Minggu, 13 Juni 2010

Syarah Hadits "Engakulah Azh-Zhahir...Engkaulah Al-Bathin"

Pertanyaan:

Assalamu’alaykum ust, baraallahufiyk..
ust, bgmn syarah hadits ini:
“Ya Allah, Engkaulah Al-Awwal, maka tidak ada sesuatu pun sebelum-Mu; Engkaulah Al-Aakhir, maka tidak ada sesuatu pun sesudah-Mu; Engkaulah Azh-Zhahir, maka tidak ada sesuatu pun di atas-Mu, dan Engkaulah Al-Bathin, maka tidak ada sesuatu pun di bawah-Mu.”[Shahih Muslim IV/2084]

dlm Aqidah wasithiyah di syarah mjd:

Ayat dan hadits di atas menunjukkan sifat Al-Ihathah Az-Zamaniyah (meliputi waktu) yaitu pernyataan, “Dialah Al-Awwal dan Al-Akhir; serta Al-Ihathah Al-Makaniyah (meliputi tempat), yaitu pernyataan, “Dan Azh-Zhahir dan Al-Bathin.”

kan Aqidah Ahlussunnah meyakini bahwa Allah Istawa di ‘Arsy Nya? Jadi bgmn ust, apa yg dimaksud adlh ma’iyyah ‘amm?
syukron atas jawabannya ust..
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Jawaban:

Wa’alaikumussalaam warahmatullah wabarakatuh…

Pertama, tidak ada kontradiksi antara maksud hadits tsb dengan keyakinan Ahlussunnah bhw Allah istiwa’ di atas Arsy-Nya. Tentunya jika keduanya difahami dengan baik dan benar.
Kedua, Terjemahan bagian terakhir dari hadits tersebut SALAH !! Penjelasannya sbb:
Dlm kitab Bayan Talbisul Jahmiyyah jilid 4, Ibnu Taimiyyah menjelaskan hadits tsb secara lebih detail. Intinya ialah bahwa nama Azh Zhahir (isim fa’il dari kata Zhuhur) maknanya adalah ‘tinggi’. Karenanya, Allah menyifati tembok besi yang dibangun oleh Dzulqarnain dengan ungkapan (فما اسطاعوا أن يظهروه) “Mereka (Ya’juj dan Ma’juj) takkan dapat mendaki/berada diatasnya”, yang berarti bahwa tembok itu sangatlah tinggi.
Allah menamakan dirinya dengan nama tersebut sebab Dia lah yang paling tinggi, karenanya dikatakan: falaisa fauqoka syai’un, yang artinya tidak ada sesuatu pun di atas-Mu. Berhubung sesuatu yang tinggi biasanya nampak jelas, padahal Allah bersifat ghaib, maka untuk menepis asumsi tsb Rasulullah mengatakan bahwa Allah memiliki nama lainnya, yaitu Al- Baathin, yang mengandung pengertian ‘tersembunyi’ dan ‘dekat’. Karenanya Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam merangkainya dengan kalimat: “Falaisa duunaka syai’un” (dan inilah bagian yg salah diterjemahkan).
Menurut Syaikhul Islam, kata ‘duuna’ di sini diambil dari kata ‘ad dunuww’ yang artinya dekat, bukan dari kata ‘ad-duun’ yang artinya ‘rendah’ atau ‘di bawah’. Beliau lantas mencontohkan dengan firman Allah dlm Surah Al Kahf yg berbunyi:
حتى إذا بلغ مطلع الشمس وجدها تطلع على قوم لم نجعل لهم من دونها سترا
Yang maknanya ialah bahwa dlm perjalanan tsb Dzulqarnain sampai ke tempat terbitnya matahari, lalu dia mendapati matahari tsb terbit menyinari suatu kaum tanpa ada penghalang antara mereka dgn matahari tsb. Artinya, jika mereka berada di bawah naungan, berarti naungan tersebut ‘duunasy syamsi’, yang artinya ia lebih dekat kepada mereka dari pada matahari dan matahari menjadi lebih batin dari mereka dibanding naungan tersebut, karena matahari berada di belakangnya. Intinya, hadits tersebut menunjukkan bahwa Allah maha tinggi namun juga maha dekat sehingga tak ada sesuatu pun yang bisa menghalangi antara Dia dengan hamba-Nya. Oleh karena itu, dalam hadits shahih lainnya, ketika Rasulullah mendapati ada sebagian sahabat yang mengeraskan suara dalam takbir dan tahlil ketika di perjalanan, beliau menegur mereka seraya berkata:
أيها الناس، اربعوا على أنفسكم، إنكم لا تدعون أصم ولا غائبا، إن الذي تدعون سميعا قريبا، وهو معكم. أخرجه البخاري، وفي رواية أبي داود بلفظ:إن الذي تدعونه بينكم وبين أعناق ركابكم
Wahai saudara-saudara, kasihanilah diri kalian, kalian tidaklah menyeru sesuatu yang tuli maupun tidak ada. Yang kalian seru adalah Dzat yang Maha Mendengar dan Maha Dekat, dan Dia bersama kalian (HR. Bukhari). Dlm riwayat Abu Dawud lafazhnya sbb: “Yang kalian seru ada di antara kalian dan leher hewan tunggangan kalian”.
Tentunya hadits ini tidak berarti bahwa Allah ada di bumi, namun ilmu-Nya yang meliputi segala sesuatu, sedangkan Dia berada di atas Arsy-Nya. Jadi, sebagaimana yg Ibnu Taimiyyah katakan dlm Aqidah Wasitiyah, makna hadits ini dan doa Nabi diatas ialah bahwa ilmu Allah meliputi segala sesuatu.
Adapun ma’iyyah ‘aammah agaknya bukan yang dimaksud dalam konteks hadits-hadits di atas, sebab ma’iyyah ‘aammah berlaku untuk semua orang, sedangkan hadits yang antum nukil konteksnya adalah doa Nabi, yang berarti adalah ma’iyyah khaashshah yang konsekuensinya ialah memberi pertolongan dan perlindungan, dsb. Adapun ma’iyyah ‘aammah ialah spt yang Allah sebutkan dalam surah Al Hadid ayat 4. Dan inilah ma’iyyah yang berarti ilmu Allah yg meliputi segala sesuatu tanpa harus berarti memberi pertolongan, dsb. Wallaahu a’lam.


http://basweidan.wordpress.com/soal-jawab/#comment-475

Tidak ada komentar:

Posting Komentar