Kamis, 06 Mei 2010

BANTAHAN BAGI YANG BENCI SALAFI 2

Bolehkah bagi saya untuk mengkhatamkan Al-Qur... Lihat Selengkapnya’an dan saya hadiahkan untuk ayah ibu saya, untuk diketahui bahwa keduanya ummi (tidak bisa baca tulis). Dan bolehkah saya khatamkan Al-Qur’an untuk saya hadiahkan kepada orang yang bisa baca tulis tapi saya (memang) bermaksud menghadiahkannya kepadanya? Juga apakah boleh bagi saya untuk mengkhatamkan Al-Qur’an untuk saya hadiahkan kepada lebih dari satu orang?
Jawab:
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullahu menjawab:
Tidak terdapat dalam Al-Qur’an yang mulia ataupun dalam hadits yang suci dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak pula dari para sahabatnya yang mulia, sesuatu yang menunjukkan disyariatkannya menghadiahkan bacaan Al-Qur’an Al-Karim untuk kedua orangtua atau untuk yang lain. Allah Subhanahu wa Ta’ala mensyariatkan membaca Al-Qur’an untuk diambil manfaat darinya, diambil faedah darinya serta untuk dipahami maknanya lalu diamalkan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا ءَايَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ
“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memerhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang berakal.” (Shad: 29)
إِنَّ هَذَا الْقُرْءَانَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ
“Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus.” (Al-Isra’: 9)
قُلْ هُوَ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا هُدًى وَشِفَاءٌ
Katakanlah: “Al-Qur’an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang mukmin.” (Fushshilat: 44)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِيْ شَفِيْعًا لِأَصْحَابِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Bacalah Al-Qur’an karena sesungguhnya (amalan baca) Al-Qur’an itu nanti akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafaat bagi para pembacanya.” (Shahih, HR. Muslim no. 804)
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda (maknanya): “Bahwa nanti akan didatangkan (amalan baca) Al-Qur’an pada hari kiamat dan para ahli Al-Qur’an yang mengamalkannya, akan datang kepadanya surat Al-Baqarah, Ali Imran, keduanya akan membela para pembacanya.” (Shahih, HR. Muslim no. 804 dengan makna itu)
Jadi tujuan diturunkannya Al-Qur’an adalah untuk diamalkan, dipahami, dan dipakai untuk ibadah dengan membacanya, serta memperbanyak membacanya. Bukan untuk menghadiahkannya kepada orang-orang yang telah wafat atau yang lain. Aku tidak mengetahui ada dasar yang bisa dijadikan sandaran dalam hal menghadiahkan bacaan Al-Qur’an untuk kedua orangtua atau yang selain mereka. Padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang bukan atas dasar ajaran kami maka itu tertolak.” (Shahih, HR. Muslim)
Sebagian ulama membolehkan hal itu dan mengatakan: “Tidak mengapa menghadiahkan pahala Al-Qur’an dan amalan shalih yang lain.”
Mereka mengkiaskan (menganalogikan) nya dengan shadaqah dan doa untuk mayit. Akan tetapi yang benar adalah pendapat yang pertama (tidak boleh), berdasarkan hadits yang telah disebutkan dan yang semakna dengannya. Seandainya menghadiahkan bacaan itu sesuatu yang disyariatkan, tentu akan dilakukan oleh as-salafush shalih (pendahulu kita yang baik). Juga, dalam hal ibadah tidak boleh digunakan qiyas (kias/analogi), karena ibadah itu berhenti pada tuntunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak boleh ditetapkan kecuali dengan nash dari kalamullah atau hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berdasarkan hadits yang lalu dan yang semakna dengannya.
Adapun menyedekahkan untuk orang yang sudah mati dan yang lain, demikian pula mendoakan mereka, menghajikan orang lain oleh yang sudah haji untuk dirinya sendiri, juga mengumrahkan oleh yang sudah umrah untuk dirinya sendiri, juga membayarkan utang puasa bagi yang telah wafat dan punya utang, maka semua ibadah ini (boleh), telah shahih hadits-hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam... Allah Subhanahu wa Ta’ala lah yang memberikan taufiq. (Majmu’ Fatawa Wa Maqalat Al-Mutanawwi’ah) Pendapat Al-Imam Syafi... Lihat Selengkapnya’i rahimahullahu
Apa yang dipaparkan di atas juga merupakan pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Katsir rahimahullahu sebagai salah seorang ulama bermadzhab Syafi’i dalam tafsirnya. Beliau katakan, firman-Nya:
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (An-Najm: 39)
Yakni, sebagaimana tidak dibebankan padanya dosa orang lain, demikian pula ia tidak mendapatkan ganjaran kecuali dari apa yang dia usahakan sendiri.
Dari ayat ini, Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu dan yang mengikuti beliau mengambil kesimpulan, bahwa menghadiahkan pahala bacaan Al-Qur’an tidak sampai kepada mayit. Karena dia bukan dari amalan mayit dan usahanya. Oleh karenanya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menganjurkan dan memotivasi umatnya untuk itu. Tidak pula membimbing ke arah tersebut, baik dengan nash (teks) yang jelas atau dengan isyarat. Tidak pula dinukilkan hal itu dari seorang pun dari kalangan sahabat. Seandainya memang baik, tentu mereka akan mendahului kita dalam hal itu. Sedangkan dalam perkara ibadah, kita harus membatasinya pada nash (ayat dan hadits), tidak boleh diberlakukan padanya berbagai macam analogi (qiyas) dan pendapat akal.
Adapun shadaqah dan doa, hal ini telah disepakati bahwa bisa sampai. Dan telah disebutkan (bolehnya) oleh yang menetapkan syariat.
Adapun hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلَاثَةٍ؛ إِلَّا مِنْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ، أَوْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ
“Bila anak Adam meninggal maka amalnya terputus kecuali dari tiga hal, anak shalih yang mendoakannya, shadaqah jariyah, dan ilmu yang bermanfaat.”
Tiga perkara ini pada hakikatnya adalah bagian dari usahanya, jerih payah dan amalnya. Sebagaimana terdapat dalam hadits:
إِنَّ أَطْيَبَ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ، وَإِنَّ وَلَدَهُ مِن كَسْبِهِ
“Di antara yang terbaik dari apa yang dimakan oleh seseorang adalah dari hasil usahanya dan sungguh anaknya adalah termasuk dari usahanya.”
Shadaqah jariyah juga seperti wakaf dan sejenisnya, termasuk bagian dari amalnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّا نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَى وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَءَاثَارَهُمْ
“Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan.” (Yasin: 12)
Juga ilmu yang dia sebarkan di tengah manusia sehingga orang-orang mengikutinya setelah dia meninggal, itu juga termasuk dari usahanya. Dalam sebuah hadits di kitab shahih disebutkan:
مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا
“Barangsiapa yang mengajak kepada petunjuk maka dia akan mendapat pahala seperti pahala orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun.” (Tafsir Ibnu Katsir, surat An-Najm: 39) c. Kaum Salafi & Wahabi berpendapat bahwa bertawassul dengan orang yang sudah meninggal seperti Rasulullah Saw. atau para wali adalah bid'ah yang tentunya diharamkan, padahal para ulama salaf (seperti: Sufyan bin 'Uyainah, Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Syafi'I, Imam Ahmad, Imam Ibnu Khuzaimah, Imam Thabrani, dan lain-lainnya) bukan ... Lihat Selengkapnyaduma membolehkannya, bahkan mereka juga melakukannya dan menganjurkannya (lihat Membongkar Kebohongan Buku "Mantan Kiai NU Menggugat Shalawat & Zikir Syirik", Tim PCNU Jember, hal. 37-54).

Coba nukilkan satu saja dari para Ulama tsb yg membolehkannya, bahkan mereka juga melakukannya dan menganjurkannya, jgn dusta atas nama Ulama?!
Nukilan dari http://darussalaf.or.id/stories.php?id=279
Berkeyakinan bahwa berdo’a kepada Allah Ta’ala sambil bertawasul dengan orang shalih yang sudah mati (kyai, habaib dan semisalnya) lebih diterima oleh Allah Ta’ala. Hal ini juga merupakan perkara yang bathil dan haram, karena tidak pernah dilakukan oleh para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam, bahkan Umar Radiyallahu ‘anhu ketika di jamannya ditimpa paceklik, beliau tidak bertawasul kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam karena beliau Shallallahu ‘alaihi wassalam sudah wafat, namun Umar Radiyallahu ‘anhu meminta kepada paman Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam untuk berdo’a kepada Allah Ta’ala.(Fatawa Arkanul Islam lisy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin hal. 182)

Padahal Allah Ta’ala berfirman :

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي

(artinya): “Dan jika hamba-Ku bertanya kepadamu tentang-Ku, maka sesungguhnya Aku amat dekat dan Aku mengabulkan orang yang berdo’a jika dia berdo’a kepada-Aku”. (QS. Al Baqarah: 186)

Bahkan Allah Ta’ala mengolok-olok orang-orang yang lalai lagi bodoh ketika menjadikan sebagian hamba-Nya sebagai wasilah, padahal orang-orang shalih tersebut butuh pada wasilah berupa ketaatan (amalan shalih) kepada-Nya dan tidak ada cara lain yang bisa mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala :

أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ

(artinya): “Mereka orang-orang yang diseru juga mencari wasilah menuju kepada Robb-Nya! siapa yang lebih dekat (kepada Allah- red) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan adzab-Nya”. (QS. Al Isra’: 58) d. Kaum Salafi & Wahabi tidak mau menerima pembagian bid'ah menjadi dua (sayyi'ah/madzmumah & hasanah/mahmudah) karena menurut mereka setiap bid'ah adalah kesesatan, padahal Imam Syafi'I (ulama salaf) telah menyatakan pembagian itu dengan jelas, dan pendapatnya ini disetujui oleh mayoritas ulama setelah beliau.

EMPAT IMAM SEPAKAT BAHWA SEGALA KEBID'AHAN DIDALAM AGAMA INI ADALAH SESAT

Berkata Al Imam Abu Hanifah Rahimahullah :... Lihat Selengkapnya
عليك بالأثر وطريق السلف وإياك وكل محدثة فإنها بدعة
"Wajib atasmu berpegang dengan jejak dan jalan As Salaf, dan hati-hati akan segala pengada-adaan (didalam agama) karena itu adalah bid'ah." (I'tiqad Al Aimah Al Arba'ah, Al Khumais)

Berkata Al Imam Malik Rahimahullah :
: "من ابتدع في الإسلام بدعة يراها حسنة ، فقد زعم أن محمدا – صلى الله عليه وسلم- خان الرسالة ، لأن الله يقول :{اليوم أكملت لكم دينكم}، فما لم يكن يومئذ دينا فلا يكون اليوم دينا"
”Barangsiapa yang membuat bid’ah didalam Islam dan memandangnya sebagai kebaikan, maka sungguh ia telah menuduh Muhammad Shallallaahu ’alaihi wa sallam mengkhianati risalah. Hal itu karena Allah telah berfirman : ”Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian”. Maka apa saja yang pada hari itu (di zaman Nabi dan para Shahabatnya) bukan merupakan bagian dari agama, maka begitu pula pada hari ini bukan menjadi bagian dari agama” (Al I’tisham, Asy Syathibi)

Berkata Al Imam Asy Syafi'i Rahimahullah :
مَن اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ
“Barangsiapa yang menganggap baik sesuatu (bid'ah / menurut pendapatnya), sesungguhnya ia telah membuat syari’at (baru).” (Al Mankhul, Al Ghazali)

Berkata Al Imam Ahmad Rahimahullah :
أصول السنة عندنا التمسك بما كان عليه أصحاب الرسول - صلى الله عليه وسلم - والاقتداء بهم وترك البدع- وكل بدعة فهي ضلالة وترك الخصومات والجلوس مع أصحاب الأهواء
"Prinsip-prinsip As Sunnah disisi kami adalah berpegang teguh dengan apa yang diatasnya para Shahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan meneladani mereka, meninggalkan bid'ah dan setiap bid'ah merupakan kesesatan, dan meninggalkan percekcokan dan duduk bermajlis dengan pengekor hawa nafsu." (Ushul As Sunnah, Ahmad)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar