"Layaknya ada banyak anak sungai menuju ke laut, ada banyak pula jalan menuju kepada Allah. Jadi jalan yang ana dan anti pilih tidaklah masalah jika berbeda, asalkan sama-sama diniatkan karena Allah dengan aqidah yang benar."
Kata-kata itu masih terngiang di telinga ana. Seorang ikhwan, yang aktif di organisasi pergerakan Islam -dan qadarullah rumah kami bertetangga- menyampaikan filosofi tersebut saat dia mengutarakan keinginannya untuk menjalani proses ta'aruf dengan ana. Reaksi pertama ana tentu saja kaget dan spontan ana mengajukan pertanyaan, "afwan, apakah antum serius? setahu ana banyak hal prinsip yang tidak kita sepakati kan?dan jawaban di atas pun dia sampekan....
Kalau kita mengedepankan logika ataupun menimbang dengan akal pikiran, analogi tentang jalan kebenaran tersebut, sekilas tampaknya memang benar. Setiap orang bisa saja berbuat kebajikan menurut caranya masing-masing. Walaupun caranya berbeda-beda, toh tetap merujuk kepada Al Qur'an dan Sunnah. Sedangkan tentang cara memahaminya, setiap kita sudah dikaruniai akal yang dapat dipergunakan untuk berpikir.
Namun, agama ini bukan dibangun di atas akal semata melainkan harus mengedepankan dalil, wahyu Allah. Seandainya dien ini berdasarkan akal, tentu bagian khuf (sepatu) lebih pantas dibasuh daripada mengusap bagian atasnya saat berwudhu. Oleh karena itu, filosofi tentang berbilangnya jalan kebenaran layaknya anak-anak sungai yang menuju ke laut, sungguh telah menyelisihi nash-nash yang ada. Bukankah sudah sangat jelas bahwa Allah telah berfirman dalam banyak ayat tentang jalan yang Dia ridhoi dalam bentuk tunggal (mufrad)? Dari sabda Rasulullah pun sudah disampaikan tentang hal ini, ditambah penjelasan para sahabat dan ulama-ulama salaf.
Akhii, sungguh keliru jika antum beranggapan bahwa Khilafah Islamiyah bisa tegak dalam perbedaan persepsi umat. Bukan dalam hal ini toleransi terhadap perbedaan dalam tubuh ummat Islam diterapkan. Jangankan untuk mendirikan suatu Khilafah Islamiyah, membentuk suatu keluarga pun sangat riskan jika kedua pemeran utama dalam rumah tangga yaitu suami dan istri berbeda jalan.
"Afwan akhii, dalam menyikapi perbedaan sudah sangat jelas bagi ana bahwa jalan kebenaran hanya satu. Sedangkan tentang siapa yang benar, maka yang berpegang teguh pada Al Qur'an dan Sunnah yang sesuai pemahaman generasi tebaik dari ummat ini, dialah yang berada di atas kebenaran." Ikhwan yang ana ajak bicara tidak berkomentar apa-apa.
"Ukhtii, kalau begitu sepertinya saya bagai pungguk merindukan bulan. Apakah sampai semustahil itu?" Ana hanya bisa terdiam sesaat.
"Akhii, boleh saja BURUNG dan IKAN saling mencintai, tapi dimana mereka akan TINGGAL????"
(ammah Khadijah)
"Salam Kangen buat akhwat-akhwat di Kota Gudeg. Terima kasih untuk ukhuwah yang indah"
Kata-kata itu masih terngiang di telinga ana. Seorang ikhwan, yang aktif di organisasi pergerakan Islam -dan qadarullah rumah kami bertetangga- menyampaikan filosofi tersebut saat dia mengutarakan keinginannya untuk menjalani proses ta'aruf dengan ana. Reaksi pertama ana tentu saja kaget dan spontan ana mengajukan pertanyaan, "afwan, apakah antum serius? setahu ana banyak hal prinsip yang tidak kita sepakati kan?dan jawaban di atas pun dia sampekan....
Kalau kita mengedepankan logika ataupun menimbang dengan akal pikiran, analogi tentang jalan kebenaran tersebut, sekilas tampaknya memang benar. Setiap orang bisa saja berbuat kebajikan menurut caranya masing-masing. Walaupun caranya berbeda-beda, toh tetap merujuk kepada Al Qur'an dan Sunnah. Sedangkan tentang cara memahaminya, setiap kita sudah dikaruniai akal yang dapat dipergunakan untuk berpikir.
Namun, agama ini bukan dibangun di atas akal semata melainkan harus mengedepankan dalil, wahyu Allah. Seandainya dien ini berdasarkan akal, tentu bagian khuf (sepatu) lebih pantas dibasuh daripada mengusap bagian atasnya saat berwudhu. Oleh karena itu, filosofi tentang berbilangnya jalan kebenaran layaknya anak-anak sungai yang menuju ke laut, sungguh telah menyelisihi nash-nash yang ada. Bukankah sudah sangat jelas bahwa Allah telah berfirman dalam banyak ayat tentang jalan yang Dia ridhoi dalam bentuk tunggal (mufrad)? Dari sabda Rasulullah pun sudah disampaikan tentang hal ini, ditambah penjelasan para sahabat dan ulama-ulama salaf.
Akhii, sungguh keliru jika antum beranggapan bahwa Khilafah Islamiyah bisa tegak dalam perbedaan persepsi umat. Bukan dalam hal ini toleransi terhadap perbedaan dalam tubuh ummat Islam diterapkan. Jangankan untuk mendirikan suatu Khilafah Islamiyah, membentuk suatu keluarga pun sangat riskan jika kedua pemeran utama dalam rumah tangga yaitu suami dan istri berbeda jalan.
"Afwan akhii, dalam menyikapi perbedaan sudah sangat jelas bagi ana bahwa jalan kebenaran hanya satu. Sedangkan tentang siapa yang benar, maka yang berpegang teguh pada Al Qur'an dan Sunnah yang sesuai pemahaman generasi tebaik dari ummat ini, dialah yang berada di atas kebenaran." Ikhwan yang ana ajak bicara tidak berkomentar apa-apa.
"Ukhtii, kalau begitu sepertinya saya bagai pungguk merindukan bulan. Apakah sampai semustahil itu?" Ana hanya bisa terdiam sesaat.
"Akhii, boleh saja BURUNG dan IKAN saling mencintai, tapi dimana mereka akan TINGGAL????"
(ammah Khadijah)
"Salam Kangen buat akhwat-akhwat di Kota Gudeg. Terima kasih untuk ukhuwah yang indah"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar