Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullahu mengatakan: “Adalah kewajiban atas orang yang berilmu di setiap tempat untuk menjelaskan kepada umat tentang agama mereka dan menerangkan kepada mereka hakikat tauhid dan hakikat kesyirikan, sebagaimana wajib bagi mereka menjelaskan kepada manusia jalan-jalan menuju kesyirikan dan segala macam kebid’ahan yang terjadi agar mereka menjauhinya.” (Tuhfatul Ikhwan bi Ajwibah Muhimmah hal. 9)
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu menjelaskan: “Tidak mungkin bagi seseorang untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sempurna, sampai dia mengetahui dan mengilmui nama-nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga dia beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas ilmu.” (Muqaddimah Qawa’id Al-Mutsla hal. 20)
Asy-Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullah berkata: “Bila seorang muslim tidak bersenjatakan aqidah yang benar yang bersumber dari Al-Qur`an dan As-Sunnah serta apa yang telah dijalani oleh salaf umat ini, niscaya dia pantas untuk terombang-ambing dalam embusan arus angin penyesatan. Hal ini menuntut agar kita memberikan perhatian yang besar terhadap pengajaran aqidah yang benar kepada anak-anak kaum muslimin, yang disadur dari sumbernya yang asli.” (Muqaddimah beliau dalam Kitabut Tauhid)
Al-Imam As-Sa’di rahimahullahu menyatakan: “Segala kebaikan di dunia dan di akhirat merupakan buah dari tauhid. Dan segala kejahatan di dunia dan akhirat merupakan buah dari kesyirikan.” (Qawa’id Fiqhiyyah hal. 18)
Asy-Syaikh Hafizh bin Ahmad Al-Hakami rahimahullahu menegaskan: “Perkara pertama yang wajib diketahui oleh seorang hamba adalah apa tujuan mereka diciptakan, untuk apa Allah Subhanahu wa Ta’ala ambil perjanjian dari mereka, karenanya para rasul diutus, dengannya semua kitab diturunkan, karenanya dunia dan akhirat diciptakan, surga dan neraka diadakan, ditegakkan hari kiamat, dipancangkannya timbangan, ditebarkannya catatan-catatan amal, serta di atasnyalah kecelakaan dan kebahagiaan.” (A‘lamus Sunnah Al-Mansyurah hal. 33)
Wallahu a’lam.
(Sumber http://www.asysyariah.com/
Al Hasan Al Bashri Rahimahullah berkata, “Allah merahmati seseorang yang berfikir pada awal perencanaannya, apabila (rencananya itu) karena Allah ia lanjutkan, dan apabila karena selainnya ia tinggalkan.”
Sebagian ulama menjabarkan hal ini: apabila jiwa seseorang tergerak mengerjakan sesuatu, hendaknya ia merenung dan mengamati apakah rencananya itu dalam batas kesanggupannya atau tidak? Apabila ia di luar batas kesanggupannya, hendaknya ia berhenti. Sedangkan apabila masih dalam batas kesanggupannya, hendaknya ia merenung dan mengamati kembali, apakah menjalaninya yang lebih baik ataukah meninggalkannya. Apabila jawabannya yang kedua, hendaknya ia meninggalkannya dan tidak menjalaninya. Sedangkan apabila jawabannya yang pertama, ia merenung dan mengamati sekali lagi, apakah motivasinya mengharapkan wajah Allah Azza Wa Jalla dan pahala-Nya atau mengharapkan kedudukan, pujian dan harta dari makhluk? Apabila jawabannya yang kedua, hendaknya ia tidak menjalaninya meskipun rencananya membantunya meraih harapan-harapannya, agar jiwanya tidak terbiasa dengan kesyirikan sehingga menjadi ringan baginya berbuat bukan karena Allah, karena semakin ringan bagi seseorang berbuat demikian semakin berat pula baginya berbuat karena Allah Ta’ala, hingga ikhlas menjadi perkara yang terberat bagi dia.
Sedangkan apabila jawabannya adalah yang pertama, ia merenung dan mengamati lagi apakah faktor-faktor yang memudahkan terpenuhi, ia memiliki rekan-rekan yang siap membantu atau membelanya, apabila rencananya tersebut membutuhkan orang-orang yang membantunya? Apabila ia tidak memiliki rekan-rekan yang membantunya, hendaknya ia menahan dirinya sebagaimana Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabar dari berjihad di Makkah sampai ia memiliki kekuatan dan shahabat-shahabat yang membelanya. Dan apabila ia memiliki rekan-rekan yang menolongnya, silahkan ia lanjutkan karena sesungguhnya ia akan menang.
Keberhasilan tidak akan pergi kecuali dari orang yang menelantarkan salah satu dari perkara-perkara ini, karena kapan perkara-perkara di atas terpenuhi pada seseorang keberhasilan pasti menyertainya.
Ini adalah empat tingkatan, seseorang perlu menghisab dirinya pada tingkatan-tingkatan tersebut sebelum berbuat. Karena tidak semua yang ingin dilakukan seseorang, di dalam batas kesanggupannya. Dan tidak semua yang ia sanggupi, mengerjakannya lebih baik dari meninggalkannya. Dan tidak semua yang mengerjakannya lebih baik dari meninggalkannya, seseorang mengerjakannya karena Allah. Dan tidak semua yang niatnya karena Allah faktor-faktor pendukungnya terpenuhi. Apabila seseorang menghisab dirinya di atas empat tingkatan ini jelaslah baginya mana yang harus ia kerjakan dan mana yang harus ia tinggalkan.
Yang kedua: Menghisab diri sesudah berbuat. Dan hal ini ada tiga macam. Yang pertama, menghisab diri atas suatu ketaatan yang usai ia kerjakan namun ia kurang memenuhi hak Allah Subhanahu Wa Ta'ala padanya, sehingga ia belum menunaikannya dalam bentuk yang seharusnya.
Dan hak Allah di dalam suatu amalan ketaatan ada enam macam: ikhlas dalam berbuat, totalitas dalam beribadah kepada-Nya, mencontoh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dalam pelaksanaannya, mengakui segala karunia dan anugrah-Nya dan setelah itu mengakui kurangnya dia dalam memenuhi semua itu.
Maka ia menghisab dirinya apakah ia telah memenuhi hak tingkatan-tingkatan ini? Apakah ia sudah mendatangkan itu semua dalam ketaatan yang telah ia kerjakan ini?
Kedua, menghisab diri atas setiap perbuatan yang telah ia kerjakan, namun meninggalkannya lebih baik dari melakukannya.
Ketiga, menghisab dirinya atas perkara mubah atau kebiasaan yang telah ia kerjakan, kenapa ia kerjakan? Apakah ia mengerjakannya karena mengharapkan wajah Allah dan negeri akhirat? Sehingga ia menjadi orang yang beruntung, atau mengharapkan dunia dan kesenangannya yang sesaat, sehingga ia merugi tidak beruntung!
Sumber :Al Imam Ibnul Qayyim, Mawaridul Aman Al Muntaqa Ig
Tidak ada komentar:
Posting Komentar