Kadang-kadang, kita sebagai ibu rumah tangga ada rasa seperti ini, “Kenapa kok aku cuma begini-begini saja, ya?” Atau, “Duh, bolak-balik cuma ngurusin anak sama suami saja!” Atau lagi, “Coba kalau dulu aku tetap kerja… Ehm…pasti deh enggak kayak gini!”
Setiap muncul “sang rasa minder” itu, badan jadi lemas tak bertenaga, tak bersemangat, dan semua terlihat buruk. Dan biasanya, rumah jadi berantakan, anak-anak tidak terurus…. Malah lebih buruk lagi, penampilan jadi semerawut karena jadi malas mandi hahaha….
Hampir semua orang, di dunia ini—terutama ibu-ibu rumah tangga yang full-time mengurus rumah dan anak-anak seperti saya—pernah mengalami hal seperti ini, termasuk saya (saya tahu hal ini dari curhatnya teman-teman saya yang juga memilih profesi menjadi ibu rumah tangga). Karena minder, dulu biasanya saya menunggu sampai ada sahabat yang menegur. Saya pun harus berusaha melewati masa-masa minder dengan bersusah payah. Tetapi sekarang, tidak lagi…! Mau tahu resepnya?
Mudah-mudahan resep saya ini bisa dipakai oleh semua sahabat yang sedang merasa just the ordinary housewife. Atau, mungkin malah sahabat yang desperate housewife hehehe.… Resep ini hanya berdasarkan pengalaman saya semata. Jadi, jika terasa biasa-biasa saja atau tidak bermutu, maaf, saya hanya berusaha sedikit berbagi.
Resep pertama, jangan pernah membandingkan suami, anak-anak, dan rumah yang kita miliki dengan suami, anak-anak, dan rumahnya ibu-ibu lain. Karena seperti pepatah “rumput tetangga selalu terlihat lebih hijau”, suaminya ibu-ibu lain pasti terlihat lebih ganteng dari suami kita yang setiap hari kita lihat hehehe…. Sadari bahwa suami, anak-anak, juga sahabat-sahabat Anda hanyalah manusia biasa. Mereka punya kelebihan juga punya kekurangan, sama seperti Anda.
Jadi, jangan terlalu berharap mereka akan sempurna seperti yang Anda harapkan. Maklumi saja…. Dan, yang paling penting adalah bagaimana caranya kita menjadi istri yang baik, yang dapat dipercaya oleh suami dan anak-anak, tanpa menuntut mereka terlalu banyak.
Resep kedua, jangan pernah mengeluh, karena keluhan bukannya menyelesaikan masalah, malah makin membuat kita merasa “terpuruk”.
Resep ketiga, STOP menonton sinetron! Karena, walaupun kadang berdasarkan kisah nyata, sinetron akan membuat kita makin tidak berpijak ‘di dunia nyata’. Kalaupun mau menonton televisi, cari acara-acara yang ‘positif’ seperti acaranya Oprah Winfrey mungkin. Di acara itu kadang-kadang ada cerita tentang perjuangan seorang ibu yang anaknya divonis tidak dapat berjalan, ternyata dengan keyakinan dan kerja keras serta doa sang ibu malah vonis itu tidak berlaku. Dengan kisah-kisah seperti itu, mungkin kita dapat lebih bersyukur karena ternyata ‘di luar sana’ banyak orang yang tidak seberuntung kita.
Resep keempat, perbanyaklah membaca, bukan hanya resep-resep makanan sehat yang membuat suami betah di rumah, atau membuat anak-anak sehat saja. Bukan hanya buku-buku tentang mengatur bagaimana supaya gaji suami cukup untuk dihabiskan sebulan. Tetapi bacalah juga buku-buku yang isinya ‘memotivasi’ kita untuk lebih percaya diri. Contoh, buku-buku kisah sukses ordinary people yang berubah menjadi extra-ordinary people, melalui hobi mereka menulis, hobi mereka belanja, dan lain-lain.
“Gimana mau beli buku? Wong untuk belanja lauk sehari-hari saja mesti diirit-irit?” Nah, ini dia… Jawabannya adalah pinjam sama tetangga (kayak saya). Atau, baca buku di rumah baca sambil menunggu anak-anak pulang dari sekolah. Yang lain, mendaftarlah jadi anggota perpustakaan terdekat dengan sekolah atau rumah.
Resep kelima, perbanyaklah peduli pada orang-orang yang ‘kelihatannya’ lebih susah dari kita (saya bilang ‘kelihatannya’ karena kadang yang kita lihat susah, ternyata bisa lebih bahagia). Contohnya, pembantu rumah tangga kita yang harus meninggalkan anak-anaknya di rumah untuk membantu mencuci atau membersihkan rumah kita. Resep ini hampir sama dengan resep ketiga, intinya adalah ‘menyadari bahwa ada orang lain yang lebih tidak beruntung dari diri kita.
Resep keenam, banyak bersedekah karena bersedekah membuka jalan yang tertutup. Bukannya sombong, lho! Tetapi, setelah saya bersedekah, biasanya lalu ada ‘sesuatu yang baik’ yang terjadi pada diri saya, anak-anak yang sakit jadi sembuh, dapat rezeki ‘tambahan’ yang tidak terduga, atau hal-hal baik lainnya. Lagi-lagi ini maaf, berdasarkan pengalaman pribadi saya, lho ya… Tetapi, bukankah semua agama di dunia ini menganjurkan kita untuk bersedekah/berbagi?
Resep ketujuh, buat hobi baru. Yang senang membaca, coba belajar untuk menulis. Yang senang menjahit atau memasak, coba tawarkan jahitan atau masakan ke tetangga-tetangga. Siapa tahu setelah coba-coba malah menghasilkan sesuatu. Bukan hanya meningkatkan rasa percaya diri tetapi juga menambah penghasilan.
Resep kedelapan, bergabunglah dengan kelompok-kelompok kegiatan yang anggotanya ibu-ibu rumah tangga. Atau, buat kelompok sesama ibu rumah tangga yang berhobi sama, misalnya kelompok ibu yang senang menanam, kelompok membaca, kelompok menulis, dan kelompok memasak, tetapi jangan kelompok arisan ya, hehehe…. Sehingga, kita bisa saling bertukar pendapat, bertukar pengalaman, dan saling menyemangati.
Resep kesembilan, dan ini adalah resep paling manjur (buat saya), BERSYUKURLAH kepada ALLAH. Dengan bersyukur atas segala karunia-Nya dalam setiap keadaan, susah maupun senang, semua masalah akan terasa ringan. Semua kendala pasti akan terlihat pemecahannya, semua rasa minder akan sirna, karena ternyata Allah pasti akan memberikan ‘hanya’ yang terbaik buat kita umat-Nya. Dan, bersyukurlah karena kita ditakdirkan menjadi ibu rumah tangga, yang dari tangan-tangan kitalah terbentuk generasi mendatang yang lebih baik.
Semoga resep saya manjur juga ya buat Anda. Salam Pro Ibu Rumah Tangga![dr]
Oleh: Dewi Rhainy
http://www.andaluarbiasa.com/9-resep-cespleng-menjadi-ibu-rumah-tangga-bahagia-dan-sejahtera
BANGGA MENJADI IBU RUMAH TANGGA
Penulis: Ummu Ayyub
Muroja’ah: Ust Abu Ahmad
Hebat rasanya ketika mendengar ada seorang wanita lulusan sebuah universitas ternama telah bekerja di sebuah perusahaan bonafit dengan gaji jutaan rupiah per bulan. Belum lagi perusahaan sering menugaskan wanita tersebut terbang ke luar negri untuk menyelesaikan urusan perusahaan. Tergambar seolah kesuksesan telah dia raih. Benar seperti itukah?
Kebanyakan orang akan beranggapan demikian. Sesuatu dikatakan sukses lebih dinilai dari segi materi sehingga jika ada sesuatu yang tidak memberi nilai materi akan dianggap remeh. Cara pandang yang demikian membuat banyak dari wanita muslimah bergeser dari fitrohnya. Berpandangan bahwa sekarang sudah saatnya wanita tidak hanya tinggal di rumah menjadi ibu, tapi sekarang saatnya wanita ‘menunjukkan eksistensi diri’ di luar. Menggambarkan seolah-olah tinggal di rumah menjadi seorang ibu adalah hal yang rendah.
Kita bisa dapati ketika seorang ibu rumah tangga ditanya teman lama “Sekarang kerja dimana?” rasanya terasa berat untuk menjawab, berusaha mengalihkan pembicaraan atau menjawab dengan suara lirih sambil tertunduk “Saya adalah ibu rumah tangga”. Rasanya malu! Apalagi jika teman lama yang menanyakan itu “sukses” berkarir di sebuah perusahaan besar. Atau kita bisa dapati ketika ada seorang muslimah lulusan universitas ternama dengan prestasi bagus atau bahkan berpredikat cumlaude hendak berkhidmat di rumah menjadi seorang istri dan ibu bagi anak-anak, dia harus berhadapan dengan “nasehat” dari bapak tercintanya: “Putriku! Kamu kan sudah sarjana, cumlaude lagi! Sayang kalau cuma di rumah saja ngurus suami dan anak.” Padahal, putri tercintanya hendak berkhidmat dengan sesuatu yang mulia, yaitu sesuatu yang memang menjadi tanggung jawabnya. Disana ia ingin mencari surga.
Ibu Sebagai Seorang Pendidik
Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan bahwa perbaikan masyarakat bisa dilakukan dengan dua cara: Pertama, perbaikan secara lahiriah, yaitu perbaikan yang berlangsung di pasar, masjid, dan berbagai urusan lahiriah lainnya. Hal ini banyak didominasi kaum lelaki, karena merekalah yang sering nampak dan keluar rumah. Kedua, perbaikan masyarakat di balik layar, yaitu perbaikan yang dilakukan di dalam rumah. Sebagian besar peran ini diserahkan pada kaum wanita sebab wanita merupakan pengurus rumah. Hal ini sebagaimana difirmankan Allah subhanahu wa ta’ala yang artinya:
“Dan hendaklah kalian tetap di rumah kalian dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa kalian, hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS. Al-Ahzab: 33)
Pertumbuhan generasi suatu bangsa adalah pertama kali berada di buaian para ibu. Ini berarti seorang ibu telah mengambil jatah yang besar dalam pembentukan pribadi sebuah generasi. Ini adalah tugas yang besar! Mengajari mereka kalimat Laa Ilaaha Illallah, menancapkan tauhid ke dada-dada mereka, menanamkan kecintaan pada Al Quran dan As Sunah sebagai pedoman hidup, kecintaan pada ilmu, kecintaan pada Al Haq, mengajari mereka bagaimana beribadah pada Allah yang telah menciptakan mereka, mengajari mereka akhlak-akhlak mulia, mengajari mereka bagaimana menjadi pemberani tapi tidak sombong, mengajari mereka untuk bersyukur, mengajari bersabar, mengajari mereka arti disiplin, tanggung jawab, mengajari mereka rasa empati, menghargai orang lain, memaafkan, dan masih banyak lagi. Termasuk di dalamnya hal yang menurut banyak orang dianggap sebagai sesuatu yang kecil dan remeh, seperti mengajarkan pada anak adab ke kamar mandi. Bukan hanya sekedar supaya anak tau bahwa masuk kamar mandi itu dengan kaki kiri, tapi bagaimana supaya hal semacam itu bisa menjadi kebiasaan yang lekat padanya. Butuh ketelatenan dan kesabaran untuk membiasakannya.
Sebuah Tanggung Jawab
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At Tahrim: 6)
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang artinya: “Peliharalah dirimu dan keluargamu!” di atas menggunakan Fi’il Amr (kata kerja perintah) yang menunjukkan bahwa hukumnya wajib. Oleh karena itu semua kaum muslimin yang mempunyai keluarga wajib menyelamatkan diri dan keluarga dari bahaya api neraka.
Tentang Surat At Tahrim ayat ke-6 ini, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ajarkan kebaikan kepada dirimu dan keluargamu.” (Diriwayatkan oleh Al Hakim dalam Mustadrak-nya (IV/494), dan ia mengatakan hadist ini shahih berdasarkan syarat Bukhari dan Muslim, sekalipun keduanya tidak mengeluarkannya)
Muqatil mengatakan bahwa maksud ayat tersebut adalah, setiap muslim harus mendidik diri dan keluarganya dengan cara memerintahkan mereka untuk mengerjakan kebaikan dan melarang mereka dari perbuatan maksiat.
Ibnu Qoyyim menjelaskan bahwa beberapa ulama mengatakan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala akan meminta pertanggungjawaban setiap orang tua tentang anaknya pada hari kiamat sebelum si anak sendiri meminta pertanggungjawaban orang tuanya. Sebagaimana seorang ayah itu mempunyai hak atas anaknya, maka anak pun mempunyai hak atas ayahnya. Jika Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Kami wajibkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya.” (QS. Al Ankabut: 7), maka disamping itu Allah juga berfirman, “Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang berbahan bakar manusia dan batu.” (QS. At Tahrim: 6)
Ibnu Qoyyim selanjutnya menjelaskan bahwa barang siapa yang mengabaikan pendidikan anaknya dalam hal-hal yang bermanfaat baginya, lalu ia membiarkan begitu saja, berarti telah melakukan kesalahan besar. Mayoritas penyebab kerusakan anak adalah akibat orang tua yang acuh tak acuh terhadap anak mereka, tidak mau mengajarkan kewajiban dan sunnah agama. Mereka menyia-nyiakan anak ketika masih kecil sehingga mereka tidak bisa mengambil keuntungan dari anak mereka ketika dewasa, sang anak pun tidak bisa menjadi anak yang bermanfaat bagi ayahnya.
Adapun dalil yang lain diantaranya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala yang artinya:
“dan berilah peringatan kepada kerabatmu yang dekat.” (QS asy Syu’ara’: 214)
Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma mengatakan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Kaum lelaki adalah pemimpin bagi keluarganya di rumah, dia bertanggung jawab atas keluarganya. Wanita pun pemimpin yang mengurusi rumah suami dan anak-anaknya. Dia pun bertanggung jawab atas diri mereka. Budak seorang pria pun jadi pemimpin mengurusi harta tuannya, dia pun bertanggung jawab atas kepengurusannya. Kalian semua adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari 2/91)
Dari keterangan di atas, nampak jelas bahwa setiap insan yang ada hubungan keluarga dan kerabat hendaknya saling bekerja sama, saling menasehati dan turut mendidik keluarga. Utamanya orang tua kepada anak, karena mereka sangat membutuhkan bimbingannya. Orang tua hendaknya memelihara fitrah anak agar tidak kena noda syirik dan dosa-dosa lainnya. Ini adalah tanggung jawab yang besar yang kita akan dimintai pertanggungjawaban tentangnya.
Siapa Menanam, Dia akan Menuai Benih
Bagaimana hati seorang ibu melihat anak-anaknya tumbuh? Ketika tabungan anak kita yang usia 5 tahun mulai menumpuk, “Mau untuk apa nak, tabungannya?” Mata rasanya haru ketika seketika anak menjawab “Mau buat beli CD murotal, Mi!” padahal anak-anak lain kebanyakan akan menjawab “Mau buat beli PS!” Atau ketika ditanya tentang cita-cita, “Adek pengen jadi ulama!” Haru! mendengar jawaban ini dari seorang anak tatkala ana-anak seusianya bermimpi “pengen jadi Superman!”
Jiwa seperti ini bagaimana membentuknya? Butuh seorang pendidik yang ulet dan telaten. Bersungguh-sungguh, dengan tekad yang kuat. Seorang yang sabar untuk setiap hari menempa dengan dibekali ilmu yang kuat. Penuh dengan tawakal dan bergantung pada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Lalu… jika seperti ini, bisakah kita begitu saja menitipkannya pada pembantu atau membiarkan anak tumbuh begitu saja?? Kita sama-sama tau lingkungan kita bagaimana (TV, media, masyarakat,…) Siapa lagi kalau bukan kita, wahai para ibu -atau calon ibu-?
Setelah kita memahami besarnya peran dan tanggung jawab seorang ibu sebagai seorang pendidik, melihat realita yang ada sekarang sepertinya keadaannya menyedihkan! Tidak semua memang, tapi banyak dari para ibu yang mereka sibuk bekerja dan tidak memperhatikan bagaimana pendidikan anak mereka. Tidak memperhatikan bagaimana aqidah mereka, apakah terkotori dengan syirik atau tidak. Bagaimana ibadah mereka, apakah sholat mereka telah benar atau tidak, atau bahkan malah tidak mengerjakannya… Bagaimana mungkin pekerjaan menancapkan tauhid di dada-dada generasi muslim bisa dibandingkan dengan gaji jutaan rupiah di perusahaan bonafit? Sungguh! sangat jauh perbandingannya.
Anehnya lagi, banyak ibu-ibu yang sebenarnya tinggal di rumah namun tidak juga mereka memperhatikan pendidikan anaknya, bagaimana kepribadian anak mereka dibentuk. Penulis sempat sebentar tinggal di daerah yang sebagian besar ibu-ibu nya menetap di rumah tapi sangat acuh dengan pendidikan anak-anak mereka. Membesarkan anak seolah hanya sekedar memberinya makan. Sedih!
Padahal anak adalah investasi bagi orang tua di dunia dan akhirat! Setiap upaya yang kita lakukan demi mendidiknya dengan ikhlas adalah suatu kebajikan. Setiap kebajikan akan mendapat balasan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak inginkah hari kita terisi dengannya? Atau memang yang kita inginkan adalah kesuksesan karir anak kita, meraih hidup yang berkecukupan, cukup untuk membeli rumah mewah, cukup untuk membeli mobil mentereng, cukup untuk membayar 10 pembantu, mempunyai keluarga yang bahagia, berakhir pekan di villa. Tanpa memperhatikan bagaimana aqidah, bagaimana ibadah, asal tidak bertengkar dan bisa senyum dan tertawa ria di rumah, disebutlah itu dengan bahagia.
Ketika usia senja, mata mulai rabun, tulang mulai rapuh, atau bahkan tubuh ini hanya mampu berbaring dan tak bisa bangkit dari ranjang untuk sekedar berjalan. Siapa yang mau mengurus kita kalau kita tidak pernah mendidik anak-anak kita? Bukankah mereka sedang sibuk dengan karir mereka yang dulu pernah kita banggakan, atau mungkin sedang asik dengan istri dan anak-anak mereka?
Ketika malaikat maut telah datang, ketika jasad telah dimasukkan ke kubur, ketika diri sangat membutuhkan doa padahal pada hari itu diri ini sudah tidak mampu berbuat banyak karena pintu amal telah ditutup, siapakah yang mendoakan kita kalau kita tidak pernah mengajari anak-anak kita?
Lalu…
Masihkah kita mengatakan jabatan ibu rumah tangga dengan kata ‘cuma’? dengan tertunduk dan suara lirih karena malu?
Wallahu a’lam
Maroji’:
1. Dapatkan Hak-Hakmu, Wahai Muslimah oleh Ummu Salamah as Salafiyyah. Judul asli: Al-Intishaar li Huquuqil Mu’minaat
2. Mendidik Anak bersama Nabi oleh Muhammad Nur Abdul Hafizh Suwaid. Judul Asli: Manhaj At-Tarbiyyah An-Nabawiyyah lit-Thifl
3. Majalah Al Furqon Edisi: 8 Tahun V/Rabi’ul Awwal 1427/April 2006
***Artikel www.muslimah.or.id
Setiap muncul “sang rasa minder” itu, badan jadi lemas tak bertenaga, tak bersemangat, dan semua terlihat buruk. Dan biasanya, rumah jadi berantakan, anak-anak tidak terurus…. Malah lebih buruk lagi, penampilan jadi semerawut karena jadi malas mandi hahaha….
Hampir semua orang, di dunia ini—terutama ibu-ibu rumah tangga yang full-time mengurus rumah dan anak-anak seperti saya—pernah mengalami hal seperti ini, termasuk saya (saya tahu hal ini dari curhatnya teman-teman saya yang juga memilih profesi menjadi ibu rumah tangga). Karena minder, dulu biasanya saya menunggu sampai ada sahabat yang menegur. Saya pun harus berusaha melewati masa-masa minder dengan bersusah payah. Tetapi sekarang, tidak lagi…! Mau tahu resepnya?
Mudah-mudahan resep saya ini bisa dipakai oleh semua sahabat yang sedang merasa just the ordinary housewife. Atau, mungkin malah sahabat yang desperate housewife hehehe.… Resep ini hanya berdasarkan pengalaman saya semata. Jadi, jika terasa biasa-biasa saja atau tidak bermutu, maaf, saya hanya berusaha sedikit berbagi.
Resep pertama, jangan pernah membandingkan suami, anak-anak, dan rumah yang kita miliki dengan suami, anak-anak, dan rumahnya ibu-ibu lain. Karena seperti pepatah “rumput tetangga selalu terlihat lebih hijau”, suaminya ibu-ibu lain pasti terlihat lebih ganteng dari suami kita yang setiap hari kita lihat hehehe…. Sadari bahwa suami, anak-anak, juga sahabat-sahabat Anda hanyalah manusia biasa. Mereka punya kelebihan juga punya kekurangan, sama seperti Anda.
Jadi, jangan terlalu berharap mereka akan sempurna seperti yang Anda harapkan. Maklumi saja…. Dan, yang paling penting adalah bagaimana caranya kita menjadi istri yang baik, yang dapat dipercaya oleh suami dan anak-anak, tanpa menuntut mereka terlalu banyak.
Resep kedua, jangan pernah mengeluh, karena keluhan bukannya menyelesaikan masalah, malah makin membuat kita merasa “terpuruk”.
Resep ketiga, STOP menonton sinetron! Karena, walaupun kadang berdasarkan kisah nyata, sinetron akan membuat kita makin tidak berpijak ‘di dunia nyata’. Kalaupun mau menonton televisi, cari acara-acara yang ‘positif’ seperti acaranya Oprah Winfrey mungkin. Di acara itu kadang-kadang ada cerita tentang perjuangan seorang ibu yang anaknya divonis tidak dapat berjalan, ternyata dengan keyakinan dan kerja keras serta doa sang ibu malah vonis itu tidak berlaku. Dengan kisah-kisah seperti itu, mungkin kita dapat lebih bersyukur karena ternyata ‘di luar sana’ banyak orang yang tidak seberuntung kita.
Resep keempat, perbanyaklah membaca, bukan hanya resep-resep makanan sehat yang membuat suami betah di rumah, atau membuat anak-anak sehat saja. Bukan hanya buku-buku tentang mengatur bagaimana supaya gaji suami cukup untuk dihabiskan sebulan. Tetapi bacalah juga buku-buku yang isinya ‘memotivasi’ kita untuk lebih percaya diri. Contoh, buku-buku kisah sukses ordinary people yang berubah menjadi extra-ordinary people, melalui hobi mereka menulis, hobi mereka belanja, dan lain-lain.
“Gimana mau beli buku? Wong untuk belanja lauk sehari-hari saja mesti diirit-irit?” Nah, ini dia… Jawabannya adalah pinjam sama tetangga (kayak saya). Atau, baca buku di rumah baca sambil menunggu anak-anak pulang dari sekolah. Yang lain, mendaftarlah jadi anggota perpustakaan terdekat dengan sekolah atau rumah.
Resep kelima, perbanyaklah peduli pada orang-orang yang ‘kelihatannya’ lebih susah dari kita (saya bilang ‘kelihatannya’ karena kadang yang kita lihat susah, ternyata bisa lebih bahagia). Contohnya, pembantu rumah tangga kita yang harus meninggalkan anak-anaknya di rumah untuk membantu mencuci atau membersihkan rumah kita. Resep ini hampir sama dengan resep ketiga, intinya adalah ‘menyadari bahwa ada orang lain yang lebih tidak beruntung dari diri kita.
Resep keenam, banyak bersedekah karena bersedekah membuka jalan yang tertutup. Bukannya sombong, lho! Tetapi, setelah saya bersedekah, biasanya lalu ada ‘sesuatu yang baik’ yang terjadi pada diri saya, anak-anak yang sakit jadi sembuh, dapat rezeki ‘tambahan’ yang tidak terduga, atau hal-hal baik lainnya. Lagi-lagi ini maaf, berdasarkan pengalaman pribadi saya, lho ya… Tetapi, bukankah semua agama di dunia ini menganjurkan kita untuk bersedekah/berbagi?
Resep ketujuh, buat hobi baru. Yang senang membaca, coba belajar untuk menulis. Yang senang menjahit atau memasak, coba tawarkan jahitan atau masakan ke tetangga-tetangga. Siapa tahu setelah coba-coba malah menghasilkan sesuatu. Bukan hanya meningkatkan rasa percaya diri tetapi juga menambah penghasilan.
Resep kedelapan, bergabunglah dengan kelompok-kelompok kegiatan yang anggotanya ibu-ibu rumah tangga. Atau, buat kelompok sesama ibu rumah tangga yang berhobi sama, misalnya kelompok ibu yang senang menanam, kelompok membaca, kelompok menulis, dan kelompok memasak, tetapi jangan kelompok arisan ya, hehehe…. Sehingga, kita bisa saling bertukar pendapat, bertukar pengalaman, dan saling menyemangati.
Resep kesembilan, dan ini adalah resep paling manjur (buat saya), BERSYUKURLAH kepada ALLAH. Dengan bersyukur atas segala karunia-Nya dalam setiap keadaan, susah maupun senang, semua masalah akan terasa ringan. Semua kendala pasti akan terlihat pemecahannya, semua rasa minder akan sirna, karena ternyata Allah pasti akan memberikan ‘hanya’ yang terbaik buat kita umat-Nya. Dan, bersyukurlah karena kita ditakdirkan menjadi ibu rumah tangga, yang dari tangan-tangan kitalah terbentuk generasi mendatang yang lebih baik.
Semoga resep saya manjur juga ya buat Anda. Salam Pro Ibu Rumah Tangga![dr]
Oleh: Dewi Rhainy
http://www.andaluarbiasa.c
BANGGA MENJADI IBU RUMAH TANGGA
Penulis: Ummu Ayyub
Muroja’ah: Ust Abu Ahmad
Hebat rasanya ketika mendengar ada seorang wanita lulusan sebuah universitas ternama telah bekerja di sebuah perusahaan bonafit dengan gaji jutaan rupiah per bulan. Belum lagi perusahaan sering menugaskan wanita tersebut terbang ke luar negri untuk menyelesaikan urusan perusahaan. Tergambar seolah kesuksesan telah dia raih. Benar seperti itukah?
Kebanyakan orang akan beranggapan demikian. Sesuatu dikatakan sukses lebih dinilai dari segi materi sehingga jika ada sesuatu yang tidak memberi nilai materi akan dianggap remeh. Cara pandang yang demikian membuat banyak dari wanita muslimah bergeser dari fitrohnya. Berpandangan bahwa sekarang sudah saatnya wanita tidak hanya tinggal di rumah menjadi ibu, tapi sekarang saatnya wanita ‘menunjukkan eksistensi diri’ di luar. Menggambarkan seolah-olah tinggal di rumah menjadi seorang ibu adalah hal yang rendah.
Kita bisa dapati ketika seorang ibu rumah tangga ditanya teman lama “Sekarang kerja dimana?” rasanya terasa berat untuk menjawab, berusaha mengalihkan pembicaraan atau menjawab dengan suara lirih sambil tertunduk “Saya adalah ibu rumah tangga”. Rasanya malu! Apalagi jika teman lama yang menanyakan itu “sukses” berkarir di sebuah perusahaan besar. Atau kita bisa dapati ketika ada seorang muslimah lulusan universitas ternama dengan prestasi bagus atau bahkan berpredikat cumlaude hendak berkhidmat di rumah menjadi seorang istri dan ibu bagi anak-anak, dia harus berhadapan dengan “nasehat” dari bapak tercintanya: “Putriku! Kamu kan sudah sarjana, cumlaude lagi! Sayang kalau cuma di rumah saja ngurus suami dan anak.” Padahal, putri tercintanya hendak berkhidmat dengan sesuatu yang mulia, yaitu sesuatu yang memang menjadi tanggung jawabnya. Disana ia ingin mencari surga.
Ibu Sebagai Seorang Pendidik
Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan bahwa perbaikan masyarakat bisa dilakukan dengan dua cara: Pertama, perbaikan secara lahiriah, yaitu perbaikan yang berlangsung di pasar, masjid, dan berbagai urusan lahiriah lainnya. Hal ini banyak didominasi kaum lelaki, karena merekalah yang sering nampak dan keluar rumah. Kedua, perbaikan masyarakat di balik layar, yaitu perbaikan yang dilakukan di dalam rumah. Sebagian besar peran ini diserahkan pada kaum wanita sebab wanita merupakan pengurus rumah. Hal ini sebagaimana difirmankan Allah subhanahu wa ta’ala yang artinya:
“Dan hendaklah kalian tetap di rumah kalian dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa kalian, hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS. Al-Ahzab: 33)
Pertumbuhan generasi suatu bangsa adalah pertama kali berada di buaian para ibu. Ini berarti seorang ibu telah mengambil jatah yang besar dalam pembentukan pribadi sebuah generasi. Ini adalah tugas yang besar! Mengajari mereka kalimat Laa Ilaaha Illallah, menancapkan tauhid ke dada-dada mereka, menanamkan kecintaan pada Al Quran dan As Sunah sebagai pedoman hidup, kecintaan pada ilmu, kecintaan pada Al Haq, mengajari mereka bagaimana beribadah pada Allah yang telah menciptakan mereka, mengajari mereka akhlak-akhlak mulia, mengajari mereka bagaimana menjadi pemberani tapi tidak sombong, mengajari mereka untuk bersyukur, mengajari bersabar, mengajari mereka arti disiplin, tanggung jawab, mengajari mereka rasa empati, menghargai orang lain, memaafkan, dan masih banyak lagi. Termasuk di dalamnya hal yang menurut banyak orang dianggap sebagai sesuatu yang kecil dan remeh, seperti mengajarkan pada anak adab ke kamar mandi. Bukan hanya sekedar supaya anak tau bahwa masuk kamar mandi itu dengan kaki kiri, tapi bagaimana supaya hal semacam itu bisa menjadi kebiasaan yang lekat padanya. Butuh ketelatenan dan kesabaran untuk membiasakannya.
Sebuah Tanggung Jawab
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At Tahrim: 6)
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang artinya: “Peliharalah dirimu dan keluargamu!” di atas menggunakan Fi’il Amr (kata kerja perintah) yang menunjukkan bahwa hukumnya wajib. Oleh karena itu semua kaum muslimin yang mempunyai keluarga wajib menyelamatkan diri dan keluarga dari bahaya api neraka.
Tentang Surat At Tahrim ayat ke-6 ini, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ajarkan kebaikan kepada dirimu dan keluargamu.” (Diriwayatkan oleh Al Hakim dalam Mustadrak-nya (IV/494), dan ia mengatakan hadist ini shahih berdasarkan syarat Bukhari dan Muslim, sekalipun keduanya tidak mengeluarkannya)
Muqatil mengatakan bahwa maksud ayat tersebut adalah, setiap muslim harus mendidik diri dan keluarganya dengan cara memerintahkan mereka untuk mengerjakan kebaikan dan melarang mereka dari perbuatan maksiat.
Ibnu Qoyyim menjelaskan bahwa beberapa ulama mengatakan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala akan meminta pertanggungjawaban setiap orang tua tentang anaknya pada hari kiamat sebelum si anak sendiri meminta pertanggungjawaban orang tuanya. Sebagaimana seorang ayah itu mempunyai hak atas anaknya, maka anak pun mempunyai hak atas ayahnya. Jika Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Kami wajibkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya.” (QS. Al Ankabut: 7), maka disamping itu Allah juga berfirman, “Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang berbahan bakar manusia dan batu.” (QS. At Tahrim: 6)
Ibnu Qoyyim selanjutnya menjelaskan bahwa barang siapa yang mengabaikan pendidikan anaknya dalam hal-hal yang bermanfaat baginya, lalu ia membiarkan begitu saja, berarti telah melakukan kesalahan besar. Mayoritas penyebab kerusakan anak adalah akibat orang tua yang acuh tak acuh terhadap anak mereka, tidak mau mengajarkan kewajiban dan sunnah agama. Mereka menyia-nyiakan anak ketika masih kecil sehingga mereka tidak bisa mengambil keuntungan dari anak mereka ketika dewasa, sang anak pun tidak bisa menjadi anak yang bermanfaat bagi ayahnya.
Adapun dalil yang lain diantaranya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala yang artinya:
“dan berilah peringatan kepada kerabatmu yang dekat.” (QS asy Syu’ara’: 214)
Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma mengatakan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Kaum lelaki adalah pemimpin bagi keluarganya di rumah, dia bertanggung jawab atas keluarganya. Wanita pun pemimpin yang mengurusi rumah suami dan anak-anaknya. Dia pun bertanggung jawab atas diri mereka. Budak seorang pria pun jadi pemimpin mengurusi harta tuannya, dia pun bertanggung jawab atas kepengurusannya. Kalian semua adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari 2/91)
Dari keterangan di atas, nampak jelas bahwa setiap insan yang ada hubungan keluarga dan kerabat hendaknya saling bekerja sama, saling menasehati dan turut mendidik keluarga. Utamanya orang tua kepada anak, karena mereka sangat membutuhkan bimbingannya. Orang tua hendaknya memelihara fitrah anak agar tidak kena noda syirik dan dosa-dosa lainnya. Ini adalah tanggung jawab yang besar yang kita akan dimintai pertanggungjawaban tentangnya.
Siapa Menanam, Dia akan Menuai Benih
Bagaimana hati seorang ibu melihat anak-anaknya tumbuh? Ketika tabungan anak kita yang usia 5 tahun mulai menumpuk, “Mau untuk apa nak, tabungannya?” Mata rasanya haru ketika seketika anak menjawab “Mau buat beli CD murotal, Mi!” padahal anak-anak lain kebanyakan akan menjawab “Mau buat beli PS!” Atau ketika ditanya tentang cita-cita, “Adek pengen jadi ulama!” Haru! mendengar jawaban ini dari seorang anak tatkala ana-anak seusianya bermimpi “pengen jadi Superman!”
Jiwa seperti ini bagaimana membentuknya? Butuh seorang pendidik yang ulet dan telaten. Bersungguh-sungguh, dengan tekad yang kuat. Seorang yang sabar untuk setiap hari menempa dengan dibekali ilmu yang kuat. Penuh dengan tawakal dan bergantung pada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Lalu… jika seperti ini, bisakah kita begitu saja menitipkannya pada pembantu atau membiarkan anak tumbuh begitu saja?? Kita sama-sama tau lingkungan kita bagaimana (TV, media, masyarakat,…) Siapa lagi kalau bukan kita, wahai para ibu -atau calon ibu-?
Setelah kita memahami besarnya peran dan tanggung jawab seorang ibu sebagai seorang pendidik, melihat realita yang ada sekarang sepertinya keadaannya menyedihkan! Tidak semua memang, tapi banyak dari para ibu yang mereka sibuk bekerja dan tidak memperhatikan bagaimana pendidikan anak mereka. Tidak memperhatikan bagaimana aqidah mereka, apakah terkotori dengan syirik atau tidak. Bagaimana ibadah mereka, apakah sholat mereka telah benar atau tidak, atau bahkan malah tidak mengerjakannya… Bagaimana mungkin pekerjaan menancapkan tauhid di dada-dada generasi muslim bisa dibandingkan dengan gaji jutaan rupiah di perusahaan bonafit? Sungguh! sangat jauh perbandingannya.
Anehnya lagi, banyak ibu-ibu yang sebenarnya tinggal di rumah namun tidak juga mereka memperhatikan pendidikan anaknya, bagaimana kepribadian anak mereka dibentuk. Penulis sempat sebentar tinggal di daerah yang sebagian besar ibu-ibu nya menetap di rumah tapi sangat acuh dengan pendidikan anak-anak mereka. Membesarkan anak seolah hanya sekedar memberinya makan. Sedih!
Padahal anak adalah investasi bagi orang tua di dunia dan akhirat! Setiap upaya yang kita lakukan demi mendidiknya dengan ikhlas adalah suatu kebajikan. Setiap kebajikan akan mendapat balasan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak inginkah hari kita terisi dengannya? Atau memang yang kita inginkan adalah kesuksesan karir anak kita, meraih hidup yang berkecukupan, cukup untuk membeli rumah mewah, cukup untuk membeli mobil mentereng, cukup untuk membayar 10 pembantu, mempunyai keluarga yang bahagia, berakhir pekan di villa. Tanpa memperhatikan bagaimana aqidah, bagaimana ibadah, asal tidak bertengkar dan bisa senyum dan tertawa ria di rumah, disebutlah itu dengan bahagia.
Ketika usia senja, mata mulai rabun, tulang mulai rapuh, atau bahkan tubuh ini hanya mampu berbaring dan tak bisa bangkit dari ranjang untuk sekedar berjalan. Siapa yang mau mengurus kita kalau kita tidak pernah mendidik anak-anak kita? Bukankah mereka sedang sibuk dengan karir mereka yang dulu pernah kita banggakan, atau mungkin sedang asik dengan istri dan anak-anak mereka?
Ketika malaikat maut telah datang, ketika jasad telah dimasukkan ke kubur, ketika diri sangat membutuhkan doa padahal pada hari itu diri ini sudah tidak mampu berbuat banyak karena pintu amal telah ditutup, siapakah yang mendoakan kita kalau kita tidak pernah mengajari anak-anak kita?
Lalu…
Masihkah kita mengatakan jabatan ibu rumah tangga dengan kata ‘cuma’? dengan tertunduk dan suara lirih karena malu?
Wallahu a’lam
Maroji’:
1. Dapatkan Hak-Hakmu, Wahai Muslimah oleh Ummu Salamah as Salafiyyah. Judul asli: Al-Intishaar li Huquuqil Mu’minaat
2. Mendidik Anak bersama Nabi oleh Muhammad Nur Abdul Hafizh Suwaid. Judul Asli: Manhaj At-Tarbiyyah An-Nabawiyyah lit-Thifl
3. Majalah Al Furqon Edisi: 8 Tahun V/Rabi’ul Awwal 1427/April 2006
***Artikel www.muslimah.or.id
SURAT DARI IBU YANG TERKOYAK HATINYA
Anakku…
Ini surat dari ibu yang tersayat hatinya. Linangan air mata bertetesan deras menyertai tersusunnya tulisan ini. Aku lihat engkau lelaki yang gagah lagi matang. Bacalah surat ini. Dan kau boleh merobek-robeknya setelah itu, seperti saat engkau meremukkan kalbuku sebelumnya.
Sejak dokter mengabari tentang kehamilan, aku berbahagia. Ibu-ibu sangat memahami makna ini dengan baik. Awal kegembiraan dan sekaligus perubahan psikis dan fisik. Sembilan bulan aku mengandungmu. Seluruh aktivitas aku jalani dengan susah payah karena kandunganku. Meski begitu, tidak mengurangi kebahagiaanku. Kesengsaraan yang tiada hentinya, bahkan kematian kulihat didepan mataku saat aku melahirkanmu. Jeritan tangismu meneteskan air mata kegembiraan kami.
Berikutnya, aku layaknya pelayan yang tidak pernah istirahat. Kepenatanku demi kesehatanmu. Kegelisahanku demi kebaikanmu. Harapanku hanya ingin melihat senyum sehatmu dan permintaanmu kepada Ibu untuk membuatkan sesuatu.
Masa remaja pun engkau masuki. Kejantananmu semakin terlihat, Aku pun berikhtiar untuk mencarikan gadis yang akan mendampingi hidupmu. Kemudian tibalah saat engkau menikah. Hatiku sedih atas kepergianmu, namun aku tetap bahagia lantaran engkau menempuh hidup baru.
Seiring perjalanan waktu, aku merasa engkau bukan anakku yang dulu. Hak diriku telah terlupakan. Sudah sekian lama aku tidak bersua, meski melalui telepon. Ibu tidak menuntut macam-macam. Sebulan sekali, jadikanlah ibumu ini sebagai persinggahan, meski hanya beberapa menit saja untuk melihat anakku.
Ibu sekarang sudah sangat lemah. Punggung sudah membungkuk, gemetar sering melecut tubuh dan berbagai penyakit tak bosan-bosan singgah kepadaku. Ibu semakin susah melakukan gerakan.
Anakku…
Seandainya ada yang berbuat baik kepadamu, niscaya ibu akan berterima kasih kepadanya. Sementara Ibu telah sekian lama berbuat baik kepada dirimu. Manakah balasan dan terima kasihmu pada Ibu ? Apakah engkau sudah kehabisan rasa kasihmu pada Ibu ? Ibu bertanya-tanya, dosa apa yang menyebabkan dirimu enggan melihat dan mengunjungi Ibu ? Baiklah, anggap Ibu sebagai pembantu, mana upah Ibu selama ini ?
Anakku...
Ibu hanya ingin melihatmu saja. Lain tidak. Kapan hatimu memelas dan luluh untuk wanita tua yang sudah lemah ini dan dirundung kerinduan, sekaligus duka dan kesedihan ? Ibu tidak tega untuk mengadukan kondisi ini kepada Dzat yang di atas sana. Ibu juga tidak akan menularkan kepedihan ini kepada orang lain. Sebab, ini akan menyeretmu kepada kedurhakaan. Musibah dan hukuman pun akan menimpamu di dunia ini sebelum di akhirat. Ibu tidak akan sampai hati melakukannya,
Anakku…
Walaupun bagaimanapun engkau masih buah hatiku, bunga kehidupan dan cahaya diriku…
Anakku…
Perjalanan tahun akan menumbuhkan uban di kepalamu. Dan balasan berasal dari jenis amalan yang dikerjakan. Nantinya, engkau akan menulis surat kepada keturunanmu dengan linangan air mata seperti yang Ibu alami. Di sisi Allah, kelak akan berhimpun sekian banyak orang-orang yang menggugat.
Anakku..
Takutlah engkau kepada Allah karena kedurhakaanmu kepada Ibu. Sekalah air mataku, ringankanlah beban kesedihanku. Terserahlah kepadamu jika engkau ingin merobek-robek surat ini. Ketahuilah, “Barangsiapa beramal shalih maka itu buat dirinya sendiri. Dan orang yang berbuat jelek, maka itu (juga) menjadi tanggungannya sendiri”.
Anakku…
Ingatlah saat engkau berada di perut ibu. Ingat pula saat persalinan yang sangat menegangkan. Ibu merasa dalam kondisi hidup atau mati. Darah persalinan, itulah nyawa Ibu. Ingatlah saat engkau menyusui. Ingatlah belaian sayag dan kelelahan Ibu saat engkau sakit. Ingatlah ….. Ingatlah…. Karena itu, Allah menegaskan dengan wasiat : “Wahai, Rabbku, sayangilah mereka berdua seperti mereka menyayangiku waktu aku kecil”.
Anakku…
Allah berfirman: “Dan dalam kisah-kisah mereka terdapat pelajaran bagi orang-orang berakal” [Yusuf : 111]
Pandanglah masa teladan dalam Islam, masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup, supaya engkau memperoleh potret bakti anak kepada orang tua.
Sumber : internet
Tidak ada komentar:
Posting Komentar