Jumat, 25 Juni 2010

Apakah Orang Haid, Nifas, dan Junub Boleh Membaca dan Menyentuh Al Quran? (Bagian Kedua)

21 Juni 2010 jam 17:31
(Lanjutan...)

http://abuhudzaifi.multiply.com/journal/item/189

Ust. Farid Nu'man


>>> Para Ulama Yang Membolehkan dan Alasannya

Golongan ini menyanggah pihak yang melarang. Berkata Imam Asy Syaukani Rahimahullah:

وروي عن ابن عباس ، والشعبي ، وجماعة منهم أبو حنيفة ، أنه يجوز للمحدث مسه ، وقد أوضحنا ما هو الحق في هذا في شرحنا للمنتقي ، فليرجع إليه

“Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Asy Sya’bi, dan segolongan dari mereka seperti Abu Hanifah, bahwa boleh bagi seorang yang behadats untuk menyentuh Al Quran, dan kami telah menjelaskannya dalam Al Muntaqa’ mana pendapat yang benar, silahkan merujuk ke sana.” (Fathul Qadir, 7/137) ternyata Imam Asy Syaukani termasuk yang menguatkan pendapat bolehnya menyentuh Al Quran bagi yang berhadats besar (Junub, Haid, dan Nifas) dan kecil.

Alasan-alasan golongan ini, adalah:

Pertama. Surat Al Waqi’ah ayat 79:

لا يَمَسُّهُ إِلا الْمُطَهَّرُونَ

“Tidak ada yang menyentuhnya kecuali yang suci.” (QS. Al Waqi’ah (56): 79)

Menurut mereka makna ayat ‘Tidak ada yang menyentuhnya’ tidaklah tepat jika kata ganti (dhamir) hu pada kata yamassuhu (menyentuhnya) diartikan menyentuh Al Quran, tetapi yang tepat hu di situ adalah kitab Lauh Mahfuzh, hal ini bisa diketahui ketika ayat tersebut digandengkan dengan ayat sebelumnya:

Sesungguhnya Al-Quran ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh), tidak menyentuhnya kecuali al muthahharun (orang-orang yang disucikan). (QS. Al Waqi’ah (56): 77-79)

Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma menafsirkan ayat: tidak menyentuhnya kecuali al muthahharun, yakni:

الكتاب الذي في السماء

“Kitab yang ada di langit.”

Al Muthahharun adalah malaikat. Ini juga pendapat para sahabat dan tabi’in kenamaan seperti: Anas, Mujahid, Ikrimah, Said bin Jubeir, Adh Dhahak, Abu Sya’tsa, Jabir bin Zaid, Abu An Nahik, Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, As Suddi, dan lainnya.

Sedangkan jika dikaitkan dengan kitab yang ada di dunia , maka tidak boleh menyentuhnya dari golongan Majusi dan munafiq, karena mereka najis. Ini dikatakan oleh Qatadah.

Ibnu Zaid menceritakan bahwa kafir Quraisy menyangka Al Quran diturunkan oleh golongan syetan, padahal tidak ada yang menyentuhnya kecuali al muthahharun. Sebagaimana firmanNya: Dan Al Quran itu bukanlah dibawa turun oleh syaitan- syaitan. Dan tidaklah patut mereka membawa turun Al Quran itu, dan merekapun tidak akan kuasa. Sesungguhnya mereka benar-benar dijauhkan daripada mendengar Al Quran itu. (QS. Asy Syu’ara 926): 210-212). Lalu Imam Ibnu Katsir mengomentari: “Perkataan Ini adalah perkataan yang bagus (jayyid) dan tidak keluar konteksnya dari perkataan-perkataan sebelumnya.”

(Lihat semua dalam Tafsir Al Quran Al ‘Azhim-nya Imam Ibnu Katsir, 7/544. Dar Ath Thayyibah Lin Nasyr wat Tauzi’)

Sementara dalam Fathul Qadir disebutkan:

(Tidak ada yang menyentuhnya kecuali al muthahharun) Al Wahidi berkata: “Kebanyakan Ahli tafsir mengatakan bahwa dhamir (kata ganti) tersebut dikembalikan kepada kitabul maknun (lauh mahfuzh), jadi artinya tidak ada yang menyentuh lauh mahfuzh kecuali al muthahharun, mereka adalah malaikat. Ada juga yang mengatakan: malaikat dan para rasul dari Bani Adam. (Tidak ada yang menyentuhnya) yaitu menyentuh secara hakiki (sebenarnya). Ada yang mengatakan: tidak ada yang menurunkannya kecuali al muthahharun. Dikatakan; tidak ada yang membacanya. Ada yang mengartikan kitabul maknun adalah Al Quran, maka dikatakan (tidak menyentuhnya kecuali al muthahharun) yakni orang yang suci dari hadats dan najis, demikian dikatakan Qatadah dan selainnya. Berkata Al Kalbi: “Orang-orang yang suci dari kesyirikan.” Berkata Rabi’ bin Anas: “Orang yang suci dari dosa dan kesalahan.” Berkata Muhammad bin Al Fadhl dan lainnya: (tidak ada yang menyentuhnya) yaitu tidak ada yang membacanya kecuali al muthahharun, yaitu orang-orang yang bertauhid. Berkata Al Fara’: tidak ada manfaat dan keberkahannya kecuali bagi al muthahharun, yaitu orang-orang beriman. Berkata Al Husein bin Al Fadhl: “Tidak ada yang tahu tafsir dan takwilnya kecuali orang yang disucikan oleh Allah dari syirik dan nifaq.” (Imam Asy Syaukani, Fathul Qadir, 7/137. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah juga ikut mengomentari ayat ini, katanya:

وأما قول الله سبحانه: (لا يمسه إلا المطهرون) فالظاهر رجوع الضمير إلى الكتاب المكنون، وهو وهو اللوح المحفوظ، لانه الاقرب، والمطهرون الملائكة، فهو كقوله تعالى: (في صحف مكرمة، مرفوعة مطهرة، بأيدي سفرة، كرام بررة) وذهب ابن عباس والشعبي والضحاك وزيد بن علي والمؤيد بالله وداود وابن حزم وحماد بن أبي سليمان: إلى أنه يجوز للمحدث حدثا أصغر من المصحف وأما القراءة له بدون مس فهي جائزة اتفاقا.

“Ada pun firman Allah Subhanahu: (Tidaklah menyentuhnya kecuali al muthahharun), maka menurut lahiriyahnya, dhamir (kata ganti) mesti dikembalikan al kitab al maknun , yaitu lauh mahfuzh, karena itu lebih dekat. Al Muthahharun adalah malaikat. Hal itu sebagaimana firmanNya: “ di dalam kitab-kitab yang dimuliakan, yang ditinggikan lagi disucikan, di tangan para penulis (malaikat), yang mulia lagi berbakti.” Dan, menurut Ibnu Abbas, Asy Sya’bi, Adh Dhahak, Zaid bin Ali, Muayyid Billah, Daud, Ibnu Hazm, Hammad bin Abi Sulaiman: bahwa BOLEH bagi orang berhadats kecil menyentuh mushaf. Ada pun membacanya tanpa menyentuh, adalah boleh menurut kesepakatan ulama.” (Fiqhus Sunnah, 1/57. Darul Kitab Al ‘Arabi)

Ada pun Imam Ibnu Hazm Rahimahullah, dengan gaya bahasanya yang tegas menolak jika ayat ini dijadikan dalil pengharamannya. Beliau berkata:

فَهَذَا لاَ حُجَّةَ لَهُمْ فِيهِ لاَِنَّهُ لَيْسَ أَمْرًا وَإِنَّمَا هُوَ خَبَرٌ. وَاَللَّهُ تَعَالَى لاَ يَقُولُ إلاَّ حَقًّا. وَلاَ يَجُوزُ أَنْ يُصْرَفَ لَفْظُ الْخَبَرِ إلَى مَعْنَى الأَمْرِ إلاَّ بِنَصٍّ جَلِيٍّ أَوْ إجْمَاعٍ مُتَيَقَّنٍ. فَلَمَّا رَأَيْنَا الْمُصْحَفَ يَمَسُّهُ الطَّاهِرُ وَغَيْرُ الطَّاهِرِ عَلِمْنَا أَنَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَمْ يَعْنِ الْمُصْحَفَ وَإِنَّمَا عَنَى كِتَابًا آخَرَ.

“Maka pada ayat ini, tidak terdapat hujjah (alasan) bagi mereka (untuk mengharamkannya), sebab di dalamnya tidak ada perintah, yang ada hanyalah pemberitaan (khabar). Allah Ta’ala tidaklah berfirman kecuali yang benar. Dan, tidak boleh merubah lafaz khabar (berita) kepada makna amr (perintah) kecuali ada dalil yang jelas atau ijma’ yang meyakinkan. Maka, ketika kami melihat ada orang yang suci dan tidak suci menyentuh mushaf, maka tahulah kami bahwa Allah ‘Azza wa Jalla tidaklah memaksudkan itu adalah mushaf, melainkan itu adalah kitab yang lain.” (Al Muhalla, 1/83. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Maka, inilah pandangan mayoritas ahli tafsir yang dimotori Abdullah bin Abbas Radhiallahu ‘Anhuma dan juga orang-orang utama dalam tafsir Al Quran pada masa tabi’in, seperti Said bin Jubeir, Mujahid, dan Adh Dhahak. Bahwa ayat itu sedang membicarakan Lauh Mahfuzh, dan al muthahharun adalah malaikat.

Tentang keunggulan tafsir Ibnu Abbas, maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah mendoakannya:

اللهم فقهه في الدين، وعلمه التأويل

“Ya Allah fahamkanlah dia ilmu agama dan ajarkanlah takwil (Al Quran) padanya.” (HR. Bukhari No. 75)

Tentang keunggulan tafsir Mujahid, maka Imam Sufyan Ats Tsauri mengatakan:

إذا جاءك التفسير عن مجاهد فحسبك به

“Jika datang kepadamu tafsir dari Mujahid maka itu cukuplah itu bagimu.” (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 1/10)

Maka, menurut golongan ini tidak benar berdalil dengan ayat ini untuk mengharamkan orang berhadats menyentuh Al Quran, dilihat dari dua hal:

- Makna yang lebih benar adalah tidak ada yang menyentuh Lauh mahfuzh kecuali para malaikat.

- Sekali pun benar diartikan tidak ada yang menyentuh Al Quran kecuali orang-orang suci, maka maksudnya adalah orang yang suci dari syirik dan munafik. Sebab mereka adalah najis aqidahnya. Ada pun orang mu’min selamanya adalah suci walau pun sedang berhadats, junub, dan haid: karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa sallam bersabda: Al Mu’min Laa yanjus (Orang beriman tidaklah najis), hal ini berlaku kapan saja.


Kedua, alasan pihak yang membolehkan adalah hadits bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

ولا يمس القرآن إلا طاهر

“Tidaklah menyentuh Al Quran kecuali orang suci.”

(HR. Ad Daruquthni No. 222, Al Baihaqi dalam Sunannya No. 412, 413, 1374, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ No. 7780)

Mereka menyanggahnya, bahwa makna orang suci di sini adalah orang yang suci aqidah dari kekafiran, sebagaimana ayat di atas.

Sebab, seorang yang beriman kepada Allah Ta’ala, baik laki-laki dan perempuan, baik dalam keadaan haid, junub, dan hadats, maka mereka selalu suci sesuaim keumuman hadits: Al Mu’min laa yanjus (orang beriman tidaklah najis). Kesucian mereka tidak hilang karena faktor-faktor ini, sebab keimanan mereka kepada Allah Ta’ala jauh lebih tinggi dan berharga dibanding halangan-halangan ini.

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengomentari hadits ini:

فالحديث يدل على أنه لا يجوز مس المصحف، إلا لمن كان طاهرا ولكن (الطاهر) لفظ مشترك، يطلق على الطاهر من الحدث الاكبر، والطاهر من الحدث الاصغر، ويطلق على المؤمن، وعلى من ليس على بدنه نجاسة، ولابد لحمله على معين من قرينة. فلا يكون الحديث نصا في منع المحدث حدثا أصغر من مس المصحف



“Hadits ini menunjukkan bahwa tidak boleh menyentuh mushaf kecuali bagi orang yang keadaan suci. Tetapi, ‘keadaan suci’ merupakan lafaz musytarak (memiliki banyak arti), secara mutlak makna tersebut kepada orang yang suci dari hadats besar, suci dari hadats kecil, dan secara mutlak juga makna suci itu untuk orang beriman, untuk orang yang badannya tidak terdapat najis, dan wajiblah mengembalikan makna tersebut kepada petunjuk (qarinah) makna spesifik. Maka, tidaklah hadits ini menjadi dalil dalam melarang orang berhadats kecil untuk menyentuh mushaf.” (Fiqhus Sunnah, 1/57)

Jadi, menurut Syaikh Sayyid Sabiq, kebolehan menyentuh mushaf hanya untuk yang berhadats kecil. Apa yang dikatakannya ini telah dikomentari oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani Rahimahullah dalam kitab Tamamul Minnah:

هذا الكلام اختصره المؤلف من كلام الشوكاني على الحديث في " نيل الأوطار " ( 1 / 180 - 181 ) وهو كلام مستقيم لا غبار عليه إلا قوله في آخره : " فلا يكون الحديث نصا في منع المحدث حدثا أصغر من مس المصحف " فإنه من كلام المؤلف ومفهومه أن الحديث نص في منع المحدث حدثا أكبر من مس المصحف وهو على هذا غير منسجم مع سياق كلامه لأنه قال فيه : " ولا بد لحمله على معين من قرينة " فها هو قد حمله على المحدث حدثا أكبر فأين القرينة ؟ فالأقرب - والله أعلم - أن المراد بالطاهر في هذا الحديث هو المؤمن سواء أكان محدثا حدثا أكبر أو أصغر أو حائضا أو على بدنه نجاسة لقوله صلى الله عليه وسلم : " المؤمن لا ينجس " وهو متفق على صحته والمراد عدم تمكين المشرك من مسه

“Perkataan ini beliau ringkas dari komentar Asy Syaukani terhadap hadits dalam Nailul Authar (1/180-181), dan ini merupakan perkataan yang benar dan tidak ada noda atasnya, kecuali perkataannya: “ Maka, tidaklah hadits ini menjadi dalil dalam melarang orang berhadats kecil untuk menyentuh mushaf.” Dari perkataan penulis (Syaikh Sayyid Sabiq) dan pemahamannya yang tersirat, menunjukkan bahwa hadits ini menjadi dalil larangan bagi yang berhadats besar untuk menyentuh mushaf. Dan, hal itu tidaklah selaras dengan hubungan kalimat beliau sendiri, karena dia telah mengatakan: “dan wajiblah mengembalikan makna tersebut kepada petunjuk (qarinah) yang spesifik.” Nah, disinilah beliau telah menafsirkan petunjuk (qarinah) itu adalah hadats besar. Lalu, manakah qarinah tersebut? Yang paling dekat –wallahu ‘alam- adalah maksud ‘orang keadaan suci’ dalam hadits ini adalah orang beriman, sama saja baik dia hadats besar, kecil, haid, dan di badannya terdapat najis, karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Orang beriman tidaklah najis,” hadits ini disepakati keshahihannya. Maksud hadits ini adalah larangan bagi orang musyrik untuk menyentuhnya (mushaf).” (Tamamul Minnah, Hal. 107)

Imam Asy Syaukani Rahimahullah menjelaskan:

لأن المطهر من ليس بنجس والمؤمن ليس بنجس دائمًا لحديث " المؤمن لا ينجس " وهو متفق عليه فلا يصح حمل المطهر على من ليس بجنب أو حائض أو محدث أو متنجس بنجاسة عينية بل يتعين حمله على من ليس بمشرك كما في قوله تعالى {إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ}

“Karena sesungguhnya ‘orang yang suci’ adalah yang tidak bernajis, dan orang beriman bukanlah najis selamanya, sesuai hadits: Al Mu’min laa yanjus (orang beriman tidaklah najis) hadits ini muttafaq ‘alaih. Maka, tidak benar mengartikan ‘orang yang suci’ untuk orang yang tidak junub atau tidak haid atau tidak berhadats atau yang terkena zat najis (najis ‘aini), tetapi maknanya adalah untuk orang yang bukan musyrik, sebagaimana firmanNya: “Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis.” (Nailul Authar, 1/206)

Imam Asy Saukani mengutip dari As Sayyid Al ‘Allamah Muhammad bin Ibrahim Al Wazir Rahimahullah:

إن إطلاق اسم النجس على المؤمن الذي ليس بطاهر من الجنابة أو الحيض أو الحدث الأصغر لا يصح لا حقيقة ولا مجازًا ولا لغة صرح بذلك في جواب سؤال ورد عليه فإن ثبت هذا فالمؤمن طاهر دائمًا فلا يتناوله الحديث سواء كان جنبًا أو حائضًا أو محدثًا أو على بدنه نجاسة .

“Sesungguhnya menggenaralisir penamaan najis untuk orang beriman yang sedang tidak suci dari junub, atau haid, atau hadats kecil dan besar, tidaklah benar secara hakikat, majaz, dan bahasa.” Beliau menjelaskan hal ini ketika menjawab pertanyaan yang sampai kepadanya. Jadi, benarlah hal ini, maka seorang mu’min adalah selalu suci, maka hadits tersebut tidaklah mencakup hal ini, sama saja apakah keadaan junub, haid, atau berhadats, atau pada badannya terkena najis.” (Ibid,1/207)

Renungan Seputar Hadits: Al Mu’min la Yanjus (orang beriman tidaklah najis)

Tertulis dalam Shahih Bukhari, pada Kitab Al Janaiz Bab Ghuslil Mayyit wa Wudhu’ihi bil Maa’i was Sidr :

وَحَنَّطَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ابْنًا لِسَعِيدِ بْنِ زَيْدٍ وَحَمَلَهُ وَصَلَّى وَلَمْ يَتَوَضَّأْ وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا الْمُسْلِمُ لَا يَنْجُسُ حَيًّا وَلَا مَيِّتًا وَقَالَ سَعِيدٌ لَوْ كَانَ نَجِسًا مَا مَسِسْتُهُ وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُؤْمِنُ لَا يَنْجُسُ

Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma sedang membalsem anak dari Said bin Zaid, dia memanggulnya dan menshalatkannya tanpa berwudhu lagi. Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma mengatakan: Seorang muslim tidaklah najis baik ketika hidup dan mati. Said berkata: seandainya dia najis tentulah saya tidak menyentuhnya. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: bahwa seorang mu’min tidaklah najis.”

Perhatikan teks di atas. Kita mengetahui bahwa bangkai -mayat manusia termasuk bangkai- adalah najis, tetapi dalam kisah di atas ada pengecualian bagi manusia, bahwa hidup dan matinya tetaplah suci. Oleh karena itu, Ibnu Umar meshalatkannya setelah dia membalsemkan dan menggendongnya, tanpa dia berwudhu lagi. Jika memang mayat manusia adalah najis, tentu itu membatalkan wudhu Ibnu Umar, ternyata tidak! Ini membuktikan bahwa manusia memang selamanya suci walau telah menjadi bangkai!

Masih dalam Shahih Bukhari, pada Kitab Al Ghusl Bab Al Junub Yakhruju wa Yamsyi fi Suuqi wa Ghairih:

لَقِيَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا جُنُبٌ فَأَخَذَ بِيَدِي فَمَشَيْتُ مَعَهُ حَتَّى قَعَدَ فَانْسَلَلْتُ فَأَتَيْتُ الرَّحْلَ فَاغْتَسَلْتُ ثُمَّ جِئْتُ وَهُوَ قَاعِدٌ فَقَالَ أَيْنَ كُنْتَ يَا أَبَا هِرٍّ فَقُلْتُ لَهُ فَقَالَ سُبْحَانَ اللَّهِ يَا أَبَا هِرٍّ إِنَّ الْمُؤْمِنَ لَا يَنْجُسُ

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menemuiku dan aku sedang junub, dia meraih tanganku lalu aku berjalan besamanya, sampai dia duduk dan saya lepaskan tangannya. Maka, saya datangi kuda saya lalu mandi. Kemudian saya datang dan beliau masih kedaan duduk. Beliau bersabda: “Dari mana saja engkau Ya Abu Hirr?” maka saya ceritakan kepadanya. Beliau bersabda: “Subhanallah! Wahai Abu Hirr, sesungguhnya seorang mu’min itu tidaklah najis.”

Perhatikan kisah ini. Walau pun dalam keadaan junub, seorang mukmin tetaplah suci, tidak najis. Ucapan nabi ini menganulir pemahaman yang dikira oleh Abu Hurairah bahwa orang junub itu najis. Maka, jika junub itu tetap suci, maka keadaan lainnya seperti haid, nifas, dan hadats kecil pun sama, tetaplah tidak mengubah keadaan mereka dari kesuciannya. Ringkasnya, seorang junub tetaplah suci, maka tak ada larangan baginya menyentuh Al Quran sebab Al Quran boleh dipegang oleh al muthahharun (yang suci), sebagaimana hal itu boleh pula bagi wanita haid, nifas, dan hadats kecil. Ini harus dikembalikan kepada bara’atul ashliyah (hukum asal segala sesuatu) ketika tidak adnaya larangan yakni boleh.

Bagaimana mungkin seorang muslim adalah najis karena hal-hal itu, yang dengan itu dia dilarang untuk menyentuh kitab sucinya sendiri? Padahal tubuh orang musyrik saja suci menurut jumhur. Tentang ayat yang berbunyi: “Sesungguhnya orang-orang muysrik itu najis.” Berkata Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah:

بِأَنَّ الْمُرَادَ أَنَّهُمْ نَجَسٌ فِي الِاعْتِقَادِ وَالِاسْتِقْذَارِ وَحُجَّتهمْ أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَبَاحَ نِكَاح نِسَاء أَهْلِ الْكِتَابِ

“Sesungguhnya maksud bahwa mereka najis adalah najis pada aqidahnya dan kotor. Alasan mereka (mayoritas ulama) adalah sesungguhnya Allah Ta’ala membolehkan menikahi wanita ahli kitab (Yahudi dan Nasrani). “ (Fathul Bari, 1/390)

Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan:

وَذَكَرَ الْبُخَارِيّ فِي صَحِيحه عَنْ اِبْن عَبَّاس تَعْلِيقًا : الْمُسْلِم لَا يَنْجُس حَيًّا وَلَا مَيِّتًا . هَذَا حُكْم الْمُسْلِم . وَأَمَّا الْكَافِر فَحُكْمه فِي الطَّهَارَة وَالنَّجَاسَة حُكْم الْمُسْلِم هَذَا مَذْهَبنَا وَمَذْهَب الْجَمَاهِير مِنْ السَّلَف وَالْخَلَف . وَأَمَّا قَوْل اللَّه عَزَّ وَجَلَّ : { إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَس } فَالْمُرَاد نَجَاسَة الِاعْتِقَاد وَالِاسْتِقْذَار ، وَلَيْسَ الْمُرَاد أَنَّ أَعْضَاءَهُمْ نَجِسَة كَنَجَاسَةِ الْبَوْل وَالْغَائِط وَنَحْوهمَا . فَإِذَا ثَبَتَتْ طَهَارَة الْآدَمِيّ مُسْلِمًا كَانَ أَوْ كَافِرًا ، فَعِرْقه وَلُعَابه وَدَمْعه طَاهِرَات سَوَاء كَانَ مُحْدِثًا أَوْ جُنُبًا أَوْ حَائِضًا أَوْ نُفَسَاء ، وَهَذَا كُلّه بِإِجْمَاعِ الْمُسْلِمِينَ كَمَا قَدَّمْته فِي بَاب الْحَيْض

“Imam Bukhari menyebutkan dalam Shahihnya, dari Ibnu Abbas secara mu’alaq (tidak disebut sanadnya): Seorang muslim tidaklah najis baik hidup dan matinya. Ini adalah hukum untuk seorang muslim. Ada pun orang kafir maka hukumnya dalam masalah suci dan najisnya adalah sama dengan hukum seorang muslim (yakni suci). Ini adalah madzhab kami dan mayoritas salaf dan khalaf. Ada pun ayat (Sesungguhnya orang musyrik itu najis) maka maksudnya adalah najisnya aqidah yang kotor, bukan maksudnya anggota badannya najis seperti najisnya kencing, kotorannya , dan semisalnya. Jika sudah pasti kesucian manusia baik dia muslim atau kafir, maka keringat, ludah, darah, semuanya suci, sama saja apakah dia sedang berhadats, atau junub, atau haid, atau nifas. Semua ini adalah ijma’ kaum muslimin sebagaimana yang telah lalu saya jelaskan dalam Bab Haid.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 2/87. Mawqi’ Ruh Al Islam) selesai

Hal ini sama dengan kenajisan haid, sesungguhnya yang najis adalah darah haid-nya, bukan wanitanya. Sebab, telah banyak riwayat yang shahih bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tetap bergurau bahkan mubasyarah (bercumbu) dikala isterinya haid.

Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu mengadu kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa orang Yahudi jika isteri mereka sedang haid, mereka tidak mau makan bersamanya dan tidak mau berkumpul dengan mereka di rumah. Maka turunlah ayat: “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran." Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh ..dst” (QS. Al Baqarah (2): 222)

Setelah itu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:

اصنعوا كل شيء إلا النكاح

“Lakukan apa saja (kepada mereka), kecuali menggaulinya.” (HR. Muslim No. 302, Ibnu Hibban No. 1362, Ahmad No. 12354, 13576)

Jadi, syariat Islam masih membolehkan untuk ‘melakukan apa saja’ tapi tidak sampai menggaulinya. Ada pun surat Al Baqarah ayat 222 di atas, maksud kalimat: .. hendaknya kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid.., adalah jangan berhubungan badan dengan mereka karena darah haid adalah kotoran dan najis. Demikian dikatakan para mufasir.

Imam Ibnu Katsir mengatakan: yakni jauhi kemaluan (Al Farj). Lalu beliau menambahkan:

ولهذا ذهب كثير من العلماء أو أكثرهم إلى أنه تجوز مباشرة الحائض فيما عدا الفرج.

“Oleh karenanya, banyak ulama atau mayoritas ulama berpendapat bahwa boleh bercumbu dengan isteri yang sedang haid, kecuali pada kemaluannya.” (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 1/585)

Hal ini langsung dipraktekan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, kata ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha:

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يأمرني فأغسل رأسه وأنا حائض، وكان يتكئ في حجري وأنا حائض، فيقرأ القرآن

“Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan saya dan saya mencuci kepalanya dan saya sedang haid, dia menyandarkan diri di kamar saya, dan saya sedang haid, lalu dia membaca Al Quran.” (HR. Muslim No. 297)

Dari Maimunah binti Al Harits Radhiallahu ‘Anha, katanya:

كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا أراد أن يباشر امرأة من نسائه أمرها فاتزرت وهي حائض

“Dahulu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam jika hendak bercumbu dengan isterinya, dia memerintahkan agar istrinya menggunakan kain sarung dan dia sedang haid.” (HR. Bukhari No. 303 dan Muslim No. 294) ada hadits serupa dari ‘Aisyah. (Bukhari No. 300 dan Muslim No. 293)

Maka jelaslah kesucian tubuh wanita haid, sebab yang najis adalah darahnya. Selesai.

Ketiga. Pihak yang membolehkan juga menyanggah pendalilan dengan hadits shahih riwayat Imam Muslim, tentang larangan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membawa Al Quran ke negeri musuh (kafir). Larangan ini disebabkan khawatir mereka akan mencela Al Quran sebagaimana disebutkan dalam riwayat lain, bukan karena menyentuhnya.

Bagi mereka, justru ini menjadi dalil bagi pihak mereka (yang membolehkan). Sebab, larangan nabi sangat jelas, yakni jangan Al Quran di bawa ke negeri kafir. Kenapa? Karena mereka najis aqidahnya. Hal ini sesuai dengan pemahaman bahwa: janganlah menyentuhnya kecuali orang-orang suci yaitu janganlah menyentuh Al Quran kecuali orang yang suci dari kekafiran, kesyirikan, dan kemunafikan. Larangan ini bukan larangan dibawanya Al Quran ke daerah muslim yang penduduknya sedang junub, haid, dan nifas. Maka, jangan samakan antara penduduk muslimin yang sedang junub, haid, dan nifas, dengan penduduk kaum kafirin.

Imam Asy Syaukani Rahimahullah menjelaskan:

ولحديث النهي عن السفر بالقرآن إلى أرض العدو ولو سلم صدق اسم الطاهر على من ليس بمحدث حدثًا أكبر أو أصغر فقد عرفت أن الراجح كون المشترك مجملًا في معانيه فلا يعين حتى يبين

“Hadits yang melarang bepergian membawa Al Quran ke negeri musuh walau dalam keadaan aman, justru membenarkan bahwa penaman ‘suci’ bukan hanya kepada orang yang sedang tidak hadats, baik hadats besar atau kecil. Anda telah mengetahui bahwa pendapat yang paling kuat adalah menjadikan makna-makna yang termasuk di dalamnya secara global, tidak boleh mengkhususkan maknanya kecuali adanya penjelasan tentang hal itu.” (Nailul Authar, 1/206)

Tentang hadits ini, berkata Imam Abu Muhammad bin Hazm Rahimahullah dalam kitabnya yang terkenal, Al Muhalla:

فَهَذَا حَقٌّ يَلْزَمُ اتِّبَاعُهُ وَلَيْسَ فِيهِ أَنْ لاَ يَمَسَّ الْمُصْحَفَ جُنُبٌ, وَلاَ كَافِرٌ. وَإِنَّمَا فِيهِ أَنْ لاَ يَنَالَ أَهْلُ أَرْضِ الْحَرْبِ الْقُرْآنَ فَقَطْ.

“Maka, ini benar dan wajib kita mengikutinya, tetapi di dalamnya tidak ada larangan menyentuh mushaf bagi orang junub dan tidak pula bagi orang kafir. Yang ada hanyalah jangan sampai Al Quran jatuh ke tangan penduduk ahlul harbi (kaum kafir yang memerangi kaum muslimin, pen).” (Al Muhalla, 1/8. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Apa yang dikatakan Imam Ibnu Hazm ini cukup telak, karena memang dalam hadits ini Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyebut dengan istilah ardhul ‘aduw (negeri musuh), yang berarti ada dua kemungkinan, pertama, mereka dalam keadaan berperang, kedua, atau bisa juga mereka kaum yang membenci , walau dalam keadan damai, maka mereka tetap di sebut musuh.

Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, katanya:

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم نهى أن يسافر بالقرآن إلى أرض العدو، مخافة أن يناله العدو.

Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang bepergian dengan Al Quran ke negeri musuh, khawatir musuh akan mencelanya.” (HR. Muslim No. 1869, Ibnu Majah No. 2879, Ibnu Hibban No. 4715)

Jadi, alasan dilarangnya membawa mushaf ke negeri musuh adalah khawatir Al Quran akan dijadikan bahan caci-makian mereka. Oleh karena itu, Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan:

النَّهْي عَنْ الْمُسَافَرَة بِالْمُصْحَفِ إِلَى أَرْض الْكُفَّار لِلْعِلَّةِ الْمَذْكُورَة فِي الْحَدِيث ، وَهِيَ خَوْف أَنْ يَنَالُوهُ فَيَنْتَهِكُوا حُرْمَته ، فَإِنْ أُمِنَتْ هَذِهِ الْعِلَّة بِأَنْ يَدْخُل فِي جَيْش الْمُسْلِمِينَ الظَّاهِرِينَ عَلَيْهِمْ فَلَا كَرَاهَة وَلَا مَنْع مِنْهُ حِينَئِذٍ لِعَدَمِ الْعِلَّة ، هَذَا هُوَ الصَّحِيح ، وَبِهِ قَالَ أَبُو حَنِيفَة وَالْبُخَارِيّ وَآخَرُونَ

“Dilarang berpergian membawa mushaf ke negeri kafir dengan ‘ilat (alasan) yang telah disebutkan dalam hadits. Yaitu, takut mereka akan mencaci dan memaki kehormatannya. Jika keadaan telah aman dari itu, karena pasukan muslimin telah menang melawan mereka, maka tidak makruh dan tidak dilarang ketika ‘ilat-nya sudah tidak ada. Inilah yang benar. Inilah pendapat Abu Hanifah, Al Bukhari, dan lainnya.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/342. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Demikianlah, dalil ini pun telah dikoreksi dengan baik oleh golongan yang membolehkan. Wallahu A’lam

Sebagaimana pihak yang melarang, pihak yang membolehkan pun bertingkat-tingkat:

- Membolehkan hadats kecil saja, tapi tidak pada hadats besar. Ini pendapat Syaikh Sayyid Sabiq.

- Membolehkan secara mutlak kepada semua, baik hadats kecil (belum berwudhu), atau hadats besar, seperti haid, nifas, dan junub. Inilah pendapat Ibnu Abbas, Asy Sya’bi, Abu Hanifah, Daud Azh Zhahiri, Ibnu Hazm, Asy Syaukani, Syaikh Al Albani, dll

Dalam pandangan kami -Wallahu A’lam- apa yang dikatakan oleh pihak yang membolehkan, baik membolehkan MEMBACA atau MENYENTUH, dalam keadaan hadats kecil, haid, nifas, dan junub, adalah pendapat yang lebih kuat baik dari sisi tsubut (kekuatan riwayat) dan dalalah (implikasi/penunjukan) hukumnya. Sedangkan pandangan yang melarang, sudah dikoreksi satu per satu oleh pihak yang membolehkan.

(pembahasan tentang wanita haid, nifas, orang junub, bolehkah berdiam di masjid, sudah pernah kami bahas di abuhudzaifi.multiply.com, atau pada buku Yas’alunaka ‘An)

Semoga bermanfaat. Wallahu A’lam

Daftar Pustaka:



1. Al Quran Al Karim

2. Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, karya Imam Ibnu Katsir

3. Fathul Qadir, karya Imam Asy Syaukani

4. Ahkamul Quran, karya Imam Ibnul ‘Arabi Al Maliki

5. At Tibyan fi Adab Hamalatil Quran, karya Imam An Nawawi

6. Studi Ilmu- Ilmu Al Quran, karya Syaikh Manna’ Khalil Al Qattan, Litera Antar Nusa

7. Shahih Bukhari, karya Imam Al Bukhari

8. Shahih Muslim, karya Imam Muslim

9. Sunan At Tirmidzi, karya Imam At Tirmidzi

10. Sunan Ibnu Majah, karya Imam Ibnu Majah

11. As Sunan Al Kubra, karya Imam Al Baihaqi

12. Shahih Ibnu Hibban, karya Imam Ibnu Hibban

13. Sunan Ad Daruquthni, karya Imam Ad Daruquthni

14. Musnad Ahmad, karya Imam Ahmad bin Hambal. Tahqiq: Syaikh Syau’aib Al Arna’uth

15. Fathul Bari, karya Imam Ibnu Hajar Al ‘Asqalani

16. Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, karya Imam An Nawawi

17. Ikmal Al Mu’allim Syarh Shahih Muslim, karya Imam Al Qadhi ‘Iyadh

18. Tuhfah Al Ahwadzi, karya Syaikh Abdurrahman Al Mubarakfuri

19. Syarh Riyadush Shalihin, karya Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin

20. Nailul Authar, karya Imam Asy Syaukani

21. Mizanul I’tidal, karya Imam Adz Dzahabi

22. Tahdzibul Kamal, karya Imam Al Mizzi

23. Al Jarh wat Ta’dil, karya Imam Abu Hatim Ar Razi

24. At Taqribut Tahdzib, karya Imam Ibnu Hajar Al ‘Asqalani

25. Majma’ Az Zawaid, karya Imam Nuruddin Al Haitsami

26. Misykah Al Mashabih, karya Syaikh Al Albani

27. Tamamul Minnah, karya Syaikh Al Albani

28. Shahih wa Dhaiful Jami’, karya Syaikh Al Albani

29. Shahih wa Dhaif Sunan Ibni Majah, karya Syaikh Al Albani

30. Irwa’ul Ghalil, karya Syaikh Al Albani

31. Al Muhalla, karya Imam Ibnu Hazm

32. Fiqhus Sunnah, karya Syaikh Sayyid Sabiq

33. Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, karya Syaikh Wahbah Az Zuhaili

34. Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, karya para ulama Kuwait

35. Al Khulashah Al Fiqhiyah ‘Ala Madzhabis Saadah Al Malikiyah

36. Majmu’ Fatawa, karya Imam Ibnu Taimiyah

37. Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzah, karya Imam An Nawawi

38. Fatawa Nur ‘Alad Darb, karya Syaikh Ibnu Baz

39. Majmu’ Fatawa war Rasail, karya Syaikh Ibnu Al Utsaimin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar