh para da'i sebab : 'Da'wah sudah di kumandangkan, prinsip-prinsipnya bertebaran terdapat di dalam kitab abadi yaitu : Al-Qur'an Al-karim, Sunnah Nabawiyah nan suci, dan di dalam kitab-kitab serta berjilid-jilid buku yang isinya sarat dengan ajaran Islam, kitab-kitab itu telah menjadi milik semua orang.

Berdasarkan ini, saya tidak melihat adanya alasan bagi harakah Islamiyah untuk meredam da'wah terang-terangan dengan anggapan bahwasanya masih dalam marhalah (tahapan) sirriyah periode pertama, bahkan justru mungkin untuk dikatakan : Bahwa sesungguhnya marhalah sirriyatud da'wah (kerahasian da'wah) telah habis sama sekali, sampai suatu ketika Allah membinasakan bumi ini beserta seluruh apa yang ada di atasnya, sebab agama ini telah dikumandangkan dan telah sempurna, habislah sudah menyembunyikan agama ini. [17]

Bagi pengamat sejarah masa lalu, apalagi sejarah masa kini, tentu ia akan melihat bahwa kapan saja di situ ditemukan ketertutupan dan kerahasiaan, maka di sana pasti akan merajalela penyelewengan-penyelewengan syar'i.... Kapan saja ditemukan ketersembunyian dan kitman (tersimpan), maka disana pasti akan dikuasai rasa takut dan rasa aman pun akan lenyap.

Dinul Islam, dengan segala keluhuran, kesucian dan kejernihannya... berada diatas semuanya ini. Tak ada tempat di dalam Islam untuk menyembunyikan hakikat, menyembunyikan thariqah (cara) dan menyembunyikan maslak (jalan/manhaj).

Sesunggunya da'wah menuju sirriyah tidak terbatas hanya untuk menghadapi musuh-musuh da'wah yang menyusup dibawah nama kemaslahatan memenuhi seluruh rongga-rongga da'wah. Untuk selanjutnya menjadi celah bagi terdahulukannya sikap-sikap loyal (terhadap masing-masing da'wah sirriyyah-pen) dan terjauhkannya dari rasa cukup untuk menyerahkan perwalian kepada kekuasaan ahlul halli wal 'aqdi [yakni para ulama dan tokoh-tokoh yang mewakili seluruh umat Islam untuk mengurusi persoalan mereka, termauk urusan ba'iat-pen].

Dan adalah yang akan menjadi korban pertama bagi da'wah sirriyyah justru para pendukung amal Islami sendiri, bukan musuh-musuhnya.

Semestinya tidaklah boleh lepas dari benak kita apa yang bakal ada dalam da'wah sirriyah berupa tipu daya, penyelewengan fikrah dan penyimpangan aqidah.

Sebab da'wah semacam itu pasti akan menempuh perjalanan melalui lorong-lorong gelap, hingga tidak ada satu celah pun yang terbuka bagi upaya pembetulan, dialog dan evaluasi hail-hasilnya, (itu semua) hanya karena dalih : demi pemeliharaan eksitensi, sirriyah (kerahasiaan). [18] dan security [19]

Marilah kita renungkan bersama sabda Nabi kita Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, semoga Allah memelihara anda :

" Artinya : Sungguh telah aku tinggalkan kamu di atas (hujjah) putih berseri, yang malam harinya seperti siang harinya ; tidak akan menyeleweng darinya kecuali orang yang binasa" [20]

Itulah dia sumber hujjah ....., dan di atasnyalah (tegak) hujjah.

[Disalin dari kitab Ad-Da'wah Ilallah Baina At-Tajammu' Al-Hizbi Wa Ta'awun As-Syar'i, Sub Judul Quyud Hizbiyah oleh Syaikh Ali bin Hasan bin Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari, dan diketik ulang dari Majalah As-Sunnah Edisi 07/1/1414-1993 diterjemahkan oleh Ahmaz Faiz]
_________
Foote Note
[11]. At-Thali'ah Fi Bara'ati Ahlis Sunnah Lil'utaibi, hal : 30, 32 dengan sedikit perubahan
[12]. Hailah Tholibi Ilmi, No. 65 Li As-Syaikh Bakar Abu Zaid
[13]. Dari Muqaddimah Umar Ubaid Hasanah dalam kitab Fiqhud Da'wah 1/8 Kitabul Ummah
[14]. Al-Muntaqa An-Nafis min Tablis Iblis, hal : 40
[15]. As-Sirriyatu wa Atsaruha Fi Ada'i L-mahami 'L-askariyyah Lis Syaikh Muhammad Abu Rahim
[16]. Bila hadits itu bisa diterima keshahihannya, maka di dalamnya masih mengandung unsur pertentangan, jadi persoalannya masih perlu dikaji lebih lanjut
[17]. Al-Manhaj Al-Haraki lis-sirah An-Nabawiyah (1/33) Li Al-Ghadban, bandingkan pula dengan kitab Atsarat wa Saqathah ....hal : 33 Li Zuhair Salim].
[18] Setiap kerja (amal Islam) yang mencirikan watak rahasia serta berbau gerakan bawah tanah, apabila disangka bahwa hal itu hebat dan cerdik, dan bahwa musuh-musuhnya tidak bakal bisa melacak kegiatan tersebut dengan seluruh unsur-unsurnya, maka berarti ia berada dalam kelalaian. Sesungguhnya lorong-lorong kerahasiaan yang gelap merupakan lorong-lorong yang tepat guna menumbuhkan benih-benih yang aneh dan majhul. Dan tepat untuk kerja gelap di bawah tanah, Fi An-Naqd Adz-Dzati, hal : 41 oleh Khalis Jalby), dan security [Nadhrat Fi Masirah Al-Amal Al-Islami, dengan perubahan. hal : 38-39
[19]. Nadhrat Fi Masirah Al-Amal Al-Islami, dengan sedikit perubahan. hal. 38-39
[20]. Hadits Hasan, telah saya takhrij dalam Arba'iy Ad-Da'wah wad Du'at, No 6 Nasyr Daar Ibnil Qayyim-Dammam]

© copyleft almanhaj.or.id
seluruh artikel dan tulisan di situs almanhaj.or.id dapat disebarluaskan, dengan mencantumkan sumbernya dan tetap menjaga keilmiahan
Situs almanhaj.or.id tidak memiliki hubungan apapun dengan situs lainnya.
READ MORE - Belenggu-Belenggu Hizbiyah

SETIAP BID'AH ADALAH KESESATAN

Oleh
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-'Utsaimin




Apabila masalah tadi sudah jelas dan menjadi ketetapan saudara, maka ketahuilah bahwa siapapun yang berbuat bid'ah dalam agama, walaupun dengan tujuan baik, maka bid'ahnya itu, selain merupakan kesesatan, adalah suatu tindakan menghujat agama dan mendustakan firman Allah Ta'ala, yang artinya : " Pada hari ini telah Ku sempurnakan untuk kamu agamamu ....." . Karena dengan perbuatannya tersebut, dia seakan-akan mengatakan bahwa Islam belum sempurna, sebab amalan yang diperbuatnya dengan anggapan dapat mendekatkan diri kepada Allah belum terdapat di dalamnya.

Anehnya, ada orang yang melakukan bid'ah berkenan dengan dzat, asma' dan sifat Allah Azza wa Jalla, kemudian ia mengatakan bahwa tujuannya adalah untuk mengagungkan Allah, untuk mensucikan Allah, dan untuk menuruti firman Allah Ta'ala.

"Artinya : Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah". [Al-Baqarah : 22]

Aneh, bahwa orang yang melakukan bid'ah seperti ini dalam agama Allah, yang berkenan dengan dzat-Nya, yang tidak pernah dilakukan oleh para ulama salaf, mengatakan bahwa dialah yang mensucikan Allah, dialah yang mengagungkan Allah dan dialah yang menuruti firman-Nya : "Artinya : Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah", dan barangsiapa yang menyalahinya maka dia adalah mumatstsil musyabbih (orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), atau menuduhnya dengan sebutan-sebutan jelek lainnya.

Anehnya lagi, ada orang-orang yang melakukan bid'ah dalam agama Allah berkenaan dengan pribadi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dengan perbuatannya itu mereka menganggap bahwa dirinyalah orang yang paling mencintai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan yang mengagungkan beliau, barangsiapa yang tidak berbuat sama seperti mereka maka dia adalah orang yang membenci Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, atau menuduhnya dengan sebutan-sebutan jelek lainnya yang biasa mereka pergunakan terhadap orang yang menolak bid'ah mereka.

Aneh, bahwa orang-orang semacam ini mengatakan : "Kamilah yang mengagungkan Allah dan Rasul-Nya". Padahal dengan bid'ah yang mereka perbuat itu, mereka sebenarnya telah bertindak lancang terhadap Allah dan Rasul-Nya. Allah Ta'ala telah berfirman.

"Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui". [Al-Hujuraat : 1]

Pembaca Yang Budiman.

Disini penulis mau bertanya, dan mohon -demi Allah- agar jawaban yang anda berikan berasal dari hati nurani bukan secara emosional, jawab yang sesuai dengan tuntunan agama anda, bukan karena taklid (ikut-ikutan).

Apa pendapat anda terhadap mereka yang melakukan bid'ah dalam agama Allah, baik yang berkenan dengan dzat, sifat dan asma' Allah Subhanahu wa Ta'ala atau yang berkenan dengan pribadi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kemudian mengatakan : "Kamilah yang mengagungkan Allah dan Rasulullah ?".

Apakah mereka ini yang lebih berhak disebut sebagai pengagung Allah dan Rasulullah, ataukah orang-orang yang mereka itu tidak menyimpang seujung jaripun dari syari'at Allah, yang berkata : "Kami beriman kepada syari'at Allah yang dibawa Nabi, kami mempercayai apa yang diberitakan, kami patuh dan tunduk terhadap perintah dan larangan ; kami menolak apa yang tidak ada dalam syari'at, tak patut kami berbuat lancang terhadap Allah dan Rasul-Nya atau mengatakan dalam agama Allah apa yang tidak termasuk ajarannya ?".

Siapakah, menurut anda, yang lebih berhak untuk disebut sebagai orang yang mencintai serta mengagungkan Allah dan Rasul-Nya .?

Jelas golongan yang kedua, yaitu mereka yang berkata : "Kami mengimani dan mempercayai apa yang diberitakan kepada kami, patuh dan tunduk terhadap apa yang diperintahkan ; kami menolak apa yang tidak diperintahkan, dan tak patut kami mengada-adakan dalam syari'at Allah atau melakukan bid'ah dalam agama Allah". Tak syak lagi bahwa mereka inilah orang-orang yang tahu diri dan tahu kedudukan Khaliqnya. Merekalah yang mengagungkan Allah dan Rasul-Nya, dan merekalah yang menunjukkan kebenaran kecintaan mereka kepada Allah dan Rasul-Nya.

Bukan golongan pertama, yang melakukan bid'ah dalam agama Allah, dalam hal akidah, ucapan, atau perbuatan. Padahal, anehnya, mereka mengerti sabda Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam.

"Artinya : Jauhilah perkara-perkara baru, karena setiap perkara baru adalah bid'ah, setiap bid'ah adalah kesesatan, dan setiap kesesatan masuk dalam neraka".

Sabda beliau : "setiap bid'ah " bersifat umum dan menyeluruh, dan mereka mengetahui hal itu.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang menyampaikan maklumat umum ini, tahu akan konotasi apa yang disampaikannya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah manusia yang paling fasih, paling tulus terhadap umatnya, tidak mengatakan kecuali apa yang dipahami maknanya, Maka ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Kullu bid'atin dhalalah", Beliau menyadari apa yang diucapkan, mengerti betul akan maknanya, dan ucapan ini timbul dari beliau karena beliau benar-benar tulus terhadap umatnya.

Apabila suatu perkataan memenuhi ketiga unsur ini, yaitu : diucapkan dengan penuh ketulusan, penuh kefasihan dan penuh pengertian, maka perkataan tersebut tidak mempunyai konotasi lain kecuali makna yang dikandungnya.

Dengan pernyataan umum tadi, benarkah bahwa bid'ah dapat kita bagi menjadi tiga bagian, atau lima bagian ?

Sama sekali tidak benar. Adapun pendapat sebagian ulama yang mengatakan bahwa ada bid'ah hasanah, maka pendapat tersebut tidak lepas dari dua hal.

Pertama : kemungkinan tidak termasuk bid'ah tapi dianggapnya sebagai bid'ah.
Kedua : kemungkinan termasuk bid'ah, yang tentu saja sayyi'ah (buruk), tetapi dia tidak mengetahui keburukannya.

Jadi setiap perkara yang dianggapnya sebagai bid'ah hasanah, maka Jawabannya adalah demikian tadi.

Dengan demikian, tak ada jalan lagi bagi ahli bid'ah untuk menjadikan sesuatu bid'ah mereka sebagai bid'ah hasanah, karena kita telah mempunyai senjata ampuh dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu :

"Artinya : Setiap bid'ah adalah kesesatan"

Senjata itu bukan dibuat di sembarang pabrik, melainkan datang dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan dibuat sedemikian sempurna. Maka barangsiapa yang memegang senjata ini tidak akan dapat dilawan oleh siapapun dengan bid'ah yang dikatakannya sebagai hasanah, sementara Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menyatakan : "Setiap bid'ah adalah kesesatan".


[Disalin dari buku Al-Ibdaa' fi Kamaalisy Syar'i wa Khatharil Ibtidaa' edisi Indonesia Kesempurnaan Islam dan Bahaya Bid'ah karya Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-'Utsaimin, penerjemah Ahmad Masykur MZ, terbitan Yayasan Minhajus Sunnah, Bogor - Jabar]

BEBERAPA PERTANYAAN TENTANG BID'AH DAN JAWABANNYA


Oleh
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-'Utsaimin






Mungkin ada di antara pembaca yang bertanya : Bagaimanakah pendapat anda tentang perkataan Umar bin Khatab Radhiyallahu 'Anhu setelah memerintahkan kepada Ubay bin Ka'ab dan Tamim Ad-Dari agar mengimami orang-orang di bulan Ramadhan. Ketika keluar mendapatkan para jama'ah sedang berkumpul dengan imam mereka, beliau berkata : "inilah sebaik-baik bid'ah .... dst".

Jawabannya.

Pertama.
Bahwa tak seorangpun di antara kita boleh menentang sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, walaupun dengan perkataan Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali atau dengan perkataan siapa saja selain mereka. Karena Allah Ta'ala berfirman :

"Artinya : Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya (Rasul) takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa adzab yang pedih". [An-Nuur : 63].

Imam Ahmad bin Hambal berkata : "Tahukah anda, apakah yang dimaksud dengan fitnah ?. Fitnah, yaitu syirik. Boleh jadi apabila menolak sebagian sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam akan terjadi pada hatinya suatu kesesatan, akhirnya akan binasa".

Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu berkata : "Hampir saja kalian dilempar batu dari atas langit. Kukatakan : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, tapi kalian menentangnya dengan ucapan Abu Bakar dan Umar".

Kedua.
Kita yakin kalau Umar Radhiyallahu 'anhu termasuk orang yang sangat menghormati firman Allah Ta'ala dan sabda Rasul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam. Beliaupun terkenal sebagai orang yang berpijak pada ketentuan-ketentuan Allah, sehingga tak heran jika beliau mendapat julukan sebagai orang yang selalu berpegang teguh kepada kalamullah. Dan kisah perempuan yang berani menyanggah pernyataan beliau tentang pembatasan mahar (maskawin) dengan firman Allah, yang artinya : " ... sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak ..." [An-Nisaa : 20] bukan rahasia lagi bagi umum, sehingga beliau tidak jadi melakukan pembatasan mahar.

Sekalipun kisah ini perlu diteliti lagi tentang keshahihahnya, tetapi dimaksudkan dapat menjelaskan bahwa Umar adalah seorang yang senantiasa berpijak pada ketentuan-ketentuan Allah, tidak melanggarnya.

Oleh karena itu, tak patut bila Umar Radhiyallahu 'anhu menentang sabda Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata tentang suatu bid'ah : "Inilah sebaik-baik bid'ah", padahal bid'ah tersebut termasuk dalam kategori sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Setiap bid'ah adalah kesesatan".

Akan tetapi bid'ah yang dikatakan oleh Umar, harus ditempatkan sebagai bid'ah yang tidak termasuk dalam sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tersebut. Maksudnya : adalah mengumpulkan orang-orang yang mau melaksanakan shalat sunat pada malam bulan Ramadhan dengan satu imam, di mana sebelumnya mereka melakukannya sendiri-sendiri.

Sedangkan shalat sunat ini sendiri sudah ada dasarnya dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana dinyatakan oleh Sayyidah Aisyah Radhiyallahu 'anha berkata : "Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah melakukan qiyamul lail (bersama para sahabat) tiga malam berturut-turut, kemudian beliau menghentikannnya pada malam keempat, dan bersabda :
"Artinya : Sesungguhnya aku takut kalau shalat tersebut diwajibkan atas kamu, sedanghkan kamu tidak mampu untuk melaksanakannya". [Hadits Riwayat Al-Bukhari dan Muslim].

Jadi qiyamul lail (shalat malam) di bulan Ramadhan dengan berjamaah termasuk sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Namun disebut bid'ah oleh Umar Radhiyallahu anhu dengan pertimbangan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam setelah menghentikannya pada malam keempat, ada di antara orang-orang yang melakukannya sendiri-sendiri, ada yang melakukannya secara berjama'ah dengan orang banyak. Akhirnya Amirul Mu'minin Umar Radhiyallahu 'anhu dengan pendapatnya yang benar mengumpulkan mereka dengan satu imam. Maka perbuatan yang dilakukan oleh Umar ini disebut bid'ah, bila dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang sebelum itu. Akan tetapi sebenarnya bukanlah bid'ah, karena pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Dengan penjelasan ini, tidak ada suatu alasan apapun bagi ahli bid'ah untuk menyatakan perbuatan bid'ah mereka sebagai bid'ah hasanah.

Mungkin juga di antara pembaca ada yang bertanya : Ada hal-hal yang tidak pernah dilakukan pada masa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, tetapi disambut baik dan diamalkan oleh umat Islam, seperti; adanya sekolah, penyusunan buku, dan lain sebagainya. Hal-hal baru seperti ini dinilai baik oleh umat Islam, diamalkan dan dipandang sebagai amal kebaikan. Lalu bagaimana hal ini, yang sudah hampir menjadi kesepakatan kaum Muslimin, dipadukan dengan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Setiap bid'ah adalah kesesatan ?".

Jawabnya : Kita katakan bahwa hal-hal seperti ini sebenarnya bukan bid'ah, melainkan sebagai sarana untuk melaksanakan perintah, sedangkan sarana itu berbeda-beda sesuai tempat dan zamannya. Sebagaimana disebutkan dalam kaedah : "Sarana dihukumi menurut tujuannya". Maka sarana untuk melaksanakan perintah, hukumnya diperintahkan ; sarana untuk perbuatan yang tidak diperintahkan, hukumnya tidak diperintahkan ; sedang sarana untuk perbuatan haram, hukumnya adalah haram. Untuk itu, suatu kebaikan jika dijadikan sarana untuk kejahatan, akan berubah hukumnya menjadi hal yang buruk dan jahat.

Firman Allah Ta'ala.

"Artinya : Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan". [Al-An'aam : 108].

Padahal menjelek-jelekkan sembahan orang-orang yang musyrik adalah perbuatan hak dan pada tempatnya. Sebaliknya, mejelek-jelekan Rabbul 'Alamien adalah perbuatan durjana dan tidak pada tempatnya. Namun, karena perbuatan menjelek-jelekkan dan memaki sembahan orang-orang musyrik menyebabkan mereka akan mencaci maki Allah, maka perbuatan tersebut dilarang.

Ayat ini sengaja kami kutip, karena merupakan dalil yang menunjukkan bahwa sarana dihukumi menurut tujuannya. Adanya sekolah-sekolah, karya ilmu pengetahuan dan penyusunan kitab-kitab dan lain sebagainya walaupun hal baru dan tidak ada seperti itu pada zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, namun bukan tujuan, tetapi merupakan sarana. Sedangkan sarana dihukumi menurut tujuannya. Jadi seandainya ada seseorang membangun gedung sekolah dengan tujuan untuk pengajaran ilmu yang haram, maka pembangunan tersebut hukumnya adalah haram. Sebaliknya, apabila bertujuan untuk pengajaran ilmu syar'i, maka pembangunannya adalah diperintahkan.

Jika ada pula yang mempertanyakan : Bagaimana jawaban anda terhadap sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Siapa yang memulai memberi contoh kebaikan dalam Islam maka ia mendapat pahala perbuatannya dan pahala orang-orang yang mengikuti (meniru) perbuatannya itu ..".

"Sanna" di sini artinya : membuat atau mengadakan.

Jawabnya :
Bahwa orang yang menyampaikan ucapan tersebut adalah orang yang menyatakan pula : "Setiap bid'ah adalah kesesatan". yaitu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan tidak mungkin sabda beliau sebagai orang yang jujur dan terpercaya ada yang bertentangan satu sama lainnya, sebagaimana firman Allah juga tidak ada yang saling bertentangan. Kalau ada yang beranggapan seperti itu, maka hendaklah ia meneliti kembali. Anggapan tersebut terjadi mungkin karena dirinya yang tidak mampu atau karena kurang jeli. Dan sama sekali tidak akan ada pertentangan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala atau sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Dengan demikian tidak ada pertentangan antara kedua hadits tersebut, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan : "man sanna fil islaam", yang artinya : "Barangsiapa berbuat dalam Islam", sedangkan bid'ah tidak termasuk dalam Islam ; kemudian menyatkan : "sunnah hasanah", berarti : "Sunnah yang baik", sedangkan bid'ah bukan yang baik. Tentu berbeda antara berbuat sunnah dan mengerjakan bid'ah.

Jawaban lainnya, bahwa kata-kata "man sanna" bisa diartikan pula : "Barangsiapa menghidupkan suatu sunnah", yang telah ditinggalkan dan pernah ada sebelumnya. Jadi kata "sanna" tidak berarti membuat sunnah dari dirinya sendiri, melainkan menghidupkan kembali suatu sunnah yang telah ditinggalkan.

Ada juga jawaban lain yang ditunjukkan oleh sebab timbulnya hadits diatas, yaitu kisah orang-orang yang datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mereka itu dalam keadaan yang amat sulit. Maka beliau menghimbau kepada para sahabat untuk mendermakan sebagian dari harta mereka. Kemudian datanglah seorang Anshar dengan membawa sebungkus uang perak yang kelihatannya cukup banyak, lalu diletakkannya di hadapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Seketika itu berseri-serilah wajah beliau dan bersabda.

"Artinya : Siapa yang memulai memberi contoh kebaikan dalam Islam maka ia mendapat pahala perbuatannya dan pahala orang-orang yang mengikuti (meniru) perbuatannya itu ..".

Dari sini, dapat dipahami bahwa arti "sanna" ialah : melaksanakan (mengerjakan), bukan berarti membuat (mengadakan) suatu sunnah. Jadi arti dari sabda beliau : "Man Sanna fil Islaami Sunnatan Hasanan", yaitu : "Barangsiapa melaksanakan sunnah yang baik", bukan membuat atau mengadakannya, karena yang demikian ini dilarang. berdasarkan sabda beliau : "Kullu bid'atin dhalaalah".


[Disalin dari buku Al-Ibdaa' fi Kamaalisy Syar'i wa Khatharil Ibtidaa' edisi Indonesia Kesempurnaan Islam dan Bahaya Bid'ah karya Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-'Utsaimin, penerjemah Ahmad Masykur MZ, terbitan Yayasan Minhajus Sunnah, Bogor - Jabar]

© copyleft almanhaj.or.id
seluruh artikel dan tulisan di situs almanhaj.or.id dapat disebarluaskan, dengan mencantumkan sumbernya dan tetap menjaga keilmiahan
Situs almanhaj.or.id tidak memiliki hubungan apapun dengan situs lainnya.
READ MORE - SETIAP BID'AH ADALAH KESESATAN

bida mu bukan untuk ku

Oleh
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-'Utsaimin




Apabila masalah tadi sudah jelas dan menjadi ketetapan saudara, maka ketahuilah bahwa siapapun yang berbuat bid'ah dalam agama, walaupun dengan tujuan baik, maka bid'ahnya itu, selain merupakan kesesatan, adalah suatu tindakan menghujat agama dan mendustakan firman Allah Ta'ala, yang artinya : " Pada hari ini telah Ku sempurnakan untuk kamu agamamu ....." . Karena dengan perbuatannya tersebut, dia seakan-akan mengatakan bahwa Islam belum sempurna, sebab amalan yang diperbuatnya dengan anggapan dapat mendekatkan diri kepada Allah belum terdapat di dalamnya.

Anehnya, ada orang yang melakukan bid'ah berkenan dengan dzat, asma' dan sifat Allah Azza wa Jalla, kemudian ia mengatakan bahwa tujuannya adalah untuk mengagungkan Allah, untuk mensucikan Allah, dan untuk menuruti firman Allah Ta'ala.

"Artinya : Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah". [Al-Baqarah : 22]

Aneh, bahwa orang yang melakukan bid'ah seperti ini dalam agama Allah, yang berkenan dengan dzat-Nya, yang tidak pernah dilakukan oleh para ulama salaf, mengatakan bahwa dialah yang mensucikan Allah, dialah yang mengagungkan Allah dan dialah yang menuruti firman-Nya : "Artinya : Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah", dan barangsiapa yang menyalahinya maka dia adalah mumatstsil musyabbih (orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), atau menuduhnya dengan sebutan-sebutan jelek lainnya.

Anehnya lagi, ada orang-orang yang melakukan bid'ah dalam agama Allah berkenaan dengan pribadi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dengan perbuatannya itu mereka menganggap bahwa dirinyalah orang yang paling mencintai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan yang mengagungkan beliau, barangsiapa yang tidak berbuat sama seperti mereka maka dia adalah orang yang membenci Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, atau menuduhnya dengan sebutan-sebutan jelek lainnya yang biasa mereka pergunakan terhadap orang yang menolak bid'ah mereka.

Aneh, bahwa orang-orang semacam ini mengatakan : "Kamilah yang mengagungkan Allah dan Rasul-Nya". Padahal dengan bid'ah yang mereka perbuat itu, mereka sebenarnya telah bertindak lancang terhadap Allah dan Rasul-Nya. Allah Ta'ala telah berfirman.

"Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui". [Al-Hujuraat : 1]

Pembaca Yang Budiman.

Disini penulis mau bertanya, dan mohon -demi Allah- agar jawaban yang anda berikan berasal dari hati nurani bukan secara emosional, jawab yang sesuai dengan tuntunan agama anda, bukan karena taklid (ikut-ikutan).

Apa pendapat anda terhadap mereka yang melakukan bid'ah dalam agama Allah, baik yang berkenan dengan dzat, sifat dan asma' Allah Subhanahu wa Ta'ala atau yang berkenan dengan pribadi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kemudian mengatakan : "Kamilah yang mengagungkan Allah dan Rasulullah ?".

Apakah mereka ini yang lebih berhak disebut sebagai pengagung Allah dan Rasulullah, ataukah orang-orang yang mereka itu tidak menyimpang seujung jaripun dari syari'at Allah, yang berkata : "Kami beriman kepada syari'at Allah yang dibawa Nabi, kami mempercayai apa yang diberitakan, kami patuh dan tunduk terhadap perintah dan larangan ; kami menolak apa yang tidak ada dalam syari'at, tak patut kami berbuat lancang terhadap Allah dan Rasul-Nya atau mengatakan dalam agama Allah apa yang tidak termasuk ajarannya ?".

Siapakah, menurut anda, yang lebih berhak untuk disebut sebagai orang yang mencintai serta mengagungkan Allah dan Rasul-Nya .?

Jelas golongan yang kedua, yaitu mereka yang berkata : "Kami mengimani dan mempercayai apa yang diberitakan kepada kami, patuh dan tunduk terhadap apa yang diperintahkan ; kami menolak apa yang tidak diperintahkan, dan tak patut kami mengada-adakan dalam syari'at Allah atau melakukan bid'ah dalam agama Allah". Tak syak lagi bahwa mereka inilah orang-orang yang tahu diri dan tahu kedudukan Khaliqnya. Merekalah yang mengagungkan Allah dan Rasul-Nya, dan merekalah yang menunjukkan kebenaran kecintaan mereka kepada Allah dan Rasul-Nya.

Bukan golongan pertama, yang melakukan bid'ah dalam agama Allah, dalam hal akidah, ucapan, atau perbuatan. Padahal, anehnya, mereka mengerti sabda Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam.

"Artinya : Jauhilah perkara-perkara baru, karena setiap perkara baru adalah bid'ah, setiap bid'ah adalah kesesatan, dan setiap kesesatan masuk dalam neraka".

Sabda beliau : "setiap bid'ah " bersifat umum dan menyeluruh, dan mereka mengetahui hal itu.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang menyampaikan maklumat umum ini, tahu akan konotasi apa yang disampaikannya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah manusia yang paling fasih, paling tulus terhadap umatnya, tidak mengatakan kecuali apa yang dipahami maknanya, Maka ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Kullu bid'atin dhalalah", Beliau menyadari apa yang diucapkan, mengerti betul akan maknanya, dan ucapan ini timbul dari beliau karena beliau benar-benar tulus terhadap umatnya.

Apabila suatu perkataan memenuhi ketiga unsur ini, yaitu : diucapkan dengan penuh ketulusan, penuh kefasihan dan penuh pengertian, maka perkataan tersebut tidak mempunyai konotasi lain kecuali makna yang dikandungnya.

Dengan pernyataan umum tadi, benarkah bahwa bid'ah dapat kita bagi menjadi tiga bagian, atau lima bagian ?

Sama sekali tidak benar. Adapun pendapat sebagian ulama yang mengatakan bahwa ada bid'ah hasanah, maka pendapat tersebut tidak lepas dari dua hal.

Pertama : kemungkinan tidak termasuk bid'ah tapi dianggapnya sebagai bid'ah.
Kedua : kemungkinan termasuk bid'ah, yang tentu saja sayyi'ah (buruk), tetapi dia tidak mengetahui keburukannya.

Jadi setiap perkara yang dianggapnya sebagai bid'ah hasanah, maka Jawabannya adalah demikian tadi.

Dengan demikian, tak ada jalan lagi bagi ahli bid'ah untuk menjadikan sesuatu bid'ah mereka sebagai bid'ah hasanah, karena kita telah mempunyai senjata ampuh dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu :

"Artinya : Setiap bid'ah adalah kesesatan"

Senjata itu bukan dibuat di sembarang pabrik, melainkan datang dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan dibuat sedemikian sempurna. Maka barangsiapa yang memegang senjata ini tidak akan dapat dilawan oleh siapapun dengan bid'ah yang dikatakannya sebagai hasanah, sementara Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menyatakan : "Setiap bid'ah adalah kesesatan".


[Disalin dari buku Al-Ibdaa' fi Kamaalisy Syar'i wa Khatharil Ibtidaa' edisi Indonesia Kesempurnaan Islam dan Bahaya Bid'ah karya Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-'Utsaimin, penerjemah Ahmad Masykur MZ, terbitan Yayasan Minhajus Sunnah, Bogor - Jabar]

BEBERAPA PERTANYAAN TENTANG BID'AH DAN JAWABANNYA


Oleh
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-'Utsaimin






Mungkin ada di antara pembaca yang bertanya : Bagaimanakah pendapat anda tentang perkataan Umar bin Khatab Radhiyallahu 'Anhu setelah memerintahkan kepada Ubay bin Ka'ab dan Tamim Ad-Dari agar mengimami orang-orang di bulan Ramadhan. Ketika keluar mendapatkan para jama'ah sedang berkumpul dengan imam mereka, beliau berkata : "inilah sebaik-baik bid'ah .... dst".

Jawabannya.

Pertama.
Bahwa tak seorangpun di antara kita boleh menentang sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, walaupun dengan perkataan Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali atau dengan perkataan siapa saja selain mereka. Karena Allah Ta'ala berfirman :

"Artinya : Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya (Rasul) takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa adzab yang pedih". [An-Nuur : 63].

Imam Ahmad bin Hambal berkata : "Tahukah anda, apakah yang dimaksud dengan fitnah ?. Fitnah, yaitu syirik. Boleh jadi apabila menolak sebagian sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam akan terjadi pada hatinya suatu kesesatan, akhirnya akan binasa".

Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu berkata : "Hampir saja kalian dilempar batu dari atas langit. Kukatakan : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, tapi kalian menentangnya dengan ucapan Abu Bakar dan Umar".

Kedua.
Kita yakin kalau Umar Radhiyallahu 'anhu termasuk orang yang sangat menghormati firman Allah Ta'ala dan sabda Rasul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam. Beliaupun terkenal sebagai orang yang berpijak pada ketentuan-ketentuan Allah, sehingga tak heran jika beliau mendapat julukan sebagai orang yang selalu berpegang teguh kepada kalamullah. Dan kisah perempuan yang berani menyanggah pernyataan beliau tentang pembatasan mahar (maskawin) dengan firman Allah, yang artinya : " ... sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak ..." [An-Nisaa : 20] bukan rahasia lagi bagi umum, sehingga beliau tidak jadi melakukan pembatasan mahar.

Sekalipun kisah ini perlu diteliti lagi tentang keshahihahnya, tetapi dimaksudkan dapat menjelaskan bahwa Umar adalah seorang yang senantiasa berpijak pada ketentuan-ketentuan Allah, tidak melanggarnya.

Oleh karena itu, tak patut bila Umar Radhiyallahu 'anhu menentang sabda Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata tentang suatu bid'ah : "Inilah sebaik-baik bid'ah", padahal bid'ah tersebut termasuk dalam kategori sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Setiap bid'ah adalah kesesatan".

Akan tetapi bid'ah yang dikatakan oleh Umar, harus ditempatkan sebagai bid'ah yang tidak termasuk dalam sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tersebut. Maksudnya : adalah mengumpulkan orang-orang yang mau melaksanakan shalat sunat pada malam bulan Ramadhan dengan satu imam, di mana sebelumnya mereka melakukannya sendiri-sendiri.

Sedangkan shalat sunat ini sendiri sudah ada dasarnya dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana dinyatakan oleh Sayyidah Aisyah Radhiyallahu 'anha berkata : "Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah melakukan qiyamul lail (bersama para sahabat) tiga malam berturut-turut, kemudian beliau menghentikannnya pada malam keempat, dan bersabda :
"Artinya : Sesungguhnya aku takut kalau shalat tersebut diwajibkan atas kamu, sedanghkan kamu tidak mampu untuk melaksanakannya". [Hadits Riwayat Al-Bukhari dan Muslim].

Jadi qiyamul lail (shalat malam) di bulan Ramadhan dengan berjamaah termasuk sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Namun disebut bid'ah oleh Umar Radhiyallahu anhu dengan pertimbangan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam setelah menghentikannya pada malam keempat, ada di antara orang-orang yang melakukannya sendiri-sendiri, ada yang melakukannya secara berjama'ah dengan orang banyak. Akhirnya Amirul Mu'minin Umar Radhiyallahu 'anhu dengan pendapatnya yang benar mengumpulkan mereka dengan satu imam. Maka perbuatan yang dilakukan oleh Umar ini disebut bid'ah, bila dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang sebelum itu. Akan tetapi sebenarnya bukanlah bid'ah, karena pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Dengan penjelasan ini, tidak ada suatu alasan apapun bagi ahli bid'ah untuk menyatakan perbuatan bid'ah mereka sebagai bid'ah hasanah.

Mungkin juga di antara pembaca ada yang bertanya : Ada hal-hal yang tidak pernah dilakukan pada masa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, tetapi disambut baik dan diamalkan oleh umat Islam, seperti; adanya sekolah, penyusunan buku, dan lain sebagainya. Hal-hal baru seperti ini dinilai baik oleh umat Islam, diamalkan dan dipandang sebagai amal kebaikan. Lalu bagaimana hal ini, yang sudah hampir menjadi kesepakatan kaum Muslimin, dipadukan dengan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Setiap bid'ah adalah kesesatan ?".

Jawabnya : Kita katakan bahwa hal-hal seperti ini sebenarnya bukan bid'ah, melainkan sebagai sarana untuk melaksanakan perintah, sedangkan sarana itu berbeda-beda sesuai tempat dan zamannya. Sebagaimana disebutkan dalam kaedah : "Sarana dihukumi menurut tujuannya". Maka sarana untuk melaksanakan perintah, hukumnya diperintahkan ; sarana untuk perbuatan yang tidak diperintahkan, hukumnya tidak diperintahkan ; sedang sarana untuk perbuatan haram, hukumnya adalah haram. Untuk itu, suatu kebaikan jika dijadikan sarana untuk kejahatan, akan berubah hukumnya menjadi hal yang buruk dan jahat.

Firman Allah Ta'ala.

"Artinya : Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan". [Al-An'aam : 108].

Padahal menjelek-jelekkan sembahan orang-orang yang musyrik adalah perbuatan hak dan pada tempatnya. Sebaliknya, mejelek-jelekan Rabbul 'Alamien adalah perbuatan durjana dan tidak pada tempatnya. Namun, karena perbuatan menjelek-jelekkan dan memaki sembahan orang-orang musyrik menyebabkan mereka akan mencaci maki Allah, maka perbuatan tersebut dilarang.

Ayat ini sengaja kami kutip, karena merupakan dalil yang menunjukkan bahwa sarana dihukumi menurut tujuannya. Adanya sekolah-sekolah, karya ilmu pengetahuan dan penyusunan kitab-kitab dan lain sebagainya walaupun hal baru dan tidak ada seperti itu pada zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, namun bukan tujuan, tetapi merupakan sarana. Sedangkan sarana dihukumi menurut tujuannya. Jadi seandainya ada seseorang membangun gedung sekolah dengan tujuan untuk pengajaran ilmu yang haram, maka pembangunan tersebut hukumnya adalah haram. Sebaliknya, apabila bertujuan untuk pengajaran ilmu syar'i, maka pembangunannya adalah diperintahkan.

Jika ada pula yang mempertanyakan : Bagaimana jawaban anda terhadap sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Siapa yang memulai memberi contoh kebaikan dalam Islam maka ia mendapat pahala perbuatannya dan pahala orang-orang yang mengikuti (meniru) perbuatannya itu ..".

"Sanna" di sini artinya : membuat atau mengadakan.

Jawabnya :
Bahwa orang yang menyampaikan ucapan tersebut adalah orang yang menyatakan pula : "Setiap bid'ah adalah kesesatan". yaitu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan tidak mungkin sabda beliau sebagai orang yang jujur dan terpercaya ada yang bertentangan satu sama lainnya, sebagaimana firman Allah juga tidak ada yang saling bertentangan. Kalau ada yang beranggapan seperti itu, maka hendaklah ia meneliti kembali. Anggapan tersebut terjadi mungkin karena dirinya yang tidak mampu atau karena kurang jeli. Dan sama sekali tidak akan ada pertentangan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala atau sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Dengan demikian tidak ada pertentangan antara kedua hadits tersebut, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan : "man sanna fil islaam", yang artinya : "Barangsiapa berbuat dalam Islam", sedangkan bid'ah tidak termasuk dalam Islam ; kemudian menyatkan : "sunnah hasanah", berarti : "Sunnah yang baik", sedangkan bid'ah bukan yang baik. Tentu berbeda antara berbuat sunnah dan mengerjakan bid'ah.

Jawaban lainnya, bahwa kata-kata "man sanna" bisa diartikan pula : "Barangsiapa menghidupkan suatu sunnah", yang telah ditinggalkan dan pernah ada sebelumnya. Jadi kata "sanna" tidak berarti membuat sunnah dari dirinya sendiri, melainkan menghidupkan kembali suatu sunnah yang telah ditinggalkan.

Ada juga jawaban lain yang ditunjukkan oleh sebab timbulnya hadits diatas, yaitu kisah orang-orang yang datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mereka itu dalam keadaan yang amat sulit. Maka beliau menghimbau kepada para sahabat untuk mendermakan sebagian dari harta mereka. Kemudian datanglah seorang Anshar dengan membawa sebungkus uang perak yang kelihatannya cukup banyak, lalu diletakkannya di hadapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Seketika itu berseri-serilah wajah beliau dan bersabda.

"Artinya : Siapa yang memulai memberi contoh kebaikan dalam Islam maka ia mendapat pahala perbuatannya dan pahala orang-orang yang mengikuti (meniru) perbuatannya itu ..".

Dari sini, dapat dipahami bahwa arti "sanna" ialah : melaksanakan (mengerjakan), bukan berarti membuat (mengadakan) suatu sunnah. Jadi arti dari sabda beliau : "Man Sanna fil Islaami Sunnatan Hasanan", yaitu : "Barangsiapa melaksanakan sunnah yang baik", bukan membuat atau mengadakannya, karena yang demikian ini dilarang. berdasarkan sabda beliau : "Kullu bid'atin dhalaalah".


[Disalin dari buku Al-Ibdaa' fi Kamaalisy Syar'i wa Khatharil Ibtidaa' edisi Indonesia Kesempurnaan Islam dan Bahaya Bid'ah karya Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-'Utsaimin, penerjemah Ahmad Masykur MZ, terbitan Yayasan Minhajus Sunnah, Bogor - Jabar]

© copyleft almanhaj.or.id
seluruh artikel dan tulisan di situs almanhaj.or.id dapat disebarluaskan, dengan mencantumkan sumbernya dan tetap menjaga keilmiahan
Situs almanhaj.or.id tidak memiliki hubungan apapun dengan situs lainnya.
READ MORE - bida mu bukan untuk ku