Minggu, 04 April 2010

Bagaimana Menasihati Pemerintah? [Sebuah Nasihat Bagi Harokiyyin (baca: PKS, HT,dll.)]

Bagaimana Menasihati Pemerintah? [Sebuah Nasihat Bagi Harokiyyin (baca: PKS, HT,dll.)]

Oleh Ustadz Ahmad Abu Hasan

Sebuah parpol terlihat begitu garang berteriak di jalanan melakukan demonstrasi menghujat pemerintah. Mereka merasa tengah berjuang demi rakyat untuk mengoreksi kebijakan penguasa. Ghibah jalanan tersebut mereka labeli sebagai jihad di jalanan.

Kini, ketika parpol tersebut dikritik kanan kiri, bahkan termasuk anggotanya yang kritis, membalas para pengritiknya dengan tuduhan melakukan ghibah dan namimah. Karena kritikan dan buktinya dibeberkan di forum umum sebuah blog di internet. Kritik nasehat ternyata justru sering membuahkan masalah, bukan mashlahah.

Sejatinya, nasehat kepada pemerintah merupakan salah satu ajaran agama yang paling penting. Imam Muslim mencatat dalam Shahih-nya perkataan Nabi -shalallohu ‘alaihi wa sallam-,
اَلدِّينُ النَّصِيْحَةُ. قُلْنَا: لِمَنْ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: لِلَّهِ، وَلِكِتَابِهِ، وَلِرَسُوْلِهِ، وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ، وَعَامَّتِهِمْ.

“Agama adalah nasehat!’ Kami bertanya, ‘Untuk siapa, wahai Råsulullåh?’ Beliau menjawab, ‘Untuk Allåh, Kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin, dan kaum muslimin semuanya (rakyat).”

Sementara itu Imam Tirmidzi meriwayatkan dalam Sunan-nya dari Abdullah bin Mas’ud bahwa Nabi -shalallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda,

ثَلاَثُ خِصَالٍ لاَ يُغِلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ مُسْلِمٍ: إِخْلاَصُ الْعَمَلِ لِلَّهِ، وَالنَّصِيْحَةُ لِوُلاَةِ اْلأُمُوْرِ، وَلُزُوْمُ جَمَاعَتِهِمْ، فَإِنَّ الدَّعْوَةَ تُحِيْطُ مِنْ وَرَائِهِمْ.

“Ada tiga hal yang hati seorang muslim tidak menjadi dengki karenanya: ikhlas beramal hanya untuk Allåh, memberi nasehat kepada para penguasa, dan tetap bersama jama’ah karena doa (mereka) meliputi dari belakang mereka.’”

Artinya, orang yang melakukan amal secara ikhlas untuk Allåh, menasehati pemerintah (ulil-amr) dan tetap berada dalam jamaah hatinya terhindar dari kedengkian, kecurangan, dan hasad.

Bahkan, kata Abu Nu’aim al-Ashbahani, orang yang menasehati pemerintah dan pemimpin akan memperoleh petunjuk. Sebaliknya, katanya lagi, barangsiapa menipu mereka, maka akan menyimpang dan melampaui batas (sewenang-wenang). Lantas bagaimana cara efektif menasehati penguasa?


Cara-Cara Menasehati

Tidak sedikit yang merasa terpanggil untuk menasehati penguasa. Langkah yang ditempuh juga bermacam-macam. Kiranya bisa dipilahkan menjadi empat, yaitu:

1) Menasehati penguasa secara berduaan dan sembunyi-sembunyi.

2) Menasehati penguasa secara terang-terangan di hadapan orang banyak, padahal dapat dilakukan secara sembunyi-sembunyi.

3) Menasehati penguasa secara berduaan dan sembunyi-sembunyi, kemudian mengumumkan kepada orang banyak bahwa dia telah menasehati penguasa.

4) Mengingkari penguasa di hadapan orang banyak lewat majelis-majelis, ketika menyampaikan nasehat, khutbah, atau pelajaran, dan sebagainya. Sementara penguasa tersebut tidak bersama mereka.



a) Menasehati penguasa secara berduaan dan sembunyi-sembunyi

Menasehati penguasa (pemerintah) secara sembunyi-sembunyi merupakan salah satu prinsip manhaj salaf. Berbeda dari cara yang ditempuh ahli hawa dan bid’ah, seperti kaum khawarij.

Pada dasarnya menasehati penguasa harus dilakukan secara sembunyi-sembunyi, tidak dengan terang-terangan. Hal ini ditunjukkan oleh hadits riwayat Ahmad dalam Musnad-nya dari ‘Iyadh. Råsulullåh e bersabda,



مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ، فَلاَ يُبْدِ لَهُ عَلاَنِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ، فَذَاكَ، وَإِلاَّ كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِيْ عَلَيْهِ لَهُ.

‘Barangsiapa ingin menasehati penguasa, janganlah melakukannya secara terang-terangan, tetapi hendaknya “pegang” tangannya dan berduaan dengannya. Jika penguasa tersebut sudi menerimanya, tentu inilah yang diharapkan. Akan tetapi, jika menolak, sesungguhnya orang tersebut telah menunaikan kewajiban seorang rakyat kepada penguasanya.”

Barangsiapa ingin menasehati penguasa mengandung pengertian umum baik bagi orang yang menasehati maupun orang yang dinasehati.

Janganlah melakukannya secara terang-terangan mengandung larangan menyampaikan nasehat secara terang-terangan, sedangkan larangan itu menunjukkan hukum haram. Karena itu, menyampaikan nasehat harus dilakukan secara sembunyi-sembunyi.

Tetapi hendaknya pegang tangannya dan berduaan dengannya mengandung penjelasan cara yang sesuai syariat dalam menyampaikan nasehat kepada penguasa, yaitu dengan cara sembunyi-sembunyi, tidak dengan terang-terangan.

Berduaan dengannya, yakni menjauh dari keramaian orang. Sebagaimana ucapan Usamah -rodhiyallohu ‘anhu-, “Kamu kira jika menasehatinya aku harus ada di depanmu?! Demi Allåh, aku sudah menasehatinya secara berduaan.”

Kisah ini disebutkan oleh Bukhari dan Muslim dalam kedua kitab Shahih mereka dari Syaqiq dari Usamah bin Zaid. Usamah ditanya: “Mengapa kamu tidak menghadap ‘Utsman diam berbicara kepadanya?” Kemudian Usamah menjawab seperti tersebut di muka. “Aku tidak ingin menimbulkan fitnah. Aku tidak mau menjadi orang yang pertama kali membukanya,” tambahnya.

Karena itulah, berdasarkan atsar ini, penyampaian nasehat secara terang-terangan merupakan kemungkaran yang dapat menimbulkan fitnah. Prinsip dasar menyampaikan nasehat adalah secara sembunyi-sembunyi sehingga nasehat itu benar-benar dapat terwujud, bukan untuk menimbulkan fitnah atau provokasi terhadap rakyat supaya mencaci penguasa.

Ahmad meriwayatkan dalam al-Musnad dari Sa’id bin Jumhan bahwa ia berkata, “Aku pernah bertemu Abdullah bin Abi Aufa. Aku pun mengadu, ‘Sesungguhnya penguasa benar-benar telah berbuat zhalim kepada rakyat!’ Kemudian dia memegang tanganku dan menggenggamnya dengan kuat. Katanya, ‘Celaka kamu Ibnu Jumhan! Kamu harus selalu berada dalam sawad a’zham (jamaah). Kamu harus selalu berada dalam sawad a’zham (jamaah). Jika penguasa mau mendengarmu, datangilah di rumahnya, lalu beritahu dia apa yang kamu ketahui. Jika dia mau menerima nasehat darimu, itulah yang diinginkan. Jika tidak mau, kamu bukanlah orang yang lebih tahu.’”

Perlu direnungkan, bagaimana sahabat yang mulia ini, Ibnu Abi Aufa -rodhiyallohu ‘anhu-, melarang Sa’id bin Jumhan berbicara tentang urusan penguasa, dan menyuruh supaya memberikan nasehatnya secara sembunyi-sembunyi, tidak secara terang-terangan.



b) Menasehati penguasa secara terang-terangan di hadapan orang banyak, padahal dapat dilakukan secara sembunyi-sembunyi.

Cara seperti ini tidak boleh dilakukan karena beberapa alasan berikut.

1) Menyelisihi hadits dari Iyadh bin Ghanm -rodhiyallohu ‘anhu- yang menyebutkan perintah supaya menyampaikan nasehat kepada penguasa secara sembunyi-sembunyi.

2) Menyelisihi atsar-atsar dan manhaj salaf, seperti Usamah bin Zaid dan Abdullah bin Abi Aufa.

3) Bisa terjatuh pada perbuatan merendahkan penguasa. Sementara Nabi -shalallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda, “Barangsiapa merendahkan sultan (penguasa) Allåh di muka bumi, Allåh akan merendahkannya” (Hadits riwayat al-Tirmidzi).

c) Menasehati penguasa secara berduaan dan sembunyi-sembunyi, kemudian memamerkan kepada orang banyak bahwa dia telah menasehati penguasa.

Cara seperti ini tidak terlalu berbeda dengan cara sebelumnya. Alasannya:

1) Menyelisihi hadits dari Iyadh bin Ghanm -rodhiyallohu ‘anhu- karena tujuan dan maksud nasehat itu bukan untuk membeberkan aib di kalangan umat karena dapat menimbulkan banyak kerusakan.

2) Menyelisihi petunjuk salaf dalam bermuamalah dengan penguasa.

3) Mengandung unsur riya` dan merupakan tanda lemahnya keikhlasan.

4) Membawa fitnah, bencana, dan perpecahan bagi jamaah kaum muslimin.

5) Merendahkan sultan (penguasa), padahal Råsulullåh -shalallohu ‘alaihi wa sallam-, “Barangsiapa merendahkan sultan (penguasa) Allåh di muka bumi, Allåh akan merendahkannya.”



d) Mengingkari penguasa di hadapan orang banyak lewat majelis-majelis, ketika menyampaikan nasehat, khutbah, atau pelajaran, dan sebagainya. Sementara penguasa tersebut tidak bersama mereka.

Cara seperti ini juga diharamkan karena alasan-alasan berikut ini.

1) Termasuk perbuatan ghibah (menggunjing) dan kedustaan terhadap penguasa. Allåh Ta’ala berfirman (artinya) “Dan janganlah sebagian di antara kalian menggunjing (mengghibah) sebagian yang lain.” (Al-Hujurat: 12). Muslim juga meriwayatkan hadits dalam kitab Shahih-nya dari Abu Hurairah bahwa Råsulullåh Shallallåhu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya), “Tahukah kalian apa ghibah itu?” Mereka menjawab, “Allåh dan Rasul-Nya lebih tahu.” Beliau bersabda, “Kamu menyebutkan sesuatu pada saudaramu yang tidak dia sukai.” Beliau ditanya, “Bagaimana jika yang saya katakan tentang saudaraku itu benar adanya?” Beliau menjawab, “Jika benar dia melakukan seperti apa yang kamu katakan, berarti kamu menggunjingnya (menghibahnya). Namun, jika tidak benar, berarti kamu berbuat dusta terhadapnya.”

Allåh ‘Azza wa jalla dan Råsulullåh -shalallohu ‘alaihi wa sallam- melarang berbuat ghibah. Tidak diragukan lagi bahwa membicarakan perihal penguasa jika memang benar berarti dia berbuat ghibah. Namun, jika tidak benar berarti dia melakukan kedustaan terhadapnya.

2) Cara seperti ini termasuk adu domba di kalangan orang banyak yang dapat menimbulkan fitnah dan kekacauan. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shahih-nya dari Abdullåh bin Mas’ud, ia berkata, “Sesungguhnya Muhammad -shalallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda, ‘Maukah kalian aku beritahu tentang ‘adhhu? Yaitu adu domba, memprovokasi manusia.”

3) Cara ini menyelisihi hadits Iyadh bin Ghanm -rodhiyallohu ‘anhu- tentang kewajiban memberi nasehat secara sembunyi-sembunyi.

4) Cara seperti ini menyelisihi petunjuk salaf shalih tentang cara memberi nasehat kepada penguasa.

5) Termasuk perbuatan merendahkan sultan (penguasa) yang diharamkan.

6) Dapat memicu pertumpahan darah dan pembunuhan. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d dalam Al-Thåbaqåt dari Abdullåh bin ‘Ukaim al-Juhani, bahwa dia berkata, “Aku tidak mau membantu menumpahkan darah khalifah selamanya setelah (khalifah) Utsman!” Dia ditanya, “Wahai Abu Ma’bad, memangnya kamu membantu menumpahkan darahnya?” Dia menjawab, “Aku menganggap bahwa menyebutkan kejelekannya termasuk membantu menumpahkan darahnya!”

Lewat atsar ini bisa kita petik pelajaran, para sahabat yang dekat dengan Råsulullåh -shalallohu ‘alaihi wa sallam-tersebut beranggapan bahwa menyebut kejelekan penguasa termasuk membantu menumpahkan darahnya!



Syubhat Orang yang Mengghibah Penguasa

Sebagian orang suka menggunjing penguasa. Jika dijelaskan bahwa hal itu tidak boleh, biasanya berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzi dalam kitab Sunan-nya dari Abu Sa’id al-Khudri bahwa Nabi -shalallohu ‘alaihi wa sallam-bersabda, “Sesungguhnya salah satu jihad yang paling besar adalah menyampaikan kata-kata yang benar di hadapan penguasa yang zhalim.” Ia akan mengatakan bahwa yang diucapkannya itu adalah kebenaran!

Tidak ragu lagi bahwa ini adalah kesalahan yang sangat fatal. Bukan haditsnya yang salah, tetapi dalam memahaminya. Karena beberapa hal berikut:

Pertama, dalam hadits ini beliau mengatakan “di hadapan”, artinya di depan penguasa dan ketika bersamanya, bukan ketika tidak bersama penguasa. Kedua, hadits ini tidak menunjukkan supaya mengingkari penguasa dengan cara terang-terangan atau dengan cara mengghibahnya. Hadits ini menjadi jelas jika dipahami bersama hadits Iyadh bin Ghanm yang menyebutkan adanya tuntutan menyampaikan nasehat dengan cara sembunyi-sembunyi. Nasehatilah penguasa secara berduaan, tidak dengan terang-terangan dan tidak dengan mengghibahnya”. Ketiga, yakni dilakukan di hadapan penguasa yang zhålim.

Betul, menasehati penguasa adalah sebuah perbuatan mulia. Tidak selayaknya orang yang memahami masalah untuk memberikan nasehat. Islam mengarahkan jalan tersebut, bukan mematikannya. Siapa yang mampu hendaklah menasehati untuk tercapainya kebaikan, bukan dengan cara yang salah sehingga justru mengundang petaka.

Diolah dari ringkasan kitab Al-Sunnah fi ma Yata’allaqu bi Waliyyil-Ummah karya Syaikh Ahmad bin ‘Umar Bazmul (Dar al-Imam Ahmad, Kairo, cet. I/1425 H: 63-79). Diterjemahkan oleh Ustadz Ahmad Abu Hasan.

Sumber: http://www.atturots.or.id/index.php/siyasah/42-syariyah/225-bagaimana-menasehati-pemerintah

link : http://salafiyunpad.wordpress.com/2009/08/13/bagaimana-menasihati-pemerintah-sebuah-nasihat-bagi-harokiyyin-baca-pks-htdll/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar