Rabu, 09 Juni 2010

Aqidah Jihadiyah Umat Islam bag 2

PEMBAHASAN KEENAM :
JIHAD ITU ADA DUA MACAM, JIHADU ATH- THALABI DAN AD-DAF'I

Jihad Ath-thalabi (jihad ofensif) yaitu engkau mencari musuh dan memerangi musuh di negerinya. Sedangkan jihad Ad-daf'i (jihad defensif) adalah memerangi musuh yang telah memulai /mendahului berperang terhadap orang – orang mukmin (Al Ikhtiyarat Al Fighiyyah, Ibnu Taimiyyah, Tahqiq Al Fagi, Cet.Darul Ma'rifah hal.309)
Dalil- dalil tentang jihad Ofensif

فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ وَخُذُوهُمْ وَاحْصُرُوهُمْ وَاقْعُدُوا لَهُمْ كُلَّ مَرْصَدٍ فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوْا الزَّكَاةَ فَخَلُّوا سَبِيلَهُمْ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
"Maka bunuhlah kaum musrikin itu dimana kamu jumpai mereka, tangkap mereka, kepung mereka dan intai mereka di setiap tempat pengintaian. Maka jika mereka bertambah, menegakkan sholat dan menunaikan zakat maka berilah mereka kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah itu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. At Taubah : 5)

قَاتِلُوا الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلا بِالْيَوْمِ الآخِرِ وَلا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنْ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ
"Perangilah orang – orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula pada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang tidak diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar yaitu orang – orang yang diberi Al Kitab kepada mereka sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk."(QS. At Taubah : 29)

Jadi Allah SWT telah memerintahkan orang – orang mukmin agar keluar untuk memerangi mereka, mengintai dan mengepung mereka. Ayat – ayat ini merupakan ayat – ayat muhkamat yang turun di akhir waktu dan tidak ada ayat lain yang menghapusnya.
Berdasarkan ayat – ayat ini pulalah Rasul dan para sahabat serta orang – orang setelah mereka mengukir sejarah hingga Allah memenangkan mereka baik di belahan timur maupun belahan barat bumi.
Nabi SAW bersabda,
أمرت أن أقاتل الناس حتى يشهدوا أن لا إله إ لا اللـه وأن محمدا رسول الله ويقيموا الصلاة ويؤتوا الزكاة، فإذا فعلوا ذلك عصموا مني دمائهم وأموالهم إلا بحق الإسلام وحسابهم على الله تعالى
"Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan Muhammad itu utusan Allah, menegakkan shalat dan menunaikan zakat. Maka jika mereka telah melakukannya darah dan harta mereka mendapatkan perlindungan dariku kecuali dengan haq Islam. Sedangkan hisab mereka adalah wewenang Allah SWT ." (Muttafaq Alaih dari Ibnu Umar)
Dan hadits Buraidah yang diriwayatkan Muslim:
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان إذا أمر أميرا على جيشه أو سرية أوصاه في خاصته بتقوى الله ومن معه من المسلمين خيرا، ثم قال اغزوا باسم الله قاتلوا من كفر بالله، اغزوا ولا تَغُلُّوا ولا تغدِروا ولا تمثلوا ولا تقتلوا وليدا، وإذا لقيت عدوك من المشركين فادعهم إلى ثلاث خصال
“Bahwa Rasulullah SAW itu bila memerintahkan seorang amir atas pasukannya atau sebuah operasi militer beliau memberikan wasiat kepada amir tadi dengan wasiat takdir kepada Allah dan memberi wasiat kebaikan kepada orang – orang muslim yang bersamanya. Lalu beliau berkata, "Berperanglah kalian dengan nama Allah, perangilah orang – orang yang ingkar kepada Allah, berperanglah kalian, jangan mencuri ghonimah, jangan mengkhianati perjanjian, dan jangan mencincang mayat serta jangan membunuh anak – anak. Dan bila engkau bertemu musuhmu dari kalangan orang musyrik serulah mereka kepada tiga pilihan” (hadits).
Nash – nash ini sangat jelas gamblang yaitu tentang keluar untuk memerangi musuh dan mentarget mereka yang berada di negeri mereka. Inilah yang dimaksud jihad Ath-Thalab (jihad ofensif).
Adapun dalil – dalil jihad Ad – daf'i (jihad defensif)

- يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا لَقِيتُمْ الَّذِينَ كَفَرُوا زَحْفًا فَلا تُوَلُّوهُمْ الأَدْبَارَ
“Wahai orang – orang yang beriman bila kalian bertemu dengan orang kafir yang menyerang mereka janganlah kalian mundur (lari ke belakang )”. (QS. Al Anfal 15)

- وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ
- "Dan berperanglah kalian di jalan Allah (untuk memerangi) orang – orang yang memerangi kalian."(QS. Al Baqarah :190)


- فَمَنْ اعْتَدَى عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَى عَلَيْكُمْ
- "Barangsiapa menyerang kalian maka seranglah mereka seimbang dengan serangan mereka terhadap kalian." (QS. Al Baqarah 194)
Di sinilah ayat – ayat yang berbicara tentang berperang untuk menolak serangan musuh yang telah memulai perang.
Ibnu Taimiyah berkata, "Adapun perang defensif merupakan pembelaan terbesar terhadap kehormatan dan agama. Maka ia hukumnya wajib menurut ijma'. Bila musuh datang menyerang, merusak agama dan dunia, pada saat itu tidak ada lagi kewajiban yang lebih wajib setelah beriman, selain dari melawan musuh itu. Tidak ada lagi syarat yang mesti dipahami untuk melawan mereka, bahkan musuh – musuh itu wajib dilawan menurut kekuatan, yang memungkinkan." (Al Ikhtiyarat Al Fiqhiyyah, Ibnu Taimiyah)
Saya katakan, "Dari keterangan di muka Anda bisa mengetahui bahwa orang yang mengingkari keberadaan jihad Ofensif dalam Islam seperti orang yang berkata, "Sesungguhnya Islam itu tidak berperang kecuali untuk membela diri (defensif) dan menolak serangan musuh." Orang yang berkata demikian ini telah mendustakan ayat – ayat dan hadits – hadits tadi serta nash – nash yang semisal dengannya.
Allah berfirman:
وَمَا يَجْحَدُ بِآيَاتِنَا إِلا الْكَافِرُونَ
"Dan tidak mengingkari ayat – ayat Kami selain orang – orang kafir." (QS. Al Ankabut : 47)
Barangsiapa yang menyimpang dalam mentakwilkan apa yang terjadi pada generasi Salafush Shalih tentang jihad ofensif yang mereka lakukan, dengan mengatakan bahwa jihad Salafush Shalih itu semata – mata untuk menolak/mengusir musuh yang menyerang berarti ia telah sesat dengan kesesatan yang jauh, meskipun sebenarnya ia tidak bodoh terhadap nash – nash itu ataupun menguasai ilmunya. Hal ini dikarenakan ia berpaling dari nash – nash itu dan menyimpang dalam mentakwilkannya.



SYUBHAT !!!

Sebagian orang yang mengingkari keberadaan jihad ofensif dalam Islam dengan berdalil firman Allah SWT :
وَإِنْ جَنَحُوا لِلسَّلْمِ فَاجْنَحْ لَهَا
"Dan jika mereka condong kepada perdamaian maka condonglah kepadanya dan bertawakallah kepada Allah SWT ." (Qs. Al Anfal 61)
Dan bahwasannya selama orang kafir itu cinta damai maka tidak ada jihad.
Mereka juga berdalil dengan sabda Nabi SAW:
لاتتمنوا لقاء العدو
"Janganlah kalian berangan – angan bertemu musuh." (Muttafaq Alaih)
Beginilah keadaan orang – orang yang beriman kepada sebagian Al Kitab dan kafir tehadap sebagian yang lain. Yaitu orang – orang yang berdalil dengan salah satu dengan dalil – dalil (masalah ini) dan meninggalkan dalil – dalil lain, sebagaimana saya sebutkan di dalam dasar keempat di dalam tema Dasar – dasar berpegang teguh kepada Kitab dan Sunah. Dan jawaban terdapat Syubhat ini dari berbagai segi:

Segi pertama:
Bahwa Rasulullah SAW dan para sahabat beliau yang merupakan sebaik – baik umat tidak pernah membawa/memahami nash – nash ini sebagaimana pemahaman mereka, yaitu bahwa nash – nash tersebut bermakna meninggalkan jihad ofensif! Bahkan Rasulullah SAW benar – benar telah memerangi orang – orang Arab, lalu keluar memerangi Romawi di Tabuk.
Nabi SAW telah berperang selama 19 kali, 8 diantaranya beliau pimpin sendiri. Adapun pengiriman pasukan dan operasi – operasi militer yang beliau kirim dan beliau tidak ikut serta didalamnya mencapai 36 kali, di dalam riwayat Ibnu Ishaq. Selain beliau justru menambah dari itu. (Fathul Bari 7/179-281)
Lalu sahabat – sahabat setelah Beliau SAW, memerangi Persia, Romawi, Turki, Qobth, Barbar dan selain mereka sebagaimana yang telah diketahui.
Dan terhadap siapa saja yang berdalil dengan nash – nash ini untuk membatalkan jihad ofensif, kami katakan kapadanya.
Apakah yang Anda fahami ini sesuatu yang juga difahami Nabi dan para sahabatnya atau tidak?
Jika ia mengatakan,"tidak!". Maka saya katakan kepadanya, "Berarti Anda telah memahami apa yang tidak mereka fahami dan Anda telah memutuskan/memvonis diri Anda sesat! Dan apa yang Anda fahami bukan bagian dari agama kita. Karena dien ini telah sempurna pada zaman Nabi SAW (QS. Al Maidah Ayat 3).
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ
"Pada hari ini telah Kusempurnakan bagi kalian agama kalian."
Pemahaman Anda seperti ini adalah pemahaman yang bertolak dan gugur. Sabda Nabi SAW,
من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رَدٌّ
"Barang siapa beramal suatu amalan yang tidak ada aturannya dalam urusan kami, maka amal itu bertolak."
Dalam pemahaman yang rusak ini berarti Anda telah keluar dari petunjuk Nabi SAW dan para sahabat – sahabat Beliau.
Allah SWT berfirman:
وَمَنْ يُشَاقِقْ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
"Barangsiapa yang menentang Rasul setelah jelas baginya petunjuk dan mengikuti selain jalan orang-orang yang beriman, Kami biarkan ia leluasa berbuat terhadap kesesatan yang dilakukannya itu dan Kami masukkan ia ke dalam neraka jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali." (QS. An Nisa : 115)
Adapun bila ia berkata bahwa mereka memahami sesuai apa yang Nabi SAW fahami, maka kami katakan kepadanya, "Sirah (perjalanan hidup mereka) berbeda dengan pemahaman Anda ini!"
Maka bila pemahamannya dianggap benar dan Nabi SAW dan para sahabatlah yang menyelisihinya, tentu ini hanya dikatakan oleh ZINDIQ (yaitu orang yang menampakkan keislamannya dan menyembunyikan kekafirannya). Dan bila pemahamannya bathil dan sesat maka itu bukan pemahaman mereka dan bukan amal mereka (Nabi dan para sahabat)

Segi kedua:
Adapun firman Allah Ta'ala,
وَإِنْ جَنَحُوا لِلسَّلْمِ فَاجْنَحْ لَهَا
"Dan bila mereka condong kepada perdamaian maka condonglah kamu kepadanya." (QS. Al Anfal : 61)
Akan datang ucapan-ucapan salaf tentang ini pada pembahasan kesepuluh.

Segi ketiga:
Adapun sabda Nabi SAW,
لاتتمنوا لقاء العدو
"Janganlah kalian berangan-angan untuk bertemu musuh."
Maka Al Bukhari telah meriwayatkan dari Abdullah bin Abi Aufa:
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم في بعض أيامه التي لقي فيها، انتظر حتى مالت الشمس، ثم قام في الناس خطيبا فقال: أيها الناس لاتتمنوا لقاء العدو، وسلوا الله العافية، فإذا لقيتموهم فاصبروا، واعلموا أن الجنة تحت ظلال السيوف، ثم قال: اللهم منزل الكتاب ومجري السحاب، وهازم الأحزاب، اهزمهم وانصرنا عليهم
“Sesungguhnya Rasulullah SAW di sebagian hari-hari yang didalamnya beliau bertemu musuh (berkata), "Tunggulah hingga matahari tergelincir!", Kemudian beliau berdiri di tengah-tengah manusia seraya berkhotbah, maka beliau berkata, "Wahai manusia janganlah kalian berangan-angan untuk bertemu musuh, dan mohonlah perlindungan Allah! Maka bila kalian bertemu musuh, bersabarlah! Ketahuilah bahwa surga itu di bawah naungan pedang, kemudian beliau berkata, "Ya Allah Dzat yang telah menurunkan Al Kitab, yang menggerakkan awan, yang mengalahkan golongan-golongan yang bersekutu, kalahkanlah mereka dan menangkanlah kami atas mereka." (Hadits no 2965, 2966)
Saya katakan, dari hadits ini, jelas sekali bahwa Nabi SAW pernah berkata di salah satu peperangan beliau, sebagaimana hadits yang berbunyi: " (di sebagian hari-hari beliau yang didalamnya beliau bertemu)” artinya (bertemu) musuh, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muslim.
Begitu juga sabda Nabi SAW, (Bila kalian bertemu mereka (musuh) maka bersabarlah!) dan sabda beliau (kalahkanlah mereka dan menangkanlah kami atas mereka).
Lalu bagaimana orang itu berdalil dengan hadits ini untuk meninggalkan jihad? Sedangkan hadits ini disabdakan Nabi SAW justru di saat terjadi peperangan?
Kemudian hadits ini mengandung anjuran untuk berperang dan melancarkan serangan hebat ke arah musuh, sabda beliau (Dan ketahuilah bahwa surga itu di bawah naungan pedang).
Dapat dimaklumi bahwa seseorang yang berperang tidak mungkin berada di bawah naungan/bayang-bayang pedang kecuali di saat ia sedang menyerang musuhnya, di mana masing-masing dari keduanya mengangkat pedangnya masing-masing! (Fathul Bari 6/33).
Maka keadaan Nabi SAW yang mengucapkan hadits ini di saat peperangan, dalam rangka memberi pengarahan dan anjuran untuk berperang (sebagaimana bunyi hadits itu), menunjukkan bahwa larangan berangan-angan untuk bertemu musuh tidak berlaku secara mutlak, tetapi berlaku khusus yaitu peringatan agar berhati-hati terhadap sikap ujub (kagum terhadap diri sendiri) dan kepercayaan terhadap kekuatan sendiri yang dengannya ia yakin bisa menang.
Di dalam sebuah penjelasan, Ibnu Hajar menunjukkan maksud hadits ini dengan berkata, "Beliau melarang untuk berangan-angan bertemu musuh hanya karena sikap itu menunjukkan akan adanya ujub, bersandar kepada diri sendiri dan percaya kepada kekuatan sendiri (bergantung kepadanya) serta sedikit perhatian terhadap musuh.". Semua itu menjelaskan pentingnya kehati-hatian dan mengambil sikap hazm (kokoh dan teliti). Dikatakan, "Hadits ini mengandung larangan (berangan-angan untuk bertemu musuh) bila masih diragukan maslahat atau madharat yang akan ditimbulkan. Kalau keraguan itu tidak ada tentu berperang/berangan-angan bertemu musuh adalah merupakan keutamaan dan ketaatan." (Fathul Bari 6/156).
An Nawawi juga berkata semisal dengannya. (Shahih Muslim, Syarh An Nawawi 12/45 - 46)
Menurut saya, di antara dalil yang menunjukkan bahwa larangan untuk berangan-angan/berharap bertemu musuh itu tidak berlaku mutlak adalah harapan Anas bin Nadhr untuk bertemu musuh yang beliau nyatakan di hadapan Rasulullah SAW dan beliau SAW pun tidak mengingkari hal itu.
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik beliau berkata, "Pamanku Anas bin Nadhr tidak turut serta dalam perang Badar, maka ia berkata, "Wahai Rasulullah, saya telah absen di dalam pertempuran pertama kali di mana Engkau memerangi kaum musyrikin di dalamnya. Jika Allah menyertakan diriku dalam suatu pertempuran melawan orang-orang musyrik, niscaya Allah SWT benar-benar akan melihat apa yang akan kuperbuat."
Tatkala perang Uhud meletus kaum muslimin sempat tercerai berai, maka beliau berkata, "Ya Allah aku memohon maaf kepadaMu atas perbuatan mereka (para sahabat) dan aku berlepas diri dari perbuatan mereka (kaum musyrikin)." Lalu beliau maju dan ditemui Sa'ad bin Muadz. Kepada Sa'ad beliau berkata, "Wahai Sa'ad bin Muadz! Surga dan Tuhan Nadhr, benar-benar kudapatkan baunya di bawah bukit Uhud!" Sa'ad berkata, "Aku tidak mampu melakukan sebagaimana ia lakukan wahai Rasulullah."
Anas berkata, "Kami mendapati delapan puluhan sabetan pedang atau tusukan tombak atau lemparan anak panah pada tubuhnya. Kami telah mendapati beliau terbunuh dan tubuhnya dicincang-cincang oleh kaum musyrikin, hingga tak seorangpun kenal terhadapnya selain saudara perempuannya yang mengenalnya melalui jemarinya."
Anas berkata, "Kami berpendapat atau mengira bahwa ayat ini turun berkaitan dengan peristiwa ini dan peristiwa-peristiwa yang semisal dengannya, yaitu firman Allah,
مِنْ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ فَمِنْهُمْ مَنْ قَضَى نَحْبَهُ

"Di antara orang-orang yang beriman itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah." (QS. Al Ahzab : 23)
Saya katakan, "Inilah seorang sahabat yang mulia, beliau berharap agar dapat bertemu musuh, lalu Allah mengabulkannya."
Dengan ini Anda melihat bahwa larangan berharap untuk bertemu musuh itu dilihat dari sisi adanya ujub dan bangga diri, karena dua perkara ini tercela.
Dengan ini pula Anda melihat betapa batalnya syubhat ini yang dijadikan alasan oleh orang-orang yang menyimpang untuk mengingkari jihad ofensif yang dijadikan Allah sebagai sarana untuk memenangkan agama. Allah SWT berfirman,
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ
"Dan perangilah mereka hingga tidak ada fitnah di muka bumi dan agar agama itu, hanya milik Allah saja." (QS. Al Anfal : 39)

لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ
"Agar Rasul itu memenangkan agama Islam di atas semua agama meskipun orang-orang musyrik itu benci." (QS. At Taubah : 33)
حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ
"Hingga mereka menyerahkan jizyah dari tangan (mereka) dan mereka dalam keadaan tunduk." (Qs. At Taubah : 29)
Ibnu Qoyyim berkata, "Maksud dari jihad adalah semata-semata agar kalimat Allah tegak di muka bumi dan agama hanya milik Allah SWT saja."
Beliau juga berkata, "Sesungguhnya keberadaan agama yang semata-mata hanya milik Allah, dapat menjadi hinaan bagi kekufuran dan pelakunya serta menjadikannya tunduk, dan membayar jizyah (yang diwajibkan bagi pembesar-pembesar mereka) serta membebaskan budak-budak mereka. Ini semua bagian dari agama Allah.
Dan tidak ada yang bertentangan dengan ini selain sikap membiarkan orang-orang kafir untuk tetap terhormat dan menegakkan agama mereka, sebagaimana mereka senang bila mereka tetap memiliki kekuatan dan kalimat (kekufuran)." (Ahkamu Ahlidzdzimmah, Ibnu Qoyyim 1/18).
Saya katakan, apa yang telah saya sebutkan tadi sama sekali tidak bertentangan dengan firman Allah SWT ,
لا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنْ الغَيِّ
"Tidak ada paksaan dalam agam, telah jelas jalan petunjuk dari jalan kesesatan." (QS. Al Baqarah : 256)
Perang itu hukumnya wajib, hingga kalimat Allah tegak atau berjaya di muka bumi. Hal itu tidak mudah terwujud kecuali dengan kemenangan umat Islam atas musuhnya dan diberlakukannya hukum Islam di atas negeri yang telah ditaklukkan itu.
Adapun tentang penduduk negeri itu, diantara mereka ada yang masuk Islam dan menikmati keislamannya itu. Diantara mereka juga ada yang tetap kafir, maka tidak boleh memaksa mereka untuk memeluk Islam. Bahkan mereka boleh tetap memeluk agamanya (kafir) tetapi harus tunduk terhadap hukum Islam.
Maka pemaksaan (ikrah) yang diartikan di dalam Surat Al Baqarah itu adalah pemaksaan untuk beriman (memeluk Islam), sedangkan kebencian (karahah) dalam surat At Taubah 33 itu adalah kebencian mereka terhadap ketinggian atau kekuasaan hukum Islam yang diberlakukan pada mereka sekalipun mereka tetap dibolehkan beragama dengan agama mereka.
Syariat Islam telah menetapkan diterimanya jizyah dari Ahli Kitab dan orang-orang yang dihukumi sama dengan mereka (QS. At Taubah : 29). Mereka sama sekali tidak dipaksa masuk Islam. Adapun tentang hukum menerima jizyah dari para penyembah berhala masih ada khilaf (perbedan). (lihat kembali tafsirnya Al Baqarah 256 di tafsir Ibnu Katsir)
Menurut saya, adalah sepatutnya agar setiap muslim mengetahui bahwa beriman tentang wajibnya jihad ofensif bagi kaum muslimin adalah bertabrakan dengan prinsip-prinsip hukum internasional saat ini yang melarang adanya perluasan wilayah dengan invasi/serangan dari suatu negara ke negara lainnya dan melarang satu negara untuk menguasai negara lain dengan kekuatan. Undang-undang Internasional inilah yang dijadikan siasat untuk membuat tipu daya (oleh negara-negara kuat yang membuatnya).
Tetapi Allah Ta'ala berfirman,
فَلا تَخْشَوْا النَّاسَ وَاخْشَوْنِي
"Maka janganlah kalian takut kepada manusia dan takutlah kepadaKu." (QS. Al Maidah : 44)
Allah juga berfirman,
وَلَيَنصُرَنَّ اللَّهُ مَنْ يَنصُرُهُ
"Dan Allah pasti menolong orang yang mau menolong agamaNya." (QS. Al Hajj : 40).
Hukum-hukum ini semuanya sangat bergantung kepada adanya kuasa (qudrah) dan kemampuan (istitha'ah). Kemampuan ini wajib diperoleh manakala kaum muslimin tidak berdaya untuk merealisasikan kewajiban-kewajiban ini.
Allah Ta'ala berfirman:

وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لا تَعْلَمُونَهُمْ اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ وَمَا تُنفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لا تُظْلَمُونَ
"Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka segenap kekuatan yang kalian mampui dan dari kuda-kuda yang ditambat. Dengannya kalian dapat menggentarkan musuh-musuh Allah dan musuh kalian serta orang-orang selain mereka yang kalian tidak mengetahuinya, sedangkan Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan di jalan Allah, niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)." (QS. Al Anfal : 60)

PEMBAHASAN KETUJUH:
Jihad itu hukumnya fardhu kifayah, dan menjadi fardhu 'ain di beberapa keadaan
Ibnu Qudamah berkata, "Makna fardhu kifayah adalah suatu kewajiban yang jika orang yang cukup untuk melakukannya belum melaksanakan kewajiban itu, maka semua orang berdosa. Dan bila orang yang cukup untuk melakukannya sudah mau melaksanakan kewajiban itu maka kewajiban itu gugur bagi semua orang. Perintah itu pada awalnya berlaku bagi semua orang, sebagaimana fardhu 'ain. Kemudian keduanya memiliki perbedaan dimana fardhu kifayah bisa gugur bila sebagian orang telah melaksanakannya sedangkan fardhu 'ain tidak bisa gugur dari seseorang bila sebagian orang telah melakukannya."
Kemudian tentang dalil bahwa jihad itu fardhu kifayah beliau berkata, Dan kami memiliki firman Allah SWT ,

لا يَسْتَوِي الْقَاعِدُونَ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُوْلِي الضَّرَرِ وَالْمُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ فَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ عَلَى الْقَاعِدِينَ دَرَجَةً وَكُلا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَى
"Tidak sama antara orang-orang mukmin yang duduk-duduk tidak berjihad padahal ia tidak berudzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta-harta dan jiwa mereka. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwa mereka atas orang-orang yang duduk-duduk dengan satu derajat, kepada masing-masing keduanya Allah menjanjikan pahala yang baik/surga." (QS. An Nisa : 95)
Ayat ini menunjukkan bahwa orang-orang yang duduk-duduk (tidak berjihad) itu tidak berdosa di saat ada orang-orang selain mereka yang berjihad.
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا
"Dan tidak pantas bagi orang-orang yang beriman untuk pergi semua berperang. Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama." (QS. At Taubah : 122)
Karena Rasulullah SAW mengirim pasukan-pasukan Sariyah sedangkan beliau dan semua sahabat-sahabat beliau bermukim di Madinah (tidak turut serta dalam berjihad). (Al Mughni wa Asy Syarh Al Kabir 10/364-365).
Kemudian Ibnu Qudamah berkata, "Jihad menjadi fardhu 'ain di beberapa kondisi:
1. Bila dua pasukan bertemu dan dua shaf (shaf mukmin dan shaf kafir) sudah berhadapan, maka siapapun (kaum muslimin) yang hadir di situ dilarang meninggalkan pertempuran dan wajib berada di tempat itu.Allah berfirman,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا لَقِيتُمْ فِئَةً فَاثْبُتُوا وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُوا إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
"Wahai orang-orang yang beriman bila kalian berhadapan dengan sekelompok musuh maka teguhkanlah hati kalian dan perbanyaklah dzikir kepada Allah agar kalian beruntung. Dan taatilah Allah dan RasulNya dan jangan berbantah-bantah sehingga kalian akan gagal (gentar) dan hilang kekuatan kalian dan bersabarlah, sesungguhnya Allah itu bersama orang-orang yang sabar." (QS. Al Anfal 45 – 46)
Allah berfirman,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا لَقِيتُمْ الَّذِينَ كَفَرُوا زَحْفًا فَلا تُوَلُّوهُمْ الْأَدْبَارَ وَمَنْ يُوَلِّهِمْ يَوْمَئِذٍ دُبُرَهُ إِلا مُتَحَرِّفًا لِقِتَالٍ أَوْ مُتَحَيِّزًا إِلَى فِئَةٍ فَقَدْ بَاءَ بِغَضَبٍ مِنْ اللَّهِ
"Wahai orang-orang yang beriman apabila kalian bertemu dengan orang-orang kafir yang sedang menyerang kalian, maka janganlah kalian lari membelakangi mereka (mundur).Barang siapa mundur saat itu bukan karena untuk mengatur strategi perang atau bergabung dengan pasukan lain maka pasti ia akan mendapatkan murka Allah." (QS. Al Anfal : 15 –16 ).
2. Apabila musuh memasuki suatu negeri maka penduduk negeri itu wajib berperang melawan mereka dan mengusir mereka.
3. Apabila imam telah mengeluarkan perintah berperang bagi suatu kaum, maka kaum itu wajib berperang bersamaan.
Allah SWT berfirman,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَا لَكُمْ إِذَا قِيلَ لَكُمْ انفِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ اثَّاقَلْتُمْ إِلَى الأَرْضِ
"Wahai orang-orang yang beriman, mengapakah bila dikatakan kepada kalian berperanglah kalian di jalan Allah, kalian merasa berat dan ingin tinggal di tempat kalian." (QS. At Taubah : 38)
Nabi SAW bersabda:
إذا استُنْفِرتم فانفروا
"Apabila kalian diperintahkan untuk berangkat perang maka berperanglah kalian." (Al Mughni Wasy Syarh Al Kabir)
Menurut saya, dalil untuk kondisi kedua adalah sama dengan dalil kondisi pertama, yaitu Al Anfal 45, 46 dan Al Anfal 15, 16. Karena masuknya tentara kafir di bumi kaum muslimin adalah semisal dengan bertemunya dua pasukan dan dua shaf yang saling berhadapan.
Pada pembahasan sebelumnya telah disebutkan tentang syarat wajib jihad ada sembilan, untuk fardhu kifayah (Islam, baligh, berakal, merdeka, laki-laki, sehat (tidak cacat), mempunyai nafaqah (dana), izin dua orang tua dan izin dari orang yang dihutangi). (Al Mughni Wasy Syarh Al Kabir).
Sedangkan untuk fardhu 'ain adalah lima syarat saja (Islam, baligh, berakal, sehat (tidak cacat), laki-laki).
Demikian juga pada bab kedua telah saya sebutkan udzur-udzur syar'i yang membolehkan seseorang untuk meninggalkan jihad serta udzur-udzur yang tidak syar'i.

PEMBAHASAN KEDELAPAN:
Tadrib Askari hukumnya wajib bagi setiap muslim

Tema ini telah dijelaskan pada bab kedua dari risalah ini. Kewajiban tadrib askari bagi setiap muslim yang tidak berudzur syar'i didasarkan pada pemahaman bahwa jihad itu menjadi fardhu 'ain pada kondisi-kondisi yang telah saya sebutkan tadi. Dan jihad tidak mudah dilakukan (khususnya seiring dengan perkembangan berbagai jenis persenjataan) selain dengan berlatih dengan senjata-senjata itu. Dan suatu kewajiban yang tidak bisa sempurna kecuali dengan sesuatu maka sesuatu itu menjadi wajib.
Demikian juga tadrib (berlatih) askari adalah bagian dari I'dad yang hukumnya wajib, sebagaimana Al Anfal : 60. Dan Nabi SAW menafsirkan "kekuatan" pada ayat itu dengan sabda beliau:
ألا إن القوة الرمي
"Ingatlah sesungguhnya kekuatan itu melempar, beliau mengucapkannya tiga kali."
Adalah tidak cukup, bila seseorang berlatih sekali seumur hidup lalu meninggalkannya. Bahkan wajib bagi orang muslim untuk selalu berlatih dengan tekun agar kemampuan lemparnya senantiasa terjaga.
Ketekunan untuk berlatih ini dapat dipahami dari sabda Nabi SAW:
من عَلِمَ الرمي ثم تركه فليس منا
"Barangsiapa belajar melempar lalu meninggalkannya maka ia bukan termasuk golongan kami."(HR.Muslim Dari Uqbah Bin Amir )
Hadits ini menjelaskan tentang kewajiban untuk selalu I'dad untuk berjihad. Diantara bab ini adalah Firman Allah SWT ,
وَدَّ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْ تَغْفُلُونَ عَنْ أَسْلِحَتِكُمْ وَأَمْتِعَتِكُمْ فَيَمِيلُونَ عَلَيْكُمْ مَيْلَةً وَاحِدَةً
"Orang – orang kafir menginginkan agar kalian lengah terhadap persenjataan dan perlengkapan (harta benda) kalian lalu mereka menyerang kalian dengan serentak." (QS. An Nisa 102)
Yang patut diperhatikan bahwa tadrib ini bukan sebagai syarat wajib jihad, khususnya bila musuh telah masuk di bumi muslimin dan perangpun menjadi fardhu 'ain. Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata, "Adapun perang defensif (mempertahankan diri) adalah merupakan jenis penolakan terbesar terhadap serangan yang membahayakan kehormatan dan agama. Maka ia hukumnya wajib ijma. Musuh yang menyerang itu yang merusak agama dan dunia, maka tidak ada kewajiban setelah iman yang lebih wajib dari menolak musuh itu. Karena itu tidak ada satupun syarat yang mesti dipenuhi untuk melaksanakan kewajiban itu.
Bahkan musuh itu harus dilawan dengan perlawanan yang memungkinkan". (Al Ikhtiyarat Al Fiqhiyyah al .309)
Saya katakan, pernyataan di atas bermakna, bahwa apabila jihad telah memasuki hukum wajib maka setiap muslim yang tidak terkena udzur syar'i wajib turut serta memerangi musuh meskipun ia belum terlatih untuk itu. Dengan catatan agar ia jangan mempergunakan senjata atau alat – alat perang lainnya yang ia sendiri belum pernah mengenalnya, dengan begitu iapun tidak akan membahayakan dirinya sendiri maupun saudara – saudaranya.
Karena Nabi SAW bersabda:
لا ضرر ولا ضرار
'Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh menimbulkan bahaya."
Dan agar setiap muslim komitmen kepada tugas yang telah diberikan amir perang kepadanya dalam urusan jihad ini, yang mana tugas itu masih di dalam batas – batas kemampuannya.

PEMBAHASAN KESEMBILAN:
Umat Islam itu Umat Mujahid, maka kebijakan–kebijakan yang dibangun untuk mereka haruslah sesuai dengan sifat–sifat mujahid itu sendiri

Dari pembahasan-pembahasan sebelumnya Anda mengetahui bahwa umat Islam mendapatkan beban kewajiban jihad, baik jihad ofensif maupun jihad defensif.
Dan bahwa jihad itu sendiri terkadang hukumannya fardu kifayah atau fardu 'ain atas mereka.
Tadrib Askaripun merupakan perkara yang diwajibkan bagi mereka yang harus dilaksanakan dengan penuh ketekunan.
Bila kita melihat kepada jihad ofensif, yaitu menyerang musuh yang masih berada di negerinya, maka jumhur ulama berpendapat bahwa hal itu diwajibkan bagi umat Islam sekali dalam setahun. Dan ini merupakan kewajiban yang minimal dilakukan. Tidak ada yang menghalangi kewajiban jihad ini selain disebabkan adanya ketidakmampuan/kelemahan pada diri umat Islam, atau karena ada perjanjian damai dengan musuh.
Ulama lain berpendapat bahwa jihad seperti ini wajib dilakukan setiap kali ada kemungkinan untuk itu tanpa ada batasan bilangan tertentu.
Hujjah jumhur yang mewajibkan jihad ofensif sekali dalam setahun adalah bahwa jizyah yang diwajibkan kepada non muslim yang tinggal di Daarul Islam sebagai pengganti perang jihad yang mereka bayarkan. Setiap setahun sekali itu sesuai dengan ijma'
Atas dasar itu hendaknya jihad ofensif (yang mereka ganti dengan jizyah itu) dilakukan sekali dalam setahun. (Al Mughi wa Asy Syarah Al Kabir 10/367, 368)
Menurut saya, hukum ini bisa disimpulkan dari firman Allah SWT ,
أَوَلا يَرَوْنَ أَنَّهُمْ يُفْتَنُونَ فِي كُلِّ عَامٍ مَرَّةً أَوْ مَرَّتَيْنِ ثُمَّ لا يَتُوبُونَ وَلا هُمْ يَذَّكَّرُونَ
"Tidakkah mereka melihat bahwa mereka senantiasa diuji pada setiap tahunnya sekali atau dua kali, kemudian mereka tidak juga bertaubat dan tidak pula mengambil pelajaran." (QS. At Taubah : 126)
Ibnu Katsir menukil dari Qatadah (tentang tafsir ayat ini), yaitu bahwa mereka diuji dengan peperangan di setiap tahunnya, sebanyak sekali atau dua kali.
Al Qurtubi berkata, tentang jihad ofensif, "Kewajiban jihad yang kedua juga diwajibkan kepada imam yaitu mengirim pasukan tempur ke negeri musuh sekali tiap tahun. Dia sendiri yang keluar bersama pasukan itu atau orang yang dia percayai dalam rangka menyeru kepada Islam, memaksa mereka agar tunduk dan mencegah gangguan mereka serta memenangkan agama Allah atas mereka hingga mereka masuk Islam atau membayar jizyah dari tangan musuh.
Di antara jihad itu ada juga yang hukumnya nafilah (ibadah tambahan) yaitu imam mengirim pasukan dan mengutus pasukan-pasukan sariyah (untuk operasi tertentu) pada saat-saat musuh lengah dan kesempatan memungkinkan serta mengintai musuh dengan cara Ribath di tempat-tempat yang dikhawatirkan dan menampakkan kekuatan. (Tafsir Al Qurtubi 8/152)
Menurut saya, Al Qurtubi sebagaimana jumhur, mengklasifikasikan hukum jihad yang wajib seperti itu, sekali dalam setahun, dan yang lebih dari itu adalah nafilah.
Maka jika kita memandang kepada kewajiban ini dan kita juga mengambil pelajaran tentang kewajiban melaksanakan i'dad untuk seterusnya (berdasar Qs. Al Anfal : 60), kita sungguh mengetahui bahwa sejatinya umat Islam ini adalah umat mujahidah (umat yang senantiasa berjihad), yang berada pada maqam yang pertama.
Demi terlaksananya kewajiban-kewajiban ini maka sepatutnya agar mengarahkan kebijakan-kebijakannya (baik keluar maupun ke dalam) untuk mewujudkan kewajiban-kewajiban ini. Maka kebijakan dalam bidang pengajaran, produksi, pertanian, perdagangan dan kependudukan dan lain-lain agar diprogram dan diarahkan untuk membantu jihad. Nabi SAW bersabda:
المؤمن للمؤمن كالبنيان يشد بعضه بعضا
"Orang mukmin satu bagi orang mukmin yang lainnya bagaikan satu bangunan yang sebagiannya menguatkan sebagian yang lain. Seraya (Beliau SAW) menjalinkan antara jari-jari beliau." (Muttafaq alaih dari Abu Musa)
مثل المؤمنين في توادهم وتراحمهم وتعاطفهم كمثل الجسد الواحد إذا اشتكى منه عضو تداعى له سائر الجسد بالحمى والسهر
Perumpamaan orang-orang mukmin didalam saling mencintai, menyayangi dan mengasihi di antara mereka laksana satu tubuh. Apabila satu anggota tubuh mengeluh sakit, maka seluruh tubuhnya terasa demam dan tidak bisa tidur. (Muttafaq alaih)

PEMBAHASAN KESEPULUH :
Tidak ada sesuatu yang menghalangi kaum muslimin untuk berjihad selain kelemahan (ketidak mampuan) dan pada saat itu pula wajib melakukan jihad.

Hal ini berdasarkan firman Allah SWT ,
فَلا تَهِنُوا وَتَدْعُوا إِلَى السَّلْمِ وَأَنْتُمْ الأَعْلَوْنَ
"Janganlah kamu lemah dan minta damai padahal kamulah yang di atas." (Qs. Muhammad : 35)
Selama kaum muslimin memiliki kekuatan dan unggul dari musuh mereka, maka tidak ada perdamaian atau perjanjian tetapi yang ada hanyalah perang hingga tidak terjadi fitnah di muka bumi dan agama itu hanya milik Allah saja.
Karena ayat terakhir yang turun tentang jihad adalah firman Allah SWT ,
فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ وَخُذُوهُمْ وَاحْصُرُوهُمْ وَاقْعُدُوا لَهُمْ كُلَّ مَرْصَدٍ فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَآتَوْا الزَّكَاةَ فَخَلُّوا سَبِيلَهُمْ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
"Maka bunuhlah semua kaum musyrikin dimanapun kalian mendapati mereka. Tangkaplah mereka, kepung mereka dan intailah mereka di tempat-tempat pengintaian, maka jika mereka bertaubat dan menegakkan sholat serta menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah itu maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Qs. At Taubah : 5)
Ayat ini dan ayat jizyah yang sama-sama berada dalam satu surat adalah merupakan perintah berperang yang bersifat umum. Ayat-ayat ini tidak ada dalil penghapusnya.
Al Bukhari telah meriwayatkan dari Al Baro', beliau berkata, "Surat yang terakhir turun adalah surat Al Baroah (At Taubah). (Hadits no. 4654)
Demikian inilah yang diperbuat oleh Nabi SAW dan para khalifah setelah beliau, tentang memerangi kaum musyrikin dan ahli kitab sebagaimana penjelasan nanti di Faqrah (13).
Perang melawan mereka tidak ada yang menghalangi selain kelemahan/ketidakmampuan kaum muslimin. Karena itu anda mendapati bahwa kaum kafir sangat bersungguh-sungguh dalam menghalangi kaum muslimin yang lemah untuk mendapatkan perjanjian. Allah SWT berfirman,
وَدَّ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْ تَغْفُلُونَ عَنْ أَسْلِحَتِكُمْ وَأَمْتِعَتِكُمْ فَيَمِيلُونَ عَلَيْكُمْ مَيْلَةً وَاحِدَةً
"Orang-orang kafir menginginkan sekiranya kalian lengah dari persenjataan dan harta benda kalian sehingga mereka akan condong menyerang kalian dengan serentak." (Qs. An Nisa : 102)
Dalam risalah ini selalu saya ulang-ulang, bahwa bila kaum muslimin dalam keadaan lemah, tidak mampu melaksanakan jihad, maka kewajiban yang ada saat itu adalah i'dad sebagaimana ayat 60 surat Al Anfal. Demikianlah yang dituturkan oleh Imam Ibnu Taimiyah.
Dari keterangan tadi anda mengetahui bahwa, pada dasarnya hubungan antara kaum muslimin dan orang-orang kafir itu adalah peperangan itu sendiri. Dan pengecualian darinya adalah perdamaian dalam bentuk perdamaian sementara, atau perjanjian. Kaum muslimin tidak pernah kembali kepada pengecualian ini selain bila mereka dalam keadaan darurat karena kelemahan yang menimpa mereka dan sejenisnya. Ini didasarkan firman Allah,
فَلا تَهِنُوا وَتَدْعُوا إِلَى السَّلْمِ وَأَنْتُمْ الأَعْلَوْنَ
"Janganlah kalian lemah dan minta damai padahal kamulah yang di atas." (Qs. Muhammad : 35)
Adapun ayat yang dijadikan hujjah bahwa Islam tidak membolehkan perjanjian damai sebenarnya ia bukan hujjah untuk itu, karena ayat itu dapat dipahami bahwa perjanjian damai itu dibolehkan, namun dengan syarat ada hajat umat Islam terhadapnya. Syarat inilah yang menjadi catatan penting ayat 35 surat Muhammad tersebut.
Ayat 61 Surat Al Anfal berlaku khusus untuk suatu keadaan dimana perjanjian damai itu mendatangkan maslahat bagi kaum muslimin dan mereka membutuhkannya.
Sedangkan ayat 35 surat Muhammad berlaku khusus untuk keadaan lain, dimana perjanjian damai itu tidak mendatangkan kemaslahatan bagi kaum muslimin. Dan itu terjadi manakala mereka memiliki kekuatan yang dapat memaksa musuh mereka. Karenanya pada saat itu tidak boleh ada perjanjian damai berdasarkan ayat ini. Dan karena yang demikian ini bertentangan dengan dasar hukum yang dituntut oleh syar'i yaitu memenangkan agama Islam atas agama-agama selainnya. Sebagaimana firman Allah SWT ,
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ
"Dan perangilah mereka hingga tidak terjadi fitnah di muka bumi dan agama itu hanya milik Allah." (Qs. Al Anfal : 39).
Juga firmanNya
لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ
"Agar Rasul itu memenangkan agama Islam atas semua agama walaupun orang-orang musyrik itu membenci." (Qs. At Taubah : 33)
Inilah dasar yang dimaksud itu, yaitu memenangkan Islam dengan cara memerangi seluruh kaum musyrikin, sehingga mereka masuk Islam dan kembali kepada peribadatan kepada Allah Rabbul 'Alamin, atau mereka tetap berada di atas kekufurannya dengan tetap membayar jizyah, tunduk di bawah hukum Islam dan bagi mereka tetap berlaku kehinaan disebabkan mereka keluar dari peribadatan kepada Allah Yang Maha Esa lagi Maha Pemaksa. Allah berfirman,
حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُون
"Hingga mereka membayar jizyah dari tangan mereka sedangkan mereka dalam keadaan tunduk." (Qs. At Taubah : 29).
Allah berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ يُحَادُّونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُوْلَئِكَ فِي الأَذَلِّينَ
"Sesungguhnya orang-orang yang menentang Allah dan RasulNya mereka itu termasuk orang-orang yang sangat hina." (Qs. Al Mujadalah : 20).
Dalam menafsirkan ayat Al Anfal itu (Dan jika mereka condong kepada perdamaian maka condonglah kalian kepadanya," Qs. Al Anfal : 61) beliau berkata, "Ibnu Abbas, Mujahid, Zaid bin Aslam, Atho' Al Khurosani, Ikrimah, Al Hasan dan Qotadah berkata, "Sesungguhnya ayat ini dihapus oleh ayat pedang di dalam surat At Taubah : 29
قَاتِلُوا الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلا بِالْيَوْمِ الآخِرِ
(Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir)
Pendapat di atas perlu dikaji ulang, sebab ayat surat At Taubah itu mengandung perintah untuk memerangi mereka bila memungkinkan untuk itu. Maka adapun bila musuh berjumlah banyak dan kuat dibolehkan untuk berunding/berdamai dengan mereka sebagaimana nash-nash yang menunjukkannya. Dan sebagaimana tindakan Nabi SAW pada perjanjian Hudaibiyah. Karenanya sama sekali tidak ada penafi'an satu sama lain, tidak ada penghapusan hukum dan tidak ada takhshish/pengkhususan, Wallahu a'lam.
Tentang ayat 61 surat Al Anfal itu, Ibnu Hajar berkata, "Ayat ini menunjukkan masyruiyah (disyariatkannya) mengadakan perjanjian damai bersama kaum musyrikin." sampai pada kata beliau, "Dan syarat diperbolehkannya perjanjian pada ayat ini adalah bahwa perintah untuk melangsungkan perjanjian damai itu terikat dengan adanya keuntungan di pihak kaum muslimin. Adapun bila perjanjian damai itu memihak kekufuran dan tidak tampak kemaslahatannya bagi kaum muslimin maka perjanjian damai itu tidak boleh dilangsungkan." (Fathul Bari 6/275, 276)
Ayat yang dijadikan hujjah ini menunjukkan disyariatkannya melangsungkan perjanjian damai dengan musuh saat ia dibutuhkan, bukan menunjukkan kewajiban untuk melangsungkan perjanjian damai.
Saya katakan, keterangan tadi tidak patut dipahami bahwa Islam tidak menyerukan kedamaian. Bahkan Islam mengajak manusia kepada kedamaian itu, namun dengan sudut pandang yang khusus. Islam menghendaki kedamaian bagi seluruh makhluk di muka bumi. Allah berfirman,
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
"Dan tidaklah Kami mengutusmu (Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam." (Qs. Al Anbiya : 107).
اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُوا يُخْرِجُهُمْ مِنْ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ
"Allah itu penolong bagi orang-orang yang beriman yang akan mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya." (Qs. Al Baqarah : 257)
وَلا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلاحِهَا
"Dan janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi setelah perbaikannya." (Qs. Al A'rof : 185 )
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنْ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ
"Sesungguhnya Allah menyuruh kalian untuk berbuat keadilan dan kebaikan, memberikan (pemberian) kepada karib kerabat, dan melarang untuk berbuat keji, munkar dan melampaui batas." (Qs. An Nahl : 90)

Inilah kedamaian dalam pemahaman Islam, yaitu rahmat (kasih sayang) terhadap seluruh makhluk, mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya, anjuran untuk berhias diri dengan akhlak yang mulia dan membebaskan mereka dari peribadatan kepada manusia, Firman Allah,

وَلا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ
"Dan janganlah sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan-tuhan selain Allah." (Qs. Ali Imran : 64), serta larangan berbuat kerusakan di muka bumi.
Maka bila kedamaian dalam kontek itu belum terwujud niscaya jihad wajib dilaksanakan. Sebab Allah SWT berfirman,
حَتَّى لا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّ
"Dan perangilah mereka hingga tidak terjadi fitnah di muka bumi dan agama itu hanya milik Allah semata." (Qs. Al Anfal : 39)

PEMBAHASAN KESEBELAS
Hijrah tidak pernah terhenti hingga matahari terbit dari arah barat

Nabi SAW bersabda,
وأنا آمركم بخمس، الله أمرني بهن، الجماعة والسمع والطاعة والهجرة والجهاد في سبيل الله
Dan aku menyuruh kalian dengan lima perkara yang Allah telah menyuruhku dengan lima perkara itu, yaitu berjamaah, mendengar, taat, hijrah dan jihad fi sabilillah." (HR. Ahmad dari Al Harits Al Asy'ari dan dishahihkan oleh Al Albani)
Beliau juga bersabda'
لا تنقطع الهجرة حتى تنقطع التوبة، ولا تنقطع التوبة حتى تطلع الشمس من مغربها
Hijrah tidak akan terhenti hingga terputusnya pintu taubat dan pintu taubat tidak pernah terputus hingga matahari terbit dari arah barat." (HR. Abu Dawud, dari Muawiyah, dishahihkan Al Albani)

Hijrah itu diwajibkan karena beberapa sebab, diantaranya:
1. Melarikan diri (dengan tetap taat kepada ajaran agama) dengan cara memisahkan diri dari kaum musyrikin karena takut terjadi fitnah terhadap agamanya. Inilah yang dimaksud hijrah dari negeri kafir menuju negeri Islam atau negeri yang aman, bagi yang mampu. Nabi SAW bersabda,
أنا بريء من كل مسلم يقيم بين أظهر المشركين لا تراءى نارهما
"Aku berlepas diri dari setiap muslim yang tinggal (bermukim) di tengah-tengah kaum musyrikin. Jangan sampai api keduanya saling terlihat satu sama lain." (HR. Abu Dawud)
Al Bukhari telah meriwayatkan dari Atho' bin Abi Robah, beliau berkata, "Aku pernah mengunjungi Aisyah bersama Ubaid bin Umair Al Laitsi, lalu kami bertanya kepada beliau tentang hijrah, maka beliaupun menjawab,


لا هجرة اليوم، كان المؤمنون يفر أحدهم بدينه إلى الله تعالى وإلى رسوله صلى الله عليه وسلم مخافة أن يفتن عليه، فأما اليوم فقد أظهر الله الإسلام، واليوم يَعْبُد ربه حيث شاء، ولكن جهاد ونية
"Tidak ada hijrah hari ini, dahulu orang-orang mukmin, salah satu dari mereka melarikan diri dengan agamanya menuju Allah dan RasulNya karena takut terjadi fitnah terhadap agamanya. Adapun hari ini Allah telah memenangkan Islam dan tiap-tiap orang dapat beribadah kepada Allah sekehendaknya. Tetapi yang ada sekarang adalah jihad dan niat." (no. 3900)
Menurut saya, hijrah yang dinafikan Aisyah ra. adalah hijrah dari darul Islam (dengan kata beliau "tidak ada hijrah hari ini") sedangkan mereka saat itu berada di darul Islam. Kemudian beliau menetapkan sebab hijrah yaitu melarikan diri dengan agamanya karena takut terjadi fitnah.

2. Hijrah itu sebagai muqaddimah jihad fi sabilillah
Sebagaimana hadits Al Harits Al Asy'ari tadi, (Dan Allah memerintahkan kalian dengan lima perkara sebagaimana Allah telah memerintahkan aku dengan lima perkaran itu, yaitu berjamaah, mendengar, taat, hijrah dan jihad), beliau menjadikan hijrah sebagai muqaddimah (hal yang mendahului) dan berkaitan dengan jihad (yang ada pada urutan berikutnya).
Allah berfirman,
ثُمَّ إِنَّ رَبَّكَ لِلَّذِينَ هَاجَرُوا مِنْ بَعْدِ مَا فُتِنُوا ثُمَّ جَاهَدُوا وَصَبَرُوا إِنَّ رَبَّكَ مِنْ بَعْدِهَا لَغَفُورٌ رَحِيمٌ
"Kemudian, sesungguhnya Tuhanmu terhadap orang-orang yang hijrah setelah tertimpa fitnah (ujian) lalu mereka berjihad dan bersabar, maka sesungguhnya Dia benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (setelah itu)." (Qs. An Nahl : 110)
Hijrah setelah tertimpa fitnah atau ujian bukan merupakan tempat terakhir dari suatu pelarian, tetapi hijrah itu semata-mata menjadi muqaddimah bagi kelangsungan jihad dan bersabar, yang merupakan marhalah setelahnya.
Nabi SAW bersabda'
لا تنقطع الهجرة مادام العدو يُقَاتَل
"Hijrah tidak pernah terputus selama musuh masih diperangi." (HR. Ahmad, dishahihkan Al Albani di Irwaul Ghalil 5/33)
Di muka telah saya paparkan bahwa jihad fi sabilillah tetap berlangsung sampai kaum muslimin memerangi Al Masih Dajjal, bersama Isa bin Maryam. Inilah akhir jihad fi sabilillah sebagaimana dalil-dalil yang menetapkannya.

Hijrah sebagai muqaddimah jihad itu memiliki dua tujuan,
a. Membantu kaum muslimin di negeri lain yang sedang melaksanakan jihad.
b. Mengambil I'dad dan menghimpun bantuan (personal) di negeri lain agar dapat berjihad ketika pulang dari negerinya.
Tentang hukum hijrah Ibnu Qudamah berkata, "(Pasal tentang hijrah), hijrah adalah keluar dari darul kufri menuju darul Islam. Allah berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمْ الْمَلائِكَةُ ظَالِمِي أَنفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الأَرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا
"Sesungguhnya orang-orang yang telah diwafatkan oleh malaikat dalam keadaan mereka menzhalimi diri mereka sendiri, malaikat bertanya,"Dalam keadaan bagaimana kalian ini?" Mereka menjawab, "Kami adalah orang-orang yang tertindas di negeri (Makkah)". Para malaikat bertanya, "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kalian bisa berhijrah di negeri itu?" (Qs. An Nisa : 97)
Nabi SAW bersabda,
»أنا بريء من مسلم بين مشركين لاتراءا ناراهما
Aku berlepas diri dari seorang muslim yang ada di antara orang-orang musyrik. Jangan sampai api keduanya saling terlihat satu sama lain." (HR. Abu Dawud)
Hadits ini bermakna, jangan sampai seorang muslim itu berada di suatu tempat yang ia dapat melihat api orang-orang musyrik dan mereka melihat apinya apabila api itu dinyalakan (karena kedekatan jarak keduanya). Hadits-hadits semisal ini banyak sekali.
Hukum hijrah tetap berlaku hingga hari kiamat sebagaimana pendapat umumnya ahli ilmu. Sebagian orang mengatakan hijrah telah terhenti dengan sabda Nabi SAW "Tidak ada hijrah setelah penaklukan ( ) Beliau juga bersabda,
قد انقطعت الهجرة ولكن جهاد ونية
"Hijrah telah terputus, tetapi yang tersisa adalah jihad dan niat."
Telah diriwayatkan bahwa Sofwan bin Umayah tatkala ia masuk Islam dikatakan kepada beliau,
"Tidak ada ketaatan bagi orang yang belum hijrah." maka beliau datang ke Madinah. Nabi SAW pun bersabda kepadanya, "Berita apa yang kamu bawa wahai Abu Wahab?" Ia menjawab, "Sesungguhnya tidak ada ketaatan bagi orang yang belum berhijrah." Nabi SAW berkata, "Wahai Abu Wahab kembalilah ke bumi Mekah dan tetap tinggallah kalian di rumah-rumah kalian. Hijrah telah terputus tetapi yang ada jihad dan niat."
Semua hadits-hadits tadi diriwayatkan oleh Sa'id.
Kami juga memiliki hadits yang diriwayatkan oleh Mu'awiyah, beliau berkata, "Aku mendengar Nabi SAW bersabda, "Hijrah tidak pernah terputus sampai pintu taubat tertutup dan pintu taubat tidak tertutup hingga matahari terbit dari arah barat. (HR. Abu Dawud)
Dan beliau telah meriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda,
»لا تنقطع الهجرة ما كان الجهاد
"Hijrah tidak pernah terhenti selama jihad masih ada."
Diriwayatkan oleh Sa'id dan selain beliau disertai penyebutan ayat-ayat dan hadits-hadits yang menunjukkannya serta telah terbukti kesesuaiannya di sepanjang zaman.
Adapun maksud dari hadits yang pertama adalah tidak ada hijrah setelah penaklukan dari suatu negeri yang telah ditaklukkan oleh umat Islam.
Sabda beliau SAW kepada Sofwan bahwa hijrah telah terputus, yaitu hijrah dari Mekkah, karena hijrah itu artinya keluar dari negeri kafir, maka jika negeri itu akan ditaklukkan berarti negeri kafir telah hilang sehingga tidak perlu hijrah dari tempat itu.
Demikianlah bila setiap negeri telah ditaklukkan maka tidak ada hijrah dari tempat itu, namun justru berhijrah ke tempat itu telah dipastikan penaklukkannya.

Terkait dengan hijrah manusia terbagi menjadi tiga:
Pertama : Orang yang diwajibkan berhijrah yaitu orang-orang mampu melakukannya, tidak memungkinkannya untuk menampakkan agamanya, dan tidak memungkinkannya untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban agamanya disertai keberadaannya di antara orang-orang kafir, maka orang ini wajib berhijrah.
Allah SWT berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمْ الْمَلائِكَةُ ظَالِمِي أَنفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الأَرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُوْلَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
"Sesungguhnya orang-orang yang telah diwafatkan oleh malaikat dalam keadaan menganiaya diri mereka sendiri. Para malaikat berkata, "Dimanakah kalian berada?" Mereka menjawab, "Kami adalah orang-orang yang tertindas di muka bumi," Malaikat berkata, "Bukankah bumi Allah itu luas sehingga kalian bisa hijrah kepadanya!" Mereka itulah orang-orang yang tempat kembali mereka neraka jahannam. Dan neraka jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali." (Qs. An Nisa : 98 – 99)
Ini merupakan ancaman yang keras yang menunjukkan perintah wajib hijrah. Dan karena melaksanakan kewajiban agama itu hanya diwajibkan bagi orang yang mampu melaksanakannya.
Dan hijrah itu merupakan kewajiban yang sangat penting dan sebagai penyempurnanya. Maka kewajiban apa saja yang tidak bisa sempurna dengan sesuatu itu menjadi wajib.
Kedua : Orang yang tidak diwajibkan berhijrah, yaitu orang yang lemah, tidak mampu melakukannya baik karena sakit atau dipaksa untuk tetap menetap, atau karena fisiknya lemah seperti wanita, anak-anak dan orang-orang yang semisal dengan mereka. Orang-orang seperti ini tidak diwajibkan hijrah.
Allah SWT berfirman,
إِلا الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنْ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ لا يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلا يَهْتَدُونَ سَبِيلا فَأُوْلَئِكَ عَسَى اللَّهُ أَنْ يَعْفُوَ عَنْهُمْ وَكَانَ اللَّهُ عَفُوًّا غَفُورًا
"Kecuali mereka yang tertindas baik laki – laki maupun wanita ataupun anak – anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan untuk hijrah. Mereka itu, mudah – mudahan Allah memaafkan mereka. Dan Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun."(Qs. An Nisa 98 – 99)
Ayat ini tidak menerangkan hukun mustahab (sunah) untuk hijrah karena orang – orang yang disebutkan dalam ayat ini memang tidak mampu melakukannya.
Ketiga : Orang yang dianjurkan (disunahkan) berhijrah tetapi tidak diwajibkan. Yaitu orang – orang yang mampu melakukan hijrah tetapi dia bisa menampakkan agamanya dan melaksanakan kewajiban – kewajiban agamanya meski berada di negeri kafir. Maka orang – orang seperti ini dianjurkan untuk berhijrah agar dapat melakukan jihad dan memperbanyak jumlah kaum muslimin serta memberi bantuan kepada mereka. Selain itu ia juga dapat membebaskan diri dari ; memperbanyak jumlah orang – orang kafir, pergaulan dengan merka serta melihat kemungkaran yang terjadi diantara mereka. Dan tidak wajib atasnya untuk hijrah karena ia bisa masih melakukan kewajiban – kewajiban agamanya tanpa hijrah.
Dahulu, paman Nabi SAW, Abbas, bermukim di Mekah sementara beliau sudah masuk Islam. Dan kami telah meriwayatkan bahwa Nu'aim An Nuham tatkala hendak berhijrah ia didatangi kaum Bani Adi. Mereka berkata kepadanya, "Engkau harus tetap tinggal bersama kami dan engkau tetap bisa di atas agamamu. Kami akan melindungimu dari orang – orang yang hendak menyakitimu. Cukupilah kebutuhan kami sebagaimana dahulu engkau mencukupi kami."
Dahulu beliau mengurusi anak – anak yatim Bani Adi dan janda – janda mereka. Sehingga beliau tertinggal dari hijrah beberapa waktu kemudian beliau berhijrah.
Maka Nabi bersabda kepada beliau: "Kaummu itu lebih baik bagimu dari pada kaumku terhadapku. Kaumku telah mengusirku dan menolak membunuhku, sedangkan kaummu mereka telah menjagamu dan melindungimu."
Beliau berkata kepada Nabi SAW, "Ya Rosululloh, tetapi kaummu mengusirmu menuju ketaatan kepada Allah dan berjihad melawan musuh sedangkan kaumku melemahkan semangatku untuk hijrah dan taat kepada Allah. Atau semisal dengan ucapan itu."(Al Mughni wasy Syarh Al Kabir, 10/5 1- 515)

PEMBAHASAN KEDUA BELAS :
Umat Islam adalah umat yang satu, seorang muslim adalah saudara umat muslim lainnya sekalipun negara mereka berjauhan. Masing – masing wajib menolong satu sama lain.
Allah berfirman,
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ
"Sesungguhnya orang – orang mukmin adalah bersaudara." (QS. Al Hujurat : 10)
Nabi SAW bersabda,

bersambung..... ikuti terus kelanjutannya


Tidak ada komentar:

Posting Komentar