Rabu, 09 Juni 2010

SIDRATUL MUNTAHA - Oleh: Muhammad Zuhri

SIDRATUL MUNTAHA Oleh: Muhammad Zuhri

Setiap agama memiliki simbol-simbol unik untuk menggambarkan secara ringkas pengalaman spiritual yang dihayati oleh pembawanya selama dalam proses penemuan wujud Tuhan.
Demikian pula Rasulullah saw mewariskan kepada kita simbol-simbol yang khas dari perjalanan beliau memenuhi panggilan Allah SWT. Salah satu di antaranya adalah: 'Sidratul Muntaha’, yang kita angkat sebagai materi kajian saat ini.


Lambang Derajat Spiritual

‘Sidratul-muntaha’ adalah sebuah ungkapan-kata yang makna harfiahnya: puncak pohon bidara. Pohon bidara merupakan simbol sebuah kehidupan yang ada di dalam diri manusia, yang bukan bersifat fisikal maupun psikis, melainkan spiritual. Maka ia disebut sebagai tempat, kedudukan atau maqam ruhaniyah. Puncaknya sangat tinggi, sehingga tidak setiap individu bisa selamat sampai ke sana. Selain itu ia merupakan batas di mana seseorang sudah tidak mampu lagi berkembang.

Syaikhul ‘Arif-bibillah Muhammad bin ‘Abdul Jabbar An-Nifari menyebutnya sebagai maqam ‘waqfah’ atau titik henti perjalanan hamba Allah, yaitu ketika seseorang telah berada di antara dua Tangan Tuhan.

Al-Qur’an melukiskannya lewat perumpamaan kedekatan Nabi saw dengan Khaliknya, "bagai dua lengkung busur yang saling bertangkap-tangkapan, atau lebih rapat lagi" (An-Najm: 9-10)

Oleh karena Sidratul-muntaha bersifat spiritual, maka akal kita tidak akan mampu memahaminya tanpa rambatan proses yang mengantarkan beliau Rasulullah saw ke sana, yaitu peristiwa Isra’ dan Mi’raj Rasulullah saw.


Perjalanan Spiritual Rasulullah saw

Peristiwa Isra’ dan Mi’raj merupakan perjalanan horisontal yang dilanjutkan dengan perjalanan vertikal Nabi saw yang bersifat spiritual. Hal itu menjelaskan bahwa beliau memang benar-benar dijalankan Allah SWT dengan jasadnya. Karena yang dimaksud dengan ‘spiritual’ adalah sisi esensial manusia yang hanya bisa tumbuh menjadi dewasa lewat perilaku yang bersifat eksistensial.
Lain halnya dengan pikiran, imajinasi atau khayalan yang bisa mengembara ke mana saja tanpa jasad.


Perjalanan Horisontal (Isra’)

Baca Al-Isra’: 1.

Pada saat martabat manusia terpuruk ke lembah jahiliah (tanggal 27 bulan komariah, gelap) Sang Nabi saw dijalankan oleh Allah SWT, - ketika beliau tidak sedang berorientasi kebutuhan jasmaniah (malam, spiritual), - dari Rumah Akal (Hukum, Baitul-Haram) - ke Rumah Qalb (Kesucian, Baitul-Muqadis), - yang menyimpan rahasia keabadian manusia (diberkahi sekitarnya). Maka yang tampak di dalam kesadaran beliau saat itu, bukanlah nilai-nilai pragmatis dari obyek yang dijumpai, melainkan nilai-nilai kehidupan spiritual yang sedang dijelaskan Allah kepadanya (ayat-ayat Tuhan).

Perjalanan horisontal seorang hamba yang bertujuan untuk memenuhi panggilan Allah (bertemu dengan-Nya), tidak bisa tidak akan berwujud tindakan set-back dari ‘rumah kini’ (akal/nalar, ilmu, hukum, Baitul Haram) menuju ke ‘rumah lama’ (qalb/lubb, ma’rifat, kesucian, Baitul Muqaddas). Yaitu sebuah terminal yang memungkinkan seseorang berangkat ke sana. Karena potensi akal jasad hanya mampu berorientasi pada fenomena-fenomena alam dan kausalitas-natural, serta condong untuk mengukur segala sesuatu dengannya. Padahal apa yang akan dihadapinya saat itu adalah semua hal yang telah dilengahkan, yaitu kausalitas transenden (mempergunakan aql nafs=lubb) atau semua hal yang berhubungan langsung dengan Tuhan. Misalnya sekian banyak dosa yang belum ditaubati maupun berbagai nikmat Tuhan yang belum disyukuri.

Bandingkan dengan pengalaman Nabi Musa as saat beliau surut ke belakang, - sampai di pertemuan dua samudera (Al-Kahfi: 64), pada saat beliau akan diajari Allah SWT lewat penghayatan langsung tentang betapa tidak berartinya semua ilmu pengetahuan yang dimiliki di depan amr Allah SWT.


Perjalanan vertikal (mi’raj)

Rasulullah saw di dalam mi’raj-nya melintasi tujuh jenjang spiritual (tujuh tingkat langit) yang masing-masing digambarkan lewat pertemuan beliau dengan Para Nabi sebelumnya.

Pertemuan beliau dengan Para Nabi di tiap langit:

Di Langit | Bertemu dengan | Lambang | Evolusi | Simbol

Pertama | Nabi Adam as | Kesatuan | Materi
Kedua | Nabi Yahya as dan Nabi Isa as | Kesadaran untuk tumbuh | Hidup | Air
Ketiga | Nabi Yusuf as | Kebebasan | Nafsu
Keempat | Nabi Idris as | Kreatifitas | Akal
Kelima | Nabi Harun as | Kesetiaan | Iman | Susu
Keenam | Nabi Musa as | Keteguhan (nubuwah) | Islam | Anggur
Ketujuh | Nabi Ibrahim as | Pengorbanan (risalah) | Ihsan | Madu


Hierarki vertikal dari tingkat materi, hidup, nafsu, sampai akal, kita kenal sebagai ‘evolusi-fisikal’. Sedang dari tingkat iman, islam (nubuwah), sampai ihsan (risalah) kita sebut sebagai ‘evolusi spiritual’.
Tujuh jenjang evolusi yang telah ditempuh dengan sempurna oleh Nabi saw di dalam mi’rajnya, menandakan proses pembentukan diri beliau telah memadai untuk mewakili semestanya secara fisikal maupun spiritual.
Sebagai subyektifikasi semesta-alam (power-spiritual) beliau terlempar dalam kesendirian di Sidratul-Muntaha dan tak ada mitra-dialog lagi selain Allah. Di situ beliau menemukan kata-ganti Tuhan sebagai ‘Engkau’ dan Allah berkenan memanggilnya sebagai ‘engkau’ (Al-Fatihah: 5; Al-Qalam: 4; Al-Maidah: 67)

Betapa besar artinya kehadiran seseorang yang berpredikat sebagai ‘Mitra Dialog Tuhan’ dapatlah kita pahami lewat firman-Nya di bawah ini.

"Dan Allah tidak sekali-kali akan meng-azab mereka, sedang ‘engkau’ berada di antara mereka. Dan tidak pula Allah akan meng-azab mereka, sedang mereka meminta ampun." (Al-Anfal: 33)

Di langit ke tujuh, ketika beliau akan turun ke semesta eksistensial, beliau di-hidang oleh Jibril as dengan empat gelas minuman yang masing-masing berisi air, susu, anggur, dan madu, yang kesemuanya merupakan simbol perolehannya sendiri di dalam mi’raj, beliau memilih gelas yang berisi susu. Pilihan itu mengisyaratkan peran yang akan dilaksanakan beliau di tengah ummatnya kelak, yaitu sebagai ‘Syuhada’ yang terjun langsung memimpin ummat di dalam revolusinya.


Makna lambang-lambang dan lingkungannya (Peta Surga).

1 A i r | Sarana | Shalihin | Af’al
2 S u s u | Situasi | Syuhada | Asma
3 A n g g u r | Proses | Shiddiqin | Sifat
4 M a d u | Struktur | Nabiyyin | Dzat

"Allah berfirman, ‘Inilah hari orang yang cinta kebenaran (Shiddiqin) memetik buah dari kebenarannya. Bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Mereka tinggal di situ selama-lamanya (Al-Ma’idah: 119).

Simbol-simbol: air, susu, anggur dan madu ada di dalam surat An-Nahl: 65-69.

"Barang siapa ta’at kepada Allah dan Rasul, mereka akan bersama orang-orang yang diberi ni’mat oleh Allah dari golongan Nabiyyin, Shiddiqin, Syuhada dan Shalihin. Alangkah baik mereka sebagai kawan." (An-Nisa’: 69).


Kebijakan Manusia Pilihan

Betapa besar arti penemuan ‘ke-Engkau-an’ Allah di dalam sejarah kekhalifahan Tuhan di muka bumi dapatlah kita pahami, karena ajarannya membuat sasaran pengabdian kita semakin jelas, yaitu kepada siapa saja yang kita engkau-kan (kawan hubungan dialogis) di dalam semesta kehidupan. Dengan kata lain, kita telah menemukan Tuhan di dalam ‘Engkau’. Hal yang demikian memang bisa terjadi, manakala kita mampu menisbahkan setiap yang kita engkau-kan dengan ‘Engkau Yang Sebenarnya’, yaitu: Allah SWT.

Tetapi kita tidak akan melakukannya sebelum menyadari bahwa di balik setiap ciptaan terdapat amr-Allah. Dan amr-Allah itulah yang seharusnya kita tanggapi tatkala kita berdialog dengan warga semesta.

"Sungguh, milik-Nyalah ciptaan dan amr itu. Maha Berkah Allah Tuhan semesta alam." (Al-A’raf: 54)

"Maka ke mana saja engkau menghadap, di sana wajah Allah." (Al-Baqarah: 115)

"Barang siapa yang mengharapkan pertemuan dengan Tuhannya, hendaklah mengerjakan amal kebaikan. Dan dalam beribadah kepada Tuhannya, jangan persekutukan Ia dengan siapa pun juga." (Al-Kahfi: 110)

"Wahai hamba-Ku, Aku lapar. Mengapa engkau tidak memberi-Ku makanan?" sabda Tuhan kepada hamba-Nya.
"Maha Suci Engkau, ya Allah! Bagaimana saya bisa memberi-Mu makanan, sedang Engkau Rabbul-‘alamin?" jawab hamba.
"Lihat, tetanggamu ada yang lapar! Bawakan ia makanan. Engkau akan bertemu dengan-Ku di sana," jawab Tuhan. (Hadits Qudsi)

Itulah kebijakan yang diajarkan Allah SWT kepada Rasul-Nya di Sidratul Muntaha dan disampaikan beliau kepada ummatnya berupa ibadah ‘shalat’ yang kemudian menjadi Mi’raj-nya kaum Muslimin.


Perspektif Shalat

Menurut wujudnya shalat memiliki tiga kiblat yang manifestasinya mengungkapkan dimensi ideologi dalam Islam, yaitu Kiblat Vertikal dan Kiblat Horisontal. Kiblat Horisontal meliputi aspek sosial dan aspek kultural.

Kiblat Vertikal
(Hadratul A’la; Illahun-nas)

‘Shalat’ adalah menghadap kepada Ailah SWT, Yang Maha Esa, Penguasa Yang Mutlak, Sempurna dan tak tergambarkan, dengan hati yang ‘khusyu’ dan tawadhu’. Di dalamnya kita panjatkan takbir, tasbih, dan tahmid, serta menanamkan motivasi kehambaan dan memohon limpahan rahmat dan petunjuk dari-Nya. Semua itu kita lakukan seolah melihat-Nya atau memang sedang dilihat oleh-Nya. Saat itulah tumbuhnya sebuah kehidupan baru yang disebut sebagai kehidupan spiritual di dalam diri kita.

Kiblat Horisontal Sosial
(Hadratul A’zham; Malikun-nas)

‘Shalat’ adalah perbuatan ibadah yang bersifat temporal, yang dibuka dengan takbiratul-ikram dan ditutup dengan ucapan salam. Maka ‘salam’ merupakan kiblat horisontal dari proses-temporal tersebut. Bersamaan dengan ucapan ‘salam’ kita memalingkan wajah ke arah kanan dan kiri, yang menandakan telah selesainya proses-temporal untuk ‘dinyatakan’ efektifitasnya dalam proses-spasial (keruangan).

Ucapan ‘salam’ yang merupakan penutup dari proses-temporal dan sekaligus menjadi pembuka dari proses-spasial kita, diangkat Nabi saw sebagai ‘tema komunikasi’ antar individu/sosial bagi ummatnya. Maka ‘salam’ yang bermakna menyebarkan kesejahteraan, rahmat dan berkah Allah SWT ke belahan bumi sebelah kanan dan kiri dari posisi kita di depan Allah SWT, jelas merupakan kiblat horisontal dari shalat kita. Atau dengan kata lain, melaksanakan misi Rasulullah saw sebagai Rahmatan lil ‘alamain.

Kiblat Horisontal Kultural
(Hadratur Rabbani; Rabbun-nas)

‘Shalat’ kita diwajibkan menghadap Ka’bah, yang konon merupakan rumah Nabi Adam as dan kemudian dipugar dan dihuni oleh Nabi Ibrahim as dan keluarganya. Ka’bah terletak di dalam ruangan sujud yang bernama Masjidil Haram, yang sejak purba diharamkan di dalamnya membunuh makhluk Tuhan. Di tempat itu semua bangsa dalam berbagai ras, warna kulit, budaya, bahasa, tingkat sosial dan ekonomi dapat berkumpul menunaikan ibadah Haji, tanpa dibedakan hak dan kewajibannya.
Bila setiap melakukan shalat wajah kita diharuskan menghadap ke Ka’bah yang sejarah, struktur, sifat dan keadaaannya seperti digambarkan di dalam infra-
struktur di atas, maka jelas pesan apa yang sedang disampaikan Allah SWT kepada kita selama ini.

Tidak terlalu dini bila kita menyimpulkan bahwa kiblat struktural yang dilemparkan oleh shalat kita adalah demi menciptakan struktur budaya-semesta, dimana bumi kita yang mungil ini menjadi sebuah masjid (rumah suci keluarga manusia), yang semua warganya bebas melakukan ruku’ (membuat dataran horisontal, berintegrasi, ber-rahmatan lil-‘alamin) dan bersujud (membuat garis vertikal, ber-evolusi spiritual) dan diharamkan di dalamnya melakukan pembunuhan.


Lambang Kebijakan Tertinggi Manusia Pilihan

Dari semua kebijakan yang dipancarkan Nabi saw dari keta’atan beliau memenuhi undangan Tuhan ke puncak pendakian (nubuwah) hingga turun kembali demi menunaikan ‘misinya yang agung’ (risalah) dapat kita simpulkan bahwa kebijakan beliau yang tertinggi dan terakhir adalah:


"SIKAP HIDUP yang selalu hadir di depan Allah dengan mewakili ummatnya, dan hadir di depan ummatnya dengan mewakili Allah."


Selebihnya adalah kemampuan beliau mewariskan kebijakan tersebut kepada ummatnya.

Itulah Puncak Pohon Bidara, itulah Sidratul Muntaha, dan itu pula kandungan ‘Shalat’ kita.


Wallahu a’lam bish-shawab.

Pati, 13 Oktober 1999

Tidak ada komentar:

Posting Komentar