Soal:
Banyak orang yang menulis salam dengan menyingkatnya, seperti dalam Bahasa Arab mereka menyingkatnya dengan Dalam bahasa Inggris mereka menyingkatnya dengan “ws wr wb” (dan dalam bahasa Indonesia sering dengan “ass wr wb” – pent). Apa hukum masalah ini?
Jawab:
Tidak boleh untuk menyingkat salam secara umum dalam tulisan, sebagaimana tidak boleh pula meningkat shalawat dan salam atas Nabi kita shallallahu ‘alaihi wasallam. Tidak boleh pula menyingkat yang selain ini dalam pembicaraan.
Diterjemahkan dari www.bakkah.net
***
Fatwa Lajnah Ad-Daimah (Dewan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia)
Soal: Bolehkah menulis huruf ? yang maksudnya shalawat (ucapan shallallahu ‘alaihi wasallam). Dan apa alasannya?
Jawab:
Yang disunnahkan adalah menulisnya secara lengkap –shallallahu ‘alaihi wasallam- karena ini merupakan doa. Doa adalah bentuk ibadah, begitu juga mengucapkan kalimat shalawat ini.
Penyingkatan terhadap shalawat dengan menggunakan huruf atau (seperti SAW, penyingkatan dalam Bahasa Indonesia -pent) tidaklah termasuk doa dan bukanlah ibadah, baik ini diucapkan maupun ditulis. Dan juga karena penyingkatan yang demikian tidaklah pernah dilakukan oleh tiga generasi awal Islam yang keutamaannya dipersaksikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Wabillahit taufiq, dan semoga shalawat dan salam tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarga serta para sahabat beliau.
Dewan Tetap untuk Penelitian Islam dan Fatwa
Ketua: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Ibn Abdullaah Ibn Baaz;
Anggota: Syaikh ‘Abdur-Razzaaq ‘Afifi;
Anggota: Syaikh ‘Abdullaah Ibn Ghudayyaan;
Anggota: Syaikh ‘Abdullaah Ibn Qu’ood
(Fataawa al-Lajnah ad-Daa.imah lil-Buhooth al-’Ilmiyyah wal-Iftaa., - Volume 12, Halaman 208, Pertanyaan ke-3 dariFatwa No.5069)
Diterjemahkan dari http://fatwa-online.com/fa
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Apa keutamaan bershalawat untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam? Bolehkah kita menyingkat ucapan shalawat tersebut dalam penulisan, misalnya kita tulis Muhammad SAW atau dengan tulisan Arab , singkatan dari ?
Jawab:
Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz menjawab:
“Mengucapkan shalawat untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan perkara yang disyariatkan. Di dalamnya terdapat faedah yang banyak. Di antaranya menjalankan perintah Allah , menyepakati Allah Subhanallahu Wa ta’ala dan para malaikat-Nya yang juga bershalawat untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Allah berfirman:
“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah untuk Nabi dan ucapkanlah salam kepadanya.” (Al-Ahzab: 56)
Faedah lainnya adalah melipatgandakan pahala orang yang bershalawat tersebut, adanya harapan doanya terkabul, dan bershalawat merupakan sebab diperolehnya berkah dan langgengnya kecintaan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam. Sebagaimana bershalawat menjadi sebab seorang hamba beroleh hidayah dan hidup hatinya. Semakin banyak seseorang bershalawat kepada beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dan mengingat beliu, akan semakin kental pula kecintaan kepada beliau di dalam hati. Sehingga tidak tersisa di hatinya penentangan terhadap sesuatu pun dari perintahnya dan tidak pula keraguan terhadap apa yang beliau sampaikan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri telah memberikan anjuran untuk mengucapkan shalawat atas beliau dalam beberapa hadits. Di antaranya hadits yang diriwayatkan Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya dari Abu Hurairah Radhiallahuanhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Siapa yang bershalawat untukku satu kali maka Allah akan bershalawat untuknya sepuluh kali.”
Dari hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu juga, disebutkan bahwa Rasululah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Janganlah kalian menjadikan rumah-rumah kalian seperti kuburan (Dengan tidak dikerjakan shalat sunnah di dalamnya, demikian pula Al-Qur’an tidak dibaca di dalamnya. (-pent.)) dan jangan kalian jadikan kuburanku sebagai id (tempat kumpul-kumpul -pent). Bershalawatlah untukku karena shalawat kalian sampai kepadaku di mana pun kalian berada.” [Diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad dan Abu Dawud, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Abi Dawud]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah pula bersabda:
“Terhinalah seorang yang aku (namaku) disebut disisinya namun ia tidak mau bershalawat untukku.”
[HR. At-Tirmidzi, kata Asy-Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad Mimma Laisa fish Shahihain, “Hadits hasan gharib.”]
Bershalawat untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam disyariatkan dalam tasyahhud shalat, dalam khutbah, saat berdoa serta beristighfar. Demikian pula setelah adzan, ketika keluar serta masuk masjid, ketika mendengar nama beliau disebut, dan sebagainya.
Perkaranya lebih ditekankan ketika menulis nama beliau dalam kitab, karya tulis, risalah, makalah, atau yang semisalnya berdasarkan dalil yang telah lewat. Ucapan shalawat ini disyariatkan untuk ditulis secara lengkap/sempurna dalam rangka menjalankan perintah Allah Aza Wajallah kepada kita dan agar pembaca mengingat untuk bershalawat ketika melewati tulisan shalawat tersebut. Tidak sepantasnya lafazh shalawat tersebut ditulis dengan singkatan misalnya atau ataupun singkatan-singkatan yang serupa dengannya, yang terkadang digunakan oleh sebagian penulis dan penyusun. Hal ini jelas menyelisihi perintah Allah Aza Wajallah dalam firman-Nya:
“… bershalawatlah untuk Nabi dan ucapkanlah salam kepadanya.”
Dan juga dengan menyingkat tulisan shalawat tidak akan sempurna maksudnya serta tidak diperoleh keutamaan sebagaimana bila menuliskannya secara sempurna. Terkadang pembaca tidak perhatian dengan singkatan tersebut atau tidak paham maksudnya.
Menyingkat lafazh shalawat ini dibenci oleh para ulama dan mereka memberikan peringatan akan hal ini.
Ibnu Shalah
Ibnu Shalah dalam kitabnya ‘Ulumul Hadits yang lebih dikenal dengan Muqqadimah Ibnish Shalah mengatakan, “(Seorang yang belajar hadits ataupun ahlul hadits) hendaknya memerhatikan penulisan shalawat dan salam untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bila melewatinya. Janganlah ia bosan menulisnya secara lengkap ketika berulang menyebut Rasulullah.”
Ibnu Shalah juga berkata, “Hendaklah ia menjauhi dua kekurangan dalam penyebutan shalawat tersebut:
Pertama, ia menuliskan lafazh shalawat dengan kurang, hanya meringkasnya dalam dua huruf atau semisalnya.
Kedua, ia menuliskannya dengan makna yang kurang, misalnya ia tidak menuliskan
Al-‘Allamah As-Sakhawi
Al-‘Allamah As-Sakhawi dalam kitabnya Fathul Mughits Syarhu Alfiyatil Hadits lil ‘Iraqi, menyatakan, “Jauhilah wahai penulis, menuliskan shalawat dengan singkatan, dengan engkau menyingkatnya menjadi dua huruf dan semisalnya, sehingga bentuknya kurang. Sebagaimana hal ini dilakukan oleh orang jahil dari kalangan ajam (non Arab) secara umum dan penuntut ilmu yang awam. Mereka singkat lafazh shalawat dengan , atau [Dalam bahasa kita sering disingkat dengan SAW. (-pent.) ] . Karena penulisannya kurang, berarti pahalanya pun kurang, berbeda dengan orang yang menuliskannya secara lengkap.
As-Suyuthi
As-Suyuthi berkata dalam kitabnya Tadribur Rawi fi Syarhi Taqrib An-Nawawi, “Dibenci menyingkat tulisan shalawat di sini dan di setiap tempat yang syariatkan padanya shalawat, sebagaimana disebutkan dalam Syarah Muslim dan selainnya, berdalil dengan firman Allah :
As-Suyuthi juga mengatakan, “Dibenci menyingkat shalawat dan salam dalam penulisan, baik dengan satu atau dua huruf seperti menulisnya dengan , bahkan semestinya ditulis secara lengkap.”
Inilah wasiat saya kepada setiap muslim dan pembaca juga penulis, agar mereka mencari yang utama/afdhal, mencari yang di dalamnya ada tambahan pahala dan ganjaran, serta menjauhi perkara yang dapat membatalkan atau menguranginya.”
(Diringkas dari fatwa Asy-Syaikh Ibn Baz yang dimuat dalam Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, 2/396-399)
Sumber: Majalah Asy Syari’ah, Vol. III/No. 36/1428 H/2007, Kategori Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah, Hal. 89-91.
Sumber:
http://bakkah.net/interact
http://bakkah.net/articles
http://fatwa-online.com/fa
--
Mutiara Salafus Shalih:
Dari Abdullah bin Mas'ud radliyallahu 'anhu ia berkata :
"Ketahuilah hendaknya jangan satupun dari kalian bertaqlid kepada siapapun dalam perkara agamamu sehingga (bila) ia beriman ikut beriman bila ia kafir ikut pula menjadi kafir. Maka jika kamu tetap ingin berteladan maka ambillah contoh dari yang telah mati sebab yang masih hidup tidak aman dari fitnah." (Al Lalikai 1/93 nomor 130 dan Al Haitsamy dalam Al Majma' 1/180)
Dari Yunus bin Zaid dari Az Zuhri ia berkata :
"Ulama kami yang terdahulu (salaf) selalu mengingatkan bahwa berpegang teguh dengan As Sunnah itu adalah keselamatan dan ilmu akan tercabut dengan segera maka tegaknya ilmu adalah kekokohan agama dan dunia sedang dengan hilangnya ilmu hilang pula semuanya." (Ad Darimy 1/58 nomor 16)
====================
Tidak ada komentar:
Posting Komentar