Minggu, 06 Juni 2010

HADIST.. ATSAR DHAIF SERTA PALSU seputar TAWASSUL DAN TABARRUK..

Sebagian orang yang ber-
tabarruk dengan kuburan
orang shalih, atau ber-
tabarruk dengan orang shalih
itu sendiri, atau bahkan ber-
tabarruk dengan tanah, air,
debu, serta benda-benda yang
dianggap mengandung
berkah, sering beralasan
dengan kisah Fathimah
Radhiallahu ’anha. Kisahnya
adalah sebagai berikut:
نع يلع نب يبأ بلاط – يضر
هللا ىلاعت هنع – لاق: امل سمر
لوسر هللا – ىلص هللا هيلع
ملسو – تءاج ةمطاف – يضر هللا
ىلاعت اهنع – تفقوف ىلع
هربق تذخأو ةضبق نم بارت
ربقلا هتعضوف ىلع اهينيع
تكبو تأشنأو لوقت :
اذام ىلع نم مش ةبرت دمحأ * نأ ال
مشي ىدم نامزلا ايلاوغ
تبص يلع بئاصم ول اهنأ *
تبص ىلع مايألا ندع ايلايل
“Dari Ali bin Abi Thalib
Radhiallahu’anhu, beliau
berkata: ‘Setelah Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam
dimakamkan, Fathimah
Radhiallahu ’anha datang.
Beliau berdiri di depan makam
Nabi lalu mengambil
segenggam tanah dari makam
Nabi, kemudian menaruh
tanah tersebut di wajahnya
sambil menangis dan bersyair:
Bagi yang mencium wangi
tanah makam Ahmad
Tidak akan ia temukan
sepanjang zaman wangi yang
demikian
Sungguh pedih musibah yang
kurasa
Begitu pedihnya seakan dapat
membalik siang menjadi
malam ‘”
Kisah ini dibawakan oleh:
1. As Samhudi, dalam Wafa-u Al
Wafa Bi Akhbari Daari Al
Musthafa (218/4). Dalam kitab
ini As Samhudi mengatakan ia
menukil kisah ini dari At
Tuhfah [1] milik Ibnu ‘Asakir
dengan sanadnya.
2. Muhammad bin Yusuf Ash
Shalihi Asy Syammi, dalam
Sabilu Al Huda Wal Irsyad Fii
Siirati Khairi Al ‘Ibad, 337/12,
tanpa sanad. Namun beliau
mengatakan bahwa kisah ini
diriwayatkan dari Thahir bin
Yahya Al Husaini.
3. Abul Faraj Ibnul Jauzi, dalam
Al Wafa-u Bit Ta ’rifi Fadhaili
Al Musthafa, tanpa sanad
4. Abul Baqa’ Ibnu Dhiya’, dalam
Taarikhu Makkah Al Musyrifah
Wal Masjidil Haram, hal. 163,
tanpa sanad
5. Dan beberapa kitab sirah lain
Catatan
Bila hanya diketahui sebuah
riwayat ada di kitab ini dan
kitab itu, dibawakan oleh
imam A dan imam B,
belumlah cukup untuk
melegalisasi riwayat tersebut
untuk diterima dan di
amalkan. Perlu diperiksa ke-
shahih-an dari riwayat
tersebut. Terlebih lagi kisah
ini hanya diriwayatkan dari
kitab-kitab sirah, bukan kitab
hadits. Lebih jelasnya, silakan
simak artikel “Hadits Shahih
Sumber Hukum Syari’at,
Bukan Hadits Dhaif”
Jalur Periwayatan
As Samhudi dalam Al Wafa’
menukil kisah ini dari At
Tuhfah milik Ibnu Asakir
dengan sanad berikut:
نع رهاط نب ىيحي ينيسحلا
لاق: ينثدح يبأ نع يدج نع
رفعج نب دمحم نع هيبأ نع يلع
يضر هللا هنع
“Dari Thahir bin Yahya Al
Husaini, ia berkata: Ayahku
(yaitu Yahya bin Al Hasan)
pernah mengatakan
kepadaku: Dari kakekku (yaitu
Al Hasan bin Ja ’far) : Dari
Ja’far bin Muhammad: Dari
ayahnya (yaitu Muhammad bin
Ali) : Dari Ali bin Abi Thalib”
Kualitas sanad
Sanad kisah ini gelap. Karena
banyak perawi yang tidak
dikenal (majhul) dalam sanad
kisah ini, yaitu:
Thahir bin Yahya Al Husaini
Yahya bin Al Hasan
Al Hasan bin Ja’far bin
Muhammad
Andai perawi-perawi tersebut
diterima pun masih terdapat
sisi kelemahan lain, yaitu
keterputusan sanad (inqitha ’)
antara Muhammad bin Ali
dengan sahabat Ali bin Abi
Thalib Radhiallahu ’anhu.
Karena Muhammad di sini
adalah Muhammad bin Ali bin
Al Husain bin Ali bin Abi
Thalib. Dengan kata lain,
Muhammad adalah cicit dari
sahabat Ali bin Abi Thalib
Radhiallahu’anhu. Sedangkan
Muhammad tidak pernah
bertemu dengan Ali bin Abi
Thalib Radhiallahu ’anhu,
sebagaimana dikatakan oleh
Al Mizzi dalam Tahzibul Kamal
(26/137) dan At Tirmidzi dalam
Sunan-nya (1602/161/6):
وُبَأَو ٍرَفْعَج ُدَّمَحُم ُنْب
ِّىِلَع ِنْب ِنْيَسُحْلا ْمَل
ْكِرْدُي َّىِلَع َنْب ىِبَأ
ٍبِلاَط
“Abu Ja’far Muhammad bin Ali
bin Al Husain tidak pernah
bertemu Ali bin Abi Thalib ”
Ringkasnya, kisah ini dhaif.
Sebagaimana dikatakan oleh
Al Imam Adz Dzahabi:
… : اَّمِمَو ُبَسْنُي ىَلِإ
َةَمِطاَف، َالَو ُّحِصَي
“Salah salah satu kisah yang
diklaim dari Fathimah, namun
tidak shahih adalah … (lalu
menyebutkan riwayat di
atas )” (Siyar A’laamin Nubala,
113/3)
Al Mulla Ali Al Qaari dalam
Mirqatul Mafaatih (243/17)
juga mengisyaratkan
lemahnya kisah ini.
Lebih lagi telah diketahui
bahwa riwayat ini tidak
terdapat satu pun di kitab-
kitab hadits. Riwayat ini tidak
pernah dibawakan oleh para
ulama pemilik kitab Shahih,
seperti Bukhari-Muslim, tidak
juga pemilik kitab Sunan yang
menjadi pegangan, seperti
Sunan An Nasa-i, Sunan At
Tirmidzi, Sunan Ibnu Majah,
atau semacamnya, tidak juga
kitab Mu’jam, seperti Mu’jam
Ath Thabrani, tidak juga kitab
Musnad yang menjadi
pegangan, seperti Musnad
Ahmad, Musnad Asy Syafi ’i
atau semacamnya, tidak juga
kitab Muwatha Malik. Riwayat
ini kebanyakan dibawakan
dalam kitab-kitab sirah.
Sikap Keluarga Fathimah
Terhadap Makam
Lalu bagaimana sebenarnya
sikap Fathimah
Radhiallahu ’anha terhadap
makam Nabi? Cukuplah kita
melihat sikap orang-orang
terdekat beliau bersikap
terhadap makam.
Ali bin Al Husain bin Ali bin
Abi Thalib (Cucu Fathimah) -
Radhi’allahu’anhum-
ىأر الجر يتأي ةجرف تناك دنع
ربق يبنلا ىَّلَص ُهللا
ِهْيَلَع ِهِلآَو َمَّلَسَو لخديف
اهيف وعديف، هاهنف لاقو: » الأ
مكثدحأ ًاثيدح هتعمس نم يبأ
نع يدج – ينعي يلع نب يبأ
بلاط يضر هللا هنع نع لوسر
هللا ىَّلَص ُهللا ِهْيَلَع
ِهِلآَو َمَّلَسَو لاق: ال اوذختت
يربق ًاديع الو اولعجت مكتويب
ًاروبق اوملسو ىلع نإف
مكميلست ينغلبي امنيأ
متنك».
“Ali bin Al Husain melihat
seorang lelaki yang
mendatangi celah di sisi
makam Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam, kemudian ia masuk
ke dalamnya lalu berdoa.
Beliau lalu berkata: ‘Wahai
engkau, maukah aku
sampaikan sebuah hadits yang
aku dengar dari ayahku dari
kakekku (yaitu Ali bin Abi
Thalib Radhiallahu ’anhu) dari
Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam: ‘Jangan jadikan
kuburan sebagai Ied[2], dan
jangan jadikan rumah kalian
seperti kuburan,
bershalawatlah kalian
kepadaku, karena shalawat
kalian sampai kepadaku
dimanapun kalian
bershalawat’ ‘”
Hadits ini diriwayatkan oleh
Ibnu Abi Syaibah dalam
Mushannaf-nya (375/2), Abdur
Razzaq dalam Mushannaf-nya
(6694). As Sakhawi dalam Al
Qaulud Baadi ’ (228) berkata:
‘Hadits ini hasan’. Ibnu ‘Adiy
dalam Ash Sharimul Munkiy
(206) mengatakan: ‘Sanadnya
jayyid’
Ali bin Abi Thalib (Suami
Fathimah) -
Radhi’allahu’anhuma-
نع يبأ جايهلا يدسألا نأ ًايلع
يضر هللا هنع لاق هل: » الأ
كثعبأ ىلع ام ينثعب هيلع
لوسر هللا ىَّلَص ُهللا
ِهْيَلَع ِهِلآَو َمَّلَسَو ؟ ينرمأ
نأ ال َعَدأ ًاربق ًافرشم )يأ
ًاعفترم( الإ هتيّوس )ضرألاب(
الو ًالاثمت الإ هُتسمط
« )ملسم969 ).
“Dari Abu Hayyaj Al Asadiy,
Ali Radhiallahu’anhu pernah
berkata kepada Abu Hayyaj:
‘ Maukah engkau aku utus
untuk mengerjakan sesuatu
yang dulu aku pun pernah di
utus oleh Rasulullah
Shallallahu ’alaihi Wasallam
untuk mengerjakannya?
Rasulullah pernah
mengutusku untuk tidak
membiarkan makam
ditinggikan, melainkan harus
dibuat rata dengan tanah.
Lalu tidak membiarkan ada
gambar (makhluk bernyawa),
melainkan harus
dihilangkan ’” (HR. Muslim,
no.969)
Dalam menjelaskan hadits ini
An Nawawi berkata:
َّنَأ ةَّنُّسلا َّنَأ رْبَقْلا اَل
عَفْرُي ىَلَع ضْرَأْلا اًعْفَر
اًريِثَك ، اَلَو مَّنَسُي ، ْلَب
عَفْرُي وْحَن رْبِش
حَّطَسُيَو ، اَذَهَو بَهْذَم
ّيِعِفاَّشلا ْنَمَو ُهَقَفاَو
“Yang sesuai sunnah, makam
itu tidak terlalu tinggi dan
tidak buat melengkung.
Namun tingginya hanya
sekitar sejengkal dan dibuat
rata. Ini mazhab Asy Syafi ’i
dan murid-muridnya” (Syarhu
Shahih Muslim, 389/3)
Inilah sikap Ali bin Abi Thalib
terhadap kuburan. Berbeda
dengan para penyembah
kubur serta orang-orang yang
ber-tabarruk dengan kuburan,
mereka meninggikan makam-
makam.
Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam (Ayah Fathimah -
Radhi’allahu’anha-)
نع ةشئاع » نأ يبنلا لاق يف
ضرم هتوم« نعل هللا دوهيلا
ىراصنلاو اوذختا روبق
مهئايبنأ ًادجسم. تلاق: الولو
كلذ اوزربأل هربق ريغ هنأ يشخ
نأ ذختي ًادجسم
“Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda ketika
sakit menjelang wafatnya:
‘ Allah melaknat Yahudi dan
Nasrani yang menjadikan
kuburan Nabi mereka sebagai
tempat ibadah ’. Aisyah
berkata: ‘Andai bukan karena
sabda beliau ini, tentu akan
aku nampakkan (dibuka untuk
umum) kuburan beliau, namun
beliau khawatir kuburnya
dijadikan tempat ibadah ‘” (HR.
Bukhari no. 1330)
Ibnu Hajar Al Asqalani berkata
tentang hadits ini:
هنأكو ىَّلَص ُهللا ِهْيَلَع
ِهِلآَو َمَّلَسَو ملع هنأ لحترم
نم كلذ ضرملا، فاخف نأ مظعي
هربق امك لعف نم ىضم، نعلف
دوهيلا ىراصنلاو ةراشإ ىلإ مذ
نم لعفي مهلعف
“ Seakan-akan Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam
mengetahui beliau akan wafat
karena sakit yang sedang
dialaminya, lalu beliau
khawatir makam beliau
diagungkan sebagaimana
perbuatan orabg-orang
terdahulu. Dilaknatnya kaum
Yahudi dan Nasrani adalah
isyarat bahwa orang yang
melalukan perbuatan tersebut
dicela ” (Fathul Baari, 688/8)
Demikian uraian singkat.
Semoga Allah senantiasa
melimpkahkan rahmah dan
hidayah-Nya kepada kita
semua.
[ Sebagian besar tulisan ini
disadur dari tulisan Al Akh
Dimasqiyyah di Forum Ahlul
Hadits ( http://
www.ahlalhdeeth.cc/vb/
showthread.php?t=155930).
Semoga Allah senantiasa
menjaganya. ]
Penyadur: Yulian Purnama
Artikel www.muslim.or.id
[1] Ada yang mengatakan
bahwa judul yang benar
adalah Al Ithaaf
[2] Dalam Lisaanul Arab
dijelaskan:
ُديِعلاو ُّلك موي هيف ٌٌعْمَج
“Ied adalah setiap hari yang
terdapat berkumpulnya
manusia ”
لاق يرهزَألا: ُديِعلاو دنع برعلا
تقولا يذلا ُدوُعَي هيف
حَرَفلا نزحلاو
“Al Azhari berkata: Ied
menurut budaya arab adalah
setiap waktu yang secara rutin
kesenangan dirayakan atau
kesedihan diratapi ”

2 komentar:

  1. Assalamualaikum,

    minta ijin meng'copy' artikel

    Jazaakallah khair
    Barakallahufik

    BalasHapus