Kamis, 03 Juni 2010

MUHASABAH – Intropeksi Diri -

Introspeksi diri dalam bahasa ilmiah dikenal dengan istilah Muhasabatun-nafs. Dia merupakan perkara yang sangat penting. Jiwa manusia tidak akan baik kecuali mau mengintrospeksi dirinya sendiri. Barangsiapa yang introspeksi diri pada hari ini dia akan selamat pada hari esoknya, insya' Allahu Ta'ala.

Muhasabatun-nafs dilakukan dengan cara bertanya pada diri sendiri, merenungi, BERKACA TERHADAP AIB DAN KEKURANGAN. KEJUJURAN dan MAU MENGAKUI KESALAHAN adalah di antara kunci ke­berhasilan muhasabatun-nafs.

Apa yang diharapkan dari muhasabatun-nafs? PERUBAHAN YANG NYATA, itulah yang menjadi tujuannya. Dari jelek menuju baik, mak­siat menuju taat, lalai menjadi ingat.

Bagaimanakah sebenarnya kedudukan introspeksi diri dalam menempa jiwa agar bersih dan baik?

Definisi Muhasabah an-Nafs

Imam al-Mawardi رحمه الله mengatakan: "Muha­sabah adalah mengintrospeksi diri pada malam hari terhadap aktivitasnya di siang hari. Apabila terpuji maka dilanjutkan dengan perbuatan yang semisal. Jika ternyata jelek, dia akan memperbaiki dan tidak mengulanginya di hari esok." (Adab Dunya wa ad-Din hlm. 560, al-Mawardi, Tahqiq, Yasin Muhammad as-Sawas)

Muhasabah adalah ketika akal memperhatikan kondisi jiwa, semakin baik atau semakin rusak. Se­lalu bertanya terhadap perbuatan yang dikerjakan. Mengapa dikerjakan, dan untuk siapa? Jika kebaik­an ini karena Alloh عزّوجلّ dia akan meneruskannya, jika tidak maka dihentikan. Dia akan selalu mencela jiwa atas kelalaian dan kesalahan, jika bisa ditambal dengan perbuatan baik yang menghapusnya, dia akan segera mengerjakannya." (Silsilah A'mal al-Qulub hlm. 269, Qism Tahqiq bi Markaz Dr. Abdul Warits al-Haddad, Kairo)

Hukumnya

Imam Ibnul Qoyyim رحمه الله mengatakan: "Karena seorang hamba akan dihisab ATAS SEGALA SESUATU, sampai pendengaran, mata dan hatinya sebagai­mana Alloh berfirman:

إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولـئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولاً

“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, SEMUANYA ITU AKAN DIMINTA PERTANGGUNGAN JAWABNYA.” (QS. al-Isro’ [17]: 36)

Semestinya setiap insan muhasabah dirinya sebe­lum dia diteliti dalam perhitungan hari kiamat. Yang menunjukkan wajibnya introspeksi diri ada­lah firman Alloh سبحانه و تعالي yang berbunyi:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Alloh dan hendaklah SETIAP DIRI memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat)." (QS. al-Hasyr [59]: 18)

Yaitu hendaklah setiap orang melihat apa yang sudah diperbuatnya untuk hari kiamat, apakah amalannya termasuk amalan yang sholih yang bisa menyelamatkan dirinya ATAUKAH AMALAN JELEK yang akan membinasakannya. Walhasil, bahwa ke­baikan hati adalah dengan muhasabah diri. HATI AKAN JELEK JIKA DIREMEHKAN DAN DITINGGALKAN."

(Ighotsatul Lahfan: 1/167, Ibnul Qoyyim, Tahqiq, Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid)

Klasifikasi Jiwa Manusia

Jiwa manusia ada tiga macam:

1. Jiwa yang Jelek

Dia adalah jiwa yang selalu memerintahkan ber­buat kejelekan, mengikuti hawa nafsu, kesesatan dan tempat-tempat yang jelek. Mengenai jenis jiwa ini Allah سبحانه و تعالي berfirman:

وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي إِنَّ النَّفْسَ لأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلاَّ مَا رَحِمَ رَبِّيَ إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَّحِيمٌ

"Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Rabbku. Sesungguhnya Rabbku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Yusuf [12]: 53)

Syaikh Ibnu Utsaimin رحمه الله berkata: "Kejelekan jiwa itu berkisar dua perkara: mengerjakan kemak­siatan atau lemah dalam mengerjakan ketaatan." (Syarah al-Ushul min Ilmi al-Ushul hlm.10)

2. Jiwa yang Tenang dan Bagus

Dia adalah jiwa yang memerintahkan kebaikan dan melarang dari kejelekan. Selalu tenang, ingat kepada Allah kembali dan taubat kepada-Nya, dan selalu dekat dan rindu berjumpa dengan Allah.

يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ. ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً

"Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Rabbmu de­ngan hati yang puas lagi diridhoi-Nya." (QS. al-Fajr [89]: 27-28)

3. Jiwa yang Selalu Mencela dan Menyesal

Jiwa jenis ini ada yang mengatakan adalah sifat bagi jiwa yang baik dan jelek. Karena jiwa yang baik akan mencela perbuatan jelek, dan jiwa yang jelek akan mencela perbuatan baik. Allah سبحانه و تعالي berfirman:

لَا أُقْسِمُ بِيَوْمِ الْقِيَامَةِ. وَلَا أُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ

"Aku bersumpah demi hari kiamat. Dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri)." (QS. al-Qiyamah [75]: 1-2)" (Lihat Ighotsatul Lahfan: 1/153-156, Ibnul Qoyyim, at-Ta'liq 'ala al-Qowaid wal Ushul al-Jami'ah hlm.11, Ibnu Utsaimin)


Keutamaan dan Manfaat Intropeksi Diri

1. Allah Mmemerintahkannya

Berdasarkan firman Allah سبحانه و تعالي yang berbunyi:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ. وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنسَاهُمْ أَنفُسَهُمْ أُوْلَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertak­walah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengeta­hui apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang LUPA KEPADA ALLAH, lalu ALLAH MENJADIKAN MEREKA LUPA KEPADA DIRI MEREKA SENDIRI. Mereka itulah orang-orang yang fasik." (QS. al-Hasyr [59]: 18-19)

Syaikh Abdurrahman as-Sa'di رحمه الله mengatakan:

"Ayat yang mulia ini adalah dalil tentang muha­sabah seorang hamba terhadap dirinya. Dan su­dah selayaknya bagi manusia untuk berintrospeksi diri. Jika dia menjumpai kekurangan, maka wajib menambalnya dan berlepas diri dari dosa dengan taubat serta berpaling dari segala sebab yang bisa membawa dosa.

Jika dia menilai bahwa dirinya banyak meremehkan perintah-perintah Allah عزّوجلّ, maka hendaknya ia bersungguh-sungguh dan me­minta pertolongan kepada Allah عزّوجلّ agar diberi­kan kekuatan untuk menjalankan perintah. Maka yang terhalang dari kebaikan adalah orang yang lalai dari perkara ini, dia seperti kaum yang lupa kepada Allah عزّوجلّ, tidak ingat hak-hak Allah عزّوجلّ, dan dia malah berpaling mengikuti hawa nafsu! Aki­batnya Allah عزّوجلّ melupakan mereka, melupakan kebaikan dan manfaat bagi mereka.

Jadilah perkara mereka tidak membuahkan apa pun. Mereka kem­bali dalam keadaan merugi dunia dan akhirat, ter­tipu dan tidak mungkin ditambal, karena mereka adalah orang-orang yang fasik." (Taisir Karim ar-Rohman hlm.1014)

2. Introspeksi Diri Adalah Jalan Selamat Bagi Jiwa

Seorang muslim diibaratkan sebagai TAWANAN di dunia ini. Dia tidak akan merasa aman sedikit pun hingga berjumpa dengan Allah عزّوجلّ.(Mukhtashor Minhajul Qoshidin hlm.471, Ahmad bin Abdurrohman al-Maqdisi, Tahqiq: Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid).

Segala tindakannya akan ditanya pada hari esok. Oleh karenan­ya bagi orang yang berintrospeksi diri kemudian bangkit dengan memperbaiki arah hidupnya, dia akan memetik buahnya di hari yang tiada guna lagi harta dan anak. Allah عزّوجلّ berfirman:

يَوْمَ يَبْعَثُهُمُ اللَّهُ جَمِيعاً فَيُنَبِّئُهُم بِمَا عَمِلُوا أَحْصَاهُ اللَّهُ وَنَسُوهُ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ

"Pada hari ketika mereka dibangkitkan Allah semuanya, lalu diberitakan-Nya kepada mereka apa yang telah me­reka kerjakan. Allah mengumpulkan (mencatat) amal perbuatan itu, padahal mereka telah melupakannya. Dan Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu." (QS. al-Mu-jadilah [58]: 6)

Dan juga firman Allah سبحانه و تعالي:

يَوْمَ تَجِدُ كُلُّ نَفْسٍ مَّا عَمِلَتْ مِنْ خَيْرٍ مُّحْضَراً وَمَا عَمِلَتْ مِن سُوَءٍ تَوَدُّ لَوْ أَنَّ بَيْنَهَا وَبَيْنَهُ أَمَداً بَعِيداً وَيُحَذِّرُكُمُ اللّهُ نَفْسَهُ وَاللّهُ رَؤُوفُ بِالْعِبَادِ

"Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala keba­jikan dihadapkan (dimukanya), begitu (juga) kejahatan yang telah dikerjakannya: ia ingin kalau kiranya antara ia dengan hari itu ada masa yang jauh: dan Allah memperingatkan kamu terhadap siksa-Nya. dan Allah sangat Penyayang kepada hamba-hamba-Nya." (QS. Ali Imron [3]: 30)

Ketahuilah, sebagaimana orang yang berge­lut dalam dunia bisnis dan perdagangan, mereka menghitung hasil usahanya di akhir bulan atau tahun. Demikian pula hendaknya seorang muslim menghitung terhadap amalannya.

Bila pedagang menghitung hasil usahanya un­tuk mengetahui untung dan rugi, adapun seorang muslim yang dicari dengan introspeksi diri adalah keuntungan akhirat dengan meraih jiwa yang ber­sih. Karena hal itu adalah inti kebahagiaan dirinya. Allah سبحانه و تعالي berfirman:

قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا. وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّاهَا

"Sesungguhnya beruntung lah orang yang menyucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang me­ngotorinya." (QS. asy-Syams [91]: 9-10)

3. Introspeksi Diri Akan Menghantarkan Taubat Kepada Allah عزّوجلّ

Orang yang melihat keadaan dirinya ternyata berada dalam kekurangan akan segera memper­baiki dan bertaubat kepada Allah عزّوجلّ

Allah سبحانه و تعالي berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ اتَّقَواْ إِذَا مَسَّهُمْ طَائِفٌ مِّنَ الشَّيْطَانِ تَذَكَّرُواْ فَإِذَا هُم مُّبْصِرُونَ

"Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari setan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalah­annya." (QS. al-A'rof [7]: 201)

Hasan al-Bashri رحمه الله berkata: "Seorang hamba akan senantiasa berada dalam kebaikan selama dia introspeksi diri dan hal itu menjadi perhatiannya." (Muhasabah an-Nafs No.34, Nadhrotun Na’im: 8/3323)

4. Mengingatkan Perhitungan di Akhirat

Seluruh hamba pasti akan diadili Allah عزّوجلّ. Sebe­lum kita mengalami, ada baiknya kita introspeksi diri dan menghitung amalan sendiri. Alangkah bagusnya ucapan sahabat mulia Umar bin Khaththab رضي الله عنه tatkala berkata: "Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab. Timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang. Karena hal itu akan lebih ringan bagi kalian dalam menghadapi hari hisab besok." (Muhasabah an-Nafs No.22, Ibnu Abi Dunya, Nadhrotun Na’im: 8/3322)

5. Obat Penyakit Hati

Sebab utama munculnya penyakit hati adalah bersumber DARI DIRI SENDIRI. Tidaklah penyakit ini bisa hilang kecuali dengan introspeksi dan BERUSAHA MENGUBAH DIRI PRIBADI MENJADI LEBIH BAIK. Allah سبحانه و تعالي berfirman:

إِنَّ اللّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنْفُسِهِمْ

"Sesungguhnya Allah tidak mengubah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri." (QS. ar-Ro'd [13]: 11)

Imam Ibnul Qayyim رحمه الله berkata: "Sesungguh­nya seluruh penyakit hati itu berasal dari jiwa. Se­luruh kotoran bermuara pada jiwa, menyerap dan menjalar ke seluruh anggota badan, dan yang per­tama kali akan menerimanya adalah hati." (Ighotsatul Lahfan: 1/74)

6. Disibukkan Dengan Aib Diri Sendiri

Abu Darda رضي الله عنه berkata: "Tidaklah seseorang di­katakan faqih hingga dia membenci manusia kare­na Allah سبحانه و تعالي kemudian dia menilai dirinya sendiri, sehingga dia akan sangat benci terhadap dirinya." (Az-Zuhd No.134, Ighotsatul Lahfan: 1/168)

Bentuk-Bentuk Intropeksi Diri

1. Introspeksi Diri Sebelum Beramal

Yang bisa dilakukan untuk tujuan ini ialah de­ngan melihat dan memperhatikan KEINGINAN JIWA KETIKA AKAN BERBUAT. Hendaknya dia MENILAI apa­kah keinginan yang terlintas itu untuk kebaikan dan ada manfaatnya ataukah kejelekan semata. Jika baik maka bisa dikerjakan, namun jika tidak hen­daknya dibatalkan.

Hasan al-Bashri رحمه الله berkata: "Semoga Allah merahmati seseorang yang bisa me­nilai ketika timbul keinginannya. Jika keinginannya karena Allah dia teruskan, namun apabila untuk selain-Nya dia akhirkan." (HR. al-Baihaqi dalm Syu’akbul Iman: 5/458)

Jenis muhasabah sebelum beramal ini sangat penting untuk menimbang apakah amalan yang akan kita kerjakan baik ataukah jelek, ikhlas kare­na Allah عزّوجلّ ATAUKAH INGIN RIYA'.

Agar benar-benar amalan kita diterima di sisi Allah عزّوجلّ dan tidak sekedar beramal tanpa mempedulikan akibatnya, sehingga termasuk dalam firman Allah عزّوجلّ yang berbunyi:

عَامِلَةٌ نَّاصِبَةٌ. تَصْلَى نَاراً حَامِيَةً

"Bekerja keras lagi kepayahan, memasuki api yang sa­ngat panas (neraka)." (QS. al-Ghosyiyah [88]: 3-4)

2. Introspeksi Diri Setelah Beramal

Jenis introspeksi ini ada tiga bentuk:

A. Introspeksi diri terhadap ketaatan yang su­dah dikerjakan akan tetapi masih ada celah-celah yang kurang. Yang harus dipenuhi ke­tika mengerjakan ketaatan adalah ikhlas dan mutaba'ah Rasulullah صلي الله عليه وسلم . Hendaklah dua perkara ini menjadi inti perhatiannya dalam beramal.
Introspeksi diri terhadap seluruh perbuatan yang bila ditinggalkan akan lebih baik daripada diker­jakan.

Contoh kongkretnya adalah bila mengerjakan kemaksiatan atau mengerjakan perbuatan yang tidak wajib hingga perkara yang wajib ter­lalaikan, seperti orang yang shalat tahajjud se­malam suntuk hingga shalat subuhnya terlewat­kan.

B. Introspeksi diri terhadap perkara yang boleh atau kebiasaan. Yaitu dengan bertanya diri sendi­ri apakah saya mengerjakannya ada niat ibadah ataukah sekedar rutinitas biasa. Karena perkara yang boleh bisa bernilai ibadah jika diniatkan ibadah. Sahabat Mulia Mu'adz bin Jabal radhiyallahu 'anhu per­nah berkata:

أَمَّا أَنَا فَأَقُومُ وَأَنَامُ وَأَرْجُو فِي نَوْمَتِي مَا أَرْجُو فِي قَوْمَتِي

"Adapun saya, maka saya shalat dan tidur. Dan saya berharap dalam tidur saya apa yang saya harapkan dalam shalat saya." (HR. al-Bukhori: 4086, Mus­lim: 1733). (Ighotsatul Lahfan: 1/162-164, Ibnul Qoyyim)

Bagaimana Anda Memulai Intropeksi Diri

Imam Ibnul Qayyim رحمه الله berkata:

"Hendaknya mulai dari perkara-perkara yang wajib, apabila menjumpai kekurangan maka berusahalah untuk menutupnya. Kemudian perkara-perkara yang di­larang, jika sadar bahwa dirinya pernah menger­jakan yang haram maka tambah lah dengan taubat, istighfar dan perbuatan baik yang bisa menghapus dosa.

Kemudian introspeksi diri terhadap perkara yang melalaikan dari tujuan hidup ini. Jika sela­ma ini banyak lalai, maka hilangkan lah kelalaian tersebut dengan banyak dzikir, menghadap Allah عزّوجلّ.

Kemudian introspeksi diri terhadap anggota badan, ucapan yang keluar dari lisan, langkah kaki yang diayunkan, pandangan mata yang dilihat, telinga dalam hal yang didengarkan. Tanyakan­lah dalam diri, apa yang saya inginkan dengan ini, untuk siapa saya kerjakan dan bagaimana saya mengerjakannya."

(Ighotsatul Lahfan: 1/165)

1. Umar Bin Khaththab رضي الله عنه

Anas bin Malik رضي الله عنه berkata: Suatu hari aku pernah pergi bersama Umar Bin Khaththab. Tatkala beliau masuk ke sebuah kebun, saat itu antara aku dan beliau dipisahkan dengan sebuah tembok, aku mendengarnya berkata: Umar bin Khaththab adalah Amirul Mukminin, uh, tidak berguna!, demi Allah, engkau taatlah kepada Allah wahai Ibnu Khaththab atau jika tidak engkau akan disiksa oleh-Nya!." (Muhasabah an-Nafs No.23, Ibnu Abi Dunya).

2. Hanzhalah al-Usaidi رضي الله عنه

Abu Bakr dan Hanzhalah رضي الله عنهما datang menemui Rasulullah صلي الله عليه وسلم. Hanzhalah رضي الله عنه berkata: "Wahai Rasulullah, Hanzhalah telah berbuat nifak!." Rasulullah صلي الله عليه وسلم menjawab: "Mengapa bisa demikian wahai Hanzhalah?" Hanzhalah menjawab: "Wahai Rasu­lullah, kami jika bersamamu, ingat surga, neraka, hingga seolah-olah kami melihatnya dengan mata kepala langsung. Namun bila kami keluar dari si­simu, kami tersibukkan dengan istri, anak dan mencari nafkah, sehingga kami banyak lupa dan lalai." Mendengar hal itu Rasulullah صلي الله عليه وسلم bersabda: "Demi dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, jika kalian KONSISTEN dengan keadaan kalian seperti ke­tika berkumpul bersamaku DAN SELALAU INGAT, maka para malaikat akan menyalami di tempat-tempat tidur kalian, di jalan-jalan kalian, akan tetapi wahai Hanzhalah, waktu, waktu, beliau mengucapkannya tiga kali." (HR. Muslim: 2750)

3. Sufyan Bin Uyainah

Dia berkata: "Ada salah seorang dari kalangan salaf bertemu saudaranya, lantas dia berkata: Wahai saudaraku, bertakwalah kepada Allah, jika engkau mampu tidak menyakiti orang yang engkau cintai maka lakukanlah!. Laki-laki itu keheranan sambil bertanya: Apakah ada orang yang menyakiti orang yang ia cintai? Salaf itu menjawab: Ya, jiwamu itu adalah sesuatu yang paling berharga bagimu, apa­bila engkau bermaksiat kepada Allah, sungguh engkau telah menyakiti jiwamu!" (Muhasabah an-Nafs No.96)

4. Abdullah Bin Mubarak

Suatu hari Abdullah bin Mubarak pernah di­tanya: "Mengapa KAMU TIDAK DUDUK-DUDUK BERSAMA KAMI?" Beliau menjawab: "Aku pergi bersama para sahabat dan tabi'in!" yang bertanya berkata: Di mana ada para sahabat dan tabi'in? Beliau men­jawab: Aku pergi MERENUNGI dan MEMPELAJARI ILMU MEREKA, sehingga aku MENDAPATI PENGARUH ILMU DAN AMALAN MEREKA. Namun, apa yang bisa aku perbuat jika bersama kalian, KALIAN HANYA MENGGIBAH MANUSIA!" (Hilyah Auliya: 8/164)

5. Ibrahim at-Taimiy

Dia berkata: "Aku ibaratkan diriku berada dalam surga, aku makan buah-buahannya, minum dari su­ngainya dan berkumpul dengan para bidadarinya. Dan aku ibaratkan juga bahwa diriku berada dalam neraka, aku makan dari buah zaqumnya, minum dari lelehan apinya, berusaha melepaskan diri dari rantai-rantai yang mengikat. Aku berkata kepada diriku: Wahai jiwa, apa yang engkau inginkan? Jiwa berkata: Aku ingin dikembalikan ke dunia, sehingga aku bisa beramal shalih. Aku berkata: engkau berada dalam angan-angan belaka, beramallah!" (Muhasabah an-Nafs No.34)

(Ditulis oleh Abu Abdillah Syahrul Fatwa bin Luqman خفظه الله, disalin dari Majalah al-Furqon Edisi 8, th. Ke-9 1431/2010, di-download dari http://ibnumajjah.wordpress.com/?s=introspeksi+diri)

Zadanallah ilman wa hirshan....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar