Sabtu, 03 Juli 2010

BANTAHAN Tuduhan Bahwa Salafy adalah: MURJI’AH KEPADA PENGUASA DAN KHAWARIJ TERHADAP PARA DA’I..??

Di samping tuduhan kaum hizbiyyun (KGB) terhadap ahlus sunnah (salafiyyin) dengan ‘murji’ah kepada penguasa’, mereka juga menuduh ahlus sunnah ‘khawarij terhadap para da’i’. Entah apa yang mereka maksudkan dengan istilah ‘khawarij terhadap pada da’i’. Apakah karena ahlus sunnah banyak mentahdzir dan memperingatkan umat dari bahaya da’i-da’i penyesat umat?

Tuduhan mereka terhadap ahlus sunnah dengan dua jenis kesesatan –yakni murji’ah dan khawarij– adalah karena mereka sendiri memiliki dua jenis kesesatan. Khawarij yang murni dia akan menuduh ahlus sunnah sebagai murji’ah. Sebaliknya murji’ah yang murni dia akan menuduh ahlus sunnah sebagai khawarij. Namun KGB ini mencampur antara pemahaman khawarij dengan murji’ah. Ketika menghadapi kedhaliman penguasa, mereka mengikuti cara khawarij; sedangkan ketika membutuhkan banyaknya pengikut dalam melawan penguasa, mereka menggunakan cara murji’ah, yaitu menganggap semua aliran dan kelompok adalah mukmin yang sempurna imannya. Mereka juga mengajak untuk tidak menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar di antara mereka agar tidak terjadi perpecahan –-kata mereka—

Dengarlah ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ketika menceritakan tentang pemahaman murji’ah: “Di samping golongan yang mengkafir-kafirkan kaum muslimin dengan batil, ada pula golongan yang tidak mengenali aqidah ahlus sunnah wal jama’ah sebagaimana mestinya, atau mengenali sebagiannya tetapi tidak mengerti sebagian lainnya. Sebagian yang mereka kenali itu pun mereka sembunyikan dan tidak menerangkannya kepada manusia. Mereka tidak melarang kebid’ah-kebid’ahan yang jelas menyelisihi kitab dan sunnah, tidak mencerca ahlul bid’ah, tidak menghukumi mereka. Bahkan sebaliknya mereka mencela orang-orang yang berbicara tentang sunnah dan prinsip-prinsip agama secara mutlak. Mereka tidak bisa membedakan apa yang ditunjukkan oleh al-Qur’an, sunnah dan ijma’ dan apa yang dikatakan oleh ahlul bid’ah dan golongan pemecah belah umat. Mereka mengakui semua madzhab-madzhab sesat yang bermacam-macam, seakan-akan seperti yang dilakukan oleh ulama terhadap masalah-masalah ijtihadiyah yang dimaklumi perselisihan yang terjadi padanya. Cara seperti ini telah merasuk sebagian besar murji’ah. Masing-masing dari dua cara mereka (murji’ah dan khawarij) adalah jalan yang sesat keluar dari al-Qur’an dan as-Sunnah”. (Lihat Fatawa, juz 12 hal. 467)

Sungguh sangat miripnya kemarin dengan hari ini. Seakan-akan Ibnu Taimiyah berbicara tentang ikhwanul muslimin, Quthbiyyin, sururiyyin dan lain-lain dari KGB yang ada sekarang ini tidak mau mengingkari kebid’ah dan ahlul bid’ah.

Berarti hizbiyyun tersebut di samping menganut pemikiran khawarij ketika menghadapi penguasa ternyata dalam sikapnya terhadap ahlul bid’ah persis seperti murji’ah.

Inilah yang menyebabkan mereka menuduh ahlus sunnah dengan dua model kesesatan, ketika ahlus sunnah tidak mau diajak memberontak penguasa muslim, mereka menuduhnya sebagai murji’ah. Sebaliknya ketika ahlus sunnah menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar dan menyatakan yang sesat adalah sesat dan mentahdzir ahlul bid’ah, maka mereka pun menuduhnya sebagai khawarij.

Tuduhan demikian sangatlah tidak tepat karena beberapa hal:

Pertama, murji’ah termasuk kelompok yang menghalalkan darah penguasa yang dhalim, sedangkan ahlus sunnah tidak menghalalkan darah mereka kecuali kalau terlihat kekafiran yang nyata-nyata. (Lihat kajian edisi yang lalu)

Kedua, khawarij mengkafirkan kaum muslimin dengan batil dan menganggap dosa besar akan mengeluarkan seseorang dari keislaman serta menghalalkan darah mereka. Sedangkan ahlus sunnah wal jama’ah tidak mengkafirkan kaum muslimin dengan dosa besar.

Ketiga, bahkan amalan-amalan kufur ahlul bid’ah kalau dilakukan dan diucapkan dengan ta’wil-ta’wil batil, para ulama tidak mengkafirkannya, tetapi mereka tetap menjulukinya sebagai ahlul bid’ah atau pengikut hawa nafsu dan memperingatkan umat dari bahaya mereka.

Lantas dari mana mereka menuduh ahlus sunnah (salafiyyun) sebagai khawarij terhadap para da’i? Apakah tahdzir kita terhadap ahlul bid’ah dianggap pengkafiran? Apakah menasehati umat agar berhati-hati dari kesesatan tokoh-tokoh sesat adalah caranya khawarij? Atau apakah amar ma’ruf nahi mungkar adalah jalan khawarij? Pernahkah ahlus sunnah mengkafirkan kaum muslimin dengan dosa-dosa besar yang mereka lakukan? Atau apakah kita mengkafirkan para da’i-da’i hizbiyyin dan menghalalkan dari mereka?

Justru yang terjadi adalah sebaliknya. Mereka telah menghalalkan darah ahlus sunnah salafiyyin di banyak tempat. Di Afghanistan, semua kelompok bersepakat untuk menyerang kelompok ahlus sunnah di Kunar, sehingga tertumpahlah darah dan korban yang tidak sedikit dari ahlus sunnah termasuk syaikh Zamilurrohman rahimahullah. Di Yaman, mereka memberondong salafiyin murid-murid syaikh Muqbil rahimahullah dengan senjata api. Bahkan tidak sekali dua kali ditemukan bom di tengah-tengah majlis salafiyyin yang diletakkan oleh mereka. Hanya saja di Indonesia, mereka cuma berani mengancam para da’i ahlus sunnah lewat telepon atau lainnya karena mereka belum memegang senjata.

Berbeda sekali dengan para ulama ahlus sunnah wal jama’ah yang melaksanakan kewajiban mereka menasehati manusia dari bahaya-bahaya yang dikhawatirkan akan mengenai mereka. Terutama bahaya kesyirikan dan kebid’ahan. Maka mereka para ulama ahlus sunnah sejak zaman salafus shalih sampai hari ini mereka selalu menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar, memperingatkan kaum muslimin dari bahaya ahlul bid’ah dan kesesatan mereka dilandasi dalil-dalil yang ilmiah dari Qur’an dan sunnah dengan pemahaman salaf. Mereka jauh dari dorongan emosi yang biasanya membawa pada ekstrimitas, dan juga jauh dari perasaan ketimuran yang biasanya membawa pada kelemahan. Yang kedua-duanya (emosi dan perasaan) disebut oleh para ulama dengan hawa nafsu.

Maka sama saja apakah khawarij yang sesat karena mengikuti emosinya atau murji’ah yang menyimpang karena mengikuti perasaannya, mereka disebut pengikut hawa nafsu atau ahlul ahwa.

Sikap ulama ahlus sunnah yang bijaksana ini adalah sikap yang terpuji. Karena mereka adalah orang yang memperhatikan kaum muslimin seperti orang tua yang memperhatikan anak-anaknya. Memperingatkan dari bahaya-bahaya yang mengancamnya, menegur ketika mereka salah, bahkan memarahinya ketika mereka tidak mau mendengar teguran dan seterusnya semuanya itu dilakukan karena rasa sayang orang tua kepada anaknya.

Para ulama lebih sayang kepada mereka melebihi dari orang tua mereka sendiri. Orang tua biasanya hanya memperhatikan masalah keduniaannya, sedangkan kami memperhatikan mereka sampai pada masalah akhiratnya.

Berkata Abu Shalih al-Farra: “Aku pernah menyampaikan kepada Yusuf bin Ashbat tentang perkara fitnah. Kemudian dia menyatakan: “Orang itu sama dengan gurunya yaitu Hasan bin Hay”. Maka aku katakan kepadanya: “Apakah engkau tidak takut kalau yang demikian merupakan ghibah?” Dia menjawab: “Mengapai wahai orang bodoh? Aku lebih baik terhadap mereka melebihi dari bapak dan ibu mereka sendiri. Aku melarang manusia untuk mengerjakan kebid’ahan mereka, agar jangan bertumpuk dosa-dosa mereka. Dan barangsiapa yang memuji mereka justru akan membikin kerugian kepada mereka”. (at-Tahzib, 2/249; Lihat Lamud Duril Mantsur, hal. 27)

Lihatlah kacamata ahlus sunnah yang memandang tahdzir kepada ahlul bidah sebagai kasih sayang terhadap mereka. Sebaliknya orang yang memuji-muji ahlul bid’ah akan menambah mereka semangat dalam kesesatannya dan bertambah pengikutnya. Yang demikian justru akan menambah dosa mereka.

Diriwayatkan bahwa Muhammad bin Hasan bin Harun al-Mushili bertanya kepada Abu Abdillah (Imam Ahmad bin Hambal) tentang tokoh sesat yang bernama Husein al-Karabisy yang berpendapat bahwa Qur’an adalah makhluk dan bukan ucapan Allah. Maka Imam Ahmad menjawab: “Wahai Abu Abdillah (al-Mushili) hati-hatilah kamu dari Karabisyi ini, jangan ajak bicara dia!. Dan jangan ajak bicara orang yang berbicara dengannya!”. Ucapan ini diulang-ulang hingga 4 atau 5 kali. (Tarikh Baghdad, 8/65; Lihat Lamud Duril Mantsur, hal. 28)

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: “Jika nasehat itu adalah wajib dalam perkara agama maupun perkara umum, seperti para penukil-penukil hadits yang keliru dalam meriwayatkan atau berdusta, sebagaimana yang dikatakan oleh Yahya Ibnu Sa’id, aku bertanya kepada Malik, Ats-Tsauri, Al-Laits Ibnu Sa’ad dan saya kira juga al-Auza’i tentang seseorang yang tertuduh berdusta dalam periwayatan hadits atau tidak hafal? Mereka menjawab: “Terangkan keadaannya?”. Kemudian sebagian mereka bertanya keapda Imam Ahmad: “Sesungguhnya berat bagiku untuk mengatakan fulan begini dan begitu”. Beliau menjawab: “Jika engkau diam dan akupun diam, darimana orang bodoh akan mengerti hadits shahih dari hadits yang dlaif?”

Maka seperti tokoh-tokoh ahlul bid’ah yang menyimpang yang memiliki ucapan-ucapan yang bertentangan dengan kitab dan sunnah, atau peribadatan yang menyelisihi kitab dan sunnah, maka menjelaskan keadaan mereka hukumnya wajib. Demikian pula menerangkan kepada umat bahaya mereka hukumnya wajib dengan kesepakatan para ulama kaum muslimin.

Bahkan pernah dikatakan kepada Imam Ahmad seseorang yang berpuasa, shalat dan beri’tikaf lebih engkau sukai atau yang membicarakan kesesaan ahlul bid’ah? Beliau menjawab: “Kalau seorang berpuasa, shalat, dan i’tikaf maka itu adalah untuk pribadinya. Sedangkan yang berbicara tentang ahlul bid’ah, maka itu adalah untuk kepentingan kaum muslimin secara umum, maka ini lebih utama”.

Di sini beliau menjelaskan bahwa berbicara tentang ahlul bida’h manfaatnya sangat umum, untuk seluruh kaum muslimin dalam menyelamatkan agama mereka. Maka ini termasuk jenis jihad di jalan Allah. Karena membersihkan jalan Allah, agama Allah, manhaj dan syari’at-Nya dan juga membentengi kaum muslimin dari kejahatan musuh-musuhnya wajib hukumnya secara kifayah (fardlu kifayah) menurut kesepakatan para ulama kaum muslimin.

Kalau tidak ada yang menjaga kaum muslimin dari kejahatan mereka (ahlul bid’ah) maka akan rusak agama. Dan kerusakan ini lebih besar daripada kerusakan yang ditimbulkan oleh masuknya musuh-musuh Islam yang memerangi kaum muslimin. Yang demikian karena mereka jika menguasai suatu kaum muslimin tidak merusak hati dan agama secara langsung, sedangkan ahlul bid’ah itu jika menguasai kaum muslimin akan langsung merusak hati-hati dan agama mereka. (Majmu’ Fatawa, 28/231, 232)

Dengan demikian sikap ahlus sunnah memperingatkan umat dari bahaya tokoh-tokoh penyesat dan pemecah-belah umat adalah wajib menurut seluruh para ulama bahkan merupakan jihad fi sabilillah. Maka tidak bisa sedikit pun disamakan dengan khawarij yang mengkafir-kafirkan kaum muslimin dengan kebatilan. Wallahu a’lam.

SUMBER : Ahlus Sunnah Bukan Khawarij (Syubhat Khawarij Ke-5), Buletin Manhaj Salaf, edisi 35/Th 1 Tanggal 29 Jumadil Awal 1425 H/25 Juni 2004 M

Tidak ada komentar:

Posting Komentar