Pentingnya sholat jama’ah dalam kehidupan salaf sulit digambarkan dengan suatu ekspresi, dan susah dijelaskan manisnya sholat jama’ah bagi pribadi mereka. Kita Cuma bisa menggambarkan urgensi dan kedudukan sholat jama’ah di sisi para salaf dengan meneropong kehidupan mereka lewat atsar-atsar yang dinukil dan dibukukan oleh para ulama’ kita.
Meninggalkan Sholat Jama’ah Ciri Orang Munafik
Di zaman Nabi –Shollallahu alaihi wa sallam- dan para sahabatnya, sholat jama’ah merupakan perkara yang amat diperhatikan. Mereka takut tertimpa penyakit munafiq jika meninggalkan sholat jama’ah, karena orang-orang munafik malas melaksanakan sholat jama’ah.
Allah –Ta’ala- berfirman,
”Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka, dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali”. (QS.An-Nisaa’: 14)
Abul Fida’ Isma’il Ibnu Katsir Ad-Dimasyqiy -rahimahullah- berkata ketika menafsirkan ayat ini, “Inilah sifatnya orang-orang munafiqin dalam amalan yang paling mulia, paling utama, dan paling baik-yaitu sholat-, jika mereka berdiri untuk sholat. Mereka berdiri dalam keadaan malas sholat. Karena mereka tidak memiliki niat (maksud keinginan) untuk sholat, tidak pula memiliki keimanan tentangnya, dan tidak pula mereka memiliki rasa takut (kepada Allah), serta mereka tidak memahami maknanya”.[Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim (1/743)]
Jadi, kebiasaan orang-orang munafiq adalah malas mendirikan sholat di masjid bersama jama’ah kaum muslimin karena mereka tak memahami hakekat sholat jama’ah. Mereka tak tahu bahwa sholat jama’ah merupakan jalan-jalan petunjuk yang telah ditetapkan oleh Allah melalui lisan Rasul-Nya, Muhammad –Shollallahu alaihi wa sallam-.
Sahabat Anas bin Malik–radhiyallahu anhu- berkata,
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَلْقَى اللهَ غَدًا مُسْلِمًا فَلْيُحَافِظْ عَلَى هَؤُلَاءِ الصَّلَوَاتِ حَيْثُ يُنَادَى بِهِنَّ فَإِنَّ اللهَ شَرَعَ لِنَبِيِّكُمْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُنَنَ الْهُدَى وَإِنَّهُنَّ مِنْ سُنَنِ الْهُدَى وَلَوْ أَنَّكُمْ صَلَّيْتُمْ فِيْ بُيُوْتِكُمْ كَمَا يُصَلِّيْ هَذَا الْمُتَخَلِّفُ فِيْ بَيْتِهِ لَتَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ وَلَوْ تَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ لَضَلَلْتُمْ وَمَا مِنْ رَجُلٍ يَتَطَهَّرُ فَيُحْسِنُ الطَّهُوْرَ ثُمَّ يَعْمِدُ إِلَى مَسْجِدٍ مِنْ هَذِهِ الْمَسَاجِدِ إِلَّا كَتَبَ اللهُ لَهُ بِكُلِّ خُطْوَةٍ يَخْطُوْهَا حَسَنَةً وَيَرْفَعُهُ بِهَا دَرَجَةً وَيَحُطُّ عَنْهُ بِهَا سَيِّئَةً وَلَقَدْ رَأَيْتُنَا وَمَا يَتَخَلَّفُ عَنْهَا إِلَّا مُنَافِقٌ مَعْلُوْمُ النِّفَاقِ وَلَقَدْ كَانَ الرَّجُلُ يُؤْتَى بِهِ يُهَادَى بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ حَتَّى يُقَامَ فِي الصَّفِّ
“Barangsiapa yang ingin bergembira menemui Allah besok dalam keadaan muslim, maka jagalah sholat-sholat itu tatkala dikumandangkan. Karena Allah telah mensyari’atkan sunanul huda (jalan-jalan petunjuk) bagi Nabi kalian -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, dan sesungguhnya dia (sholat-sholat wajib) itu merupakan sunanul huda (jalan-jalan petunujuk). Andaikan kalian sholat (fardhu) di rumah kalian sebagaimana orang (munafiq) yang tinggal di rumahnya, maka kalian telah meninggalkan sunnah (petunjuk) Nabi kalian. Andaikan kalian meninggalkan petunjuk Nabi kalian, maka kalian akan sesat. Tak ada seorang pun yang bersuci, lalu ia memperbaiki bersucinya, kemudian ia ke masjid di antara masjid-masjid, melainkan Allah akan tuliskan kebaikan bagi setiap langkah yang ia ayunkan, Dia (Allah) akan mengangkat derajat orang itu dengannya, dan menghapus dosanya dengannya. Kami telah menyaksikan orang-orang diantara kami, tak ada yang tertinggal dari sholat jama’ah, kecuali orang munafiq yang nyata kemunafiqannya. Sungguh ada seorang laki-laki didatangkan sambil dipapadi antara dua orang sampai ia ditegakkan dalam shaf” . [HR.Muslim dalam Kitab Al-Masajid wa Mawadhi' Ash-Sholah(654), dan Ibnu Majah dalam Kitab Al-Masajid wa Al-Jama'at (777)]
An-Nawawiy-rahimahullah- berkata, “Dalam perkara ini semua terdapat penekanan masalah sholat jama’ah, menanggung penderitaan dalam menghadirinya, dan bahwa jika seorang yang sakit dan semacamnya mungkin sampai kepada sholat jama’ah, maka dianjurkan untuk menghadirinya”. [Lihat Syarh Shohih Muslim (5/159)]
Jadi, Sholat jama’ah merupakan ciri khas seorang mukmin. Tak ada yang meninggalkannya, kecuali orang-orang munafiq yang dikuasai oleh setan. Nabi -Shollallahu alaihi wa sallam- bersabda, “Tidaklah tiga orang dalam suatu kampung dan pedalaman, yang tidak ditegakkan diantara mereka sholat, kecuali setan akan menguasai mereka. Lazimilah (sholat) jama’ah, karena serigala akan memangsa kambing yang jauh (sendirian)”. [HR. Abu Dawud dalam As-Sunan (547), An-Nasa’iy dalam As-Sunan (847). Di-hasan-kan Al-Albaniy dalam Shohih Al-Jami' (5577)]
Perhatikan bagaimana kehidupan para sahabat dalam menjaga sholat jama’ah, sampai ada orang sakit yang dipapa, dituntun diantara dua orang demi menghadiri sholat jama’ah. Mereka bukanlah seperti orang-orang di zaman kita ini, mereka malah berbangga meninggalkan sholat jama’ah, dan sebaliknya canggung menghadirinya karena dalih “kolot”. Dia menganggap orang-orang yang menghadiri sholat jama’ah sebagai orang-orang kolot karena masih saja mau mengikuti para sahabat. Semoga Allah tidak memperbanyak jumlah orang seperti ini, dan memberi petunjuk kepada mereka. Bagaimana sampai ia anggap mengikuti generasi terbaik di sisi Allah sebagai perbuatan kolot, Nas’alullahal ‘afiyah minal khudzlan.
Bersegera menuju Masjid
Diantara tanda yang menunjukkan tingginya semangat dan perhatian salaf dalam menjaga sholat jama’ah, mereka bersegera menuju masjid sebelum adzan dikumandangkan. Lembaran-lembaran sejarah emas telah mengisahkan semangat mereka tersebut. Coba kita membuka sebagian kitab sejarah islamiyyah, niscaya kita akan menemukan sosok yang sholeh dan bersemangat tinggi dalam mengikuti sunnah.
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolaniy–rahimahullah-
Apa yang diceritakan Al-Hafizh, juga telah diakui sendiri oleh Sa’id ibnul Musayyib -rahimahullah- tatkala beliau berkata, “Aku tak pernah mendengarkan adzan di tengah keluargaku sejak 30 tahun”. [Lihat Ath-Thobaqot Al-Kubro (5/131) karya Ibnu Sa’d]
Adat kebiasaan yang baik seperti ini bukan hanya dilakukan oleh Sa’id ibnul Musayyib, akan tetapi juga dilakukan oleh salaf lainnya. Sekarang kita dengarkan Abul Asy’Ats Robi’ah bin Yazid Ad-Dimasyqiy -rahimahullah- berkata, “Mu’dzdzin tidak pernah mengumandangkan adzan shubuh sejak 40 tahun, kecuali aku berada di masjid; kecuali aku sakit atau musafir”.[LihatRiyadh An-Nufus(1/84) via Ahammiyah Sholah Al-Jama’ah, (hal.75)]
Tidak Luput dari Takbirotul Ihram
Sholat jama’ah di dalam jiwa para salaf merupakan perkara yang sangat penting. Mereka adalah suatu generasi yang rela meninggalkan segala kehidupannya demi menghadiri munajatnya bersama Robbnya, bukan seperti sebagian orang yang rela meninggalkan sholat jama’ahnya demi kehidupan yang fana.
Al-Qodhi Taqiyyuddin Sulaiman–rahimahullah- berkata, “Aku tak pernah melaksanakan sholat dalam keadaan sendirian sama sekali, kecuali dua kali saja. Seakan-akan aku tidak melaksanakan sholat itu sama sekali”.Lihat Dzail Thobaqot Al-Hanabilah (2/365)
Waqi’ ibnul Jarroh Ar-Ru’asiy-rahimahullah- berkata, “Dulu Al-A’masy hampir 70 tahun tak pernah luput dari takbir pertama” Lihat As-Siyar (6/228)]
Demikianlah seorang muslim yang gemar ibadah. Dia bersegera menuju ke masjid demi mengejar keutamaan shof pertama dan bertakbirotul ihram bersama imam. Al-Hafizh Adz-Dzahabi -rahimahullah- berkata, “Yahya ibnul Qoththon apabila menyebut Al-A’masy, ia berkata: “Al-A’masy adalah seorang ahli ibadah , dan ia menjaga sholat jama’ahnya dan shof pertama. Dia adalah ulama’ Islam”.[Lihat Siyar A’lam An-Nubala’ (2/232)]
Muhammad bin Sama’ah -rahimahullah- berkata, “Aku telah hidup selama 40 tahun, sedang aku tak pernah luput dari takbir pertama, kecuali satu hari saja ketika itu ibuku meninggal. Akhirnya akupun tertinggal satu kali sholat jama’ah”. [Lihat Tahdzib At-Tahdzib (9/204)]
Sampai disana ada seorang salaf yang bernama Ibrohim bin Yazid -rahimahullah- pernah berkata, “Apabila engkau melihat seorang meremehkan takbir pertama, maka bercuci tanganlah (berlepas tanganlah) darinya”.[Lihat Siyar Al-A’lam(5/62)]
Tinggalkan Pekerjaan Saat Adzan Terdengar
Bekerja untuk mencari nafkah adalah kewajiban seorang ayah dan kepala rumah. Namun kewajiban seperti ini tidaklah menghalangi paara salaf untuk menunaikan kewajiban yang lebih tinggi lagi, yaitu sholat jama’ah. Karena sholat jama’ah adalah hak Allah Robbul alamin atas para hambanya.
Tak heran jika disana ada seorang salaf yang menghentikan aktivitasnya detik itu juga jika mendengarkan adzan. Yahya bin Ma’in -rahimahullah- berkata ketika menceritakan perihal kehidupan Ibrohim bin Maimun Ash-Sho’igh-rahimahullah-,
Para salaf adalah suatu kaum yang tidak dilalaikan oleh kehidupan dunianya sehingga rela menyia-nyiakan hak Robbnya. Sebab mereka tahu bahwa mereka akan menghadap Allah dengan membawa pahala sholat yang pertama kali akan dipertanggung jawabkan di hadapan-Nya -Azza wa Jalla-.
Adz-Dzahabiy menyebutkan dalam sebuah kitabnya bahwa, “Al-Aswad, apabila hadir waktu sholat, maka beliau menderumkan ontanya walaupun pada sebuah batu”.[Lihat Siyar A’lam An-Nubala’(4/53) karya Adz-Dzahabiy ]
Bulan Madu Bukan Rintangan
Bulan madu bukanlah merupakan suatu penghalang bagi para salaf dalam menunaikan dan mendahulukan hak Robb mereka. Bahkan ada di antara mereka yang rela meninggalkan istrinya demi melaksanakan sholat jama’ah. Mereka bukanlah seperti generasi masa kini, jika datang malam pengantin sedang mereka berbulan madu bersama istrinya, maka mereka tak rela bangun melaksanakan sholat Ashar atau sholat shubuh demi menyenangkan dan memuaskan syahwat belaka. Mereka lupa bahwa istri hanyalah perhiasan belaka dan penolong dalam ketaatan, bukan penolong dalam kedurhakaan kepada Allah. Mereka lupa akan hari kiamat saat tegaknya semua manusia dari Adam sampai manusia terakhir di hadapan Allah Al-Hakim (Sang Maha Bijaksana) untuk menghukumi, dan memutuskan segala tindak-tanduk makhluknya ketika di atas permukaan bumi ini. Ketika itulah Allah akan menampakkan segala yang tersembunyi sampai seorang yang bersembunyi dan berselimut bersama keluarganya akan dinampakkan oleh-Nya demi menanyakan segala perbuatannya.
Perkara ini betul-betul dipahami oleh para salafush sholeh. Hal itu nampak pada diri dan perbuatan mereka. Sekarang perhatikan, dulu ada seorang salaf bernama Simak bin Harb -rahimahullah- berkata,
تَزَوَّجَ الْحَارِثُ بْنُ حَسَّانٍ – وَكَانَتْ لَهُ صُحْبَةٌ – وَكَانَ الرَّجُلُ إِذْ ذَاكَ إِذَا تَزَوَّجَ تَخَدَّرَ أَيَّامًا فَلاَ يَخْرُجُ لِصَلَاةِ الْغَدَاةِ فَقِيْلَ لَهُ : أَتَخْرُجُ وَإِنَّمَا بَنَيْتَ بِأَهْلِكَ فِيْ هَذِهِ الَّيْلَةِ ؟ قَالَ : وَاللهِ إِنِ امْرَأَةٌ تَمْنَعُنِيْ مِنْ صَلَاةِ الْغَدَاةِ فِيْ جَمِيْعِ لَامْرَأَةُ سُوْءٍ
“Al-Harits bin Hassan –radhiyallahu anhu- telah menikah -dan beliau memiliki persahabatan (dengan Nabi –Shollallhu alaihi wasallam-) Dahulu seorang laki-laki jika telah menikah, maka ia tinggal (di rumahnya) dalam beberapa hari. Lalu beliau ditanya, “Apakah engkau akan keluar (pergi sholat shubuh), padahal engkau berbulan madu dengan istrimu di malam ini?” Maka beliau menjawab: “Demi Allah, Jika ada seorang istri yang menghalangi aku dari sholat shubuh bersama jama’ah, maka ia sungguh istri yang buruk”. [HR. Ath-Thobroniy dalam Al-Kabir (3324)]
Demikian nilai sholat jama’ah di sisi para salaf. Mereka rela meninggalkan pekerjaan, kesibukan, dan istri demi menghadap Allah -Azza wa Jalla-, dan menundukkan dahi-dahi mereka sebagai lambang kesyukuran mereka atas keimanan yang Allah -Ta’ala- anugrahkan kepada mereka. Mereka tidaklah memandang dunia ini sebagai tempat tinggal mereka. Tapi mereka memandangnya sebagai ladang untuk memperbanyak bekal pahala menuju Allah Robbul Alamin.
Sumber: http://almakassari.com/art
Tidak ada komentar:
Posting Komentar