Minggu, 06 Juni 2010

MEMAHAMI POLIGAMI I

Anak, istri seorang kawan pernah mengirim SMS kepada ayah, dalam SMS tersebut ia meminta agar ayah tidak lagi membicarakan masalah poligami dengan suaminya, karena sekarang ia merasa kalau suami tersebut sudah kurang perhatian kepadanya dan suami tersebut sepertinya ingin kembali kepada pacar lamanya sehingga ia jadi stress yang mengakibatkan ia keguguran kandungan… dan ia tak akan rela sampai kapanpun kalau suaminya menikah lagi dengan wanita lain.

Apa pendapatmu tentang poligami nak? Wow… ini merupakan masalah yang sangat menyeramkan tentunya bagi istrimu dan tentu juga bagi bunda kalian dan para wanita pada umumnya. Mungkin ketika ia membaca judul besarnya saja ia akan langsung melompatinya atau bisa jadi langsung mencampakkan hasil karya ayah ini.

Tapi ayah harap istrimu bisa lebih tenang terlebih dahulu lalu sedikit demi sedikit mau mencoba untuk membacanya. “Memangnya wanita mana yang mau dimadu? Sedang isteri Rasulullah saja tidak mau dimadu.” Ini adalah jawaban banyak isteri-isteri kita.

Anak, bagi seorang laki-laki (kalau ia seorang yang bertanggung jawab) poligami bukanlah suatu yang mudah. Ia membutuhkan pemikiran-pemikiran yang ekstra dan tanggung jawab yang ekstra pula. Beban pernikahan yang kedua bagi seorang laki-laki yang bertanggung jawab tadi mungkin sepuluh kali lebih besar dari pernikahan yang pertama. Mengapa? Karena pada umumnya pada pernikahan yang pertama tidak ada beban atau tanggung jawab moril dan materil yang harus ditinggalkan pada orang lain kecuali kepada wanita yang hendak kita nikahi.

Dan pada umumnya seorang wanita ketika hendak menikah sudah siap secara phisik dan mental dengan kondisi ekonomi laki-laki yang akan menikahinya, masalahnya sekarang adalah bagaimana caranya setelah pernikahan itu selalu ada peningkatan demi peningkatan pada taraf hidup mereka.

Sedangkan pada pernikahan kedua ada banyak hal yang harus masuk dalam pertimbangan-pertimbangan bagi laki-laki yang hendak melaksanakan poligami tadi, terutama adalah apakah dengan melaksanakan syariat poligami tadi rumah tangga yang selama ini di bangun tidak goyang dilanda badai perceraian. Mengapa ayah katakan perceraian? karena ada wanita yang lebih siap menghadapi perceraian dari pada di poligami. Dan kalau hanya sekedar tak rela atau menangis, wanita mana yang rela di poligami? Tapi mudah-mudahan dengan berjalannya waktu dan sikap yang baik serta adil darimu bisa merubah pandangan isterimu. Makanya kau harus bisa mengukur kesiapan isterimu dalam menerima syariat poligami ini, nak.

Dan juga tentang anak-anak kalian, apakah wanita yang akan kau nikahi itu bisa menerima bukan hanya dirimu akan tetapi juga anak-anak yang lahir dari rahim wanita lain yang tak lain dan tak bukan adalah madunya. Karena biasanya akan sulit bagi seorang wanita untuk bisa menyayangi seorang anak yang bukan anak kandungnya seperti anak kandung mereka sendiri.

Apakah juga wanita yang hendak kau nikahi tersebut bisa atau mau bekerja sama dengan istrimu yang lain. Ini penting nak, karena untuk mengurangi rivalitas dan kecemburuan yang berlebihan rasanya perlu juga kau membuat kontrak dengan istri kedua mu bahwa ia bukanlah yang pertama.

Dan berikutnya dengan kau mengawini wanita lain tersebut, apakah seluruh impian dan harapan-harapan yang tidak kau dapatkan dari isteri pertamamu bisa kau dapatkan dari istri kedua. Karena terus terang nak, dari sekian banyak para suami yang bicara dengan ayah tentang masalah ini, pada umumnya mereka bukanlah orang yang bermasalah dengan isterinya atau setidak-tidaknya bukan dalam proses perceraian.

Mereka pada umumnya adalah orang sangat mencintai keluarganya, akan tetapi ayah melihat ada harapan-harapan dan impian-impian dari masa lalu ataupun dari masa sekarang yang mungkin tidak mereka dapatkan dari isteri pertama tersebut, dan sesuatu tersebut mereka lihat ada pada wanita lain.

Dan untuk mendapatkan hal tersebut maka ia memilih untuk menikahi wanita lain tersebut secara halal. Maka terjadilah poligami.

Ada yang jadi pemikiran ayah ketika diperbolehkannya poligami untuk laki-laki serta dilarangnya poliandri untuk wanita. Ayah pernah membaca sebuah tulisan dari seorang penulis tentang bagaimana seorang wanita dan seorang pria memandang perkawinan. Bagi seorang pria, untuk melaksanakan sebuah perkawinan mereka tidak terlalu membutuhkan cinta, yang mereka perlukan pertama kali adalah rasa ketertarikan terhadap bentuk fisik dan hal-hal yang bersifat lahiriah yang ada pada wanita tersebut.

Sedangkan wanita pada umumnya mau melaksanakan sebuah perkawinan apabila ia benar-benar mencintai laki-laki tersebut atau setidak-tidaknya merasa yakin kalau laki-laki yang akan menikah dengannya adalah laki-laki yang ia cintai. Dari permasalahan diatas nampak bagi kita bagaimana tujuan seorang laki-laki membina sebuah rumah tangga dan bagaimana pula tujuan wanita dalam membina rumah tangga mereka. Pada umumnya para laki-laki (muslim) melaksanakan suatu pernikahan disebabkan oleh karena mereka ingin menjaga kehormatannya dari berbuat zina selain ingin mendapatkan keturunan.

Sedangkan bagi wanita muslimah, bagi mereka ketika melaksanakan suatu perkawinan yang mereka harapkan bukan hanya menghindari diri dari zina tersebut, akan tetapi perkawinan juga memiliki nilai yang sangat sakral dalam kehidupan mereka.

Perkawinan bagi seorang wanita adalah penyerahan diri secara utuh kepada laki-laki yang menikahinya, baik itu masa depannya, harapannya dan mimpi-mimpinya. Dalam segala hal wanita juga akan bergantung kepada laki-laki yang menikahinya, walaupun ia telah memiliki nafkah sendiri. Dari permasalahan diatas nampak bagi kita kalau tujuan pertama dari laki-laki untuk menikah adalah seks, sedangkan tujuan utama dari seorang wanita untuk menikah adalah cinta. Sebenarnya ini adalah sebuah paradoks, tapi kalau didalami dan dihayati benar maka paradoks ini justru akan saling mengisi dan menopang hakekat terdalam dari sebuah perkawinan.

Ada lagi perbedaan besar antara seorang laki-laki dan seorang wanita dalam memahami ma’na cinta, nak. Laki-laki memandang cinta sebagai sesuatu yang sangat fleksibel, sedang wanita memandang cinta sebagai sesuatu yang sangat statis.

Laki-laki memandang cinta seperti sebuah jerigen air yang mengisi gelas-gelas, walaupun ia telah mengisi gelas yang banyak dengan jerigen airnya, akan tetapi gelas-gelas tersebut tidak kosong karenanya.

Alasan mereka; kalau sebelum menikah, dia sangat mencintai kedua orang tuanya dan juga saudaranya, dia merasakan kalau setelah menikah dengan wanita lain, cintanya tidak berkurang sedikitpun kepada kedua orang tuanya walaupun telah ada orang lain yang ia cintai yaitu isterinya. Demikian juga ketika anaknya lahir 1, 2, 3 dst. Dia tak pernah merasakan cintanya berkurang kepada orang tuanya, saudaranya dan kepada isterinya. Malahan dia akan merasakan cinta yang bertambah-tambah dengan kehadiran anak-anak mereka.

Akan tetapi wanita memandang cinta tersebut seperti gelas yang berisi air, ketika air dalam gelas itu dibagikan pada gelas yang lain maka secara otomatis isi gelas yang pertama akan berkurang. Demikian pula selanjutnya, apabila isi gelas yang pertama tadi dibagikan pula kepada gelas ketiga dan keempat maka secara otomatis isi gelas itu akan semakin bertambah kurang. Inilah dalil yang banyak dipakai oleh para wanita sehingga mereka sangat keras menentang suami mereka poligami karena menganggap cinta kepada mereka akan berkurang bahkan bisa jadi tidak ada apabila ada perempuan lain masuk dalam kehidupan rumah tangga mereka.

Kalau kau bertanya,” lantas ayah menyakini pendapat yang mana?” maka dengan sangat hormat ayah katakan, kalau ayah “berpegang pada pendapat pertama”. Tentunya kau akan berkata lagi,” wajar saja ayah berpegang pada pendapat pertama, sebab ayah kan laki-laki !” maka ayah jawab,” ini bukan masalah laki-laki atau wanita, ini adalah masalah realitas. Kalian lihatlah kehidupan rasulullah, apakah ketika ia menikahi Aisyah maka cintanya berkurang kepada Khadijah, walaupun Khadijah sudah meninggal? Atau apakah ketika ia menikahi istri-istri yang lain maka cintanya kepada Aisyah dan kepada Hafsah berkurang? Sekali lagi tidak.

Kalau kalian membaca secara seksama kehidupan rumah tangga tersebut maka kalian akan takjub kepada para isteri tersebut. Dan kalau kalian membaca sejarah para isteri tersebut maka kalian akan ma’lum mengapa para isteri tersebut saling mencemburui. Karena masing-masing mereka mempunyai kelebihan yang tak bisa dimiliki oleh yang lainnya.

Anakku, ketahuilah dalam setiap kehidupan manusia pasti ada yang kurang dan ada yang berlebih, baik itu dalam bentuk fisik maupun mental. Inilah sebenarnya yang ayah lihat dalam kehidupan rasulullah, karena seorang istri tak bisa mengalahkan kebaikan yang ada pada isteri yang lainnya, maka timbullah perasaan cemburu kepada sesama madu.

Masing-masing isteri tersebut memiliki kelebihan yang sangat menonjol dibandingkan isteri yang lainnya, sedangkan kekurangan mereka tidak nampak karena besarnya kebaikan yang terdapat pada masing-masing isteri tersebut. Sebut saja khadijah, siapa yang bisa menandinginya dalam masalah pengorbanan. Aisyah, dengan kecantikan dan kecerdasannya, hafsah dengan kesalehannya, dll.

Maka sebenarnya tidak ada alasan bagi seorang wanita untuk melarang suaminya menikah hanya karena takut tidak lagi dicintai. Maka saran ayah kalau suatu saat kau ingin menerapkan sunnah Rasulullah yang sangat tidak disukai oleh para wanita ini, adalah.

Pertama, hendaknya kau tanamkan kesadaran kepada isterimu tentang pentingnya syariat poligami ini. Apalagi untuk jaman sekarang yang para wanitanya lebih banyak dari jumlah laki-laki yang sebenarnya mengharuskan para laki-laki yang sudah beristri untuk mengambil isteri lebih dari satu. Tapi kadang-kadang anehnya banyak pula dikalangan wanita muslimah yang lebih memilih tidak menikah, atau menunggu orang yang bujangan datang melamarnya atau sebagai pilihan terakhir menikah dengan orang awam.

Untuk alasan yang terakhir ini, wanita muslimah ini biasanya mengatakan bahwa kalau ia menikah dengan orang awam atau dengan sesama orang pergerakan walau tidak satu fikroh, mereka bisa diajak untuk mengikuti kebenaran yang ia miliki.

Tapi pada kenyataannya dari sekian orang yang berprinsip seperti ini hanya satu atau dua orang yang berhasil mengajak pasangannya untuk mengaji yang hak bersama mereka, bahkan dari beberapa kasus yang ayah lihat mereka ini lebih banyak yang futurnya dibandingkan tetap konsisten di jalan kebenaran ini.

Kau mungkin mengatakan kalau ayah hanya menakut-nakutimu saja. Kalau kau tidak percaya silahkan kau coba, satu hal yang harus kau ketahui bahwa hidayah Allah bukan di tanganmu nak, akan tetapi ia adalah hak Allah. Apakah kau belum pernah membaca kisah Nabi Nuh, Nabi Musa, Nabi Luth dan kisah Rasulullah sendiri dengan pamannya. Kau belajarlah dari sirah mereka maka mengapa kau mau mempertaruhkan sesuatu yang kau tak tahu apakah kau akan sanggup merobahnya atau tidak.

Kedua, apabila isterimu telah mendengar keterangan darimu tapi ia tak juga mau menerima adanya wanita lain masuk dalam kehidupanmu dan kehidupannya dengan alas an yang tidak syar’i. Maka ayah harap kau mau bersabar sampai kau bisa mendapatkan waktu yang tepat untuk melaksanakan niatmu tersebut. Dan kau harus siap dengan segala resikonya.

Ketiga, Setelah semua hak dan kewajibanmu telah kau laksanakan, maka jalankan apa yang sudah menjadi tekadmu, apapun yang terjadi.

(Dari tulisan "KEPADA ANAK-ANAKKU; SEBUAH RENUNGAN TENTANG HIDUP" Oleh Abu Umar Abdul Aziz)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar