Allah Ta’ala berfirman:
قُلْ أَفَرَأَيْتُم مَّا تَدْعُونَ مِن دُونِ اللَّهِ إِنْ أَرَادَنِيَ اللَّهُ بِضُرٍّ هَلْ هُنَّ كَاشِفَاتُ ضُرِّهِ أَوْ أَرَادَنِي بِرَحْمَةٍ هَلْ هُنَّ مُمْسِكَاتُ رَحْمَتِهِ قُلْ حَسْبِيَ اللَّهُ عَلَيْهِ يَتَوَكَّلُ الْمُتَوَكِّلُونَ
“Katakanlah: “Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kalian seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudharatan kepadaku, apakah mereka (berhala-berhala kalian) itu dapat menghilangkan kemudharatan itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmat-Nya?. Katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku”. Hanya kepada-Nyal bertawakkal orang-orang yang berserah diri.” (QS. Az-Zumar: 38)
Dari Uqbah bin Amir -radhiallahu anhu- dia berkata: Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ تَعَلَّقَ تَمِيمَةً فَلَا أَتَمَّ اللَّهُ لَهُ
“Barangsiapa mengantungkan tamimah (jimat) niscaya Allah tidak akan menyempurnakannya untuknya.” (HR. Ahmad no. 16763)
Dalam sebuah riwayat:
مَنْ تَعَلَّقَ تَمِيمَةً فَقَدْ أَشْرَكَ
“Barangsiapa mengantungkan tamimah (jimat) maka sungguh dia telah berbuat kesyirikan.” (Dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 492)
Dari Abdullah bin Ukaim -radhiallahu anhu- dia berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:
مَنْ تَعَلَّقَ شَيْئًا وُكِلَ إِلَيْهِ
“Barangsiapa yang menggantungkan sesuatu (jampi atau mantra), maka Allah akan menyerahkannya kepada gantungannya tersebut.” (HR. At-Tirmizi no. 1998. Diriwayatkan juga oleh An-Nasai no. 4011 dari Abu Hurairah)
Dari Abdullah bin Mas’ud -radhiallahu anhu- dia berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ
“Sesungguhnya jampi-jampi, jimat dan tiwalah adalah bentuk kesyirikan.” (HR. Abu Daud no. 3385, Ibnu Majah no. 3521, dan Ahmad no. 3433)
Tiwalah adalah sesuatu yang dibuat oleh para dukun, yang dengannya mereka membuat dua orang saling mencintai, dinamakan juga al-athh (pelet).
Penjelasan ringkas:
Tamimah atau jimat adalah semua yang dipasang atau digantung atau dikalungkan oleh seseorang baik di tubuh atau di rumah atau di kendaraan guna menolak ‘ain atau mudharat lainnya atau untuk mendapatkan maslahat, baik dia terbuat dari benang, tali, logam, dan semacamnya. Intinya adalah maksud dan tujuan, bukan bentuk dan penggunaannya. Kapan tujuannya untuk menolak bala atau mendapatkan manfaat maka dia adalah tamimah/jimat, apapun bahannya dan pada apapun digantungkan.
Allah Ta’ala menjelaskan bahwa memakai tamimah merupakan amalan orang-orang yang rusak tawakkalnya kepada Allah tatkala dia bergantung kepada selain-Nya berupa benda-benda mati. Dan Allah membantah bahwa benda-benda tersebut tidak akan bisa menolak manfaat yang Allah telah takdirkan dan juga tidak bisa menolak mudharat yang telah Dia takdirkan.
Dan barangsiapa yang menargetkan sesuatu dengan menempuh cara yang diharamkan maka dia tidak akan mendapatkan kebalikannya. Karenanya barangsiapa yang menggunakan tamimah maka Allah tidak akan menyempurnakan apa yang dia inginkan berupa mendapatkan manfaat atau terhindar dari mudharat, dan Allah akan menelantarkan dirinya dan menyerahkannya kepada tamimah tersebut, padahal benda-benda mati itu tidak bisa melakukan apa-apa sama sekali.
Tatkala dalam penggunaan tamimah ada bentuk tawakkal dan bergantung kepada selain Allah dalam masalah yang hanya Allah penentunya (mashalat dan mudharat), maka Nabi -alaihishshalatu wassalam- menghukumi penggantungan tamimah ini adalah kesyirikan.
Hukum Penggunaan Tamimah:
Para ulama membagi tamimah menjadi dua jenis:
Tamimah berupa selain Al-Qur`an.
Hukum asalnya adalah syirik asghar, karena menjadikan sesuatu menjadi sebab padahal dia bukanlah sebab secara syar’i dan kauni adalah syirik asghar. Dan kaidah ini disebutkan oleh Asy-Syaikh Saleh Al-Utsaimin -rahimahullah- dalam beberapa kitab beliau.
Hanya saja hukum syirik asghar ini berlaku jika dia tetap meyakini bahwa hanya Allah yang mendatangkan manfaat dan menolak mudharat, akan tetapi dengan sebab tamimah ini. Tapi jika dia meyakini bahwa tamimah inilah yang mendatangkan manfaat dan menolak mudharat tanpa campur tangan dari Allah maka itu adalah syirik akbar yang mengeluarkan dia dari Islam.
Tamimah yang terbuat dari Al-Qur`an.
Hukumnya tetap terlarang dan merupakan dosa besar, dan ini merupakan pendapat Abdullah bin Mas’ud dan selain beliau. Hanya saja dia tidak sampai dalam jenjang syirik asghar, tetapi dia termasuk bid’ah yang mungkar. Alasan dia tidak dikatakan syirik asghar adalah karena Al-Qur`an merupakan sebab syar’i dan kauni guna mendapatkan maslahat dan terhindar dari mudharat, baik dalam masalah agama maupun dunia. Akan tetapi cara menggunakan Al-Qur`an guna mendapatkan hal itu adalah membacanya, mendengarnya, dan mengamalkannya, bukan dengan cara menggantungnya. Maka perbuatan ini sama dengan melakukan sebuah ibadah yang tidak dituntunkan oleh Nabi -alaihishshalatu wassalam-, karena beliau memanfaat Al-Qur`an dengan membacanya sementara orang itu memanfaatkannya dengan menggantungnya. Walaupun tujuannya sama, akan tetapi dia telah menyelisihi tuntunan Rasulullah -alaihishshalatu wassalam- dalam masalah ini.
Semoga Allah Ta’ala berkenan membersihkan kaum muslimin di berbagai tempat dari penggunaan tamimah yang sudah merata dan membudaya ini, innahu waliyyu dzalika wal qadiru alaihi.
sumber : http://al-atsariyyah.com/?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar