Ketika kita mengatakan bahwa kita seorang muslim.. beriman kepada Allah dan rasul-Nya, maka detik itu juga semua hal yang kita kerjakan, semua persoalan yang kita hadapi, haruslah dalam timbangan perintah dan larangan Allah SWT.
begitu pula dalam hal menerima seorang tamu.. dalam Islam ada aturan-aturan dan batasan-batasan serta hal-hal yang harus kita terapkan, agar apa-apa yang kita lakukan tidak keluar dari apa-apa yang Allah perintahkan untuk kita taati dan amalkan.
Ada saatnya seorang tamu harus kita sambut dengan cinta dan kasih, tapi ada juga seorang tamu yang tidak pantas kita terima apalagi kita sambut dengan penuh suka cita.
Rasulullah SAW bersabda:
من أحب لله وأبغض لله وأعطى لله ومنع لله فقد استكمل الإيمان
Barang siapa yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah, dan mencegah karena Allah maka telah sempurna imannya. (HR. Abu Dawud, dari Abu Umamah, sanadnya shahih (sunan Abu dawud, juz 2 hal. 632, Maktabah Syaamilah), juga diriwayatkan oleh at Thabrani dalam Mu’jamul Kabiir, As Suyuthi dalam Jami’ul Ahadits, juga oleh Ibnul Atsiir dalam Jami’ul Ushul)
Oleh karena itu.. beberapa riwayat dibawah ini akan menunjukkan bagaimana kita memposisikan diri kita dalam menerima tamu, sesuai dengan siapa tamu yang datang
A. memuliakan tamu
Diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, At Tirmizi dan An Nasa’i dari Abu Hurairah, ia berkata:
“Seorang laki-laki telah datang kepada Rasulullah SAW. Ia berkata: “Aku lapar”.
Maka Rasulullah mengutus kepada istri-istrinya (menanyakan makanan), tapi tidak ada, beliau bersabda: “Adakah orang yang mau menerima orang ini sebagai tamu malam ini ? Ketahuilah bahwa orang yang mau menerima laki-laki ini sebagai tamu (dan memberi makan) malam ini akan diberi rahmat oleh Allah”.
Berkata seorang dari golongan Ansar (Abu Talhah): “Saya ya Rasulullah”.
Maka ia pergi menemui istrinya dan berkata “Hormatilah tamu Rasulullah”.
Istrinya menjawab: “Demi Allah tidak ada makanan kecuali makanan untuk anak-anak kita.
Suaminya berkata: “Apabila anak-anak hendak makan malam, tidurkanlah mereka, padamkanlah lampu biarlah kita menahan lapar pada malam ini, agar kita dapat menjamu tamu Rasulullah”.
Maka hal itu dilakukan istrinya.
Pagi-pagi esoknya Abu Talhah menghadap Rasulullah SAW. menceritakan peristiwa malam itu dan beliau bersabda:
“Allah SWT benar-benar kagum malam itu terhadap perbuatan kalian berdua.”
Riwayat Imam Muslim dari Abu Hurairah r.a:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ضَافَهُ ضَيْفٌ وَهُوَ كَافِرٌ فَأَمَرَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِشَاةٍ فَحُلِبَتْ فَشَرِبَ حِلاَبَهَا ثُمَّ أُخْرَى فَشَرِبَهُ ثُمَّ أُخْرَى فَشَرِبَهُ حَتَّى شَرِبَ حِلاَبَ سَبْعِ شِيَاهٍ ثُمَّ إِنَّهُ أَصْبَحَ فَأَسْلَمَ فَأَمَرَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِشَاةٍ فَشَرِبَ حِلاَبَهَا ثُمَّ أَمَرَ بِأُخْرَى فَلَمْ يَسْتَتِمَّهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « الْمُؤْمِنُ يَشْرَبُ فِى مِعًى وَاحِدٍ وَالْكَافِرُ يَشْرَبُ فِى سَبْعَةِ أَمْعَاءٍ
Sesungguhnya Rasulullah menjamu seorang tamu yang kafir, maka Rasulullah SAW meminta untuk memerah susu kambing untuk digunakan menjamu tamu yg kafir tsb, (setelah diperas) tamu tersebut meminumnya, kemudian memerah susu kambing yang lain lagi dan meminumnya lagi, kemudian memerah susu kambing lain lagi dan meminumnya lagi sampai tujuh ekor kambing. kemudian saat pagi ia sudah masuk Islam, maka Rasulullah meminta untuk memerah susu kambing dan meminumnya, kemudian menyilahkan untuk memerah kambing yang lain, maka ia tidak menyelesaikannya (memerah susu), maka Rasulullah SAW berkata: seorang mukmin minum untuk satu usus (perut), dan orang kafir meminum untuk tujuh usus (perut)
B. menghinakan tamu
Riwayat Ibnu Hisyam dalam Sirah Nabawiyyah (5/50):
Saat Abu Sufyan (mertua Rasulullah) mau bertamu kepada Rasulullah, yang menyambutnya adalah anaknya sendiri yakni Ummu Habibah (nama aslinya Ramlah binti Abu Sufyan). setelah masuk rumah Abu Sufyan ingin duduk di atas tikar, namun tiba-tiba tikar tersebut dilipat oleh Ummu Habibah, maka Abu Sufyan bertanya dengan penuh keheranan,”Wahai putriku, aku tidak tahu, mengapa engkau melarangku duduk di atas tikar itu?” Beliau menjawab dengan penuh keberanian dan tanpa rasa takut akan kemarahannya, ini adalah tikar Rasulullah, sedangkan engkau adalah orang musyrik yang najis, aku tidak ingin engkau duduk di atas tikar Rasulullah.” Abu Sufyan berkata, “Demi Allah, engkau akan menemui hal buruk sepeninggalku nanti.”
Ummu Habibah menjawab dengan penuh wibawa dan percaya diri, “Bahkan semoga Allah memberikan hidayah kepadaku dan juga kepada Anda wahai ayah, pemimpin Quraisy, apa yang menghalangimu masuk Islam? Engkau menyembah batu yang tidak dapat melihat dan tidak dapat mendengar.” Abu Sufyan kemudian pergi dengan marah.
Kemudian ia pergi menemui menantunya, yakni Rasulullah SAW, dan berbicara kepada Rasulullah, namun Rasulullah tidak menghiraukannya, kemudian ia pergi menemui Abu Bakar agar membujuk Rasulullah supaya mau berbicara dengannya, Abu bakar menjawab: “aku tidak bisa melakukannya”, kemudian ia mendatangi Umar bin Khattab ra. dan memintanya membantunya, Umar berkata:
أأنا أشفع لكم إلى رسول الله صلى الله عليه و سلم ؟ فوالله لو لم أجد إلا الذر لجاهدتكم به
apakah aku harus membantu engkau dari Rasulullah SAW?, demi Allah seandainya aku tidak memiliki senjata selain debu, sungguh aku akan (tetap) memerangi kalian. kemudian ia mendatangi Ali bin Abi Thalib, kemudian sahabat yang lain tetapi mereka menolak Abu Sufyan….
Kenapa Abu Sufyan ditolak, padahal ia datang dengan baik-baik?
Diawali dari perjanjian damai antara kaum muslimin Madinah dengan orang musyrikin Quraisy yang ditandatangani pada nota kesepakatan Shulh Hudaibiyah pada tahun 6 Hijriyah. Termasuk diantara nota perjanjian adalah siapa saja diizinkan untuk bergabung dengan salah satu kubu, baik kubu Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dan kaum muslimin Madinah atau kubu orang kafir Quraisy Makkah. Maka, bergabunglah suku Khuza’ah di kubu Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dan suku Bakr bergabung di kubu orang kafir Quraisy. Padahal, dulu di zaman Jahiliyah, terjadi pertumpahan darah antara dua suku ini dan saling bermusuhan. Dengan adanya perjanjian Hudaibiyah, masing-masing suku melakukan gencatan senjata. Namun, secara licik, Bani Bakr menggunakan kesempatan ini melakukan balas dendam kepada suku Khuza’ah. Bani Bakr melakukan serangan mendadak di malam hari pada Bani Khuza’ah ketika mereka sedang di mata air mereka. Secara diam-diam, orang kafir Quraisy mengirimkan bantuan personil dan senjata pada Bani Bakr. Akhirnya, datanglah beberapa orang diantara suku Khuza’ah menghadap Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam di Madinah. Mereka mengabarkan tentang pengkhianatan yang dilakukan oleh orang kafir Quraisy dan Bani Bakr. Karena merasa bahwa dirinya telah melanggar perjanjian, orang kafir Quraisy pun mengutus Abu Sufyan ke Madinah untuk memperbarui isi perjanjian.
nah.. setelah kita melihat beberapa riwayat diatas..
pertanyaan adalah.....
Bagaimana dengan Negara yang terus menerus mensupport Israel dalam memerangi saudara2 kita kaum muslimin di irak, afganistan dan palestina...?
apakah pantas kita muliakan..
ataukah kita harus mengambil sikap sebaliknya..?
jika anda seorang yang beriman..
anda tahu harus bersikap bagaimana
:)
nb: jika kita mengacu kepada UUD'45 pun......... disitu ada tertulis bahwa 'penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan'..
lalu.. bagaimanakah kita bersikap apabila ada seorang penjajah datang ke negeri kita..?
jika kita melihat dari Hukum Allah dan Hukum manusia pun,
kedua2nya menolak,
lantas..
kenapa masih ada yang menerima..?
tanya kenapa
begitu pula dalam hal menerima seorang tamu.. dalam Islam ada aturan-aturan dan batasan-batasan serta hal-hal yang harus kita terapkan, agar apa-apa yang kita lakukan tidak keluar dari apa-apa yang Allah perintahkan untuk kita taati dan amalkan.
Ada saatnya seorang tamu harus kita sambut dengan cinta dan kasih, tapi ada juga seorang tamu yang tidak pantas kita terima apalagi kita sambut dengan penuh suka cita.
Rasulullah SAW bersabda:
من أحب لله وأبغض لله وأعطى لله ومنع لله فقد استكمل الإيمان
Barang siapa yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah, dan mencegah karena Allah maka telah sempurna imannya. (HR. Abu Dawud, dari Abu Umamah, sanadnya shahih (sunan Abu dawud, juz 2 hal. 632, Maktabah Syaamilah), juga diriwayatkan oleh at Thabrani dalam Mu’jamul Kabiir, As Suyuthi dalam Jami’ul Ahadits, juga oleh Ibnul Atsiir dalam Jami’ul Ushul)
Oleh karena itu.. beberapa riwayat dibawah ini akan menunjukkan bagaimana kita memposisikan diri kita dalam menerima tamu, sesuai dengan siapa tamu yang datang
A. memuliakan tamu
Diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, At Tirmizi dan An Nasa’i dari Abu Hurairah, ia berkata:
“Seorang laki-laki telah datang kepada Rasulullah SAW. Ia berkata: “Aku lapar”.
Maka Rasulullah mengutus kepada istri-istrinya (menanyakan makanan), tapi tidak ada, beliau bersabda: “Adakah orang yang mau menerima orang ini sebagai tamu malam ini ? Ketahuilah bahwa orang yang mau menerima laki-laki ini sebagai tamu (dan memberi makan) malam ini akan diberi rahmat oleh Allah”.
Berkata seorang dari golongan Ansar (Abu Talhah): “Saya ya Rasulullah”.
Maka ia pergi menemui istrinya dan berkata “Hormatilah tamu Rasulullah”.
Istrinya menjawab: “Demi Allah tidak ada makanan kecuali makanan untuk anak-anak kita.
Suaminya berkata: “Apabila anak-anak hendak makan malam, tidurkanlah mereka, padamkanlah lampu biarlah kita menahan lapar pada malam ini, agar kita dapat menjamu tamu Rasulullah”.
Maka hal itu dilakukan istrinya.
Pagi-pagi esoknya Abu Talhah menghadap Rasulullah SAW. menceritakan peristiwa malam itu dan beliau bersabda:
“Allah SWT benar-benar kagum malam itu terhadap perbuatan kalian berdua.”
Riwayat Imam Muslim dari Abu Hurairah r.a:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ضَافَهُ ضَيْفٌ وَهُوَ كَافِرٌ فَأَمَرَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِشَاةٍ فَحُلِبَتْ فَشَرِبَ حِلاَبَهَا ثُمَّ أُخْرَى فَشَرِبَهُ ثُمَّ أُخْرَى فَشَرِبَهُ حَتَّى شَرِبَ حِلاَبَ سَبْعِ شِيَاهٍ ثُمَّ إِنَّهُ أَصْبَحَ فَأَسْلَمَ فَأَمَرَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِشَاةٍ فَشَرِبَ حِلاَبَهَا ثُمَّ أَمَرَ بِأُخْرَى فَلَمْ يَسْتَتِمَّهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « الْمُؤْمِنُ يَشْرَبُ فِى مِعًى وَاحِدٍ وَالْكَافِرُ يَشْرَبُ فِى سَبْعَةِ أَمْعَاءٍ
Sesungguhnya Rasulullah menjamu seorang tamu yang kafir, maka Rasulullah SAW meminta untuk memerah susu kambing untuk digunakan menjamu tamu yg kafir tsb, (setelah diperas) tamu tersebut meminumnya, kemudian memerah susu kambing yang lain lagi dan meminumnya lagi, kemudian memerah susu kambing lain lagi dan meminumnya lagi sampai tujuh ekor kambing. kemudian saat pagi ia sudah masuk Islam, maka Rasulullah meminta untuk memerah susu kambing dan meminumnya, kemudian menyilahkan untuk memerah kambing yang lain, maka ia tidak menyelesaikannya (memerah susu), maka Rasulullah SAW berkata: seorang mukmin minum untuk satu usus (perut), dan orang kafir meminum untuk tujuh usus (perut)
B. menghinakan tamu
Riwayat Ibnu Hisyam dalam Sirah Nabawiyyah (5/50):
Saat Abu Sufyan (mertua Rasulullah) mau bertamu kepada Rasulullah, yang menyambutnya adalah anaknya sendiri yakni Ummu Habibah (nama aslinya Ramlah binti Abu Sufyan). setelah masuk rumah Abu Sufyan ingin duduk di atas tikar, namun tiba-tiba tikar tersebut dilipat oleh Ummu Habibah, maka Abu Sufyan bertanya dengan penuh keheranan,”Wahai putriku, aku tidak tahu, mengapa engkau melarangku duduk di atas tikar itu?” Beliau menjawab dengan penuh keberanian dan tanpa rasa takut akan kemarahannya, ini adalah tikar Rasulullah, sedangkan engkau adalah orang musyrik yang najis, aku tidak ingin engkau duduk di atas tikar Rasulullah.” Abu Sufyan berkata, “Demi Allah, engkau akan menemui hal buruk sepeninggalku nanti.”
Ummu Habibah menjawab dengan penuh wibawa dan percaya diri, “Bahkan semoga Allah memberikan hidayah kepadaku dan juga kepada Anda wahai ayah, pemimpin Quraisy, apa yang menghalangimu masuk Islam? Engkau menyembah batu yang tidak dapat melihat dan tidak dapat mendengar.” Abu Sufyan kemudian pergi dengan marah.
Kemudian ia pergi menemui menantunya, yakni Rasulullah SAW, dan berbicara kepada Rasulullah, namun Rasulullah tidak menghiraukannya, kemudian ia pergi menemui Abu Bakar agar membujuk Rasulullah supaya mau berbicara dengannya, Abu bakar menjawab: “aku tidak bisa melakukannya”, kemudian ia mendatangi Umar bin Khattab ra. dan memintanya membantunya, Umar berkata:
أأنا أشفع لكم إلى رسول الله صلى الله عليه و سلم ؟ فوالله لو لم أجد إلا الذر لجاهدتكم به
apakah aku harus membantu engkau dari Rasulullah SAW?, demi Allah seandainya aku tidak memiliki senjata selain debu, sungguh aku akan (tetap) memerangi kalian. kemudian ia mendatangi Ali bin Abi Thalib, kemudian sahabat yang lain tetapi mereka menolak Abu Sufyan….
Kenapa Abu Sufyan ditolak, padahal ia datang dengan baik-baik?
Diawali dari perjanjian damai antara kaum muslimin Madinah dengan orang musyrikin Quraisy yang ditandatangani pada nota kesepakatan Shulh Hudaibiyah pada tahun 6 Hijriyah. Termasuk diantara nota perjanjian adalah siapa saja diizinkan untuk bergabung dengan salah satu kubu, baik kubu Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dan kaum muslimin Madinah atau kubu orang kafir Quraisy Makkah. Maka, bergabunglah suku Khuza’ah di kubu Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dan suku Bakr bergabung di kubu orang kafir Quraisy. Padahal, dulu di zaman Jahiliyah, terjadi pertumpahan darah antara dua suku ini dan saling bermusuhan. Dengan adanya perjanjian Hudaibiyah, masing-masing suku melakukan gencatan senjata. Namun, secara licik, Bani Bakr menggunakan kesempatan ini melakukan balas dendam kepada suku Khuza’ah. Bani Bakr melakukan serangan mendadak di malam hari pada Bani Khuza’ah ketika mereka sedang di mata air mereka. Secara diam-diam, orang kafir Quraisy mengirimkan bantuan personil dan senjata pada Bani Bakr. Akhirnya, datanglah beberapa orang diantara suku Khuza’ah menghadap Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam di Madinah. Mereka mengabarkan tentang pengkhianatan yang dilakukan oleh orang kafir Quraisy dan Bani Bakr. Karena merasa bahwa dirinya telah melanggar perjanjian, orang kafir Quraisy pun mengutus Abu Sufyan ke Madinah untuk memperbarui isi perjanjian.
nah.. setelah kita melihat beberapa riwayat diatas..
pertanyaan adalah.....
Bagaimana dengan Negara yang terus menerus mensupport Israel dalam memerangi saudara2 kita kaum muslimin di irak, afganistan dan palestina...?
apakah pantas kita muliakan..
ataukah kita harus mengambil sikap sebaliknya..?
jika anda seorang yang beriman..
anda tahu harus bersikap bagaimana
:)
nb: jika kita mengacu kepada UUD'45 pun......... disitu ada tertulis bahwa 'penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan'..
lalu.. bagaimanakah kita bersikap apabila ada seorang penjajah datang ke negeri kita..?
jika kita melihat dari Hukum Allah dan Hukum manusia pun,
kedua2nya menolak,
lantas..
kenapa masih ada yang menerima..?
tanya kenapa
dblackdwarf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar