Minggu, 13 Juni 2010

--- Catatan Terhadap Syarah Nawaqidhul Islam --- [LANJUTAN...]

Demikian juga sujudnya Mu’adz kepada Nabi SAW setelah pulang dari Syam dalam rangka mengagungkan dan memuliakan. Lalu Nabi SAW mengingkarinya.

Mu’adz adalah termasuk ulama di kalangan sahabat yang ilmunya mendalam. Termasuk orang yang paling paham tentang tauhid dan syirik dan apa yang termasuk dan tidak termasuk ibadah. Nabi SAW mengakui pemahaman tersebut, yakni pemahaman makna ibadah yang sempit. Meskipun beliau mengingkari perbuatannya. Beliau SAW menjelaskan bahwa syariat Islam membatasi sujud hanya untuk Allah semata dan mengharamkan sujud kepada selain-Nya, sekalipun sujud tersebut tujuannya untuk memuliakan, mengagungkan atau menghormati. Sujud bukanlah ibadah. Hal itu karena wajibnya mengesakan Allah dalam beribadah merupakan hal yang sudah maklum bagi sahabat yang ilmu dan keutamaannya di bawah Mu’adz. Dan pemahaman tersebut telah tertanam secara mendalam sejak di Makkah. Maka tidak perlu lagi menekankannya di Madinah kecuali pada sedikit kesempatan. Apa lagi dengan ulama sahabat sekelas Mu’adz.

Seandainya perbuatan Mu’adz kesyirikan atau kekafiran pasti Nabi SAW menjelaskannya dan menamakannya dengan namanya serta mengingkarinya. Sebagaimana terjadi pada kisah Dzatu Anwath yang pada saat itu pengingkaran Nabi SAW sangat keras terhadap sekelompok sahabat yang baru masuk Islam, belum lama meninggalkan kekafiran dan kejahiliyahan. Beliau bersabda dengan nada keras: “Kalian mengatakan sebagaimana yang dikatakan kepada Musa: ‘Jadikan ilah untuk kami sebagaimana mereka juga memiliki ilah-ilah.’” Pengingkaran ini wajib ketika terjadinya kejahatan karena momen tersebut adalah waktu diperlukannya pennjelasan. Allah dan Rasul-Nya tidak boleh mengakhirkan penjelasan dari waktunya. Mustahil Allah akan mengingkari janji-Nya:
ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهُ
“Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya.” (QS. Al-Qiyaamah [75]: 19 )

Berdasarkan penelusuran kami terhadap kisah Mu’adz bin Jabal RA dan kisah-kisah semisalnya, seperti kisah Qais bin Sa’d bin Ubadah, sujudnya onta kepada nabi SAW, dan kisah seorang Arab badui dengan mengkaji pada jalur-jalur periwayatannya, sebagaimana yang kami kupas di lampiran, kami tidak mendapatkan satupun hadits baik shahih maupun dha’if, bahkan maudhu’ sekalipun yang menyebutkan bahwa Nabi SAW menamai perbuatan Mu’adz sebagai kesyirikan, kekafiran; atau beliau bersabda kepadanya: apakah engkau menjadikanku rabb atau ilah; atau bersabda: engkau telah menyembahku selain Allah atau engkau telah menjadikanku tandingan bagi Allah, atau ucapan-ucapan semacam itu, yang mirip atau hampir sama dari sisi hukumnya. Padahal beliau SAW mengatakan ucapan-ucapan semacam itu pada banyak kesempatan:

- Seperti ucapan beliau: “Apakah engkau menjadikanku tandingan bagi Allah?! Tapi ucapkanlah: atas kehendak Allah semata”, ketika beliau berkata kepada orang yang telah mengatakan: “Atas kehendak Allah dan kehendak Anda”, padahal ini hanyalah sekadar syirik lafzhiy, sebagaimana akan kami jelaskan, hukum mengatakan perkatan itu menurut pendapat yang paling shahih hanyalah makruh saja, bahkan tidak sampai haram.

- Tidak pula mengatakan sambil marah: “Ini sebagaimana perkataan kaum Musa: ‘Jadikan untuk kami ilah sebagaimana mereka juga memiliki ilah-ilah’. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Tirmidzi: dari Abu Waqid al-Laitsi bahwa ketika Rasulullah berangkat perang Hunain melewati sebuah pohon milik kaum musyrikin. Pohon itu namanya Dzatu Anwath, tempat menggantungkan senjata-senjata mereka. Para sahabat berkata: ‘Wahai Rasulullah, jadikan untuk kami Dzatu Anwath sebagaimana mereka juga memiliki Dzatu Anwath.’ Maka nabi menjawab: Subhaanallaah. Ini sebagaimana perkataan kaum Musa: ‘Jadikan untuk kami ilah sebagaimana mereka juga memiliki ilah-ilah’. Demi dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh kalian akan mengikuti jejak orang-orang sebelum kalian. Tirmidzi berkata: ini hadits hasan shahih.

- Tidak pula menyuruhnya mengucapkan dua kalimat syahadat dan tidak pula bentuk-bentuk kafarat yang lain, sebagaimana beliau pernah memerintahkan kepada orang yang lisannya salah ucap bersumpah dengan Laata dan Uzza, sebagaimana kebiasaan mereka di masa jahiliyah, beliau menyuruhnya minta ampun kepada Allah dan mengucapkan: laa ilaaha illallaah.

Bahkan beliau SAW bersabda: “Seandainya aku memerintahkan seseorang sujud kepada seseorang maka saya akan memerintahkan wanita untuk sujud kepada suaminya.” Ya, memang ini pengandaian yang tidak mungkin terjadi. Namun apakah bisa dibayangkan syirik dan kekafiran menjadi susuatu yang diperintahkan. Kami telah menjelaskan bahwa mustahil Allah meridhai kesyirikan dan kekafiran atau memerintahkannya?! Apakah Nabi tidak mampu mengatakan, misalnya: “Seandainya sujud kepada selain Allah bukan syirik atau kekafiran maka aku akan perintahkan wanita untuk sujud kepada suaminya”?!

Oleh karena itu pendapat kalian dan orang-orang semacam kalian jelas batilnya. Seperti Ali al-Halabiy, murid Syaikh Albani, ketika mengomentari kisah Mua’dz tersebut: “… Mu’adz tidak dikafirkan oleh Rasulullah SAW dan beliau menjelaskan kepadanya bahwa perbuatannya itu adalah kekafiran dan bahwasanya tidak seharusnya manusia sujud kepada manusia lain …” ini dikatakan dalam wawancara dengan majalah Al-Hadyu an-Nabawiy pada halaman 24 edisi ke 9 (Ramadhan 1417 H)!

Ya betul, Nabi SAW mengingkari perbuatan Mu’adz dan Nabi SAW juga menjelaskan bahwasanya tidak seharusnya manusia sujud kepada manusia lain!

Betul, ia tidak dikafirkan oleh Rasulullah SAW, bahkan tidak difasikkan (divonis fasik), tidak divonis berdosa, tidak diperintah membayar kafarat atau meminta ampun (istighfar)!

Apakah Nabi SAW tidak mampu mengatakan perbuatan itu merupakan kekafiran atau kesyirikan?! Atau berkata kepadanya: engkau telah menjadikanku rabb atau ilah; atau mengatakan: engkau telah menyembahku selain Allah atau engkau telah menjadikanku tandingan bagi Allah atau ucapan-ucapan semacam itu, yang mirip atau hampir sama dari sisi hukumnya?! Barangkali beliau SAW membiarkannya untuk “si jenius” Al-Halabiy agar mengoreksi beliau di akhir zaman?! Tidak, sama sekali tidak. Mustahil itu!!

Akan tetapi itu adalah pemahaman yang keliru dan dangkal terhadap firman Allah dan sabda Rasulullah SAW. Itu yang bisa diprediksi dari orang semacam Al-Halabiy dan murid-murid Albani lainnya yang sudah terkenal dengan pendapat yang bodoh, dangkal pikirannya bahkan mengikuti hawa nafsu dan tidak hati-hati dari berdusta dan menyelewengkan lafal dan teks dalil, atau malah itu merupakan -na’udzubillaah- kekafiran dan mendahului Allah dan Rasul-Nya!!

Lihatlah ini komentar Imam Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan firman Allah Ta’ala ( وَخَرُّوا لَهُ سُجَّداً ) bahwa sujud kepada selain Allah: Itu dibolehkan dalam syariat mereka. Apabila mereka mengucapkan salam kepada yang lebih tua mereka sujud kepadanya. Ini masih dibolehkan sejak jaman Nabi Adam sampai syariat Nabi Isa AS. Lalu itu diharamkan dalam agama ini (agama Muhammad SAW). Pada syariat Muhammad SAW Allah SWT menjadikan sujud khusus hanya untuk Allah SWT. (halaman 645 jilid 2 Tafsir Ibnu Katsir). Imam Ibnu Katsir menyatakan, dulunya sujud mubah hukumnya. Namun beliau sama sekali tidak mengatakan bahwa ia berubah hukumnya menjadi kesyirikan dan kekafiran sebagaimana anggapan kalian?! Ya, ia haram dalam syariat kita seperti halnya mencuri dan zina. Dan ini semua bukanlah kesyirikan dan kekafiran kecuali apabila dilakukan oleh orang yang mengingkari hukumnya atau menghalalkannya karena pengingkaran dan penghalalannya. Namun kesyirikan dan kekafirannya bukan dari sisi itu sekadar perbuatan.

Ini berkaitan dengan sujud dan ruku’. Adapun masalah berdiri (qiyam) karena makhluk ada tiga macam: qiyam ilaihi, qiyam lahu, dan qiyam ‘alaihi. Yang pertama mubah. Yaitu berdiri dengan maksud untuk memberi salam, penghormatan, merangkul dan menyambut orang yang datang serta yang semisalnya. Nash-nash yang mutawatir secara global menunjukkan dengan meyakinkan bahwa Nabi SAW pernah melakukannya kepada sebagian sahabat dan kerabatnya serta pernah dilakukan oleh sebagian sahabatnya ra kepada sebagian yang lain.

Sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim dari Abu Sa’id Al-Khudriy bahwa Nabi SAW bersabda kepada kaum Anshar di Bani Quraizhah ketika Sa’d bin Mu’adz ra datang:
«قُومُوا إِلَى سَيِّدِكُمْ».
“Berdirilah kalian untuk menyambut pemimpin kalian.”

Dan juga yang diriwayatkan oleh keduanya dari hadits Ka’b bin Malik yang panjang –pada kisah tiga sahabat yang absen dari perang Tabuk- berkaitan dengan berdirinya Thalhah bin Ubaidillah menyambut Ka’b memberikan ucapan selamat dan salam kepadanya, setelah Allah menerima taubatnya. Itu terjadi di hadapan Nabi SAW tanpa ada pengingkaran. Ka’b terus menyebutkan itu kepada Thalhah ra!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar