Minggu, 06 Juni 2010

Gerakan Wahabi Menentang Penjajah

Siapakah Wahabi?
Sebagian ulama yang adil sesungguhnya menyebutkan bahwa Syekh Muhammad bin Abdul Wahab adalah salah seorang mujaddid (pembaharu) abad dua belas Hijriyah. Mereka menulis buku-buku tentang beliau. Di antara para pengarang yang menulis buku tentang Muhammad bin Abdul Wahab adalah Syekh Ali Thanthawi. Beliau menulis buku tentang Silsilah Tokoh-tokoh Sejarah, di antaranya terdapat Syekh Muhammad bin Abdul Wahab dan Ahmad bin 'Irfan.

Dalam buku tersebut beliau menyebutkan, sebagai ajaran akidah tauhid, apa yang disampaikan Muhammad bin Abdul Wahab menyebar ke seluruh dunia Islam melalui jamaah haji yang pulang dari tanah suci. Menguatnya persatuan akidah ini ternyata membawa dampak lain pada kekuatan kolonial yang saat itu berkuasa di dunia Islam. Akhirnya, Inggris ajaran akidah tauhid ini sebagai bentuk baru persatuan dunia Islam yang akan melahirkan ancaman pada kolonial. Berikutnya, kekuatan kolonial membentuk kelompok Murtaziqah (orang-orang bayaran) untuk mencemarkan nama baik dakwah. Maka mereka pun menuduh setiap muwahhid, para penyeru tauhid, dengan kata Wahabi.

Pasca 9/11, sebuah buku diterbitkan oleh di AS dengan judul Wahabi Islam, ditulis seorang orientalis yang merupakan mahasiswa PhD John Esposito. Penulisnya mengatakan bahwa ia tertarik untuk meneliti Wahabisme ketika saat mengambil kuliah Islamologi dan membaca tulisan Muhammad bin Abdul Wahhab, namun tidak menemukan elemen-elemen yang menganjurkan kekerasan. Dalam salah satu babnya, ia mengatakan bahwa pengidentikan Wahabi dengan kekerasan dimulai oleh Inggris di India tahun 1800-an saat terjadi revolusi Muslim. Sejarah menyatakan tidak ada kaitan antara gerakan tersebut dan Wahabisme.

Wahabi sendiri sebenarnya suatu yang kontroversial. Orang awam cenderung mengaitkan Wahabi dengan Islam yang “bertentangan” dengan arus besar (mainstream).

Terminologi Wahabi yang sering dilontarkan seringkali menambah riuh suasana. Ulama-ulama Saudi yang selalu dicap Wahabi oleh sebagian orang, dalam sejarahnya selalu mengecam dan mengritik al-Qaidah, bahkan sebelum pemboman Tanzania.

Taliban selalu dikaitkan dengan Wahabisme. Padahal jika seseorang benar-benar mengikuti ulama Saudi, dampaknya sebenarnya mengejutkan mereka yang selalu berpikir negatif tentang Wahabi. Karena, seluruh ulama terkemuka di Saudi sepakat tindakan teror hukumnya haram. Memberontak atau misalnya menebarkan aib pemimpin, juga haram.

Mereka tidak suka mencaci maki pemerintah. Kritikan akan dilakukan secara tertutup (kalau bisa empat mata) dengan penguasa. Ulama mengharamkan melakukan pemberontakan (bughat) selama penguasa masih Muslim.

Suasana semakin kecoh ketika Ikhwanul Muslimin (IM) juga disatukan dalam barisan. IM didirikan untuk untuk mengembalikan kekhalifahan setelah runtuhnya kekhalifahan Usmani Turki lepas Perang Dunia I. Ikhwanul Muslimin sendiri tidak terlepas dari proses radikalisasi. Ada beberapa faktor. Salah satu faktor bersifat internal, karena ada beberapa elemen yang memang memilih jalur keras. Di IM, pemikiran radikal ini diwakili oleh misalnya Sayyid Quthb. Faktor eksternal, suatu faktor yang lebih dominan, adalah reaksi politik dari pemerintah yang cenderung menutup akses politik lawan mereka, termasuk IM.

Faktor ini sebenarnya lebih mendorong radikalisasi. Kes populer adalah Algeria. Kekerasan muncul saat hasil pemilu tahun 1990an yang dimenangkan secara mutlak oleh partai Islam (FIS) dibatalkan oleh pemerintah berkuasa dan didukung oleh Barat, dan partai tersebut dinyatakan ilegal. Demikian juga di Iran saat Shah Iran.

Faktor penting yang tak bisa dikesampingkan adalah, Afghanistan. Negara ini ketika berperang dengan Komunis Soviet dijadikan sebagai laboratorium jihad oleh berbagai elemen Islam. Apalagi Amerika berada di pihak yang membantu mujahidin.

Namun setelah kemenangan itu diraih, mujahidin banyak yang secara psikologis masih merasa berada di medan jihad. Suasana tempur tak bisa hilang begitu saja. Apalagi negara Barat berbalik menganggap Islam sebagai ancaman. Provokasi dan kezaliman muncul di negeri-negeri Islam. Maka radikalisme itu seolah mendapatkan tempat dan pupuk yang maksimal. Dan setelah itu, target dialihkan pada umat Islam yang dinyatakan radikal.

Padahal, sejarah menceritakan pada dunia bahwa radikalisme nampaknya selalu dipelihara, demi kepentingan kolonial yang selalu berganti pemainnya. Jadi lontaran statemen Wahabi memang lebih dahsyat dari bom itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar