Jumat, 26 Februari 2010

Tidak Seyogyanya Umat Dipecah Belah : Ini Adalah Ikhwani, Ini Adalah Tablighi Dan Ini Adalah Salafi

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin



Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah orang yang bergabung kepada kelompok Ikhwanul Muslimin atau Jama’ah Tabligh di negara kita berada di atas kebenaran atau diatas kesalahan ?

Jawaban
Saya pandang ia berada di atas kesalahan, dan bahwa tidak seyogyanya umat ini dipecah belah (dengan mengatakan) : Ini adalah Ikhwani, ini adalah Tablighi, dan ini adalah Salafi. Setiap kita ingin menjadi umat yang satu di bawah satu syi’ar yaitu Islam yang dibawa oleh Nabi, dan seseorang harus menerapkan hukum-hukumnya sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Sunnah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan ia telah diketahui oleh siapapun yang menginginkan petunjuk. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” [Al-Qamar : 17]

KELOMPOK-KELOMPOK ITU HARUS MENJADI KELOMPOK YANG SATU DAN TIDAK BOLEH MEMECAH BELAH UMAT MENJADI BERBAGAI KELOMPOK.

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah sikap kita terhadap orang yang mengajak untuk bergabung kepada kelompok Ikhwanul Muslimin atau Jama’ah Tabligh dengan alasan ukhuwah dan cinta karena Allah?

Jawaban
Bila salah seorang mengajak kepada kedua kelompok itu atas dasar cinta karena Allah dan ukhuwah di jalan Allah, maka ini adalah niat yang baik. Maksud saya kondisinya yang menginginkan agar kaum muslimin menjadi ikhwah yang saling mencintai karena Allah Subhanahu wa Ta’ala. Akan tetapi keberadaannya yang mengajak kepada suatu kelompok tertentu tang yang lain dan bergabung kepada kelompok itu tanpa kelompok yang lain adalah sesuatu yang tidak benar. Saya pandang hendaknya kedua kelompok ini menjadi satu kelompok hingga kita tidak terpecah-belah

[Disalin dari kitab Ash-Shahwah Al-Islamiyah Dhawabith wa Taujihat, edisi Indonesia Panduan Kebangkitan Islam, Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, terbitan Darul Haq]

REALITA PERPECAHAN UMAT


Oleh
Dr. Nashir bin Abdul Karim Al-'Aql



Apakah perpecahan benar-benar melanda umat Islam ?

Benarkah hal itu terjadi ?

Persoalan ini terangkum dalam sembilan point.

Pertama.
Hadits mutawatir dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengenai perpecahan yang melanda umat. Di antaranya adalah hadits iftiraq yang berbunyi.

"Artinya : Umat Yahudi telah terpecah-belah menjadi tujuh puluh satu golongan. Dan umat Nasrani telah terpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan. Sementara umat ini (Islam) akan terpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan"

Hadits Nabi ini sangat masyhur, diriwayatkan oleh sejumlah sahabat dan dicantumkan oleh para imam dan huffazh dalam kitab-kitab sunan, seperti Imam Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Al-Hakim, Ibnu Hibban, Abu Ya'la Al-Maushili, Ibnu Abi Ashim, Ibnu Baththah, Al-Ajurri, Ad-Darimi, Al-Lalikai dan lain-lain. Hadits ini dinyatakan shahih oleh beberapa ahli ilmu di antaranya ; At-Tirmidzi, Al-Hakim, Adz-Dzahabi,As-Suyuthi, Asy-Syathibi dan lainnya. Di samping banyak terdapat jalur sanad bagi hadits ini, secara keseluruhan dapat mencapai derajat hadits shahih.

Kedua.
Dalam hadits lain Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengabarkan bahwa umat ini bakal mengikuti tradisi umat-umat terdahulu. Hadits tersebut berbunyi.

"Artinya : Kalian pasti akan mengikuti tradisi umat-umat terdahulu, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Hingga sekalipun mereka masuk lubang biawak, kalian pasti mengikutinya. "Kami bertanya : 'Wahai Rasulullah, apakah mereka itu kaum Yahudi dan Nashrani ? Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab : 'Siapa lagi kalau bukan mereka!" [Hadits Riwayat AL-Bukhari, silakan baca Fathul Bari, 8/300 dan Muslim hadits no. 2669]

Hadits ini shahih muttafaqun alaihi, tercantum dalam kitab-kitab shahih dan sunan

Dalam beberapa matan dan lafalnya secara eksplisit hadist ini menjelaskan makna "menyerupai dan mengikuti" dimaksud. Diantaranya sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Ibarat bulu-bulu anak panah yang sama persis"

Dan beberapa lafal lainnya yang sama menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memperingatkan bahaya perpecahan yang bakal melanda umat ini. Bahwa hal itu pasti menimpa umat ini. Dan perpecahan yang bakal terjadi itu bukanlah cela dan cacat atas Islam, atas Ahlus Sunnah wal Jama'ah dan atas Ahlul Haq, namun merupakan kecaman terhadap orang-orang yang memisahkan diri dari jama'ah. Orang-orang yang memisahkan diri dari jama'ah tentunya bukan termasuk Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Sebab Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah orang-orang yang memegang teguh Al-Qur'an dan Sunnah, yang tetap berada di atas nilai-nilai ke-Islaman. Merekalah para penegak kebenaran yang dibangkitkan Allah kepada manusia hingga hari Kiamat.

Jadi, perpecahan pasti terjadi berdasarkan berita yang sangat akurat, meskipun relitas dan logika belum mampu membuktikan kebenarannya!. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menyampaikannya melalui hadits-hadits beliau yang shahih dengan beragam lafal. Peringatan terhadap bahayanya juga telah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sampaikan. Peringatan yang disampaikan berkali-kali itu merupakan sinyalemen bahwa perpecahan pasti terjadi tanpa bisa dihindari!.

Ketiga.
Adanya nash-nash Al-Qur'an dan As-Sunnah yang mencakup larangan mengikuti jalan-jalan hawa nafsu dan perpecahan!

Di antaranya adalah.

[1]. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Dan berpegang teguhlah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai" [Ali Imran : 103]

[2]. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatan" [Al-Anfal : 46]

[3]. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala

"Artinya : Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka" {Ali Imran : 105]

[4]. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala

"Artinya : Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangtangnya" [Asy-Syura : 13]

[5]. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia ; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalanNya" [Al-An'am : 153]

Secara gamblang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan ayat di atas, beliau menarik sebuah garis lurus yang panjang kemudian menarik garis-garis ke kanan dan ke kiri menyimpang dari garis lurus tadi. Lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan bahwa garis lurus tersebut adalah jalan Allah, sementara garis-garis ke kanan dan ke kiri adalah jalan buntu yang menyimpang dari jalan yang utama yang lurus tadi[1]. Beliau juga menjelaskan bahwa pada jalan-jalan kesesatan tadi terdapat juru-juru dakwah yang menyeru kepada jalan setan. Barangsiapa mengikuti mereka, niscaya akan dilemparkan ke dalam jurang kehancuran [2]

Keempat .
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah melarang kita berbantah-bantahan dalam firmanNya.

"Artinya : Dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatan" [Al-Anfal : 46]

Sementara berbantah-bantahan itulah yang terjadi di antara kelompok-kelompok itu hingga berpecah-belah menjadi bergolong-golongan.

Kelima.
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengancam siapa saja yang menyimpang dari jalan orang-orang yang beriman (sahabat) dalam firmanNya.

"Artinya : Dang barangsiapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali" [An-Nisaa : 115]

Ternyata apa yang disebutkan dalam ayat diatas benar-benar dilakukan oleh segerombolan orang yang menentang Allah dan RasulNya serta mengikuti selain jalan orang-orang yang beriman. Mereka itulah kaum munafikin, kaum penentang dan kaum sempalan. Hanya kepada Allah saja kita memohon keselamatan

Jalan orang-orang yang beriman itulah jalan Ahlus Sunnah wal Jama'ah.

Keenam.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menetapkan beberapa sanksi atas orang yang memisahkan diri dari jama'ah, juga menjadi salah satu dalil bahwa hal itu pasti terjadi! Dengan keras beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengancam siapa saja yang memisahkan diri dari jama'ah, berikut sabda beliau.

"Artinya : Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi tiada illah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah dan bersaksi bahwa aku adalah utusa Allah kecuali dengan tiga alasan : (1) berzina setelah menikah. (2) Membunuh jiwa tanpa hak (qishash). (3) Murtad dari Islam yang memisahkan diri dari jama'ah" [Muttafaqun 'alaih, Al-Bukhari IV/317 dan Muslim V/106]

Ketujuh.
Secara implisit Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberikan sinyalemen terjadinya perpecahan ketika beliau menyinggung tentang kelompok Khawarij. Beliau menyebutkan bahwa kelompok Khawarij ini akan memisahkan diri dari umat, akibatnya mereka melesat keluar dari agama. Istilah 'keluar dari agama' bukan berarti kafir keluar dari Islam, akan tetapi maknanya adalah keluar dari asas Islam, keluar dari hukum-hukum dan batas-batasnya. Istilah 'keluar dari agama' kadang kala berarti kekafiran kadang kala tidak sampai kepada batas kafir. Kadang kala bermakna memisahkan diri dari umat Islam, yaitu dari jama'ah, atau memisahkan diri dari jalur Sunnah Nabi yang dilalui oleh Ahlus Sunnah, yang merupakan Ahlu Islam sejati.

Kedelapan.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk memerangi siapa saja yang memisahkan diri dari jama'ah, sebagaimana yang disinggung dalam hadits di atas tadi. Sanksi tersebut merupakan sebuah ketetapan bagi sesuatu yang pasti terjadi. Sebab sangat mustahil ketetapan Nabi itu ngawur dan hanya kira-kira belakan.

Kesembilan.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga telah menjelaskan bahwa siapa saja yang mati dalam keadaan memisahkan diri dari jama'ah, maka ia mati dalam keadaan mati jahiliyah[1]. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga menjelaskan bahwa perpecahan itu adalah adzab, menyempal itu adalah kehancuran dan beberapa perkara lainnya yang menunjukkan bahwa perpecahan pasti terjadi. Peringatan terhadap bahaya perpecahan bukanlah gurauan belaka ! Pasti melanda umat sebagai bala'. Perpecahan tidak akan terkadi bila kaum muslimin berada di atas keterangan ilmu, mengenal kebenaran, mengenal Al-Qur'an dan As-Sunnah serta berpedoman Salafus Shalih, mencari kebenaran tersebut hingga dapat membedakan antara haq dan batil. Siapa saja yang mendapat hidayah, maka ia mendapatkannya dengan petunjuk ilmu. Dan siapa saja yang sesat, maka ia sesat berdasarkan kekerangan yang nyata. Hanya kepada Allah saja kita memohon keselamatan dari kesesatan.

Kesimpulannya.
Berdasarkan dalil-dalil qathi di atas, perpecahan pasti melanda umat ini.
Perpecahan adalah bala' dan adzab yang telah Allah Subhanahu wa Ta'ala tetapkan dan tidak akan berubah!

Perpecahan dengan beragam bentuknya adalah tercela
Setiap muslim harus mengetahui bentuk-bentuk perpecahan dan para pelakunya sehingga ia dapat menghindar dari jurang kesesatan!

[Disalin dari kitab Al-Iftiraaq Mafhumuhu asbabuhu subulul wiqayatu minhu, edisi Indonesia Perpecahan Umat ! Etiologi & Solusinya, oleh Dr. Nashir bin Abdul Karim Al-'Aql, terbitan Darul Haq, penerjemah Abu Ihsan Al-Atsari]
_________
Foote Note.
[1] Hari ini disebutkan dalam sejumlah hadits, sebagian dari jalaur sanad itu dinyatakan shalih oleh Al-Hakim, dan disepakati oleh Adz-Dzahabi dan Al-Albani. Silakan lihat kitab As-Sunnah karangan Ibnu Abi Ashim 1/13-14
[2] Ibid

PERBEDAAN ANTARA IKHTILAF(PERSELISIHAN) DAN IFTIRAQ (PERPECAHAN)


Oleh
Dr. Nashir bin Abdul Karim Al-'Aql



Membedakan antara perpecahan dan perselisihan termasuk perkara yang sangat penting. Para ahli ilmu seyogyanya memperhatikan masalah ini lebih banyak lagi. Karena mayoritas manusia -terlebih para du'at dan sebagian penuntut ilmu yang belum matang dalam medalami ilmu agama- tidak dapat membedakan antara permasalahan khilafiyah dengan perpecahan ! Kelirunya, sebagian mereka menerapkan sanksi hukum akibat perpecahan dalam masalah-masalah ikhtilaf. Ini merupakan kekeliruan yang sangat fatal. Penyebabnya tidak lain karena jahil tentang hakikat perpecahan, kapankah perbedaan itu disebut perpecahan ? Bagaimana terjadinya perpecahan ? Siapakah yang berhak memvonis bahwa seseorang atau kelompok tertentu telah memecah dari jama'ah ?

Oleh sebab itu, sudah sewajarnya mengetahui perbedaan antara perpecahan dan perselisihan. Ada lima perbedaan yang kami angkat sebagai contoh.

Pertama : Perpecahan adalah bentuk perselisihan yang sangat tajam. Bahkan dapat dikatakan sebagai buah dari perselisihan. Banyak sekali kasus yang membawa perselisihan ke muara perpecahan ! Meski kadang kala perselisihan tidak mesti berujung kepada perpecahan. Jadi, perpecahan adalah sesuatu yang lebih dari sekedar perselisihan. Dan sudah barang tentu, tidak semua ikhtilaf (perselisihan) disebut perpecahan. Maka dapat kita katakan :

Kedua : Tidak semua ikhtilaf disebut perpecahan ! Namun setiap perpecahan sudah pasti ikhtilaf! Banyak sekali persoalan yang diperdebatkan kaum muslimin termasuk kategori ikhtilaf, dimana masing-masing pihak yang berbeda pendapat tidak boleh memvonis kafir atau mengeluarkan salah satu pihak dari Ahlus Sunnah wal Jama'ah.

Ketiga : Perpecahan hanya terjadi pada permasalahan prinsipil, yaitu masalah ushuluddin yang tidak boleh diperselisihkan. Yakni masalah-masalah ushuluddin yang ditetapkan oleh nash yang qath'i, ijma atau sesuatu yang telah disepakati sebagai manhaj (pedoman operasional) Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Siapa saja yang menyelisihi masalah di atas, maka ia termasuk orang yang berpecah dari Al-Jama'ah. Adapun selain itu, masih tergolong perkara ikhtilaf.

Jadi, ikhtilaf hanya terjadi dalam masalah-masalah yang secara tabiat boleh berbeda pendapat dan boleh berijtihad yang mana seseorang memiliki hak berpendapat, atau masalah-masalah yang mungkin tidak diketahui sebagian orang, atau ada unsur paksaan dan takwil. Yakni pada masalah-masalah furu' dan ijtihad, bukan masalah ushuluddin. Bahkan juga sebagian kesalahan dalam persoalan ushuluddin yang masih bisa ditolerir menurut alim ulama yang terpercaya. Seperti halnya beberapa persoalan aqidah yang disepakati dasar-dasarnya namun diperselisihkan rincian furu'nya, misalnya masalah isra' dan mi'raj yang disepakati kebenarannya, namun diperselisihkan apakah dalam mi'raj tersebut Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melihat Rabb Ta'ala dengan mata kepala atau mata hati ?

Keempat : Ikhtilaf bersumber dari sebuah iijtihad yang disertai niat yang lurus. Dalam hal ini, mujtahid yang keliru mendapat satu pahala karena niatnya yang jujur mencari kebenaran. Sementara mujtahid yang benar mendapat pahala lebih banyak lagi. Kadang kala pihak yang salah juga pantas dipuji atas ijtihadnya. Adapun bila ikhtilaf tersebut bermuara kepada perpecahan, tidak syak lagi hal itu tercela.

Sementara perpecahan tidak berpangkal dari ijtihad atau niat yang tulus. Pelakunya sama sekali tidak mendapat pahala bahkan mendapat cela dan dosa. Maka dapat kita katakan bahwa perpecahan itu berpangkal dari bid'ah, menuruti hawa nafsu, taqlid buta dan kejahilan.

Kelima : Perpecahan tidak terlepas dari ancaman dan siksa serta kebinasaan. Tidak demikian halnya dengan ikhtilaf walau bagaimanapun bentuk ikhtilaf yang terjadi diantara kaum muslimin, baik akibat perbedaan dalam masalah-masalah ijtihadiyah, atau akibat mengambil pendapat keliru yang masih bisa ditolerir, atau akibat memilih pendapat yang salah karena ketidaktahuannya terhadap dalil-dalil sementara belum ditegakkan hujjan atasnya, atau karena uzur, seperti dipaksa memilih pendapat yang salah sementara orang lain tidak mengetahuinya, atau akibat kesalahan takwil yang hanya dapat diketahui setelah ditegakkan hujjah.

MELURUSKAN BEBERAPA KESALAH PAHAMAN
Ada beberapa kekeliruan sebagian orang sekarang ini yang mesti diluruskan, berkaitan dengan beda antara perpepcahan dengan ikhtilaf. Khususnya bagi para penegak amar ma'ruf nahi mungkar dan para juru dakwah. Yang lebih banyak lagi disebabkan karena lemahnya ilmu dan pemahaman dalam agama serta minimnya pengalaman, atau karena ketidakjelian dan salah persepsi. Terlebih lagi bagi para penopang dakwah islamiyah pada hari ini.

Beberaoa kekeliruan itu di dantaranya.

Pertama : Mengingkari terjadinya perpecahan dalam umat ini. yang berakibat sebagian orang menolak hadits ifftiraq yang telah dinukil secara shahih dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ini merupakan kesalahan fatal! Beberapa orang berasumsi atau mendakwahkan bahwa perpecahan umat tidak mungkin terjadi! Selintas kelihatannya ia ingin menampakkan keinginan yang tulus bagi umat. Melihat umat secara lahir saja (yaitu semuanya muslimun), Akibatnya ia menolak hadits iftiraq, atau mentakwilkannya kepada makna lain, atau beranggapan bahwa perpecahan hanya terjadi pada kelompok-kelompok yang jelas-jelas di luar Islam atau kelompok-kelompok Islam yang secara jelas telah murtad dari Islam. Ini jelas keliru, bahkan jelas bertentangan dengan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan nash-nash dari Al-Qur'an dan As-Sunnah yang menunjukkan terjadinya perpecahan uma. [1]

Umat memang telah dilanda perpecahan, realita itulah yang benar-benar telah terjadi. Perpecahan termasuk bala', sementara kebenaran tidak akan tampak kecuali dengan lawannya (kesesatan). Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menuliskannya dalam catatan takdir bahwa pengikut kebenaran sangat sedikit jumlahnya. Oleh sebab itu, meyakini terjadinya perpecahan bukan berarti berburuk sangka terhadap umat! Bahkan begitulah realita yang harus diakui. Berita yang dibawa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam harus dibenarkan. Dan fenomena perpecahan itu sendiri bukan berarti seorang muslim harus menerimanya tanpa usaha menghindar. Apalagi beranggapan bahwa berpecah itu dibolehkan, rela berpecah, tidak berusaha mencari kebenaran karena pasrah menerima takdir. Namun sebaliknya, perpecahan yang pasti terjadi itu justru mendorongnya mencari dan memegang teguh kebenaran. Memicunya mengenal keburukan untuk dihindari dan dijauhi. Dan hendaklah ia ketahui bahwa kebenaran hanya terdapat pada manhaj Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam serta manhaj Salafus Shalih.

Kedua : Asumsi bahwa perpecahan pasti terjadi, berarti umat harus menerimanya dengan rela. Dan para du'at harus menerima kenyataan ini, menerima kesesatan yang ada tanpa berusaha memperbaikinya. Asumsi seperti ini sering dijadikan alasan melegitimasi perpecahan. Mereka beranggapan seorang muslim bebas memilih kelompok manapun! Beralasan dengan realitas perpecahan yang pasti terjadi. Sehingga setiap orang bebas memilih kelompok manapun yang disukainya, meski jelas-jelas bid'ah dan sesat. Beranggapan boleh bertoleransi dengan kelompok-kelompok tersebut atau berusaha menyatukan mereka.

Ini merupakan anggapan batil, bahkan termasuk memperdayai kaum muslimin. Sudah barang tentu tidak boleh menjadikan hadits iftiraq tersebut sebagai alasan untuk berpecah belah! Atau sebagai dalih menerima bid'ah dan menuruti hawa nafsu atau rela berada di atas kesalahan. Sebab hadits tersebut diucapkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam konteks larangan dan peringatan keras terhadap hal itu.

Lebih parah lagi, sebagian orang yang mengaku juru dakwah berpendapat, selagi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membenarkan terjadinya perpecahan umat, maka kita terima dan kita benarkan saja bid'ah dan kesesatan yang terjadi sebagai suatu realita ! Bukankah kita tahu bahwa pasti dalam beragama itu ada cemar dan kurangnya! Jelas ini pendapat yang batil, bahkan termasuk perangkap setan yang menjerat umat manusia. Sebab, di samping Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menghabarkan terjadinya perpecahan, beliau juga mengabarkan bahwa akan tetap ada satu kelompok yang teguh diatas kebenaran, yaitu Ath-Thaifah Al-Manshurah. Golongan yang senantiasa memegang teguh kebenaran, menegakkan amar ma'ruf dan nahi mungkar. Golongan yang menegakkan hujjah yang nyata. Yang membawa panji hidayah bagi siapa yang menghendakinya. Yang menjadi panutan bagi yang ingin kebenaran, kebaikan dan sunnah!.

Jadi, hujjah mesti selalu tegak, kebenaran pasti senantiasa tampak, tidak akan tersamar sedikitpun bagi orang-orang yang memiliki bashirah dan bagi para pencari al-haq yang jujur. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberinya jalan keluar. Selama kebenaran masih tampak jelas dan panji sunnah masih tetap tegak, siapapun tidak boleh berpaling darinya, meski dengan itu pengikutnya jadi berkurang, baik ia seorang da'i atau bukan. Dan ia tidak boleh menerima bid'ah dan kesesatan meski dengan begitu pengikutnya semakin betambah banyak. Golongan yang selamat (Al-Firqatun Najiyah) hanya satu dari tujuh puluh tiga kelompok umat ini. Camkanlah hal itu baik-baik.

Maka menerima bid'ah dan kesesatan dengan dalih takdir tidaklah dibolehkan! Anggapan seperti itu termasuk memperdayai kaum muslimin, termasuk pembenaran bagi kebatilan serta berpaling dari kebenaran, dan termasuk juga selain jalan selain jalan orang-orang yang beriman. Semoga Allah memberikan keselamatan bagi kita semua.

Ketiga : Menjadikan ikhtilaf sebagai alasan memvonis sesat yang berseberangan dengannya, atau menghukumi mereka keluar dari agama atau dari Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Serta beberapa sikap kelewat batas lainnya dalam menghukumi pihak yang berseberangan. Tanpa merujuk kepada kaidah-kaidah syari'at dan metode alim ulama dalam masalah ini. Perlu diketahui bahwa dalam memvonis kafir ada batasan dan kaidah yang perlu diperhatikan. Meskipun terhadap ahli bid'ah dan ahli ahwa' (hawa nafsu). Sebab vonis kafir, bara'ah (berlepas diri), bughdu (kebencian), hajr (pemboikotan) dan tahdzir (peringatan) tidak boleh dilakukan tanpa meneliti dan menegakkan hujjah terlebih dahulu. Maksudnya, tidak boleh terburu-buru memvonis seseorang keluar dari jama'ah karena bid'ah yang ada padanya atau karena menyalahi syari'at dan menyelisihi sunah. Sebab barangkali ia tidak tahu hukumnya, seorang yang jahil tentunya mendapat uzur (dimaklumi) hingga ia mengetahui ilmunya. Banyak sekali kaum muslimin yang terperangkap lingkungan yang mengitarinya, hingga jatuh kedalam penyelisihan. Hal itu banyak terjadi di beberapa negara-negara Islam. Banyak orang yang mencukur jenggotnya, meninggalkan shalat berjama'ah, melakukan amal-amal yang menyalahi syari'at bahkan mengucapkan kalimat kufur karena lingkungan memaksanya. Sekiranya tidak melakukannya mereka bisa dibunuh, disiksa, atua dirobek kehormatannya!

Jadi, bilamana ia lakukan itu semua karena 'terpaksa', maka seorang hakim yang bijaksana hendaknya dapat menggambarkan hukum apa yang layak diajtuhkannya.

Boleh jadi seorang pelaku bid'ah dan seorang yang meyakini i'tiqad sesat meyakininya karena takwil (anggapan keliru), sementara hujjah belum ditegakkan atasnya. Dalam kasus ini, hujjah harus ditegakkan atas mereka ! Barangkali diantara kita pernah melihat seorang melakukan sebuah bid'ah yang pada umumnya dilakukan oleh pengikut kelompok-kelompok sesat, misalnya bid'ah maulid nabi, jika ternyata dia seorang awam yang jahil, maka kita tidak boleh tergesa-gesa memvonis ia orang sesat dan tidak boleh pula menghukuminya keluar dari jama'ah sebelum dijelaskan duduk perkara tersebut dan ditegakkan hujjah atasnya. Adapun perbuatannya dapat kita hukumi sebagai bid'ah. Namun jangan cepat-cepat memvonisnya keluar dari jama'ah atau menghukumi sebagai pengikut aliran sesat hanya karena bid'ah yang dilakukannya sebelum ditegakkan hujjah. Kecuali bid'ah mukaffirah (yang menyebabkan pelakunya kafir), akan tetapi risalah kecil ini tidak mungkin memuat perinciannya.

Bahkan sebaliknya, terburu-buru memvonis orang lain keluar dari Ahlus Sunnah wal Jama'ah dalam masalah-masalah furu termasuk bid'ah dan penyimpangan yang tidak boleh dilakukan. Sikap seperti itu sangat tercela. Bila ia melihat saudaranya jatuh dalam perbuatan bid'ah, hendaknya mengecek terlebih dahulu, menanyakannya kepada ahli ilmu, serta menganggap orang yang melakukannya jahil, atau melakukannya karena takwil atau ikut-ikutan saja dan butuh nasihat serta bimbingan. Dan hendaknya ia perlakukan saudaranya itu dengan lemah lembut terlebih dahulu. Sebab tujuan kita adalah membimbingnya kepada hidayah bukan memojokkannya.

Keempat : Tidak mengetahui perkara mana saja yang dibolehkan berbeda pendapat dan mana yang tidak boleh. Yaitu tidak dapat membedakan perkara-perkara khilafiyah dan perkara-perkara yang tidak boleh diperselisihkan. Hal ini banyak menimpa orang awam, bahkan juga para du'at.

Kami akan bawakan beberapa contoh.

[1] Sebagian orang menggolongkan beberapa masalah khilafiyah ke dalam masalah ushul (pokok). Tanpa merujuk kaidah dan arahan ahli ilmu serta tanpa bimbingan dari ahli fiqih yang dapat membantu mereka dalam hal ini.

[2] Tidak membedakan antara perkara mukaffirah (yang dapat mengeluarkan pelakunya dari Islam) dan ghairu mukaffirah (yang tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam).

[3] Tidak memperhatikan tingkatan-tingkatan bid'ah, di antara bid'ah ada yang dapat mengeluarkan pelakunya dari Islam dan ada yang tidak. Banyak sekali kesalahan yang dilakukan seseorang, sebuah kelompok atau jama'ah di vonis kafir secara terburu-buru oleh sebagian oknum. Sebenarnya tidak demikian caranya. Sebab setiap orang yang mengetahui perkara-perkara yang dapat menyebabkan kekafiran, seperti meyakini bahwa Al-Qur'an mahluk, lalu ia menerapkan hukum kafir itu atas setiap orang yang meyakini demikian tanpa membedakan antara menghukumi ucapan dan menghukumi orang yang mengucapkannya, maka ia telah menyelisihi kaidah Salafus Shalih Ahlus Sunnah wal Jama'ah.

Ahlus Sunnah wal Jama'ah membedakan antara menghukumi kafir, bid'ah atau fasik terhadap sesuatu secara umum dengan menghukumi orang tertentu. Boleh jadi kita menghukumi kufur suatu amalan atau sebuah ucapan, namun bukan berarti setiap orang yang meyakininya, mengucapkannya atau melakukannya jatuh kafir. Banyak sekali orang yang tidak membedakan hal ini. Mereka menjatuhkan vonis kafir secara zhahir saja tanpa memperhatikan kaidah-kaidah takfir (pengkafiran). Padahal vonis kafir tidak boleh dijatuhkan sehingga benar-benar diteliti, ditegakkan hujjah dan dalil, serta telah diketahui tidak adanya alasan dan uzdur lainnya yang menghalangi vonis tersebut terhadap seseorang tertentu. Boleh jadi karena ia jahil, dipaksa atau mentakwil.

Masalah takfir (mengkafirkan), seseorang perlu penelitian lebih dalam dan perlu mendatangi orang yang bersangkutan serta perlu meneliti kondisinya disamping perlu diajak diskusi dan diberi nasihat. Janganlah kita memvonis kafir setiap orang yang melakukan perbuatan kufur, mengucapkan dan meyakini keyakinan kufur. Kecuali dalam masalah-masalah prinsipil yang sudah dikenal luas oleh segenap kaum muslimin. Seperti mengingkari syahadat Laa ilaaha illallah, mengingkari nubuwah nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, mencela Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan masalah-masalah prinsip lainnya.

Perlu diketahui, bahwa ada juga beberapa permasalahan usuhuluddin yang tersamar perinciannya atas sebagian orang awam. Seperti masalah sifat Allah, masalah takdir, masalah melihat Allah pada hari Kiamat, masalah syafa'at, mensikapi sahabat dan beberapa permasalahan lain yang tidak diketahui orang awam secara rinci. Bahkan juga tersamar perinciannya atas sebagian ilmu. Kadang kala mereka mengucapkan kalimat kufur tanpa mereka sadari, tanpa mereka sengaja dan tanpa mereka ketahui serta tanpa memperhatikan dengan seksama ucapan yang dilontarkan. Apakah harus dihukumi kafir ? Jawabannya tentu saja tidak!.

Kesalahan besar yang sering dilakukan oleh beberapa oknum-oknum yang suka menghukumi orang lain adalah tidak berhati-hati dalam masalah ini sehingga jatuh dalam bahaya. Khususnya penuntut ilmu yang masih pemula dan masih hijau serta belum matang mendalami ilmu agama melalui para ulama, namun hanya belajar secara otodidak dari buku-buku dan sarana-sarana lainnya, tanpa dibimbing dan dituntun para ulama, dan tanpa memperhatikan kaidah-kaidah dalam pengambilan dalil dan penetapan hukum. Mereka kerap kali keliru dalam menempatkan kaidah umum dan dalam menerapkan kaidah itu pada perkara-perkara parsial dan kasus-kasus tertentu.

Hukum kufur dan kafir atas sebuah perkara dan atas jenis orang tertentu, bukan berarti hukum kafir bagi setiap orang yang melakukan, mengucapkan dan meyakininya. Demikian pula halnya hukum-hukum yang berkaitan dengan al-wala' (monoloyalitas) serta al-bara' (berlepas diri), bukan berarti setiap orang divonis kafir lalu diterapkan padanya hukum-hukum tersebut.

Sehingga perkaranya menjadi jelas. Maksud kami adalah hukum-hukum al-bara', sementara al-wala', adalah hak bagi setiap muslim. Tidak boleh memutus al-wala', sebab al-wala' wajib diberikan kepada setiap orang yang menunjukkan identitas dirinya sebagai muslim sehingga kita mendapatinya menyelisihi identitas tersebut.

Di antara kesalahan mereka juga adalah : Tidak memperhatikan maslahat dan mafsadat serta tidak mengetahui kaidah-kaidah yang berkaitan dengan maslahat dan mafsadat. Hal ini juga merupakan salah satu pemicu utamanya.

[Disalin dari kitab Al-Iftiraaq Mafhumuhu asbabuhu subulul wiqayatu minhu, edisi Indonesia Perpecahan Umat ! Etiologi & Solusinya, oleh Dr. Nashir bin Abdul Karim Al-'Aql, terbitan Darul Haq, penerjemah Abu Ihsan Al-Atsari]
_________
Foote Note.
[1] Akan kami sebutkan nash-nash qath'i yang menunjukkan terjadinya perpecahan umat pada pasal-pasal mendatang

MAKNA IFTIRAQ (PERPECAHAN UMAT)


Oleh
Dr. Nashir bin Abdul Karim Al-'Aql




MUKADIMAH
Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta'ala, kami memujiNya, memohon pertolongan dan ampunan serta bertaubat kepadaNya. Kami berlindung kepadaNya dari kejahatan jiwa-jiwa kami dan dari keburukan amal-amal kami. Barangsiapa diberi hidayah oleh Allah, niscaya tiada seorangpun yang dapat menyesatkannya. Barangsiapa disesatkanNya, nisaya tiada seorangpun yang dapat memberinya hidayah. Saya bersaksi bahwa tida Ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah semata tiada sekutu bagiNya. Yang berfirman dalam kitabNya.

"Artinya : Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya" [Al-An'am : 153]

Saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya. Yang telah memperingatkan umat dari musibah yang bakal terjadi, yakni bid'ah dan perpecahan, dalam sabda beliau.

"Artinya : Kalian akan mengikuti umat-umat terdahulu, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Sehingga sekiranya mereka masuk lubang biawak, kalian pasti mengikutinya" [Hadits Riwayat Al-Bukhari dan Muslim]
Wa ba'du

Topik utama yang harus dianggkat dan dibahas oleh para ahli ilmu dan para penuntut ilmu sekarang ini dalah masalah "perpecahan umat!" Mafhumnya, etiologi serta solusinya. Masalah ini sangat perlu diketahui segenap kaum muslimin, lebih-lebih bagi para penuntut ilmu.

Apalagi di zaman sekarang ini kelompok-kelompok ahli bid'ah mulai mengembangkan sayapnya. Hawa nafsu semakin menggila hingga menguasai manusia. Sehingga kejahatan dan kemunafikan merajalela ke segala penjuru.

Benar! Sekalipun majlis-majlis ilmu menjamur di mana-mana, namun bid'ah-bid'ah juga semakin berkembang pesat. Memang pada hari ini ilmu banyak disebar, namun banyak yang tidak mendapat berkah dan faidah dari ilmunya. Barangkali karena ia menuntut ilmu tidak dari sumber aslinya, yaitu tidak mengacu kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah serta atsar para imam yang dijadikan panutan yang tersebar dalam karya-karya mereka. Atau barangkali mereka menimbanya bukan dari ahli ilmu, atau tidak mengikuti manhaj ahli ilmu dan ahli fiqih dalam menuntut ilmu.

Meskipun sarana menuntut ilmu terbuka luas pada hari ini, namun nikmat tersebut justru berdampak negatif terhadap banyak orang. Mereka menjadi tergesa-gesa dalam menimba ilmu tidak sebagaimana mestinya! Di samping mereka merasa cukup tanpa harus belajar kepada para ulama. Tentu saja itu termasuk ilmu yang tidak bermanfaat. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah berlindung diri dari hal semacam itu.[1]

Ilmu yang mendatangkan berkah hanyalah ilmu yang direngguk dari ulama. Itulah pedoman utama yang merupakan jalan orang-orang yang beriman. Adapun hanya mencukupkan menuntut ilmu melalui sarana-sarana (seperti buku dan kaset) belaka, tentu manfaatnya hanya sedikit. Hal itu juga bisa menjadi katalisator munculnya bid'ah dan penyimpangan pemikiran serta perpecahan dan perselisihan dalam agama

Maka dari itu, tapik kita kali ini seputar perpecahan umat, mafhum, etiologi dan solusinya.

Pembasahan kali ini akan kami rangkum dalam lima pokok permasalahan

MAKNA IFTIRAQ (PERPECAHAN UMAT)
Secara etimologi, iftiraq berasal dari kata al-mufaraqah (saling berpisah), dan al-mubayanah (saling berjauhan), dan al-mufashalah (saling terpisah) serta al-inqitha' (terputus). Diambil juga dari kata al-insyi'ab (bergolong-golongan) dan asy-syudzudz (menyempal dari barisan). Bisa juga bermakna memisahkan diri dari induk, keluar dari jalur dan keluar dari jama'ah.

Secara terminologi, perpecahan adalah keluar dari As-Sunnah dan Al-Jama'ah dalam masalah ushuluddin yang qath'i, baik secara total maupun parsial. Baik dalam masalah i'tiqad ataupun masalah amaliyah yang berkaitan dengan ushuluddin atau berkaitan dengan maslahat umat atau berkaitan dengan keduanya.

Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu meriwayatkan sebuah hadits dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda.

"Artinya : Barangsiapa keluar dari ketaatan serta memisahkan diri dari jama'ah lalu mati, maka kematiannya adalah kematian secara jahiliyah. Barangsiapa berperang dibawah panji ashabiyah, emosi karena ashabiyah lalu terbunuh, maka mayatnya adalah mayat jahiliyah. Barangsiapa memisahkan diri dari umatku (kaum muslimin) lalu membunuhi mereka, baik yang shalih maupun yang fajir dan tidak menahan tangan mereka terhadap kaum mukminin serta tidak menyempurnakan perjanjian mereka kepada orang lain, maka ia bukan termasuk golonganku dan aku bukan golongannya" [Hadits Riwayat Muslim]

Menyelisihi salah satu pedoman Ahlus Sunnah wal Jama'ah dalam aqidah terhitung perpecahan dan memisahkan diri dari jama'ah. Demikian pula melanggar ijma', mengeluarkan diri dari jama'ah serta imam yang mereka sepakati dalam hal-hal yang berkaitan dengan maslahat umum terhitung perpecahan dan memisahkan diri dari jama'ah.

Siapa saja yang melanggar amalan sunnah yang disepakati kaum muslimin termasuk perpecahan. Sebab ia telah memisah dari jama'ah.

Semua kekufuran akbar termasuk perpecahan, namun bukan setiap perpecahan tergolong kekufuran.

Maksudnya, setiap amalan ataupun keyakinan yang bisa mengeluarkan seseorang dari pokok ajaran Islam, dan dari hal yang qath'i dalam agama ini juga dari sunnah dan jama'ah, dan hal ini semua dapat menggiringnya kepada kekufuran, maka perbuatannya itu disebut iftiraq (memisahkan diri). Namun tidak semua perpecahan itu tergolong kekufuran. Yakni, mungkin saja suatu kelompok atau sekumpulan manusia atau sebuah jama'ah keluar dari Ahlus Sunnah namun tidak dihukumi kafir. Sekalipun memisahkan diri dari jama'ah kaum muslimin dalam prinsip-prinsip tertentu, seperti kelompok Khawarij. Khawarij generasi pertama telah memisahkan diri dari kaum muslimin, bahkan mereka mengangkat senjata terhadap umat ini. Mereka memisahkan diri dari jama'ah serta membangkang terhadap imam kaum muslimin.

Walaupun begitu, para sahabat tidak menghukumi mereka kafir, bahkan mereka berbeda pendapat dalam masalah ini. Ketika Imam Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu ditanya status mereka, beliau tidak memvonis mereka kafir. Demikian pula Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhuma serta beberapa sahabat lainnya. Mereka juga bersedia shalat dibelakang tokoh khawarij bernama Najdah Al-Haruriy. Begitupula Abdullah bin Abbas Radhiyallahu 'anhuma , beliau membalas surat seorang tokoh Khawarij bernama Nafi' bin Al-Azraq dan mendebatnya dengan Al-Qur'an, sebagaimana hal itu lumrah dilakukan terhadap sesama kaum muslimin.[2]

[Disalin dari kitab Al-Iftiraaq Mafhumuhu ashabuhu subulul wiqayatu minhu, edisi Indonesia Perpecahan Umat ! Etiologi & Solusinya, oleh Dr. Nashir bin Abdul Karim Al-'Aql, terbitan Darul Haq, penerjemah Abu Ihsan Al-Atsari.]
_________
Foote Note.
[1] Dalam sebuah hadits riwayat, Muslim dari Zaid bin Arqam Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata dalam do'anya : 'Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat'. Lihat Shahih Muslim kitab Adz-Dzikr hadits no. 2723
[2] Lihat Minhajus Sunnah, karangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah V/247-248

© copyleft almanhaj.or.id
seluruh artikel dan tulisan di situs almanhaj.or.id dapat disebarluaskan, dengan mencantumkan sumbernya dan tetap menjaga keilmiahan
Situs almanhaj.or.id tidak memiliki hubungan apapun dengan situs lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar