Rabu, 09 Juni 2010

**KETIKA HATI HARUS MEMILIH**

Alangkah dhaifnya keimananmu …



Awal Januari

Sesuatu yang menjadi obsesiku saat ini adalah: Bekerja. Bekerja dan bekerja untuk mencukupi hidup di tengah terjangan badai krisis ekonomi yang makin menggila. Harga sembako yang kian menggunung semakin menuntut kami untuk selalu pontang-panting mencari utang untuk biaya makan sehari-hari. Tak ada cara lain. Aku harus bekerja. Tapi…? Siapa yang mau menerimaku - yang hanya tamatan SMU - sebagai seorang tenaga kerja ? Sekarang para sarjana saja banyak yang nganggur. Tanpa berpikir tentang masa depan dan masa tua mereka. Ya, mungkin mereka masih punya orang tua untuk diandalkan. Tapi kalau tidak ? Mereka akan menyadari kecerobohan mereka yang telah membiarkan kesempatan emas mereka terbuang begitu saja.Tekad. Ya, aku harus tekad dengan keinginanku yang kian membuncah ini. Apa pun yang terjadi aku harus bekerja!

Sumenep, 15 Januari


“Apa kau sudah yakin dengan keputusanmu itu, Fir ?” pertanyaan itu nyaris memecah konsentrasiku yang sedari tadi menekuni sebuah majalah bekas yang aku pinjam dari Yono, tetanggaku. Kutatap wajah tua di hadapanku. Muram. Ada mendung melintas di sana. Aku tahu itu adalah sebuah ekspresi ketidaksetujuan. Tapi tekadku sudah bulat. Tak seorang pun yang bisa menghalangi langkahku.

“Firman siap menerima semua resiko yang bakal terjadi, Bu.”Sejenak suasana hening. Kini giliran wanita tua itu yang menatapku. Kulihat ada embun di bening matanya. Matanya mengair.

“Firman, terus terang Ibu keberatan kalau kau mau meninggalkan rumah ini, Nak.”
“Ibu, kepergian ini semata-mata bukan untuk kepentingan pribadi Firman. Firman ingin keluarga ini tetap bertahan di tengah badai krisis ekonomi ini, Bu.” Aku diam sejenak. Kuharap ada respon sekaligus restu yang nantinya terucap dari bibir Ibu. Semoga.

“Baiklah, Firman. Kujunjung tinggi niat suci kamu. Tapi ingat, jangan sampai keyakinan dan keimanan yang selama ini kau pupuk tergadaikan begitu saja hanya karena sebuah pekerjaan.” Ibu memeluk erat tubuhku. Hangat. Ada ketentraman dan keharuan terbias dalam benakku saat berada dalam pelukan hangatnya. Terima kasih, Ibu. Terima kasih atas do’a dan restumu.Tak terasa mataku mengembun. Kelopak mataku memanas.


Surabaya, 16 Januari


Di antara deru debu kota Surabaya. Di dalam sebuah angkot termurah di kota ini aku termenung. Memandang jauh langit Surabaya yang kelabu. Suasana sangat pengap dan panas.
Pikiranku terus bertandang ke negeri khayal. Bisakah orang seperti aku, yang hanya lulusan SMU mendapatkan pekerjaan mapan di kota besar ini ?

Pikiranku kalut. Tak dapat menjawab pertanyaan batinku sendiri. Aku harus mendapat pekerjaan. Harus. Aku tidak ingin pulang dengan tangan kosong. Aku malu sama Ibu, keluarga dan tetangga-tetanggaku.

18 Januari 2002


“Tanpa usaha segala sesuatu tidak akan berhasil.” Begitu prinsip hidup yang selama ini aku tanamkan. Prinsip itu betul. Alhamdulillah setelah dua hari dengan susah payah mencari informasi tentang lowongan kerja, akhirnya aku bertemu dengan Bang Hari. Lelaki tegap asal Jakarta itu menawari aku sebuah pekerjaan tetap dan mapan dengan penghasilan yang lumayan.

“Firman, Abang tidak menjamin dengan ijazahmu kau bisa mendapatkan pekerjaan mapan di kota Metropolis ini.“Aku diam sejenak.”Lalu bagaimana dengan saya, Bang ?” kejarku. Lelaki di depanku itu tersenyum.
“Tidak usah khawatir, kau bisa bekerja di sini. Dengan penghasilan 500.000 per-hari kau akan menjadi orang kaya.” Jawabnya sedikit berpromosi.
“Pekerjaan apa itu, Bang ?”
“Bisnis shabu-shabu.” Bang Hari tersenyum. Ada kebahagiaan terpancar di wajahnya.
Bisnis shabu-shabu ? Ah, mana mungkin aku akan menjadi seorang pengedar. Tidak ! Aku tidak ingin mejadi incaran polisi. Aku tidak ingin mati konyol !! Tapi..? Bagaimana dengan keluargaku ? Adik-adikku ?

Darahku mendidih setelah mendapat tawaran bisnis Bang Hari. Badanku bergetar. Pikiranku berkecamuk.
Di sebuah kamar tempat aku tinggal, aku sibuk berpikir. Aku harus memikirkan matang-matang tawaran bisnis Bang Hari itu.
Sampai akhirnya aku terima tawaran pekerjaan itu. Tak ada jalan lain. Dalam benakku hanya ada uang. Yah, dengan uang aku bisa bertahan hidup di atas dunia yang makin kacau ini.
Dan kini… aku resmi menjadi seorang bisnis man yang lihai dan handal. Yang selalu lepas dari incaran polisi.

Ah, aku betul-betul sudah gila. Ya, aku gila uang dan harta. Matrealistis.
Tidak hanya itu. Di samping menjadi pengedar, aku juga belajar mengkonsumsi barang neraka itu. Aku menikmatinya setiap hari. Bahkan setiap waktu. Sampai suatu hari kepalaku pusing. Mataku berkunang-kunang. Aku betul-betul sakaw. Seolah-olah aku berputar dan…brugh !!! Aku terkulai pingsan. Semua menjadi gelap.

Malam, 19 Januari


Pelan kubuka mataku. Pening. Kulihat sekeliling. Sepi. Tak ada orang di tempat ini kecuali aku. Aku terhenyak saat kulihat seseorang melangkah menghampiri tempatku berbaring. Seorang pemuda sebaya denganku. Semakin dekat semakin jelas kulihat.
Siapa lelaki itu ? Kucoba untuk memeras memoryku . Aku mengenalnya, desisku dalam hati. Ya, dia Yudi, teman sekelasku di SMU. Mengapa dia ada di sini ?
“Syukurlah kau sudah siuman, Fir.” Ucapnya seraya duduk di sampingku. Aku masih terbengong. Berjuta pertanyaan melintas dalam benakku.

“Kau kuliah di sini, Yud… ?” tanyaku kemudian. Yudi mengangguk sembari tersenyum.
Yudi adalah teman akrabku sejak di SMU dulu. Dia adalah bintang kelas yang selalu menjuarai pelbagai perlombaan di tingkat Kabupaten. Berkat prestasinya ia terpilih sebagai siswa teladan se-Kabupaten Sumenep pada tahun 1999. Aku bangga mempunyai teman seperti dia.
“Aku diterima di Fakultas Sastra Unair. Dan sekarang sudah semester V. Doakan semoga apa yang menjadi cita-citaku tercapai.”
Yudi bercerita panjang lebar. Ia temukan aku dalam keadaan tidak sadar. Dan dia tahu bahwa aku over dosis. Aku khawatir dia menanyakan pekerjaanku. Aku harus menyimpan rahasia ini. Aku tidak ingin ia kecewa denganku.

Dugaanku benar. Ia bertanya tentang pekerjaanku. Aku terdiam sesaat. Namun berkat desakannya aku tidak bisa berbohong. Semuanya aku ceritakan. Hanya kalimat istighfar yang akhirnya terucap dari mulutnya setelah mendengar penuturan jujurku. Aku semakin salah tingkah.

“Alangkah dhaifnya keimanan kamu, Firman. Kau telah menggadaikan aqidahmu hanya dengan sebuah pekerjaan. Kau keterlaluan.” Yudi menatapku. Darahku mendidih mendengar ucapan pedasnya.

“Demi hidup, Yud.. Semua itu aku lakukan demi untuk mencukupi kebutuhan keluargaku kelak.” Elakku membela diri. Walau jauh di lubuk hatiku membenarkan perkataan sahabatku itu. Alangkah murahnya harga keimananku. Aku telah menggadaikannya hanya demi uang. Tidak !! Jerit batinku kalut. Kelopak mataku memanas.

Awal Maret


Aku rindu kedamaian dan ketentraman. Aku rindu semua itu. Lama berkutat dalam dunia bisnis gelap telah melupakan aku akan kewajiban-kewajibanku. Lama aku tidak shalat. Aku telah menjadi kafir. Kafir dan kafir.

Allah… Maafkan hamba-Mu. Aku ingin lepas dari kemelut hitam ini. Beri hamba-Mu ini kekuatan, kesabaran serta hidayah.
Untuk kesekian kalinya aku tersungkur dalam sujud panjangku. Mataku membasah.


10 Maret


Bang Hari marah besar mendengar keputusanku. Dia mengancamku. Ia minta ganti rugi atas barang-barang yang aku konsumsi. Lima juta. Bukan jumlah yang sedikit. Tak ada jalan lain. Aku harus kabur dari kota ini. Aku tidak ingin Bang Hari menghajarku. Aku harus lari.

Malam, 15 Maret


Di sebuah kapal jurusan Madura…
Perasaanku was-was. Rasa khawatir tiba-tiba menyergap perasaanku saat kulihat tiga orang membuntutiku dari belakang. Aku berusaha untuk tetap tenang, namun waspada.
“Hei…!! Berhenti !!!” suara itu sangat keras. Aku menoleh. Tiga orang yang sedari tadi membuntutiku itu menatapku tajam. Tanpa harus banyak tanya aku sudah tahu kalau mereka itu anak buah Bang Hari. Aku yakin.

“Hei.. bocah gendeng. Jangan coba-coba lari dari kejaran kami !!!”
“Apa yang kalian inginkan ?” tanyaku basa-basi. Mereka semakin terpancing. Kemarahan mereka semakin membuncah.
“Ah…. Dasar !!! Rasakan ini!"
PRAGH..!!
Salah seorang dari mereka maju beberapa langkah seraya mendaratkan tendangannya ke arahku. Secepat kilat aku menghindar. Ia terjungkal beberapa langkah. Aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan. Secepat mungkin aku lari dan membaur di antara para penumpang kapal.

Door…door…!!
Allah…!! Aku terjungkal. Selama peluru bersarang di pundakku, darah segar membasahi koko putihku. Allahu Akbar…
Aku tersungkur. Semua berubah menjadi gelap.
* * *

(Sumber: untunx83)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar