Jumat, 29 Januari 2010

Kewajiban Taat Kepada Pemerintah


Bismillah,

Kewajiban taat kepada pemerintah merupakan salah satu prinsip Islam yang agung. Prinsip ini selalu akan dijaga dan dikibarkan oleh Ahlus Sunnah Wal Jama'ah dari satu generasi ke generasi berikutnya. Namun manakala umat Islam semakin jauh dari bimbingan Al-Qur'an dan As-Sunnah serta para ulama Salaf, maka prinsip ini pun terasa asing dan aneh. Demikianlah ketetapan dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam yang artinya :

“Sesungguhnya Islam datang dalam keadaan asing dan akan kembali pula daam keadaan asing, maka berbahagialah orang-orang dikatakan asing.” (HR. Muslim dari hadits Abu Hurairah dan Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma)

Dalam prinsip Ahlus Sunnah bahwa taat kepada penguasa itu adalah wajib hukumnya, sekali pun penguasa itu jahat dan zhalim. Kejahatan dan kezhaliman sang penguasa tidaklah menghalalkan untuk keluar dari ketaatan atau mengadakan perlawanan (pemberontakan), selama penguasa itu tidak menampakkan kekufuran yang nyata. Inilah manhaj (prinsip) agung dan syi'ar Ahlus Sunnah sepanjang zaman hingga akhir zaman.

"Senantiasa akan ada suatu kelompok dari umatku yang selalu tampak di atas kebenaran, yang tidak akan memudharatkan mereka orang-orang yang menelantarkan (tidak mau menolong) mereka sampai datang keputusan Allah (hari kiamat)." (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Di dalam Al Qur'an, Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah menegaskan tentang kewajiban menaati waliyul amr (pemerintah). Sebagaimana firman-Nya (artinya):

"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri (penguasa) di antara kamu." (An Nisaa':59)

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam sebagai penyampai dan sekaligus sebagai penjelas wahyu-Nya telah menyampaikan dan menjelaskan jalan terbaik yang dapat membuahkan mashalahat (kebaikan) lebih besar bagi rakyat adalah sabar dengan segala sifat dan perangai dari sang penguasa.

Dari 'Adi bin Hatim -radhiallaahu`anhu-, dia berkata (yang artinya): "Kami mengatakan: "Wahai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, kami tidak bertanya tentang ketaatan kepada orang-orang yang bertaqwa, tetapi ketaatan kepada orang yang berbuat begini dan begitu.." (disebutkan kejelekan-kejelekan), maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda (yang artinya): "Bertaqwalah kepada Allah! Dengar dan taatlah!" (HR. Ibnu Abi 'Ashim dalam As Sunnah, dan lain-lain. Lihat Al Wardhul Maqthuf. Hal.32)

Wajib taat dan mendengar kepada sang penguasa walaupun dalam kondisi serba susah dan sulit. Jika dia merampas hak kita, maka kewajiban kita adalah sabar dan meminta kepada Allah hak kita yang telah dirampas.

Dari Junada bin Abu Umayyah -radhiallaahu`anhu-, dia berkata: "Kami masuk ke rumah Ubadah bin Ash Shamit ketika beliau dalam keadaan sakit, lalu kami berkata kepadanya: "Sampaikanlah hadits kepada kami -semoga Allah menyembuhkanmu- yang engkau dengar dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, yang dengannya (dengan hadits tersebut-red) Allah akan memberikan manfaat bagi kami!", maka ia pun berkata (yang artinya):

"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam memanggil kami kemudian membai'at kami. Dan di antara bai'atnya adalah agar kami bersumpah setia untuk mendengar dan ta'at ketika kami suka maupun duka, berat maupun ringan, ataupun ketika kami diperlakukan secara tidak adil. Dan agar kami tidak merebut urusan kepemimpinan dari orang yang berhak (beliau berkata): Kecuali jika kalian melihat kekufuran yang nyata, yang kalian memiliki bukti di sisi Allah." (HR.Al Bukhari dan Muslim)

Dari Abdullah bin Mas'ud -radhiallaahu`anhu-, dia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda (yang artinya):

"Akan muncul setelahku atsarah (penguasa yang mengutamakan diri mereka sendiri dan tidak memberikan hak rakyatnya -red) dan perkara-perkara yang kalian ingkari." Para shahabat-red) bertanya: "Apa yang engkau perintahkan kepada kami, wahai Rasulullah?" Beliau Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda (yang artinya):

"Tunaikanlah kewajiban kalian kepada mereka dan mintalah hak kalian kepada Allah." (HR Al Bukhari dan Muslim)

Dari Hudzaifah Ibnul Yaman -radhiallahu 'anhu-, dia berkata: "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda (yang artinya):

"Akan datang setelahku para penguasa yang tidak mengikuti petunjukku dan tidak menjalani sunnahku dan akan berada bersama para penguasa orang-orang yang hati mereka adalah hati-hati syaithan yang berada dalam jasad manusia." (Hudzaifah berkata): "Wahai Rasulullah, apa yang aku perbuat jika aku menemui mereka?" Beliau menjawab: "Engkau dengar dan engkau taati walaupun punggungmu dicambuk dan hartamu diambil." (HR. Muslim)

Menurut Al Imam An Nawawi rahimahullah: "Kesimpulannya adalah sabar terhadap kezhaliman penguasa dan tidak gugur ketaatan (kepada mereka) dengan kezhaliman mereka." (Syarh Shahih Muslim, 12/222)

Ibnu Hajar rahimahullah berkata: "Wajib berpegang dengan jama'ah muslimin dan penguasa-penguasa mereka walaupun mereka bermaksiat." (Fathul Bari bi Syarhi Shahihil Bukhari)

Meski sang penguasa itu cacat atau berasa dari bangsa budak, kita tetap wajib taat dan berada di bawah kepemimpinannya.

Dari Abu Dzar -radhiyallahu 'anhu-, bahwa dia berkata:
"Telah mewasiatkan kepadaku kekasihku agar aku mendengar dan taat walaupun yang berkuasa adalah budak yang terpotong hidungnya (cacat)." (HR Al Bukhari dan Muslim)

Dari Suwaid bin Ghafalah, dia berkata: "Umar berkata kepadaku: "Wahai Abu Umayyah, aku tidak tahu apakah aku akan bertemu dengan engkau lagi setelah tahun ini ..., jika dijadikan amir (pemimpin) atas kalian seorang budak dari Habasyah, bahkan terpotong hidungnya, maka dengarlah dan taatlah! Jika dia memukulmu, sabarlah! Jika dia tidak memberikan hakmu, sabarlah! Jika ia ingin sesuatu yang mengurangi agamamu, maka katakanlah aku mendengar dan taat pada darahku bukan pada agamaku, dan tetaplah kamu jangan memisahkan diri dari jama'ah."

Bahkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam mengancam barangsiapa yang memisahkan diri dari jama'ah dan memberontak kepada penguasanya, maka matinya adalah mati jahiliyyah. Yaitu mati dalam keadaan bermaksiat kepada Allah seperti keadaan orang-orang jahiliyyah. Ibnu 'Abbas -radhiyallahu 'anhu- berkata: "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda (yang artinya) :

"Barangsiapa yang melihat sesuatu yang tidak dia sukai dari penguasanya, maka bersabarlah! Karena barangsiapa yang memisahkan diri dari jamaah sejengkal saja, maka ia akan mati dalam keadaan mati jahiliyyah." (HR Al Bukhari dan Muslim)

Mengapa harus sabar dan mengalah ? Bukankah penguasa itu telah berbuat zhalim dan maksiat ?

Jawabannya adalah firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala (yang artinya):
"Dan demikianlah kami jadikan sebagian orang-orang zhalim itu sebagai teman (wali, pemimpin -pent) atas sebagian yang lainnya disebabkan apa yang mereka usahakan sendiri." (Al An'am:192)

Al Hasan Al Bashri mengatakan: "Ketahuilah -semoga Allah memberimu keselamatan- bahwa kezhaliman para penguasa merupakan adzab dari Allah, dan adzab Allah tidak dihadapi dengan pedang akan tetapi dihadapi dengan do'a, taubat, kembali kepada Allah dan mencabut segala dosa. Sungguh adzab Allah jika dihadapi dengan pedang, maka ia akan lebih bisa memotong (mudharatnya lebih besar daripada mashalahatnya -pent)." (Asy Syari'ah karya Al-Imam Al Ajurri, hal 38)

Al Imam Abul Walid Ath Thurtusi berkata: "Jika kamu berkata bahwa raja-raja (penguasa) di masa ini tidak seperti raja-raja di masa lalu, maka (dijawab) bahwa rakyat sekarang pun tidak seperti rakyat di masa lalu. Dan kamu tidak lebih berhak mencela penguasamu ketika kamu menengok (membandingkan dengan) penguasa dahulu daripada penguasamu mencela kamu ketika dia menengok rakyat yang hidup di masa lalu. Maka jika penguasamu berbuat zhalim terhadap kamu hendaknya kamu bersabar dan dosanya ditanggung (penguasa itu)." (Sirajul Muluk, hal. 100-101, dinukil dari Fiqh Siyasah Syar'iyyah, hal. 165-166)

Al Imam Ibnu Katsir rahimahullah dalam kitab tafsirnya berakta: "Demikianlah Kami berbuat terhadap orang-orang zhalim yaitu dengan Kami jadikan sebagian orang zhalim sebagai pemimpin sebagian yang lainnya." (Al Misbahhul Munir)

Inilah hakekat yang sangat perlu direnungkan. Bahwa munculnya penguasa yang zhalim disebabkan oleh dosa-dosa dan kemaksiatan rayatnya sendiri, karena penguasa itu berasal dari rakyat juga. Sikap mencaci-maki, merendahkan dan bahkan mengkafirkan penguasa hanya akan menambah kezhaliman penguasa, yang akibatnya tidak hanya menimpa kepada orang-orang yang bersalah, namun juga akan menimpa kepada orang-orang yang tidak bersalah. Akibatnya, sikap seperti ini justru akan menimbulkan mudharat (kejelekan) yang lebih besar dibanding mashalahat (kebaikan) yang diperoleh, tentunya hal ini merupakan perkara yang dilarang agama.

Ketika Abu Dzar keluar ke daerah Rabadzah karena menaati perintah khalifah 'Utsman, disebabkan ia memiliki sebuah permasalahan dengan seseorang, ia berjumpa dengan serombongan orang-orang Iraq yang mengatakan:
"Wahai Abu Dzar sungguh telah sampai kepada kami apa yang diperlakukan terhadap dirimu. Maka tegakkanlah bendera (maksudnya ajakan untuk memberontak) niscaya akan datang kepadamu orang-orang dari mana saja kamu mau." Maka beliau menjawab: "Jangan terburu-buru wahai kaum muslimin, sungguh saya mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Akan datang setelahku penguasa maka muliakanlah dia. Barangsiapa yang menghinakannya berarti ia telah membuat satu lubang dalam Islam dan tidak akan diterima taubat darinya sampai ia mengembalikannya seperti sebelumnya." (HR Ibnu Abi 'Ashim dalam As-Sunnah no.1709)

Perlu diketahui bahwa munculnya penguasa-penguasa yang jahat bukan merupakan suatu hal yang baru. Dalam sejarah Islam tercatat sejak para shahabat masih hidup telah muncul seorang pemimpin yang luar biasa bengisnya melebihi para penguasa di masa ini. Bahkan penguasa itu sampai mendapat julukan resmi dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam sebagai Al Mujbir (pembinasa). Penguasa tersebut adalah Hajjaj bin Yusuf Ats Tsaqafi. Bukan hanya ulama yang ia bunuh, bahkan sebagian shahabat pun ia bunuh. Jumlahnya pun bukan sekedar ratusan, namun mencapai ribuan. Ibnu Hajar rahimahullah menukilkan riwayat dari Hisyam bin Hassan, bahwa ia mengatakan: "Kami menghitung orang yang dibunuh Hajjaj dengan cara shabran (dibunuh dengan cara tidak diberi makan dan minum) mencapai 120.000 jiwa." (Tahdzibut Tahdzib, 2/211)

Meski demikian keadaannya, para ulama dan (termasuk) para shahabat yang masih hidup pada masa itu tidak mencabut kepemimpinannya. Demikian pula teladan mulia dari Al Imam Ahmad rahimahullah, ketika beliau dipenjara dan disiksa oleh penguasa yang zhalim, tetap memerintahkan kaum muslimin mendengar dan taat serta tidak memberontak kepada penguasa tersebut. Beliau berkata:

"Hendaknya kalian mengingkari kemungkaran tersebut dengan menggunakan hati kalian. Dan jangan sekali-kali kalian mencabut tangan kalian dari ketaatan. Dan jangan pula kalian mematahkan tongkat persatuan kaum muslimin, serta jangan pula kalian menumpahkan darah-darah kalian sendiri dan darah-darah kaum muslimin. Pertimbangkan akibat dari tindakan kalian tersebut dan sabarlah kalian sampai orang-orang yang baik meninggal dunia atau sebaliknya pimpinan yang zhalim itulah yag meninggal dunia." (As Sunnah, hal 90, karya Al Imam Al Khallal)

Kewajiban taat kepada pemerintah ini sebatas dalam hal yang ma'ruf. Bila pemerintah memerintahkan kepada hal yang mungkar, maka tidak perlu menaatinya dengan tetap tidak memisahkan diri dari kepemimpinannya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda (yang artinya):

"Tidak ada ketaan kepada (seorang) makhluk pun dalam bermaksiat kepada Sang Khalik (Allah Subhanahu Wa Ta'ala)." (Shahih Al Jami' Ash Shaghir no.7520)

Wallahu 'alam bish showab

Sumber : Buletin Islam Al-Ilmu edisi 43

Tidak ada komentar:

Posting Komentar