Minggu, 16 Mei 2010

MARI MENGENAL SALAH SATU SIFAT ALLAH :NUZUL ILAHI, TURUNNYA ALLAH KE LANGIT TERRENDAH

Allah turun ? Ya, demikianlah salah satu sifat Allah yang diberitakan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kepada umatnya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Tuhan kita turun ke langit terrendah pada setiap malam yaitu pada sepertiga malam terakhir. Kemudian Allah berfirman, “Barangsiapa (di antara hamba-hamba-Ku) yang berdo’a kepada-Ku niscaya Aku kabulkan. Barangsiapa yang meminta kepada-Ku niscaya aku beri. Dan barangsiapa yang meminta ampunan kepada-Ku niscaya Aku ampuni.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Saudaraku, di dalam hadits yang mulia ini Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengabarkan kepada kita sebuah perkara ghaib, yaitu tentang salah satu sifat Allah subhanahu wa ta’ala. Adapun kewajiban kita bukanlah mempertanyakan bagaimanakah cara turunnya Allah. Akan tetapi kewajiban kita adalah mengimaninya. Kita harus mengimani bahwa Allah benar-benar turun ke langit terrendah pada setiap malam di sepertiga malam terakhir dan menyerukan,“Barangsiapa (di antara hamba-hamba-Ku) yang berdo’a kepada-Ku niscaya Aku kabulkan. Barangsiapa yang meminta kepada-Ku niscaya aku beri. Dan barangsiapa yang meminta ampunan kepada-Ku niscaya Aku ampuni.”
Subhaanallaah…Ini merupakan sebuah sifat yang sangat agung yang dimiliki oleh Allah jalla jalaaluhu.

Beberapa Pelajaran Berharga
Syaikh Shalih Al Fauzan hafizhahullah berkata, ”…Di dalam hadits ini terdapat penetapan sifat Nuzul ilahi (turunnya Allah). Dan sifat ini merupakan salah satu sifat perbuatan (yang dimiliki Allah). Di dalam hadits tersebut juga terkandung penetapan ketinggian Allah ta’ala. Alasannya ialah karena yang disebut turun itu ialah peralihan dari ketinggian (ke arah bawah). Dan di dalamnya juga terkandung bantahan bagi orang-orang yang menyelewengkan makna Sifat turun dengan menyatakan bahwa makna Sifat turun adalah turunnya rahmat atau perintah Allah. Sebabnya yaitu karena pada asalnya suatu kalimat itu dipakai secara apa adanya tanpa ada unsur kalimat yang dihapus.
Alasan lainnya adalah karena di dalam hadits ini Allah berfirman, “Barangsiapa yang berdo’a kepada-Ku niscaya Aku kabulkan”
Nah, apakah masuk akal apabila ditafsirkan bahwa yang berbicara itu adalah rahmat atau perintah Allah ?! Di dalam hadits tersebut juga terdapat penetapan sifat Al Kalam (berbicara) yang dipunyai oleh Allah Ta’ala. Karena di dalamnya disebutkan, “Maka kemudian Allah berfirman, dst” Di dalamnya juga terkandung penetapan bahwa Allah Yang Maha suci memiliki sifat memberi, mengabulkan do’a dan mengampuni dosa, dan sifat-sifat itu adalah termasuk dalam kategori Shifatul af’aal (perbuatan Allah, bukan Shifat Dzatiyah)…” (Syarh ‘Aqidah Wasithiyah, hal. 80)

Jalinan antara Akidah dan Ibadah
Hadits ini merupakan hadits yang sangat agung. Sehingga Imam Bukhari rahimahullah mencantumkannya di dalam kitab Shahihnya di Kitab Tauhid dalam bab firman Allah ta’ala (yang artinya), “Mereka ingin merobah firman Allah.” dengan nomor hadits 7494. Sedangkan Imam Muslim rahimahullah mencantumkannya di dalam Kitab Shalatnya para musafir pada bab''Dorongan Agar Berdo’a dan Berdzikir pada Waktu Akhir Malam'', dengan nomor hadits 758. Lihatlah betapa indahnya hadits ini. Hadits ini bukan semata-mata berbicara tentang persoalan akidah yang harus kita yakini dengan kokoh di dalam hati. Akan tetapi hadits ini juga menyiratkan sebuah pelajaran lain yaitu hendaknya seorang hamba berusaha untuk bangkit dari pembaringannya dan berdo’a kepada Tuhannya. Di saat suasana malam yang gelap gulita dan hawa dingin menusuk-nusuk kulit, maka itulah saatnya bagi hamba-hamba yang haus akan ampunan dan haus akan berbagai macam kebutuhan untuk tegak berdiri, ruku’ dan tersungkur sujud di hadapan Tuhannya.
Allahu akbar, inilah karunia, inilah kesempatan emas yang dilalaikan banyak umat manusia. Sebagian besar di antara manusia asyik dibuai dengan mimpi dan bertahan di balik pertahanan selimut yang begitu kokoh dan terjebak di atas perangkap kasur yang empuk. Ya Rabbi, alangkah tidak pandai bersyukurnya hamba-Mu ini. Di saat Engkau turun dan membuka kemurahan dan pintu ampunan, hamba justru menutup mata dan sibuk dengan khayalan-khayalan. Di saat Engkau di atas sana membuka, kami yang dibawah sini justru menutup mata dan telinga… Laa haula wa laa quwwata illaa billaah.

Bantahan untuk Ahli ta’wil
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Makna dari kata nuzul/turun ialah turunnya diri Allah Yang Maha suci secara hakiki yang sesuai dengan keagungan-Nya. Dan tata cara turunnya itu tidak diketahui kecuali oleh Allah sendiri. Kaum yang menyimpangkan sifat-sifat (Ahlut ta’wil) menafsirkan bahwasanya makna dari kata turun adalah turunnya perintah Allah. Kita bantah tafsiran mereka ini dengan alasan-alasan berikut :
1. Penafsiran tersebut telah menyimpang dari penunjukan lahiriyah yang ada pada nash/dalil dan juga menyelisihi kesepakatan ulama Salaf.
2. Turunnya perintah Allah itu terjadi pada setiap waktu dan tidaklah dikhususkan hanya pada saat sepertiga malam terakhir saja.
3. Dan juga karena ‘perintah’ tidak mungkin bisa mengatakan, “Barangsiapa yang berdo’a kepada-Ku maka Aku akan kabulkan, dst.”

Dan turunnya Allah ke langit terrendah tidaklah bertentangan dengan sifat ketinggian yang dimiliki-Nya. Karena tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Allah. Dan turunnya Allah itu juga tidak bisa dianalogikan sebagaimana turunnya makhluk-makhluk ciptaan-Nya.” (Mudzakkirah ‘alal ‘Aqidah Al Wasithiyah, hal. 42-43)

Inilah akidah Salaf.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Syafi’i rahimahullahu ta’ala, “Aku beriman kepada Allah serta kepada segala hal yang berasal dari Allah sesuai dengan apa yang diinginkan oleh Allah. Dan aku beriman kepada Rasulullah serta kepada segala hal yang berasal dari Rasulullah sesuai dengan apa yang diinginkan oleh Rasulullah.”Mereka tidak merobah-robah ayat dan hadits, baik lafadz maupun maknanya. Karena tindakan merobah-robah semacam ini merupakan perbuatan kaum Ahlul Kitab yang telah dicela di dalam banyak ayat Al Qur’an. Karena mereka itu yuharrifuunal kalima ‘an mawaadhi’ih. Mereka simpangkan ucapan-ucapan (ayat Allah) dari tempat-tempat yang semestinya. Inilah ciri khas dan karakter yang melekat pada kaum Yahudi dan diikuti oleh sebagian kelompok-kelompok sesat yang ada di dalam tubuh umat Islam seperti kaum Mu’awwilah (tukang ta’wil) ini. Mereka mengatakan bahwa yang dimaksud Allah turun ialah turunnya perintah-Nya atau turunnya rahmat-Nya. Padahal sudah jelas disebutkan bahwa yang turun adalah diri Allah ta’ala. Adakah tindakan tajhil (pembodohan) dan tabdil (penggantian) yang lebih parah dari ulah mereka ini ?

Bagaimana mungkin mereka bisa menafsirkan demikian padahal Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah menafsirkan bahwa makna turunnya Allah adalah turunnya perintah-Nya. Demikian juga para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in tidak pernah menafsirkan dengan model penafsiran semacam itu. Padahal mereka adalah orang-orang terbaik di atas muka bumi yang paling paham tentang hadits-hadits Rasulullah. Lalu darimanakah datangnya ilham tafsiran seperti itu kalau bukan dari …. Inilah tindakan tajhil (pembodohan). Mereka telah menganggap para sahabat bodoh tentang tafsiran hadits ini, sementara mereka kaum Mu’awwilah itulah yang bisa mengetahuinya. Duhai, alangkah buruk persangkaan mereka ini. Sehingga akibat tindakan tajhil inilah mereka berani melakukan tabdil (mengganti makna) terhadap arti-arti hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menurut keinginan hawa nafsu mereka. Tidakkah mereka sadar bahwa sesungguhnya mereka tengah berhadapan dengan ketegasan dalil dan konsensus ulama Salaf ?! Padahal Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda, “Umatku ini tidak akan pernah bersepakat di atas kesesatan.” (HR. Abu Dawud no. 4353 dan Tirmidzi no. 2167, dan ini adalah lafadznya. Di dalam rantai sanadnya terdapat kelemahan, akan tetapi hadits ini juga muncul dari beberapa jalan yang saling menguatkan satu sama lain. Dan ia juga memiliki pembantu-pembantu (syawahid) yang mendukung maknanya. Lihat Al Mu’tabar karya Az Zarkasyi hal. 57, As Sunnah karya Ibnu Abi ‘Ashim (1/41), demikian kata Syaikh Abdullah bin Shalih A Fauzan, Al Waraqat hal. 196, lihat juga Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah, hal. 168)

Jalan Ahlus Sunnah
Ketahuilah saudaraku, semoga Allah merahmatimu, sesungguhnya cara yang ditempuh oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam mengimani nama-nama dan sifat-sifat Allah ialah : Menetapkan segala sesuatu yang ditetapkan oleh Allah di dalam Al Qur’an untuk diri-Nya sendiri atau yang ditetapkan-Nya melalui lisan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam tanpa melakukan tahrif (penyelewengan), tanpa ta’thil (penolakan), tanpa takyif (membagaimanakan) dan tanpa tamtsil (menyerupakan) (lihat Mudzakkirah ‘alal ‘Aqidah Wasithiyah, hal. 6) Hukum melakukan tahrif, ta’thil, takyif dan tamtsil adalah haram. Di antaranya ada yang tergolong tindak kekufuran dan ada pula yang termasuk dalam kesyirikan. Maka dalam hal sifat Nuzul inipun kita tidak boleh melakukan hal-hal terlarang itu. Kita imani bahwa Allah memiliki sifat turun secara hakiki, tanpa menyelewengkan maknanya, tanpa menolak maksud atau teks lafadznya, tanpa menentukan tata cara turunnya (karena tidak ada dalil yang menerangkannya) dan tanpa menyerupakan turunnya Allah dengan turunnya makhluk. Kenapa demikian ? Karena Allah ta’ala telah berirman (yang artinya), “Tiada sesuatupun yang serupa dengan Allah, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha melihat.” (QS. Asy Syura [42] : 11)

Lihatlah ayat yang mulia ini. Di dalamnya terdapat beberapa pelajaran berharga bagi kita, yang bisa kita simpulkan dalam beberapa poin berikut yaitu :
Pertama, Allah menyatakan bahwa tidak ada sesuatupun yang serupa persis dengan Allah.Kedua, Allah juga menyatakan bahwa Dia adalah As Samii’ (Maha mendengar) dan Al Bashiir (Maha melihat). Ketiga, ini menunjukkan bahwa Allah memiliki sifat mendengar dan melihat.Keempat, namun sifat mendengar dan melihat yang ada pada Allah tidak serupa dengan makhluk. Dengan demikian Allah itu memiliki sifat-sifat yang kita pahami maknanya namun hakikat kaifiyah atau tata caranya tidak kita ketahui dan tidak serupa dengan sifat-sifat yang ada pada makhluk. Dengan poin pertama kita telah menyelamatkan diri dari terjerumus dalam tindakan tamtsil (penyerupaan persis). Dengan poin kedua dan ketiga kita telah menyelamatkan diri dari tindakan ta’thil (penolakan). Dengan poin keempat kita menyelamatkan diri dari tindakan tasybih (penyerupaan). Maka demikian pula sikap kita dalam mengimani sifat turunnya Allah. Kita imani Allah memiliki sifat turun. Akan tetapi turunnya Allah tidak sama dengan turunnya makhluk.

Bumi ‘kan bulat ?!
Namun kemudian apabila ada yang bertanya : Bukankah bumi itu bulat, dan malam yang terjadi di bumi itu berbeda-beda di satu tempat dengan tempat yang lain sedangkan Allah turun pada sepertiga malam terakhir, apakah dengan begitu berarti Allah terus menerus turun di sepanjang malam ke langit yang terrendah ? Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah menjawab, “Yang wajib bagi kita adalah mengimani Sifat dan Nama yang ditetapkan Allah bagi diri-Nya sendiri di dalam kitab-Nya dan ditetapkan melalui lisan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam tanpa sikap tahrif, tanpa ta’thil, tanpa takyif dan tanpa tamtsil. Hakikat tahrif itu terarah pada dalil sedangkan hakikat ta’thil itu terarah pada keyakinan, dan takyif ialah dalam hal sifat/bentuk atau tata caranya. Adapun hakikat tamtsil ialah juga terfokus dalam hal sifat, hanya saja tamtsil itu lebih sempit cakupannya daripada takyif, karena tamtsil itu adalah takyif yang yang dikaitkan dengan suatu objek tertentu yang dijadikan sebagai bahan penyerupaan. Oleh sebab itu akidah kita harus bersih dari empat perkara terlarang tersebut.”

Beliau melanjutkan, “Dan seorang insan wajib untuk menahan dirinya agar tidak menanyakan “Mengapa demikian?” atau “Bagaimana bentuknya?” dalam hal-hal yang berkaitan dengan Nama-Nama dan Sifat-Sifat Allah. Dan juga hendaknya dia menahan diri untuk tidak berpikir tentang kaifiyah. Dengan menempuh jalan inilah seorang insan akan menemukan ketenangan. Seperti inilah sikap yang ditempuh oleh para ulama Salaf rahimahumullah. Sehingga pernah ada seorang lelaki yang datang kepada Malik bin Anas rahimahullah dan menanyakan, “Wahai Abu Abdillah, “Ar Rahman bersemayam di atas ‘Arsy.” Lalu bagaimanakah bersemayamnya ? Maka Imam Malik pun menundukkan kepala dan tubuhnya berkeringat. Kemudian beliau mengatakan, “Bersemayam sudah dipahami artinya, tata caranya tidak diketahui akal, beriman tentangnya adalah wajib adapun mempertanyakan tentang bagaimananya adalah bid’ah. Dan dalam pandangan saya anda adalah seorang pembuat bid’ah.” Sedangkan orang ini yang mengatakan bahwa Allah turun ke langit terendah ketika tersisa sepertiga malam terakhir pada setiap malam maka konsekuensinya adalah Allah turun sepanjang malam ke langit terrendah karena malam itu berputar menyelimuti semua bagian bumi, sehingga sepertiga malam itu akan terus mengalami peralihan dari satu tempat ke tempat yang lainnya. Maka jawaban yang kami berikan kepadanya adalah : Pertanyaan semacam ini tidak pernah ditanyakan oleh para Shahabat ridhwanullaahi ‘alaihim. Kalau seandainya pikiran ini terbetik dalam hati seorang mukmin yang pasrah niscaya Allah dan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam akan menerangkannya. Dan kami katakan bahwasanya selama di suatu arah (belahan bumi tertentu) terjadi sepertiga malam terakhir maka ketika itu pula peristiwa Nuzul itu benar-benar terjadi. Dan apabila malam telah berakhir maka peristiwa Nuzul itupun berakhir. Dan kita tidak mengerti bagaimanakah cara turunnya Allah. Dan ilmu kita juga tidak akan mampu meliputi keagungan Allah. Dan kita mengetahui bahwa tidak ada sesuatupun yang bisa diserupakan dengan Allah. Sehingga wajib bagi kita untuk bersikap pasrah dan mengucapkan, “Kami mendengar, kami imani, kami ikuti dan kami taati.” Inilah tugas kita bersama.” (Fatawa Arkanul Islam, hal. 94-95)

Wallahu a‘lam.

-----
Anda suka dengan Artikel ini ??
Dukung dakwah sederhana ini dengan membeli produk-produk dari kami.
------

Tidak ada komentar:

Posting Komentar