Sabtu, 03 Juli 2010

Takut Miskin di Akhirat .......

Bismillahirrahmanirrahim ...

Mengingat harga-harga barang kebutuhan terus meningkat, seorang pemuda selalu mengeluh karena tak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Setelah berdiskusi dengan seorang kiai makrifat, pemuda itu pun mengikuti anjurannya untuk menjalankan shalat Hajat serta tetap istiqomah melaksanakan shalat wajib lima waktu.

”Pak Kiai, tiga tahun sudah saya menjalankan ibadah sesuai anjuran Bapak. Setiap hari saya shalat Hajat semata-mata agar Allah SWT melimpahkan rezeki yang cukup. Namun, sampai saat ini saya masih saja miskin,” keluh si pemuda.

“Teruskanlah dan jangan berhenti, Allah selalu mendengar doamu. Suatu saat nanti pasti Allah mengabulkannya. Bersabarlah!” Jawab sang kiai.

”Bagaimana saya bisa bersabar, kalau semua harga kebutuhan serba naik! Sementara saya masih juga belum mendapat rezeki yang memadai. Bagaimana saya bisa memenuhi kebutuhan hidup?”

”Ya tentu saja tetap dari Allah, pokoknya sabar, pasti ada jalan keluarnya. Teruslah beribadah.”

”Percuma saja Pak Kiai. Setiap hari shalat lima waktu, shalat Hajat, shalat Dhuha, tapi Allah belum juga mengabulkan permohonan saya. Lebih baik saya berhenti saja beribadah…” jawab pemuda itu dengan kesal.

”Kalau begitu, ya sudah. Pulang saja. Semoga Allah segera menjawab permintaanmu,” timpal kiai dengan ringan.

Pemuda itu pun pulang. Rasa kesal masih menggelayuti hatinya hingga tiba di rumah. Ia menggerutu tak habis-habisnya hingga tertidur pulas di kursi serambi. Dalam tidur itu, ia bermimpi masuk ke dalam istana yng sangat luas, berlantaikan emas murni, dihiasi dengan lampu-lampu terbuat dari intan permata. Bahkan beribu wanita cantik jelita menyambutnya. Seorang permaisuri yang sangat cantik dan bercahaya mendekati si pemuda.

”Anda siapa?” tanya pemuda.

”Akulah pendampingmu di hari akhirat nanti.”

”Ohh… lalu ini istana siapa?”

”Ini istanamu, dari Allah. Karena pekerjaan ibadahmu di dunia.”

”Ohh… dan taman-taman yang sangat indah ini juga punya saya?”

”Betul!”

”Lautan madu, lautan susu, dan lautan permata juga milik saya?”

”Betul sekali.”

Sang pemuda begitu mengagumi keindahan suasana syurga yang sangat menawan dan tak tertandingi. Namun, tiba-tiba ia terbangun dan mimpi itu pun hilang. Tak disangka, ia melihat tujuh mutiara sebesar telor bebek. Betapa senang hati pemuda itu dan ingin menjual mutiara-mutiara tersebut. Ia pun menemui sang kiai sebelum pergi ke tempat penjualan mutiara.

“Pak Kiai, setelah bermimpi saya mendapati tujuh mutiara yang sangat indah ini. Akhirnya Allah menjawab doa saya,” kata pemuda penuh keriangan.

”Alhamdulillah. Tapi perlu kamu ketahui bahwa tujuh mutiara itu adalah pahala-pahala ibadah yang kamu jalankan selama 3 tahun lalu.”

”Ini pahala-pahala saya? Lalu bagaimana dengan syurga saya Pak Kiai?”

”Tidak ada, karena Allah sudah membayar semua pekerjaan ibadahmu. Mudah-mudahan kamu bahagia di dunia ini. Dengan tujuh mutiara itu kamu bisa menjadi miliader.”

”Ya Allah, aku tidak mau mutiara-mutiara ini. Lebih baik aku miskin di dunia ini daripada miskin di akhirat nanti. Ya Allah kumpulkan kembali mutiara-mutiara ini dengan amalan ibadah lainnya sampai aku meninggal nanti,” ujar pemuda itu sadar diri. Tujuh mutiara yang berada di depannya itu hilang seketika. Ia berjanji tak akan mengeluh dan menjalani ibadah lebih baik lagi demi kekayaan akhirat kelak.

By: Sufi muda

Kisah Tiga Orang Darwis

TIGA ORANG DARWIS

Konon, ada tiga orang darwis. Mereka bernama Yak, Do, dan
Se. Mereka masing-masing berasal dari Utara, Barat, dan
Selatan. Mereka memiliki suatu hal yang sama: berusaha
mencari Kebenaran Dalam, oleh karenanya mereka mencari
Jalan.

Yang pertama, Yak-Baba, duduk dan merenung sampai kepalanya
pening. Yang kedua, Do-Aghas tegak dengan kepala di bawah
sehingga kakinya kaku. Yang ketiga, Se-Kalandar, membaca
buku-buku sampai hidungnya mengeluarkan darah.

Akhirnya mereka memutuskan untuk berusaha bersama-sama.
Mereka mengundurkan diri ke tempat sunyi dan melakukan
latihan bersama, mengharap agar ketiga kekuatan yang
digabung akan cukup kuat untuk mendatangkan Kebenaran, yang
mereka sebut Kebenaran Dalam.

Empat puluh hari empat puluh malam lamanya mereka bertahan
menderita. Akhirnya, dalam pusaran asap putih muncullah
kepala seorang lelaki yang sangat tua di hadapan mereka;
tampaknya ia muncul dari tanah. “Apakah kau Kidir yang gaib
itu, pemandu manusia?” tanya darwis pertama. “Bukan, ia
Kutub, Tiang Semesta,” sahut yang kedua. “Aku yakin, itu
pasti tak lain salah seorang dari para Abdal. Orang-orang
Yang Terubah,” kata yang ketiga.

“Salah semua” teriak bayang-bayang itu keras-keras, “tetapi
aku adalah apapun yang kau inginkan tentangku. Dan kini
kalian menginginkan satu hal, yakni yang kausebut Kebenaran
Dalam?”

“Ya, O Guru,” sahut mereka serentak.

“Pernahkah kalian mendengar peribahasa, ada banyak Jalan
sebanyak hati manusia?” tanya kepala itu. Bagaimanapun,
inilah jalanmu:

“Darwis pertama akan mengembara melalui Negeri Orang Tolol;
Darwis Kedua harus menemukan Cermin Ajaib; Darwis Ketiga
harus meminta pertolongan Jin Pusaran Air.” Setelah berkata
demikian, kepala itupun menghilang.

Mereka bertiga membicarakan masalah itu, tidak hanya karena
mereka memerlukan penjelasan lebih lanjut sebelum berangkat,
tetapi juga karena meskipun mereka semua telah mengadakan
latihan berbagai cara, masing-masing percaya bahwa hanya ada
satu cara yakni caranya sendiri, tentu saja. Dan kini,
masing-masing tidak yakin benar bahwa caranya sendiri itu
cukup berguna, meskipun boleh dikatakan telah mampu
mendatangkan bayang-bayang yang baru saja mereka saksikan
tadi, yang namanya sama sekali tidak mereka ketahui.

Yak-Babalah pertama-tama meninggalkan tempat samadinya;
biasanya ia akan bertanya kepada orang yang ditemuinya,
apakah ada orang bijaksana yang tinggal dekat-dekat daerah
itu; tetapi kini ia bertanya apakah mereka mengetahui Negeri
Orang Tolol. Akhirnya setelah berbulan-bulan lamanya, ada
juga yang tahu, dan berangkatlah ia menuju kesana. Segera
setelah ia memasuki negeri itu, dilihatnya seorang wanita
menggendong pintu. “Wanita,” tanyanya, “mengapa kaugendong
pintu itu?”

“Sebab, pagi tadi, sebelum berangkat kerja, suamiku
berpesan: “Istriku, dirumah kita ini tersimpan harta
berharga. Jangan kauperbolehkan orang melewati pintu ini.”
Karena aku pergi, kubawa pintu ini agar tidak ada yang
melewatinya. Kini perkenankanlah saya melewatimu.”

“Apakah saya boleh menjelaskan sesuatu agar kau tahu bahwa
sebenarnya tak perlu kau bawa kemana-mana pintu itu?” tanya
Darwis Yak-Baba. “Tidak usah,” kata wanita itu.
“Satu-satunya yang bisa menolong adalah apabila Saudara bisa
menjelaskan cara memperingan bobot pintu ini.”

“Wah, itu saya tidak tahu,” kata Darwis. Dan mereka pun
berpisah.

Beberapa langkah kemudian ia menjumpai sekelompok orang.
Mereka semua gemetar ketakutan di depan sebuah semangka
besar yang tumbuh di ladang. “Kami belum pernah melihat
raksasa itu sebelumnya,” mereka menjelaskan kepada Darwis
itu, “dan tentunya ia akan tumbuh semakin besar dan membunuh
kami semua. Tetapi kami takut menyentuhnya.”

“Bolehkah saya mengatakan sesuatu kepada kalian tentang
itu?” tanyanya kepada mereka.

“Jangan goblok!” jawab mereka. “Bunuhlah ia, dan kau akan
diberi hadiah, tetapi kami tidak mau tahu apapun
tentangnya.” Maka Darwis itupun mengeluarkan pisau,
mendekati semangka itu, memotong seiris, dan kemudian mulai
memakannya

Di tengah-tengah jerit ketakutan yang hiruk-pikuk
orang-orang itu memberinya uang. Ketika ia pergi, mereka
berkata, “Kami mohon jangan kembali kemari, Tuan Pembunuh
Raksasa. Jangan datang kemari dan memakan kami seperti
tadi!”

Demikianlah, sedikit demi sedikit ia mengerti bahwa di
Negeri Orang Tolol, agar bisa bertahan hidup, orang harus
bisa berfikir dan berbicara seperti orang tolol. Setelah
beberapa tahun lamanya, ia mencoba mengubah beberapa orang
tolol menjadi waras, dan sebagai hadiahnya pada suatu hari
Darwis itu mendapatkan Pengetahuan Dalam. Meskipun ia
menjadi orang suci di Negeri Orang Tolol, rakyat
mengingatnya hanya sebagai Orang yang Membelah Raksasa Hijau
dan Meminum Darahnya. Mereka mencoba melakukan hal yang
sama, untuk mendapatkan Pengetahuan Dalam –dan mereka tak
pernah mendapatkannya.

Sementara itu, Do-Agha, Darwis Kedua, memulai perjalanannya
mencari Pengetahuan Dalam. Kali ini ia tidak menanyakan
tentang orang-orang suci atau cara-cara latihan yang baru,
tetapi tentang Cermin Ajaib, Jawaban-jawaban yang
menyesatkan sering didengarnya, namun akhirnya ia mengetahui
tempat Cermin itu. Cermin itu tergantung di sumur pada
seutas tali yang selembut rambut, dan sebenarnya hanya
sebagian saja, sebab Cermin itu terbuat dari pikiran-pikiran
manusia, dan tidak ada cukup pikiran untuk bisa membuatnya
sebuah Cermin yang utuh.

Setelah itu ia berhasil menipu raksasa yang menjaganya,
Do-Agha menatap Cermin itu dan meminta Pengetahuan Dalam.
Sekejap saja ia sudah memilikinya. Iapun tinggal di sebuah
tempat dan mengajar dengan penuh kebahagiaan beberapa tahun
lamanya. Tetapi pengikut-pengikutnya tidak bisa mencapai
taraf pemusatan pikiran yang diperlukan untuk memperbaharui
cermin itu secara teratur, cermin itu pun lenyaplah. Namun,
sampai hari ini masih ada orang-orang yang menatap cermin,
membayangkan bahwa Cermin Ajaib Do-Agha, Sang Darwis.

Sedangkan Darwis Ketiga, Se-Kalandar, ia pergi ke mana-mana
mencari Jin Pusaran Air. Jin itu dikenal dengan pelbagai
nama, namun Se-Kalandar tidak mengetahuinya; dan
bertahun-tahun lamanya ia bersilang jalan dengan Jin itu,
senantiasa gagal menemuinya karena Jin itu disana tidak
dikenal sebagai Jin dan mungkin tidak dikait-kaitkan dengan
pusaran air.

Akhirnya, setelah bertahun-tahun lamanya, ia pergi kesebuah
dusun dan bertanya, “O Saudara-saudara! apakah ada diantara
kalian yang pernah mendengar tentang Jin Pusaran Air?”

“Saya tak pernah mendengar tentang Jin itu,” kata seseorang,
“tetapi desa ini disebut Pusaran Air.”

Darwis merubuhkan tubuhnya ke tanah dan berteriak, “Aku tak
akan meninggalkan tempat ini sampai Jin Pusaran Air muncul
di hadapanku!”

Dan Jin itu, yang sedang lewat dekat tempat itu, memutar
langkahnya dan berkata, “Kami tidak menyukai orang asing di
desa kami, darwis. Karena itu aku datang padamu. Nah, apa
yang kau cari?”

Aku mencari Pengetahuan Dalam, dan aku diberi tahu bahwa
dalam keadaan tertentu kau bisa mengatakan padaku bagaimana
mendapatkannya.

“Tentu, aku bisa,” kata Si Jin. “Kau telah mengalami banyak
hal. Yang harus kau lakukan tinggal mengucapkan ungkapan
ini, menyanyikan lagu itu, melakukan tindakan itu. Kau pun
nanti akan mendapatkan Pengetahuan Dalam.”

Darwis itu mengucapkan terima kasih kepada Jin, lalu memulai
latihannya. Bulan-bulan berlalu, kemudian bertahun-tahun,
sampai akhirnya ia berhasil melakukan pengabdian dan
ketaatannya secara benar. Orang-orang datang dan
menyaksikannya dan kemudian meniru-nirunya, karena
semangatnya, dan karena ia dikenal sebagai orang yang taat
dan saleh.

Akhirnya Darwis itu mencapai Pengetahuan Dalam; jauh
meninggalkan pengikut-pengikutnya yang setia, yang
meneruskan cara-caranya. Tentu saja mereka itu tidak pernah
mencapai Pengetahuan Dalam, sebab mereka memulai pada akhir
telaah Sang Darwis.

Setelah itu, apabila ada pengikut-pengikut ketiga Darwis
itu bertemu, salah seorang berkata, “Aku memiliki kaca
Tataplah, dan kau akan mencapai Pengetahuan Dalam.”

Yang lain menjawab, “Korbankan semangka,ia akan menolongmu
seperti yang pernah terjadi atas Yak-Baba.”

Yang ketiga menyela, “Tak mungkin: Satu-satunya cara adalah
tabah dalam mempelajari dan menyusun latihan tertentu,
sembahyang, dan bekerja keras.”

Ketika pada kenyataannya ketiga Darwis itu berhasil mencapai
Pengetahuan Dalam, mereka bertiga mengetahui bahwa tak mampu
menolong mereka yang telah mereka tinggalkan di belakang:
seperti ketika seorang terbawa oleh air pasang dan melihat
di darat ada seorang diburu singa, dan tidak bisa
menolongnya.

Catatan

Petualangan-petualangan orang-orang ini nama-nama mereka
berarti “satu,” “dua” dan “tiga” –kadang-kadang diartikan
sebagai ejekan terhadap agama yang lazim.

Kisah ini merupakan ringkasan sebuah kisah ajaran yang
terkenal, “Apa yang Terjadi atas Mereka Bertiga.” Kisah ini
dianggap sebagai ciptaan guru Sufi, Murad Shami, kepala Kaum
Muradi, yang meninggal tahun 1719. Para darwis yang
menceritakannya menyatakan bahwa kisah ini mempunyai pesan
dalam yang jauh lebih penting dalam hal-hal praktis,
daripada arti yang diluarnya saja.

————————————————————

SIFAT MURID

Diceritakan bahwa Ibrahim Khawas, ketika ia masih muda,
ingin mengikuti seorang guru. Iapun mencari seorang bijak,
dan mohon agar diperbolehkan menjadi pengikutnya.

Sang Bijak berkata. “Kau belum lagi siap.”

Karena anak muda itu bersikeras juga, guru itu berkata,
“Baiklah, aku akan mengajarimu sesuatu. Aku akan berziarah
ke Mekkah. Kau ikut.”

Murid itu teramat gembira.

“Karena kita mengadakan perjalanan berdua, salah seorang
harus menjadi pemimpin,” kata Sang Guru “Kau pilih jadi apa?”

“Saya ikut saja, Bapak yang memimpin,” kata Ibrahim.

“Tentu aku akan memimpin, asal kau tahu bagaimana menjadi
pengikut,” kata Sang Guru.

Perjalananpun dimulai. Sementara mereka beristirahat pada
suatu malam di padang pasir Hejaz, hujan pun turun. Sang
guru bangkit dan memegangi kain penutup, melindungi muridnya
dari kebasahan.

“Tetapi seharusnya sayalah yang melakukan itu bagi Bapak,”
kata Ibrahim.

“Aku perintahkan agar kau memperbolehkan aku melindungimu,”
kata Sang Bijak.

Siang harinya, anak muda itu berkata, “Nah ini hari baru.
Sekarang perkenankan saya menjadi pemimpin, dan Bapak
mengikut saya.” Sang gurupun setuju.

“Saya akan mengumpulkan kayu, untuk membuat api,” kata
pemuda itu.

“Kau tak boleh melakukan itu; aku yang akan melakukannya,”
kata Sang Bijak.

“Saya memerintahkan agar Bapak duduk Saja sementara saya
mengumpulkan kayu!” kata pemuda itu.

“Kau tak boleh melakukan hal itu,” kata orang bijaksana itu;
“sebab hal itu tidak sesuai dengan syarat menjadi murid;
pengikut tidak boleh membiarkan dirinya dilayani oleh
pemimpinnya.”

Demikianlah, setiap kali Sang Guru menunjukkan kepada murid
apa yang sebenarnya makna menjadi murid dengan
contoh-contoh.

Mereka berpisah di gerbang Kota Suci. Waktu kemudian bertemu
dengan orang bijaksana itu, Si pemuda tidak berani menatap
matanya.

“Yang kaupelajari itu,” kata Sang Bijak, “adalah sesuatu
yang berkaitan dengan sedikit menjadi murid.”

Catatan

Ibrahim Khawas (‘Si Penganyam Palem’) memberi batasan jalan
Sufi sebagai, “Biarkan saja apa yang dilakukan untukmu
dikerjakan orang untukmu. Kerjakan sendiri apa yang harus
kau kerjakan bagi dirimu sendiri.”

Kisah ini menggaris-bawahi dengan cara dramatik, perbedaan
antara apa yang dipikirkan calon pengikut tentang bagaimana
seharusnya hubunganya dengan gurunya, dan bagaimana hubungan
tersebut dalam kenyataannya.

Khawas adalah salah seorang di antara guru-guru agung zaman
awal, dan perjalanan ini dikutip oleh Hujwiri dalam
Pengungkapan Yang Terselubung, ikhtisar tertua yang masih
ada tentang Sufisme dalam Bahasa Persia.

————————————————————
K I S A H – K I S A H S U F I
Kumpulan kisah nasehat para guru sufi
selama seribu tahun yang lampau
oleh Idries Shah (terjemahan: Sapardi Djoko Damono)
Penerbit: Pustaka Firdaus, 1984

Semoga bermanfaat.

Marilah Setiap detak-detik jantung.., selalu kita isi dengan..
Asma Teragung diseluruh jagad semesta raya ini...


Vicky
Halaqah Sirrul Barokah

Subhanakallahumma wabihamdika AsyaduAllahilaha illa Anta Astagfiruka wa'atubu Ilaik ... Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Sumber : http://tasawuf.blog.com/2010/05/03/kisah-tiga-orang-darwis/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar