Rabu, 09 Juni 2010

BERHUBUNGAN DENGAN LAWAN JENIS (Oleh: Ustadz Abu Umar Basyier)

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh. Ustadz yang dirahmati Allah, saya seorang akhwat 22 tahun, bulan Juni 2006 InsyaAllah usia saya genap 23 tahun, saya anak ke-3 dari 8 bersaudara.
Saya ingin bertanya pada ustadz:

1. Apakah termasuk dosa bila saya berhubungan/berkomunikasi lewat telpon atau e-mail dengan seorang ikhwan (teman lama/SMU), sedangkan yang dibicarakan tak jauh dari masalah kehidupan sehari-hari, terkadang saling berbagi informasi baik di bidang pendidikan, teknologi, maupun kesehatan. Tapi akhir akhir ini saya selalu teringat padanya dan begitu juga dengannya. Apakah hal ini juga dilarang dalam agama? Saya ingin untuk tidak berhubungan lagi dengannya tapi saya takut akan terputus tali silaturahmi dengannya.

2. Melihat usia saya yang kini jalan 23 tahun, keinginan untuk menikah itu ada tapi saya dihadapkan pada 2 masalah.

* Pertama saya ingin bekerja untuk membantu kedua orang tua saya. Bukannya saya kufur nikmat, tapi saya melihat ekonomi keluarga yang rasanya ingin sekali meringankannya walau hanya sedikit, saya ingin menyekolahkan 3 adik saya (SD, SMP, SMU) agar mereka sekolah lebih tinggi dari kakak-kakaknya, dan kelak dapat memperbaiki perekonomian keluarga.

* Kedua, kakak perempuan saya juga belum menikah. Saya merasa tidak enak untuk mendahuluinya menikah, walaupun dia pernah mengatakan “tidak masalah” tentang hal ini, tapi saya ingin menjaga perasaannya. Apa yang harus saya perbuat?

3. Bagaimana jika setelah menikah saya bekerja untuk menyekolahkan adik-adik dan membantu kedua orang tua, walaupun hal itu tidak diizinkan oleh suami, apakah itu termasuk dosa terhadap suami?

Saya mohon penjelasan dan solusi terbaik bagi saya dan keluarga saya.

Jazaakumullah khairan katsiir.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh

Herlina Zahra
herlina xxx@yahoo.com

_________________________

Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakaatuh

Alhamdulillah. Seorang wanita muslimah, memiliki batasan hijab yang juga membatasi segala aktivitasnya agar terlindungi dari maksiat dan kerusakan. Hijab, bukan sekadar lembaran pakaian yang menutup aurat seorang wanita muslimah, namun juga lembaran ketakwaan yang membatasi segala gerak-gerik, ucapan dan perilaku wanita muslimah.

Berkomunikasi dengan lawan jenis, boleh-boleh saja, asalkan hanya dalam batas yang memang diperlukan. Jangankan dengan lawan jenis, dalam segala hal saja, Umar bin Al-Khattab pernah mengatakan,
“Ucapan itu hanya ada empat, selain itu cuma sampah belaka. Pertama, membaca Al-Quran. Kedua, membaca hadits-hadits nabi. Ketiga, membaca ucapan-ucapan penuh hikmat dari para ulama. Keempat, berbicara hal yang penting, dalam soal keduniaan.”

Itu, bagi setiap muslim dan muslimah. Tidak layak seorang muslim atau muslimah mengobrol dalam soal-soal keseharian secara berlebihan, karena semua itu ibarat sampah yang seringkali mengandung kotoran dosa dan maksiat. Apalagi, antara seorang muslimah dengan seorang muslim, yang harus saling menjaga kehormatan masing-masing.

Memang, berbicara dengan lawan jenis diperbolehkan. Tapi para ulama, memberikan beberapa rambu, sesuai dengan berbagai nash dalam syariat yang ada.

Menahan Pandangan

Allah berfirman,
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya …”? (An-Nur: 30-31)

Menutup Aurat

Allah berfirman,
"… Dan janganlah mereka (wanita-wanita mukmin) menampilkan perhiasannya kecuali yang (biasa) nampak dari pandangan dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya …" (An-Nur: 31)

Artinya, bila harus berbicara dengan pria non mahram, seorang wanita muslimah harus menutup aurat sebatas yang dia yakini sebagai aurat, menurut dasar yang jelas.

Tenang dan Terhormat dalam Gerak-Gerik

Allah berfirman,
“… Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (Al-Ahzab: 32)

Di sini, yang perlu dihindari oleh wanita muslimah saat berbicara dengan pria non mahram adalah tutur kata yang dibuat-buat, yang dibikin supaya menarik, mendayu-dayu, mendesah-desah, atau dengan menggunakan suara yang diperindah, terlalu lemah lembut, dan sejenisnya. Bicaranya harus tegas, lugas dan seperlunya saja.

Serius dan Sopan dalam Berbicara

Allah berfirman,
“… Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (Al-Ahzab: 32)

Artinya, seorang muslimah tidak layak banyak bergurau dan bercanda saat berbicara atau membicarakan sesuatu dengan lawan jenisnya. Karena, canda dan tawa itu dapat mengundang ketertarikan pihak lawan jenis. Dan itu bahaya yang perlu dihindari sebisa mungkin.

Hindari Membicarakan Hal-hal yang Tidak Perlu

Segala yang bersifat darurat, haruslah dibatasi sebisa mungkin. Meski berbicara dengan lawan jenis tidak selalu merupakan hal darurat bagi seorang wanita muslimah, namun berbicara secara panjang lebar bisa menyudutkan seorang wanita muslimah dalam kedaruratan. Karena itu akan bisa menggiringnya untuk sedikit banyak menyentuh hal-hal yang dianggap kurang baik, atau bahkan dilarang dalam Islam. Oleh sebab itu, coba batasi ruas-ruas pembicaraan, dan hindari topik-topik yang tidak perlu dibahas. Karena, bagaimanapun, seorang wanita adalah godaan bagi kaum lelaki. Bahkan godaan terberat baginya dalam segala situasi dan kondisi.

Allah berfirman,
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu dalam salatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna”? (Al-Mukminun : 1-3)

Berbicara lewat telpon, boleh-boleh saja. Dalam hal ini, setidaknya dengan tingkat kecanggihan media telpon yang umum hingga saat ini, soal pandangan haram bisa nyaris dihindarkan sama sekali. Tapi soal adab-adab lain dalam berbicara, harus tetap diperhatikan.

Soal menikah, sama sekali tidak boleh dipandang ringan, apalagi mengingat usia Saudari yang sudah cukup matang, terutama salam soal kapasitas dan potensi seksual.

Sementara, soal memenuhi cita-cita Saudari agar bisa menyekolahkan adik-adik hingga jenjang pendidikan tertinggi, sama sekali tidak bisa disamakan tingkat urgensinya dengan menikah itu sendiri. Namun, juga bukan berarti dengan menikah, semua cita-cita itu akan terabaikan. Bulatkan saja tekad untuk menikah. Lalu, sebelum menikah, bicarakan hal ini dengan calon suami. Siapa tahu, dia malah bisa memberikan solusi atau bahkan memberi bantuan langsung demi hal yang Saudari cita-citakan itu. Karena cita-cita itu baik, InsyaAllah akan dimudahkan oleh Yang Maha Kuasa.

Melangkahi kakak untuk menikah, bukan masalah, asal dibicarakan secara baik. Apalagi jelas-jelas dia sudah memberikan lampu hijau. Karena ini soal jodoh yang artinya juga soal rezeki, tidak bisa dibatas-batasi siapa yang lebih dahulu dan siapa yang akan mendapat belakangan. Yang jelas, doakan saja agar saudara kandung Saudari juga mendapatkan jodoh yang baik, dalam waktu dekat.

Kalau sudah bersuami, maka seorang wanita haram memberikan sedekah sekalipun, tanpa izin suami. Bagi suami itu menjadi pahala, tapi bagi si istri menjadi dosa. Tapi, ini bukan soal haram atau tidak haram. Seyogyanya, semua itu –seperti diungkapkan di atas– dibicarakan dengan calon suami, sebelum menikah. Dan setelah menikah pun, coba persoalan itu diulas kembali. Suami yang baik, tentu akan mudah memahami hal itu. Kalau berkemampuan, apa salahnya membantu saudara sendiri? Toh, saudara istri sudah menjadi saudara suami juga. Jadi yang terpenting, jaga saja komunikasi, jangan bertindak atau melakukan hal-hal spesifik, tanpa bermusyawarah dengan suami. Semoga, Allah memberikan kemudahan bagi Saudari. Kami membantu dengan doa. Wallahu a’lam

Majalah Nikah Vol.5 No.6
http://maramissetiawan.wordpress.com/2007/03/17/berhubungan-dengan-lawan-jenis/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar