Rabu, 09 Juni 2010

BENTUK GHIBAH YANG DIPERBOLEHKAN

“Ketahuilah bahwa perbuatan ghibah diperbolehkan untuk maksud yang benar dan syar’i, yang tidak memungkinkan untuk sampai pada tujuan tersebut kecuali dengan melakukan ghibah. Hal itu ada enam sebab, yaitu:

PERTAMA: AT-TAZHALLUM (PENGADUAN). Boleh bagi seseorang yang terzhalimi untuk mengadu kepada seorang penguasa atau seorang qadhi atau yang lainnya dari pihak-pihak yang memiliki kekuasaan atau kemampuan untuk berbuat sportif terhadap pihak yang menzhaliminya, dengan berkata: “Si Fulan telah menzhalimi saya dengan (perbuatan) ini”

KEDUA: PERMINTAAN TOLONG untuk merubah sebuah kemungkaran, dan mengembalikan seseorang yang berbuat kemaksiatan kepada kebenaran, dengan berkata kepada pihak yang diharapkan kemampuannya untuk menghilangkan kemungkaran tersebut: “Si fidan berbuat begini, maka laranglah dia dari perbuatan tersebut.” atau yang semisalnya. Yang menjadi maksud adalah upaya menghilangkan kemungkaran. Jika maksudnya selain itu maka haram.

KETIGA: AL-ISTIFTA’ (UPAYA MEMINTA FATWA), dengan cara berkata kepada sang mufti: “Ayahku atau saudaraku atau suamiku atau si fulan telah menzhalimi aku, apakah perbuatan itu boleh bagi dia? Dan bagaimana caranya aku bisa lepas dari (kezhaliman)nya serta mendapatkan kembali hakku dan mencegah kezhalimannya?” atau yang semisal itu. Maka perbuatan seperti ini adalah boleh hukumnya untuk suatu kepentingan tertentu. Walaupun yang lebih hati-hati dan lebih baik adalah dengan mengatakan: “Apa pendapatmu tentang seorang pria atau seorang tertentu, atau suami yang kondisinya seperti ini?” Karena sesungguhnya telah tercapai maksud dengannya tanpa menunjuk (hidung) secara langsung. Tetapi menunjuk secara langsung pun (dengan menyebut namanya) hukumnya boleh sebagaimana akan kami jelaskan dalam penjelasan tentang hadits Hindun. [Kemudian beliau menyebutkan sebab ke-4 yang dengannya seseorang diperbolehkan untuk menyebutkan aib atau kekurangan orang lain, dan tidak dikategorikan sebagai perbuatan ghibah.]

KEEMPAT: DALAM RANGKA MEMBERIKAN TAHDZIR (PERINGATAN KERAS) bagi kaum muslimin dari kejahatan dan memberikan nasehat kepada mereka. Hal ini bisa dilakukan dalam beberapa bentuk, di antaranya:
- Memberikan Jarh (Kritikan Pedas) terhadap pihak-pihak yang berhak mendapatkan Al-Jarh dari kalangan para perawi (hadits) serta para saksi. Ini hukumnya boleh berdasarkan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin. 16) Bahkan wajib untuk sebuah kepentingan. …
- Jika seseorang melihat seorang pelajar yang sering mendatangi seorang muhtadi’ (pengusung bid’ah) atau seorang fasik untuk menimba ilmu darinya. Kemudian dia mengkhawatirkan si pelajar tersebut terpengaruh karenanya, maka wajib atasnya untuk memberikan nasehat dalam bentuk penjelasan tentang kondisi orang (mubtadi’) tersebut , dengan syarat dia memaksudkan sebagai nasehat. Hal ini di antara perkara yang sering disalahpahami, karena mungkin saja yang mendorong dia untuk melakukan hal itu adalah kedengkian. Sehingga syaithan mengelabuhi dia dan menggambarkan bahwa itu adalah sebuah nasehat . Maka hendaknya dipahami perkara ini dengan baik.

KELIMA: SESEORANG YANG MENAMPAKKAN (SECARA TERANG-TERANGAN) KEFASIKAN DAN KEBID’AHANNYA … maka diperbolehkan penyebutan nama orang tersebut secara langsung dalam perkara-perkara yang dia menampakkannya secara terang-terangan. Namun diharamkan penyebutan nama orang tersebut dalam aib lain, selain yang ditampakkan secara terang-terangan tersebut. Kecuali ada alasan lain, dari yang telah kami sebutkan, yang membolehkan penyebutannya.

KEENAM: DALAM RANGKA PENGENALAN. Jika seseorang lebih dikenal dengan julukan tertentu, seperti Al-A’masy (si kurang awas/ si rabun), Al-A’raj (si pincang), Al-Asham (si tuli), Al-A’ma (si buta), Al-Ahwal (si juling), dan selain mereka; maka dibolehkan dalam upaya pengenalan kepada mereka dengan penyebutan (julukan-julukan) tersebut. Tapi diharamkan penyebutan julukan-julukan tersebut jika dalam bentuk pelecehan. 17)
Itulah enam sebab (diperbolehkannya ghibah) yang telah disebutkan oleh para ‘ulama. Mayoritas dari ke-enam point tersebut telah disepakati.
Riyadhus Sholihin – Imam Nawawi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar