Kamis, 03 Juni 2010

demo lagi semua,,,,

ana cm mau menyanggah beberapa hal sj dri syaikh alhafidz alqurani yg ana sgat hormati yg ana kira sdikit rancu.

1. Apakah demo itu btuk dri jihad dlm istilah syar'i?jika bkan,knpa memakai hujjah jihad dlm istilah syar'i utk mdukung demonstrasi.

para pakar
bahasa menyebutkan makna
jihad secara bahasa adalah :

“Mengerahkan seluruh
kemampuan untuk
mendapatkan kebaikan dan
menolak bahaya” [Fi al Jihadi Adabun wa
Ahkamun hal. 5]. Atau :
ِ
” Menanggung kesulitan dengan
mengerahkan segala
kemampuan”.[Taujihat Nubuwah, Dr.
Sayyid Muhammad Nuh
2/312-213]

Pendapat ulama salaf dalam mendefinisikan jihad secara istilahi :

Madzhab Hanafi:

1. Imam Ibnul Humam berkata,”
Jihad adalah mendakwahi orang
kafir kepada agama yang benar
dan memerangi mereka kalau
tidak mau menerima. [Hasyiyah
Ibnu abidin 4/121, lihat Fathul
Qodir 5/436].[11]

2. Imam Al-Kasani berkata,”
Mengerahkan segala
kemampuan dengan berperang
di jalan Alloh dengan nyawa,
harta dan lisan atau lain-lain
atau melebihkan (begitu
mencurahkan kemampuan)
dalam hal itu.”[12]

Madzhab Maliki:

Imam Ibnu Arafah berkata,”
Perangnya orang Islam
melawan orang kafir yang tidak
terikat perjanjian untuk
meninggikan kalimatulloh, atau
karena ia mendatanginya, atau
karena ia memasuki daerahnya
[13]

Ibnu Rusyd berkata,” Setiap
orang yang berpayah-payah
karena Allah berarti telah
berjihad di jalan Allah. Namun
sesungguhnya jihad fi sabilillah
kalau berdiri sendiri maka tidak
ada maksud lain selain
memerangi orang kafir dengan
pedang sampai mereka masuk
Islam atau membayar jizyah
dalam keadaan hina.”[14]

Madzhab Syafi’i:

Imam Al-Bajuri berkata,” Jihad
artinya adalah berperang di
jalan Alloh.” (Hasyiyatu Al-Bajuri
‘Ala Ibni Al Qosim 2/261].[15]

Imam Ibnu Hajar berkata,” Dan
secara syar’i adalah
mengerahkan tenaga dalam
memerangi orang kafir.” [Fathu
al Bari 6/3].

Imam al Qasthalani berkata,”
Memerangi orang kafir untuk
memenangkan Islam dan
meninggikan kalimat Allah.”
Madzhab Hambali:
“Secara syar’i adalah memerangi
orang-orang kafir.”[16]

“Jihad adalah perang dengan
mengerahkan segala
kemampuan untuk meninggikan
kalimatulloh.[17]

Imam Al Ba’ly berkata,” Jihad
secara syar’i adalah ungkapan
khusus untuk memerangi
orang-orang kafir.[18]

Pendapat ulama salaf ini
ditegaskan kembali oleh para
ulama kontemporer:

Dr. Abdulloh Azzam berkata,”
Empat imam madzhab
bersepakat bahwasanya jihad
adalah perang dan tolong-
menolong di dalamnya.
Kesimpulannya: 1) Kata “jihad”
kalau berdiri sendiri maka
artinya adalah perang dan kata
“fii sabiilillah” apabila berdiri
sendiri artinya adalah jihad.[19]
Beliau juga berkata,” Kata jihad
jika disebutkan secara sendirian
(tanpa qarinah-pent) maka
maknanya adalah perang
dengan senjata, sebagaimana
disebutkan oleh Ibnu Rusyd dan
disepakati empat imam
madzhab. [20]

Syaikh Abdul Baqi Abdul Qadir
Ramdhun berkata,” Jihad secara
istilah. Ketika disebutkan kata
jihad fi sabilillah maka
maknanya adalah memerangi
orang-orang kafir, menyiapkan
diri untuk hal itu dan beramal di
jalan hal itu.” [21]

DR. Abdullah Ahmad Qadiri
berkata,” Adapun pengertian
jihad secara syar’i, menurut
mayoritas ulama fiqih berkisar
dalam arti orang Islam
memerangi orang kafir.”[22]

Syaikh Abdul Akhir Hammad al
Ghunaimi berkata,” Adapun
dalam istilah syar’i maka
maknanya adalah memerangi
orang-orang kafir demi
meninggikan kalimat Allah.” [23]

DR. Ali Nufai’ al Ulyani berkata,”
Adapun definisi jihad menurut
syar’i adalah memerangi orang
kafir untuk meninggikan
kalimat Allah dan saling
membantu dalam hal itu.”[24]

Syaikh Salman Fahd Audah
berkata,” Jihad melawan orang
kafir. Yaitu dengan memerangi
mereka dan dengan
mengerahkan segala hal yang
dibutuhkan dalam peperangan
ini baik harta, pengalaman dan
lain-lain. Sebagaiman disebutkan
dalam hadits Anas,”Berjihadlah
melawan orang-orang musyrik
dengan harta, nyawa dan lisan
kalian.” Bila disebut kata jihad fi
sabilillah maka maknanya adalah
jihad dengan makna ini(perang
melawan orang kafir)
,sebagaimana diungkapkan
imam Ibnu Rusyd, (beliau
menyebutkan perkataan Ibnu
Rusyd).” [25]

Begitu juga dengan para ulama
lainnya, seperti Syaikh Abdul
Aziz Abdullah bin Baz dalam
risalah beliau “Jihad dan
keutamaannya”[26]..

[16] Lihat Al Jihadu fi Sabilillah
Haqiqatuhu wa Ghayatuhu, Dr.
Abdulloh Ahmad Al-Qodiri 1/49,
Fil Jihaadi Adaab Wa Ahkaam, Dr.
Abdulloh Azzam hal. 6
[17] LihatFil Jihad Adabun wa
Ahkam hal. 5-6
[18] Lihat Min wasa’ili Daf’il
Ghurbah, Syaikh Salman Audah
hal. 14
[19] Fi al Jihad Adabun wa
Ahkamun hal. 6
[20] Ilhaq bi al Qafilah, Dr.
Abdulloh Azzam hal. 46
[21] Al Jihadu Sabiluna, Abdul
Baqi Romdlon hal. 13
[22] Al Jihadu fi Sabilillah
Haqiqatuhu wa Ghayatuhu, Dr.
Abdulloh Ahmad Al-Qodiri 1/49
[23] Waqfatun Ma’a Al Duktur al
Buthi fi Kitabihi ‘an al Jihad.
Abdul Akhir Hammad Al-
Ghunaimi hal. 11
[24] Ahammiyatu al Jihad fi
Nasyri al Da’wah al Islamiyah
hal. 116
[25] Min Wasaili Daf’i al Gurbah
hal. 21
[26] Terjemahan tenerbitan At
Tibyan, Solo

2. Apakah benar bahwa para sahabiyah dahulu DISENGAJA untuk dipersenjatai dan DISENGAJA untuk ikut berperang bersama barisan kaum laki2?

Nusaibah atau Ummu Umarah
menceritakan sendiri
pengalamannya ketika perang
Uhud. Sebagaimana
diungkapkan oleh Ibnu Sa ’ad
katanya : ” Pada permulaan
siang, saya pergi ke Uhud dan
saya melihat apa yang
dilakukan orang. Pada waktu itu
SAYA MEMBAWA TEMPAT YANG BERISI AIR. Kemudian saya
sampai kepada Rasulullah
yang berada di tengah-tengah
para sahabat. Ketika kaum
muslimin mengalami kekalahan,
saya melindungi Rasulullah, kemudian ikut serta ke
medan pertempuran. Saya
berusaha melindungi Rasulullah dengan pedang, saya
juga menggunakan panah
sehingga akhirnya saya
terluka. ”

Al-Waqidi berkata : ” Ummu
Umarah ikut serta dalam perang
Uhud bersama-sama dua orang
anaknya dari suaminya yang
pertama. IA KELUAR UNTUK MEMBERI MINUM DENGAN MEMBAWA QIRBAH ATAU TEMPAT AIR. Ia kemudian ikut
berperang dan mendapat
cobaan sehingga
mendapat dua belas bekas luka
ditubuhnya “.

salah satu Ummul Mukminin,
Ummu Salamah r.a., ketika ia
mengambil bagian dalam
perang khaibar. Dia (Ummu
Salamah) berkata, ”Saya
berharap bahwa Allah
menjadikan jihad kewajiban
bagi kita sebagaimana Dia
(Allah) mewajibkannya bagi
laki-laki”.
Kemudian Allah swt.
menurunkan ayat yang
berbunyi:

“Dan janganlah kamu iri hati
terhadap apa yang
dikaruniakan Allah kepada
sebagian kamu lebih banyak
dari sebagian yang lain,
(karena) bagi orang laki-laki ada
bagian dari apa yang mereka
usahakan dan bagi para wanita
(pun) ada bagian dari apa yang
mereka usahakan dan mohonlah
kepada Allah sebagian dari
karunia-Nya. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui Segala
Sesuatu”. (QS. An Nisaa’( 4) : 32).

Ini juga diriwayatkan oleh
Aisyah r.a. bahwa dia bertanya
kepada Rasulullah saw., :
”Ya Rasulullah! Kita mengetahui
bahwa Jihad adalah perbuatan
yang terbaik. Kita tidak
berperang (berjihad) karena
Allah tidak mewajibkannya bagi
kita? “ Beliau menjawab, “Jihad
terbaik (bagi wanita) adalah
haji yang mabrur (yaitu
aktivitas haji yang dilakukan
sesuai dengan tradisi kenabian
dan diterima/disahkan sebagai
amal ibadah oleh Allah atas
kaum muslimin.” (HR. Bukhari)

Hadits-hadits tersebut
mengindikasikan bahwa tidak
ada jihad Qitaal yaitu jihad
berperang bagi wanita kecuali
dalam keadaan darurat, yakni
situasi defensive
(mempertahankan diri). Jika
seorang istri dari mujahid
tinggal di rumah dan mengurusi
kebutuhan suaminya, maka dia
mendapatkan pahala yang sama
dengannya (suaminya yang
menjadi mujahid).

Asma’ binti
Yazid bertanya kepada
Rasulullah saw. atas nama
wanita, “Ketika mereka (kaum
laki-laki) pergi berjihad, kami
berada di samping kiri rumah
untuk melindungi perbekalan
mereka dan tinggal di rumah
untuk mengurusi keluarga.
Apakah kami tidak juga berhak
mendapat pahala yang sama
dari Allah?” Rasulullah saw.
menjawab, “Tolong, pergilah
dan katakan kepada para
wanita yang kamu wakili
bahwa dengan melakukan
kewajibanmu kepada suamimu
dengan cara yang baik, menjaga
apa saja yang akan
membuatnya senang dan
mengikuti mereka dengan setia,
maka kamu akan mendapatkan
keridhaan Allah yang besar dan
Dia akan memberikan kepadamu
pahala yang sama sebagaimana
pahala yang telah dijanjikan
kepada laki-laki.”
Contoh utamanya adalah
Sohaila, istri dari Farrukh, orang
yang kembali dari jihad setelah
30 tahun, ditemukan bahwa
istrinya telah membelanjakan
semua simpanannya (30.000
dinar) yang dia tinggalkan
untuknya (istrinya) sebelum ia
pergi jihad, untuk keperluan
biaya pendidikan anaknya
Rabi’ah ibn ‘Abdur Rohman. Dia
(anaknya) berhasil menjadi
salah seorang dari 7 ulama
terkenal di Madinah Al-
Munawwarah. Di antara murid
Sheikh Rabi’ah adalah Imam
Malik, Imam Sufyan Ath-Thauri
dan Imam Laith Ibn Sa’ad.

Dalam hadist riwayat Bukhori
juga meriwayatkan, pada masa
Yazid Bin Hurmuz, Najda telah
menulis kepada Ibnu ‘Abbas r.a.
yang sedang menyelidiki 5
perkara, 2 perkara di antaranya
berhubungan dengan wanita
dan jihad. Najda menulis,
….”Katakan kepadaku apakah
Rasulullah saw. telah
menempatkan wanita untuk
berpartisipasi dengannya dalam
jihad” (Jika beliau
melakukannya), apakah Beliau
memberikan kepada mereka
bagian dari harta pampasan
perang….”

Ibnu Abbas r.a. menulis
jawabannya, ….”Anda menulis
pertanyaan kepadaku apakah
Rasulullah telah menempatkan
wanita untuk berpartisipasi
dengannya dalam jihad?. Beliau
(Rasulullah saw.) memang telah
menempatkan mereka (para
wanita) dalam peperangan dan
sesekali juga dia (Rasul saw.)
berperang bersama dengan
mereka (para wanita). Mereka
mengobati orang-orang yang
terluka (dalam perang) dan
mereka diberikan suatu imbalan
dari harta pampasan perang,
tetapi dia (Rasul saw.) tidak
memberikan bagian tertentu
kepada mereka…”
Ummul Mukminin r.a. dan istri-
istri para sahabat r.a. tidak
berangkat dalam medan perang
dengan maksud untuk
berperang secara fisik dengan
orang-orang kafir akan tetapi
mereka pergi ke medan perang
dengan membawa peran-peran
yang Allah swt. dan Rasul-Nya
telah memberikannya kepada
mereka.

TUGAS WANITA DALAM MEDAN JIHAD :

Merawat Orang-Orang Yang
Terluka

Diriwayatkan oleh Abu Hazim,
Sahl bin Sa’ad bertanya tentang
luka Rasulullah saw., Beliau
bersabda, “Fathimah, anak
perempuan Rasul (pada saat
perang), melakukan tugas untuk
membersihkan luka dan Ali bin
Abi Thalib menuangkan airnya.
Ketika Fathimah melihat bahwa
luka tersebut ada gangguan
perdarahan, maka dia
mengambil potongan kain lalu
membakarnya, kemudian
memasukkan abu tersebut ke
dalam luka sehingga darah
(pada luka) bisa membeku (dan
perdarahan berhenti). Suatu
hari gigi taringnya (Ali) patah
dan mukanya terluka , topi
bajanya patah tepat pada
kepalanya.” (Al-Bukhari).

Menyediakan Air Bagi Yang
Haus

Diriwayatkan oleh Anas r.a.,
“Suatu hari dalam perang Uhud
ketika sebagian orang mundur
dan meninggalkan Rasulullah,
saya melihat Aisyah binti Abu
Bakar dan Ummu Sulaim dengan
menyisingkan baju mereka,
terdengar letusan di sekitar
mereka, mereka tampak
terburu-buru dengan membawa
air (dalam riwayat lain
disebutkan mereka membawa
air di punggung mereka).
Kemudian menuangkan air
tersebut dan meminumkannya
kepada orang-orang yang haus
dan mereka kembali memenuhi
air lagi serta datang kembali
untuk menuangkan air dan
meminumkannya kepada orang-
orang lagi. ” (Al-Bukhari)

Menyiapkan Makanan Bagi

Para Mujahidin
Diriwayatkan oleh Jabir bin
Abdullah r.a., “Ketika terjadi
penggalian parit, saya melihat
Rasulullah berada dalam
keadaan lapar. Saya pulang
untuk menemui istriku dan
berkata kepadanya, “Apakah
kamu memiliki sesuatu (untuk
dimakan) karena saya melihat
Rasulullah berada dalam
keadaan lapar.” Dia
membawakan kepadaku sebuah
kantong yang berisi 1 sa dari
sejenis gandum dan kita
memiliki binatang yang aku
sembelih kemudian istriku
memasak sejenis gandum tadi
dan dia menyelesaikannya tepat
waktu, aku pun menyelesaikan
pekerjaanku.

Memanggul Senjata Untuk

Para Mujahidin
Diriwayatkan oleh Ummu Ziyaad
r.a., “Dalam perang Khaibar saya
sendiri dan 5 orang lainnya
adalah wanita berada pada
perang tersebut. Rasulullah
Muhammad saw. mempelajari
(keadaan ini) dan mengirimkan
mereka untuk kita. Beliau (saw)
berkata dengan marah, “Siapa
yang mengizinkan kamu untuk
keluar dari sini? Siapa yang
membawa kamu ke tempat ini?”
Kami berkata, “Ya Nabiullah!
Kami sekarang bersatu dan
kami memiliki pengobatan yang
bersama kami, kami bisa
membantu para mujahidin
dengan menyuplai mereka
dengan anak panah, dengan
mengobati mereka ketika
mereka sakit dan menyiapkan
makanan bagi mereka.”
Rasulullah kemudian
mengizinkan kami untuk
tinggal” . (HR. Abu Dawud) .

Memberikan Semangat
Kepada Para Mujahidin
Untuk Tetap Bertahan

Selama perang Uhud, Saffiyah
binti Abdul Mutholib r.a., bibi
Rasulullah saw. berdiri dan
mengayunkan tombak ke depan
sambil berkata, “Apakah kamu
mencoba mengalahkan Rasul?”
Semoga Allah memberkatinya
dan memberikan kedamaian
kepadanya.
Juga, selama perang Uhud,
ketika Nusaibah binti Ka’ab,
anak laki-lakinya Abdullah
sedang terluka berat, dia
(Nusaibah) membalut lukanya
dan memerintahkan
padanya,”Pergi dan perangilah
orang-orang kafir itu wahai
anakku!” Mendengar hal ini
Rasulullah saw. tersenyum dan
berkata, “Siapakah yang dapat
memikul apa yang kamu pikul
wahai Ummu Umarah!”.

Kesimpulannya, Dari jawaban beberapa ulama yg ana ketahui menyebutkan
bahwa demonstrasi tidak
bisa dikategorikan sebagai
wasilah (sarana) da'wah.
Walaupun dari ulama
kontemporer ada perbedaan pendapat
tentang apakah demonstrasi
bisa dijadikan sarana untuk
merubah keadaan atau tidak.

Ulama yang mengharamkan
memandang bahwa merubah
kondisi (taghyir) adalah suatu
amalan syar'i sehingga
membutuhkan dalil dan karena
tidak ada dalil sehingga tidak
boleh. Ditambah fenomena
mudharatnya lebih nyata dari
maslahatnya.

Sedang yang membolehkan
memandang bahwa sistem
yang ada membolehkan akan
hal tersebut, maka tidak ada
kendala untuk melakukannya
ditambah suara kaum muslimin
di saat ini kurang diperhatikan,
namun mereka (yang
membolehkan)
mempersyaratkan tidak
bolehnya diikutkan kaum
wanita di dalamnya dan
menjaga batasan-batasan yang
dibolehkan oleh sistem yang
ada seperti tidak merusak
fasilitas umum dan tidak
mengganggu aktivitas orang
lain. Wallahu a'lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar