Rabu, 09 Juni 2010

Aqidah Jihadiyah Umat Islam bag 3

PEMBAHASAN KETIGABELAS
Wajib memulai perang terhadap musuh yang terdekat.
Sebagaimana firman Allah SWT ,

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قَاتِلُوا الَّذِينَ يَلُونَكُمْ مِنْ الْكُفَّارِ
"Wahai orang – orang yang beriman, perangilah orang – orang kafir yang berada di sekitar kalian." (Qs. At Taubah : 123)
Ibnu Qudamah berkata,"Masalah" (setiap kaum akan memerangi musuh yang berada di sekitar mereka)", dasar tentang ini adalah firman Allah, "Wahai orang – orang yang beriman, perangilah orang – orang kafir yang berada di sekitar kalian."
Karena, musuh yang terdekat itu lebih banyak bahaya yang akan ia timbulkan. Memeranginya berarti telah menolak bahaya – bahayanya baik yang ada di depan maupun di belakangnya.
Sedangkan menyibukkan diri dengan musuh yang jauh berarti memberikan peluang bagi musuh yang terdekat tadi untuk mempergunakan kesempatan guna menghancurkan kaum muslimin – sampai pada kata beliau – Bila ini telah menjadi ketetapan, maka jika ada alasan untuk memulai perang melawan musuh yang lebih jauh karena bahaya yang ditimbulkan lebih dikhawatirkan. Atau adanya maslahat untuk memulai perang terhadap musuh yang lebih jauh karena kedekatan jarak dan kesempatan yang masih memungkinkan. Atau karena musuh yang terdekat masih dalam perjanjian damai atau ada kalangan yang menghalangi kaum muslimin untuk memeranginya. Maka tidak mengapa untuk memulai perang terhadap musuh yang lebih jauh karena adanya hajad (kebutuhan) untuk itu." (Al Mughni Wasy Syarh Al Kabir 10 / 372 – 373 )
Di dalam tafsirnya, Ibnu Katsir berkata, "Allah memerintahkan orang – orang beriman agar memerangi orang – orang kafir, pertama – tama adalah orang – orang kafir yang terdekat, lalu yang terdekat dengan daerah kekuasaan Islam. Karena itu Rosululloh SAW telah memulai perang dengan kaum musyrikin di Jazirah Arab. Tatkala perang melawan mereka usai dan Allah telah menaklukan Mekah, Madinah, Thaif, Yaman, Yamamah, Hajr, Khoibar, Hadhramaut dan daerah – daerah lain di Jazirah Arab. Dan orang – orang Arab pun masuk Islam dengan berbondong – bondong, maka Beliau SAW memulai perang melawan ahli kitab, lalu Beliau mempersiapkan perang melawan Romawi dimana mereka adalah manusia – manusia yang paling dekat posisinya dengan Jazirah Arab._Sampai pada kata Beliau_.
Tindakan Beliau ini dilanjutkan oleh kholifah Beliau Abu Bakar Ash Shidiq.
Dien ini telah mengalami satu penyimpangan yang menjadikannya hampir lepas dari akarnya, lalu Allah meneguhkannya dengan Abu Bakar, lalu beliau menguatkan fondasi – fondasinya dan mengokohkan tiang – tiangnya.
Beliau mengembalikan orang – orang yang lari dari agama dengan paksa dan mengembalikan orang – orang yang murtad kepada Islam. Mengambil zakat bahan makanan dari orang – orang yang menahannya. Menerangkan kebenaran kepada orang – orang yang tidak mengetahuinya. Menunaikan apa yang pernah diajarkan oleh Rosululloh SAW.
Kemudian beliau mulai menyiapkan pasukan Islam ke Romawi, bangsa penyembah salib, dan ke Persia bangsa penyembah Api. Maka Allah menaklukkan negeri itu dengan berkah perjalanan beliau.
Beliau hinakan Kisra dan kaisar serta orang – orang yang taat kepadanya. Beliau nafkahkan pembendaharaan keduanya di jalan Allah sebagaimana khabar yang pernah disampaikan Rosululloh SAW.
Perkara ini menjadi sempurna di tangan orang yang diberi wasiat beliau setelah kekhalifahan beliau itu, yaitu .........
AL Faruq! Orang yang telah kembali kepada Allah memegang tampuk khalifah, orang yang banyak turun serta dalam berbagai pertempuran, Dialah Abu Hafsh Umar Bin Khottob RA.
Maka beliaupun mampu menghinakan orang–orang kafir yang atheis itu. Mengalahkan para pemberontak dan kaum munafikin. Dan menguasai kerajaan – kerajaan di belahan timur dan barat bumi _ sampai pada kata beliau _ dan setiap kali mereka telah menguasai umat (musuh) pasti beliau memerangi daerah – daerah terdekat berikutnya kemudian daerah – daerah terdekatnya lagi yang dihuni oleh orang – orang yang berpaling dari kebenaran dan berbuat dosa. Hal ini sebagai perwujudan firman Allah SWT ,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قَاتِلُوا الَّذِينَ يَلُونَكُمْ مِنْ الْكُفَّارِ
"Wahai orang – orang yang beriman perangilah orang – orang kafir di sekitar kalian."(Tafsir Ibnu Katsir)


PEMBAHASAN KEEMPAT BELAS
Memerangi orang – orang murtad yang menolak hukum Islam lebih didahulukan dari pada memerangi orang – orang kafir asli.
Karena orang – orang murtad lebih besar kejahatannya terhadap agama dan lebih berbahaya.
Ibnu Taimyah berkata, "Sunah telah menetapkan bahwa hukuman bagi orang murtad lebih besar dari pada hukuman bagi orang kafir asli dilihat dari beberapa segi ; diantaranya :
- Orang – orang murtad itu boleh dibunuh sewaktu – waktu, ia tidak dikenakan membayar jizyah, dan tidak mendapatkan jaminan keamanan/perlindungan dari pemerintah Islam, berbeda dengan orang kafir asli.
- Orang murtad itu boleh dibunuh, meskipun ia termasuk orang – orang lemah yang tidak mampu turut berperang. Berbeda dengan orang kafir asli, bila ia lemah dan tidak termasuk orang yang tidak turut perang maka ia tidak boleh dibunuh, menurut sebagian besar ulama seperti Abu Hanifah, Malik dan Ahmad. Karena inilah maka madhab jumhur sepakat bahwa orang murtad itu boleh dibunuh sebagaimana madzhab Malik, Syafi'i dan Ahmad.
- Orang murtad tidak boleh mewarisi harta orang Islam yang meninggal, tidak boleh dinikahi, sembelihannya tidak boleh dimakan. Berbeda dengan kafir asli, dan hukum – hukum lainnya (Majmu' Fatawa 28/534)
Beliau juga berkata, "Kafir disebabkan kemurtadan lebih biadab/kasar menurut ijma' dari pada kafir asli." (Majmu Fatawa 28/ 478 )
Di tempat terpisah beliau berkata, Abu Bakar As Shidiq dan semua sahabat – sahabat lainnya mendahulukan perang (jihad) terhadap orang – orang murtad sebelum jihad melawan orang-orang kafir dan ahli kitab. Karena jihad melawan orang – orang murtad ini berarti menjaga/memelihara negeri – negeri yang telah didahulukan yang merupakan negeri kaum muslimin. Dan memasukkan orang – orang yang hendak keluar darinya ke dalam negeri tersebut.
Dan jihad melawan orang – orang musyrik yang telah memerangi kita, begitu juga ahli kitab adalah untuk menambah kemenangan agama. Menjaga modal itu lebih didahulukan daripada mencari keuntungan."(Majmu' Fatawa 25 / 158- 159 )
Menurutnya, Para sahabat telah sepakat lebih dahulu memerangi orang – orang murtad. Pengiriman pasukan yang dipimpin Usamah Bin Zaid ke Romawi di awal kekalifahan Abu Bakar tidak menjadikan prinsip ini samar. Sebab pengiriman pasukan itu merupakan perintah Nabi SAW dahulu (sebelum kewafatan beliau). Dan ternyata didalamnya ada kebaikan yang besar, yaitu dapat menakut – nakuti (meneror) orang – orang yang hendak murtad." (Al Bidayah Wan Hinayah, Ibnu Katsir 6/304-305)


PEMBAHASAN KELIMA BELAS :
Penguasa itu bila kafir dan menolak hukum Islam wajib diperangi. Perang melawan mereka hukumnya fardhu 'ain dan lebih didahulukan dari pada perang melawan selain mereka.

a. Ini sebagaimana penguasa-penguasa yang mengatur rakyatnya dengan hukum selain syariat Islam dikebanyakan negeri-negeri kaum muslimin. Maka penguasa-penguasa itu telah kafir. Allah Berfirman:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُوْلَئِكَ هُمْ الْكَافِرُونَ
"Dan barang siapa yang tidak berhukum dengan hukum yang telah diturunkan oleh Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir." (Qs. Al Maidah : 44)
ثُمَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بِرَبِّهِمْ يَعْدِلُونَ
"Kemudian orang-orang kafir itu membuat tandingan terhadap Tuhan mereka." (Qs. Al An'am : 1)
Sebenarnya para penguasa itu, sebagian besar mereka, mengaku bahwa mereka beragama Islam, namun dengan kekufuran itu mereka menjadi murtad (keluar dari Islam).
Pada hakekatnya, tindakan mereka berhukum kepada selain hukum Allah berarti telah mensyariatkan hukum-hukum bagi manusia menurut kehendak mereka. Dengan begitu mereka telah mengangkat diri mereka sendiri sebagai tuhan-tuhan selain Allah bagi manusia. Allah berfirman,
"Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan mereka agama yang tidak diizinkan Allah." (Qs. Asy Syura : 21)
"Mereka menjadikan orang-orang alim mereka (Yahudi) dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah." (Qs. At Taubah : 31)
Kekufuran mereka adalah kekufuran yang bertambah-tambah dan bersusun-susun disertai penyimpangan mereka dari jalan Allah.
Tentang masalah tersebut telah saya kupas panjang lebar di dalam risalah yang lainnya yaitu (Risalah Da'watut Tauhid), di sana saya memberikan jawaban seputar silang pendapat terhadap firman Allah (Dan barang siapa berhukum dengan selain hukum Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir) Qs. Al Maidah : 44
Saya telah menjelaskan bahwa nash itu bersifat umum dilihat dari berbagai segi. Dan kufur dalam ayat itu adalah kufur akbar.
Bila ada perbedaan pendapat dikalangan sahabat dalam menafsirkan suatu ayat maka kita memilih pendapat-pendapat yang menguatkan dalil kitab dan sunah sebagaimana yang telah ditetapkan di dalam ilmu ushul.
Saya juga menjelaskan, bahwa kejadian yang menimpa kebanyakan bumi Islam adalah merupakan bentuk yang sama yang menjadi sebab diturunkannya ayat ini. Yaitu tidak difungsikannya hukum Allah (syariat Islam) dan membuat hukum baru serta menjadikannya syariat untuk diberlakukan bagi manusia. Sebagaimana orang-orang Yahudi meninggalkan hukum taurat yaitu merajam orang yang berzina dan menggantinya dengan syariat pengganti yang lain.
Saya juga menyebutkan bahwa bentuk kejadian yang menjadi sebab turunnya ayat itu secara qoth'i masuk di dalam nash itu sendiri. Sebagaimana yang telah ditetapkan dalam ilmu ushul. Yaitu apa yang disyariatkan oleh Ismail Al Qodhi sebagaimana yang dinukil oleh Ibnu Hajar. [Ismail Al Qodhi berkata, (di dalam kitab "Ahkamul Qur'an", setelah beliau menceritakan beda pendapat tentang itu) "Dhahir ayat-ayat tadi menunjukkan bahwa barang siapa yang berbuat seperti apa yang mereka perbuat dan membuat hukum yang dengannya ia menyelisihi hukum Allah serta menjadikannya sebagai agama yang diamalkan. Maka ia benar-benar mendapatkan apa yang mesti mereka dapatkan, yakni ancaman yang tersebut dalam ayat itu, baik ia selaku hakim atau yang lainnya." (Fathul Bari 13/120)
Karena itu siapa saja yang turut serta (berpartisipasi) dalam membuat undang-undang atau hukum positif atau memutuskan perkara dengannya maka ia telah kafir dan kufur akbar yang mengeluarkannya dari agama Islam, meskipun ia telah melaksanakan kelima rukun Islam.
Pendapat inilah yang telah menjadi ketetapan ulama hari ini sebagaimana ucapan-ucapan mereka yang telah saya nukil di dalam bab tiga dari risalah ini. Yaitu pendapat syaikh Ahmad Syakir, Muhammad Hamid Al Faqy dan Muhammad Ibrahim Alu Syaikh.
Dalam risalah "Da'watu At Tauhid" saya telah menyebutkan siapakah orang-orang yang bisa disebut hakim menurut syar'i.

b. Penguasa yang murtad ini, bila tidak memiliki penghalang (bagi kekufurannya) maka wajib segera dicopot dan dihadapkan ke hakim, supaya ia bertaubat, bila tidak maka ia dibunuh. Bila ia bertaubat ia tidak boleh memegang kekuasaannya lagi. Sebagaimana sunah Abu Bakar dan Umar, semoga Allah meridhoi keduanya. Nabi bersabda,
فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين من بعدي عضوا عليها بالنواجد
"Hendaklah kalian mengikuti sunahku dan sunah khalifah-khalifah rasyidin yang mendapat petunjuk setelahku, gigitlah sunah-sunah itu dengan gigi geraham." (HR. Tirmidzi)
Imam Ibnu Taimiyah berkata, "Umar tidak pernah memberikan jabatan kepada orang-orang munafik sedikitpun (dalam urusan kaum muslimin), Abu Bakarpun demikian juga. Karena ketaatan keduanya kepada Allah maka keduanya tidak terpengaruh dengan celaan orang yang mencela.
Bahkan tatkala keduanya memerangi orang-orang murtad dan telah mengembalikan mereka kepada Islam, keduanya melarang mantan orang-orang murtad itu untuk mengendarai kuda dan menyandang senjata hingga kebenaran taubat mereka itu jelas.
Umar pernah berkata kepada Sa'ad bin Abi Qaqash yang saat itu menjabat amir di Iraq, "Jangan sekali-kali engkau memberi jabatan/tugas seorangpun dari mereka, dan jangan bermusyarawah dengan mereka dalam urusan perang."
Mereka adalah dedengkot-dedengkot kaum murtad, seperti Tulaihah Al Asadi, Al Aqra' bin Haqbis, Uyainah bin Hishr dan Al Asy'ats bin Qais Al Kindi serta orang-orang yang semisal dengan mereka.
Tatkala Abu Bakar dan Umar khawatir terhadap kenifaqan mereka, maka keduanya tidak memberikan jabatan dalam urusan kaum muslimin bagi mereka. (Majmu Fatawa 35/65)
c. Bila penguasa yang murtad itu menolak syariat dengan dibekingi sekelompok orang yang siap berperang membelanya, maka ia dan kelompoknya wajib diperangi. Dan siapapun yang berperang membelanya adalah kafir.
Allah berfirman,
وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ
"Dan barang siapa menjadikan mereka sebagai penolong (pemimpin) maka ia termasuk golongan mereka." (Qs. Al Maidah : 51)
Kata "Man" (barang siapa) pada ayat tersebut adalah isim syarat yang merupakan bentuk umum. Ia juga berlaku umum bagi siapa saja yang berwala' (menjadikan penolong/pemimpinnya) kepada orang kafir dan menolongnya dengan perkataan dan perbuatan.
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab berkata (tentang pembatal-pembatal keislaman) "Saling membantu dan menolong orang-orang musyrik untuk memerangi kaum muslimin, dalilnya firman Allah, "Barang siapa (diantara kalian) yang menjadikan mereka sebagai pemimpin maka sesungguhnya ia termasuk golongannya. Dan Allah itu tidak memberi petunjuk kepada orang-orang zhalim." (Qs. Al Maidah : 51). (Majmu' Tauhid, Ibnu Taimiyah dan Ibnu Abdul Wahab halaman 38)
Siapapun mereka pasti akan diperangi! Sebagaimana diperanginya kaum murtaddin meskipun mereka mengucapkan dua kalimat syahadat dan menampakkan sebagian syariat-syariat Islam. Ini disebabkan karena mereka melakukan tindakan yang membatalkan Ashlul Iman (dasar iman)
Allah Swt berfirman,

الَّذِينَ آمَنُوا يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ الطَّاغُوتِ
"Orang-orang yang beriman itu mereka berperang di jalan Allah, sedangkan orang-orang kafir itu mereka berperang di jalan thaghut." (Qs. An Nisa : 76)
Maka siapa saja yang menolong orang kafir baik dengan perkataan maupun perbuatan untuk menolong kekufurannya berarti ia telah kafir semisal dengan orang yang ditolongnya itu.
Demikian inilah hukum zhahir di dunia sebagaimana hukum orang yang menolak untuk membantu ahlul iman dan ahlul jihad.
Terkadang orang tersebut secara batin muslim, dan pada dirinya terdapat penghalang takfir (pengkafiran) atau syubhat atau sejenisnya. Hanya, keadaan ini tidak menghalangi vonis kafir terhadapnya karena adanya tuntutan (pengkafiran) yang ada pada dirinya itu.
Inilah sunah yang berlaku tentang hukum bagi orang-orang yang menolak hukum Islam. Masalah ini telah saya kupas di risalah lain dengan panjang lebar.
Ini merupakan ilmu yang sepantasnya disebarluaskan diantara manusia, agar orang yang binasa itu binasanya dengan keterangan yang nyata dan agar orang yang hidup itu hidupnya dengan keterangan yang nyata pula.

d.Adapun dalil tentang wajibnya menggulingkan penguasa bila ia kafir adalah hadits Ubadah bin Shomit ra. Beliau berkata,

دعانا رسول الله صلى الله عليه وسلم فبايعناه، فكان فيما أخذ علينا أن بايعنا على السمع والطاعة في مَنْشَطِنا ومَكْرَهِنا وعُسْرِنا ويُسْرِنا وأَثَرَةٍ علينا، وأن لا ننازع الأمر أهله، قال: إلا أن تروا كفرا بواحا عندكم من الله فيه برهان



"Kami pernah dipanggil Rasulullah SAW, lalu kami berbaiat kepada beliau. Maka beliau meminta kami agar berbaiat kepada beliau untuk mendengar dan taat di saat kami suka atau benci, sulit maupun mudah, atau kami diperlakukan tidak adil. Dan agar kami tidak merampas kekuasaan dari ahlinya (penguasa yang sah). Beliau berkata, "Kecuali bila engkau melihat ada kufur yang nyata, yang engkau memiliki bukti dari Allah tentangnya." (Muttafaq alaih dan lafadz dari Muslim)
An Nawawi berkata, "Qodhi 'Iyadh berkata, "Ulama telah sepakat bahwa jabatan imam (khalifah) tidak boleh diserahkan kepada orang kafir dan bila muncul kekafiran pada imam/khalifah maka, ia mesti dicopot sampai pada kata beliau, "Maka sekiranya muncul kekufuran dari dirinya atau ia mengubah syariat, atau ia berbuat kebid'ahan berarti ia telah keluar dari hukum wilayah (jabatan imamah) dan gugurlah kewajiban taat kepada dirinya. Dan umat Islam wajib berjihad melawannya, menggulingkannya dari kekuasaan dan mengangkat imam yang adil bila hal itu memungkinkan mereka.
Jika hal itu hanya dimampui oleh sekelompok orang maka mereka wajib menggulingkan penguasa kafir itu. Dan hal itu tidak wajib penguasa ahli bid'ah kecuali bila mereka menganggap ada kemampuan untuk itu. Namun bila mereka lemah dan tidak mampu melakukannya maka hal itu tidak wajib. Dan agar setiap muslim hijarh (keluar) dari tempat tinggalnya menuju tempat lain serta berlari dengan ketaatan terhadap agamanya." (Shahih Muslim dengan syarh An Nawawi 12/229)
Menurut saya, ijma yang telah disebutkan oleh Qodhi 'Iyadh telah dinukil Ibnu Hajar dari Ibnu Bathol, (Fathul Bari 13/7)
Dan dari Ibnu At Tin dari Ad Dawudi (Fathul Bari 13/8). Dan dari Ibnu At Tin (Fathul Bari 13/116). Dan ijma ini telah ditetapkan sendiri oleh Ibnu Hajar. (Fathul Bari 13/123)

e. Bila kaum muslimin belum memiliki kemampuan untuk itu, maka mereka wajib melaksanakan I'dad. Imam Ibnu Taimiyah berkata,
كما يجب الإستعداد للجهاد بإعداد القوة ورباط الخيل في وقت سقوطه للعجز، فإن ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب
"Sebagaimana wajibnya bersiap-siap untuk jihad dengan cara menyiapkan kekuatan dan kuda yang ditambat di saat gugurnya kewajiban jihad karena adanya ketidakmampuan. Karena sesungguhnya apa saja bentuk kewajiban yang tidak sempurna kecuali dengan sesuatu maka sesuatu itu hukumnya wajib." (Majmu fatawa 28/259)
Allah SWT berfirman,

وَلا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا سَبَقُوا إِنَّهُمْ لا يُعْجِزُونَ وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ
"Janganlah sekali-kali orang-orang kafir itu mengira bahwa mereka akan lolos dari kekuasaaan Allah. Sesungguhnya mereka tidak dapat melemahkan Allah. Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka segenap kekuatan yang kalian sanggupi." (Qs. Al Anfal : 59 - 60)
Nabi bersabda, "Ingatlah bahwa kekuatan itu melempar." (Beliau mengucapkannya) tiga kali." (Hr. Muslim dari Uqbah bin Amir)
Saya katakan, "Dari keterangan tadi anda mengetahui bahwa kewajiban umat Islam untuk menghadapi thaghut-thagut itu telah ditetapkan dengan nash syar'i dimana tidak boleh seorang muslimpun keluar/menyimpang dari ketetapan itu. Yaitu hadits yang bermakna (Dan agar kami tidak merampas kekuasaan dari ahlinya/penguasa yang sah. Nabi bersabda, "Kecuali jika engkau melihat kufur yang nyata yang engkau memiliki bukti/keterangan dari Allah tentangnya"). Disamping itu telah ada ijma' yang menetapkan kewajiban untuk keluar memerangi mereka, sebagaimana keterangan tadi.
Karena itu tidak boleh ada ijtihad tentang bagaimana hukum menghadapi thaghut-thaghut itu di saat adanya nash dan ijma' yang telah menetapkan hukumnya!!
Dan barang siapa nekat berijtihad padahal telah ada nash dan ijma yang menetapkan persoalan ini berarti ia telah sesat dengan kesesatan yang nyata!!
Misalnya mereka yang berusaha menerapkan hukum Islam melalui parlemen-parlemen syirik dan yang semisal dengan itu.
Dan bila diantara mereka berkata, bahwa ketidak mampuan itulah yang menghalanginya untuk keluar memerangi mereka. Maka saya katakan kepadanya, "Sesungguhnya kewajiban yang diperintahkan di saat adanya ketidak mampuan itu adalah melaksanakan I'dad!!! bukan turut serta dalam kancah parlemen-parlemen syirik mereka.
Apabila i'dad sulit diberlakukan maka wajib berhijrah dan bila hijrah juga sulit dilakukan ia tetap tinggal ditempatnya dalam keadaan tertindas dengan senantiasa memohon kepada Allah SWT sebagaimana kaum mustadho'fin yang beriman, dalam firmanNya,

الَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا أَخْرِجْنَا مِنْ هَذِهِ الْقَرْيَةِ الظَّالِمِ أَهْلُهَا وَاجْعَل لَنَا مِنْ لَدُنْكَ وَلِيًّا وَاجْعَل لَنَا مِنْ لَدُنْكَ نَصِيرًا
"Yaitu orang-orang yang berkata, "Wahai Rabb kami, keluarkanlah kami dari negeri yang penduduknya zhalim ini. Dan jadikanlah bagi kami pemimpin/pelindung dari sisiMu dan jadikanlah kami penolong dari sisiMu." (Qs. An Nisa : 75)
Adapun bila ia turut serta bersama mereka di parlemen-perlemen mereka yang bertugas membuat undang-undang, tentu tindakan ini tidak boleh dilakukan oleh seorang muslim.
Karena turut serta (musyawarah) dengan mereka berarti telah ridho dengan demokrasi, dimana sistem ini menyerahkan kedaulatan kepada rakyat. Artinya, bahwa pendapat atau suara mayoritas dari wakil-wakil rakyat itu adalah syariat/undang-undang yang berlaku mengikat bagi umat.
Inilah kekufuran yang telah disebutkan dalam firmanNya
وَلا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ
"Dan agar sebagian kita tidak menjadikan sebagian yang lain menjadi tuhan-tuhan selain Allah." (Qs. Ali Imran : 64)
Jadi anggota-anggota parlemen ini adalah Arbab (tuhan-tuhan) yang tertera dalam ayat ini. Dan ia adalah bentuk kekufuran.
Dan barang siapa yang tidak tahu tentang hal ini maka wajib mengenalkan ilmu ini kepadanya.
Allah SWT berfirman,
وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آيَاتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ
"Dan sesungguhnya telah diturunkan kepada kalian dalam Al Kitab ini yaitu apabila kalian mendengar ayat-ayat Allah diingkari atau dibuat sendau gurau, maka jangan sekali-kali kalian duduk-duduk bersama mereka hingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Kalau begitu berarti kalian semisal dengan mereka." (Qs. An Nisa : 140)
Jadi barang siapa duduk bersama mereka dan menyaksikan kekufuran mereka maka ia semisal dengan mereka di dalam kekufuran itu.

f. Jihad melawan penguasa-penguasa murtad dan komplotan-komplotan mereka hukumnya fardhu 'ain bagi setiap muslim yang tidak tertimpa udzhur syar'i.
Di depan diterangkan bahwa jihad menjadi fardhu 'ain dalam tiga kondisi, diantaranya bila musuh kafir telah memasuki wilayah kaum muslimin. Dalam kondisi ini memerangi musuh tersebut hukumnya fardhu 'ain. Karena itu Al Qodhi "Iyadh berkata, "wajib bagi umat Islam untuk memerangi mereka."
Ucapan Ibnu Hajar lebih jelas lagi, beliau berkata, "Kesimpulannya bahwa penguasa yang murtad itu dicopot dari kekuasaannya, disebabkan kekufurannya menurut ijma'. Maka wajib bagi setiap muslim untuk melaksanakan hal itu." (Fathul Bari 13/123)
Inilah pemahaman dari hadits Ubadah bin Shomit. Saya katakan, keberadaan jihad melawan thaghut-thaghut yang hukumnya fardhu 'ain itu merupakan ilmu yang wajib disebarluaskan secara umum terhadap kaum muslimin. Agar setiap muslim mengetahui bahwa secara pribadi ia mendapatkan perintah dari Rabbnya untuk memerangi mereka itu.
Maka sesungguhnya thaghut-thaghut itu telah memasang pagar pemisah yang mematikan yang dapat memisahkan, antara kaum muslimin secara umum dengan orang-orang yang berpegang teguh kepada agamanya. Cara ini untuk memudahkan mereka dalam memukul gerak orang-orang yang berpegang teguh kepada agamanya itu ditengah-tengah kebodohan dan sikap diam mayoritas umat Islam, di mana pada saat yang sama tiap individu dari mereka itu mendapatkan perintah yang sama pula, selama mereka adalah orang-orang Islam meskipun ia fasik dan melakukan hal-hal yang mendatangkan adzab. Karena, kefasikan seseorang tidak menggugurkan perintah syar'i, yaitu berjihad (Silahkan lihat lampiran ke empat)
Karena itu kewajiban bagi orang-orang yang berpegang teguh kepada agamanya agar mendobrak pagar pemisah itu dengan mempublikasikan kewajiban jihad ini kepada umat Islam secara umum, baik dengan cara dakwah fardiyah (personal) maupun dakwah 'aamah (umum).
Agar, urusan jihad ini menjadi urusan seluruh umat Islam bukan semata-mata urusan sekelompok manusia-manusia pilihan yang selalu digencet musuh siang dan malam.
Dan agar jihad ini berubah, dari urusan yang berlaku bagi orang-orang khusus menjadi urusan yang berlaku bagi orang-orang umum.
Di sinilah peta keberpihakan terhadap thogut dan antek-antek mereka akan berbalik arah. Sehingga sempurnalah sikap anti pati umat Islam terhadap thaghut-thaghut dan antek-antek mereka setelah kekufuran dan kejahatan mereka dikupas tuntas.
Allah SWT berfirman,
وَأَخْرِجُوهُمْ مِنْ حَيْثُ أَخْرَجُوكُمْ
"Dan usirlah mereka sebagaimana mereka telah mengusir kalian." (Qs. Al Baqarah : 191)
Allah SWT telah berfirman kepada NabiNya SAW,
استخرجهم كما استخرجوك
"Usirlah mereka sebagaimana mereka telah mengusirmu." (HR. Muslim dari 'Iyadh bin Himar)
Sebagaimana thaghut-thaghut itu telah mengeluarkan orang-orang yang berpegang teguh kepada agama itu dari harta-harta mereka, memboikot mereka dan mempersempit kehidupan mereka, seperti firman Allah,
لِلْفُقَرَاءِ الْمُهَاجِرِينَ الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيارِهِمْ وَأَمْوَالِهِم
"Bagi orang-orang faqir dari kalangan muhajirin yang telah diusir dari kampung halaman dan harta mereka." (Qs. Al Hasyr : 8)
Karena itu wajib bagi orang-orang mukmin untuk mengusir thaghut-thaghut itu dari harta dan kekayaan yang digunakan untuk membiayai tentara-tentara mereka guna memerangi Allah dan RasulNya SAW.
Dan karena itu pula Rasulullah SAW pernah mendoakan orang-orang Quraisy agar tertimpa kelaparan.Abdullah bin Mas'ud berkata, "Sesungguhnya orang-orang Quraisy itu, tatkala mereka dapat mengalahkan Nabi SAW dan membikin sulit beliau, maka beliau berdo'a.
اللهم أعِنِّي عليهم بسَبْع كسبع يوسف، فأخذتهم سنة أكلوا فيها العظام والميتة من الجهد
"Ya Allah tolonglah aku untuk menghadapi orang-orang Quraisy itu dengan menimpakan tujuh tahun paceklik atas mereka sebagaimana tujuh tahun paceklil di zaman Nabi Yusuf."
Maka merekapun tertimpa paceklik yang panjang hingga mereka memakan tulang dan bangkai karena beratnya paceklik tersebut.
Dan diharamkan bagi setiap muslim untuk membayarkan hartanya kepada thaghut-thaghut itu dalam bentuk apapun. Baik berupa pabean di pelabuhan, pajak-pajak dan semisalnya, kecuali ia dipaksa atau ditekan untuk itu.
Allah SWT berfirman,
وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
"Dan janganlah kalian tolong menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan." (Qs. Al Maidah: 2)

وَلا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمْ
"Dan janganlah kalian memberikan harta-harta kalian kepada orang-orang bodoh." (Qs. An Nisa : 5)
Dan agar diketahui bahwa keberadaan pemerintahan-pemerintahan thaghut dan undang-undangnya itu tidak ada bobot kebenarannya dalam timbangan syar'i. Nabi SAW bersabda,
من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد
"Barang siapa beramal suatu amalan yang tidak ada dasar hukumnya dalam urusan kami, maka amalan itu tertolak." (HR. Muslim)
Ini telah saya sebutkan pada dasar keenam bab Dasar-dasar berpegang teguh kepada kitab dan sunah.
Demikian juga, umat Islam wajib menguasai harta orang-orang kafir dengan paksaan (kekuatan) yaitu berupa ghonimah atau dengan tipu muslihat dan semisalnya yaitu berupa Fa'i.
Nabi SAW pernah keluar pada perang Badar dengan misi merampas harta yang dibawa kafilah dagang Quraisy, harta rampasan itu dipergunakan untuk kepentingan kaum muslimin.
Secara global, wajib mengubah urusan jihad ini dari urusan yang berlaku bagi orang-orang khusus menjadi urusan yang berlaku bagi orang-orang umum (mayoritas umat Islam)
Karena membatasi urusan jihad bagi orang-orang khusus saja, tidak akan mendatangkan buah perubahan yang dicita-citakan. Tindakan seperti itu tentu menabrak kaidah yang tidak akan berubah, yaitu firman Allah SWT ,
إِنَّ اللَّهَ لا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنفُسِهِمْ
"Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum hingga mereka merubahnya sendiri." (Qs. Ar Ra'du : 11)

Keterangan ini tidak berarti bahwa seluruh rakyat di negeri tertentu wajib untuk turut serta dalam urusan jihad ini, hal ini tentu merupakan anggapan mustahil.
Tetapi yang dituntut adalah agar sejumlah tertentu dari rakyat dapat membentuk kekuatan yang mampu menegakkan kewajiban (pelaksanaan aturan-aturan Islam) kemudian menjaganya dari gangguan musuh-musuh baik musuh-musuh dari luar maupun dari dalam.
Sedangkan rakyat yang lain cukup memberikan simpati dan dukungannya, atau paling tidak netral, tidak berpihak hingga mereka benar-benar mengetahui kebenaran.
Demikian juga wajib menyadarkan masyarakat Islam, bahwa barang siapa yang tidak mampu mengambil peran positif dalam menghadapi thaghut-thaghut itu, maka sedikitpun mereka tidak diperbolehkan untuk mengambil peran negatif! Ini bisa ia wujudkan dengan tidak memberi bantuan kepada thaghut-thaghut itu, dan tidak menyertai mereka dalam melancarkan serangan dan gangguan terhadap kaum mukminin.
Dengan begitu urusan jihad ini, setiap harinya akan memasuki rumah baru dari sekian rumah kaum muslimin.
Dan dengan dakwah akan terbentuklah penolong-penolong agama yang baru hingga janji Allah datang. Sesungguhnya Allah itu tidak akan menyelisihi janjiNya.
وَنُرِيدُ أَنْ نَمُنَّ عَلَى الَّذِينَ اسْتُضْعِفُوا فِي الأَرْضِ وَنَجْعَلَهُمْ أَئِمَّةً وَنَجْعَلَهُمْ الْوَارِثِينَ وَنُمَكِّنَ لَهُمْ فِي الأَرْضِ وَنُرِي فِرْعَوْنَ وَهَامَانَ وَجُنُودَهُمَا مِنْهُمْ مَا كَانُوا يَحْذَرُونَ
"Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di muka bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi bumi." Dan akan Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi dan akan Kami perlihatkan kepada Fir'aun dan Hamman beserta tentaranya apa yang selalu mereka khawatirkan dari mereka itu." (Qs. Al Qashash : 5 – 6)

g. Memerangi para penguasa murtad muqaddam (didahulukan) dari pada memerangi musuh-musuh Islam lainnya seperti orang-orang kafir asli, Yahudi, dan nasrani serta para penyembah berhala.
Perkara ini dapat ditinjau dari tiga sisi:
1. Karena ia merupakan jihad defensif yang hukumnya fardhu 'ain dan ia harus didahulukan daripada jihad ofensif. Adapun ia disebut jihad defensif sebab penguasa-penguasa thaghut itu adalah musuh kafir yang telah menguasai negeri kaum muslimin.
Ibnu Taimiyah berkata, "Adapun jihad defensif merupakan bentuk pertahanan, yang paling kuat (hukumnya) yaitu untuk menghadapi musuh yang menyerang yang akan merusak agama dan dunia. Tidak ada suatu kewajibanpun yang lebih wajib setelah keimanan selain menolah musuh itu. Maka tidak ada syarat yang harus dipenuhi untuk menghadapinya, tetapi harus ditolak menurut kesanggupan yang memungkinkan." (Al Ikhtiyarat Al Fiqhiyyah, 309)
Pada faqrah (7), disebutkan bahwa jihad menjadi fardhu 'ain bila musuh telah memasuki wilayah negeri kaum muslimin.
2. Karena mereka adalah orang-orang yang murtad. Pada faqrah (14) disebutka bahwa memerangi kaum murtad lebih didahulukan daripada memerangi orang-orang kafir asli.
3. Karena mereka adalah musuh yang posisinya paling dekat dengan umat Islam, dimana bahaya dan fitnah yang mereka timbulkan amat besar.
Allah SWT berfirman,
"Wahai orang-orang yang beriman perangilah orang-orang kafir yang ada di sekitar kalian." (Qs. At Rubah : 123)
Perkara ini telah diterangkan di faqrah (13)

Syubhat
Dari sisi pertama di atas muncullah satu syubhat (kesamaran/kerancuan) yaitu pendapat sebagian orang yang mengatakan bahwa persifatan para penguasa murtad yang memerintah negeri Islam itu sebagai musuh kafir yang memasuki negeri kaum muslimin adalah pensifatan yang tidak benar. Karena musuh kafir yang dimaksud adalah musuh asing dari luar daerah Islam. Sedangkan para penguasa itu berasal dari penduduk negeri itu sendiri, maka di sana ada perbedaan?!
Konon, ucapan ini dipakai untuk membatalkan ucapan orang yang berhujjah dengan fatwa Ibnu Taimiyah yaitu tentang hukum memerangi pasukan Tartar yang menolak hukum/syariat Islam sementara merka mengaku beragama Islam. (Majmu' fatawa 28/501-551)
Katanya, "Tidak bisa berhujah dengan fatwa ini sebab pasukan Tartar itu adalah pasukan asing yang berasal dari luar daerah Islam."
Fatwa Syaikh Ibnu Taimiyah ini, telah saya tunjukkan faidah-faidahnya dalam risalah saya "Dakwah tauhid".
Untuk menjawab syubhat ini saya katakan: masalah penguasa murtad itu telah ada nash yang berdiri sendiri, yaitu Hadits Ubadah bin Shomit, yang artinya "Dan agar kami tidak merampas kekuasaan dari ahlinya (penguasa yang sah). Beliau berkata. "kecuali bila kalian melihat kekufuran yang nyata dan kalian memiliki bukti kuat dari Allah tentangnya."
Di dalam risalah itu saya sebutkan bahwa, hadits ini erat kaitannya dengan semua hadits yang berbicara tentang perintah bersabar terhadap penguasa-penguasa yang berbuat aniaya. Misalnya hadits Ibnu Abbas,

من رأى من السلطان شيئا يكرهه فليصبر
"Barang siapa melihat sesuatu yang ia benci dari penguasa maka hendaklah ia bersabar."
Dan Hadits Auf bin Malik yang artinya,
"...Tidak! selama mereka masih mendirikan sholat di tengah-tengah kalian."
Serta hadits-hadits yang semisalnya,
Al Bukhari menyebutkan hadits Ubadah yang mengiringi hadits-hadits Ibnu Abbas pada bab kedua dari Kitabul Fitan dalam kitab shahihnya yang menunjukkan hadits Ubadah itu berikatan erat dengan hadits Ibnu Abbas dan hadits Auf bin Malik.
Keterangan ini tentu telah mencukupi bagi siapa saja yang masih memiliki hati atau yang menggunakan pendengarannya sedang dia menyaksikannya, yaitu tentang kewajiban menggulingkan para penguasa yang murtad itu.
Tiga sisi yang telah saya sebutkan tadi dan yang lainnya, sengaja kami paparkan bukan untuk menerangkan tentang hukum syar'i yang mewajibkan kaum muslimin untuk menggulingkan penguasa murtad, karena perkara ini telah dikukuhkan oleh hadits Ubadah bin Shamit. Tetapi bertujuan untuk menerangkan faidah-faidah lain seperti menguatkan hukum wajibnya menggulingkan mereka dari musuh-musuh yang lainnya.
Untuk menolak syubhat ini kami menyatakan, "Kami belum pernah mendengar bahwa syariat Islam menyebutkan perbedaan antara kafir Ajnabi (asing/luar daerah) dengan kafir wathani (satu tanah air/lokal), yang dengan perbedaan itu berakibat kepada perbedaan hukum kafir, Allah SWT berfirman,
يَانُوحُ إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ
"Wahai Nuh, anakmu itu bukan bagian keluargamu (yang akan diselamatkan), sesungguhnya perbuatannya adalah perbuatan yang tidak baik." (Qs. Hud : 46)

قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ
"Telah ada bagi kalian teladan yang baik pada diri Ibrahim daan orang-orang yang bersama beliau, ketika mereka berkata kepada kaum mereka, "Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan apa-apa yang kalian sembah selain Allah, kami telah mengingkari kalian dan telah nyata permusuhan dan kebencian antara kami dan kalian untuk selamanya sampai kalian beriman kepada Allah saja." (Qs. Al Mumtahanah : 14)

إِنَّ الْكَافِرِينَ كَانُوا لَكُمْ عَدُوًّا مُبِينًا
"Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh kalian yang nyata." (Qs. An Nisa : 101)
Tujuan dari ayat ini adalah menerangkan bahwa permusuhan antara orang mukmin dan orang kafir itu berkaitan dengan sifat kufur itu sendiri. Inilah manath (sandaran/gantungan) hukumnya bukan sifat-sifat yang lain.Seperti keadaan musun ajnabi ( asing ) atau wathani ( setanah air ). Karena permusuhan terhadap kekufuran adalah wajib hukumnya, walaupun si kafir itu anak anda, kaum anda, dan keluarga anda. Maka manath hukumnya adalah sifat kufur bukan yang lain. Sebab – sebab permusuhan itu sendiri akan mendatangkan hukumannya. Maksudnya hukuman berupa permusuhan terhadap orang kafir berkaitan dengan kekufurannya. Artinya adanya sifat kafir pada diri orang tersebut, bukan dengan sebab sifat lainnya. Dan inilah manath hukum itu.
Sebagaimana sabda Nabi SAW,
من بَدَّل دينه فاقتلوه
“ Barangsiapa mengganti agamanya, maka bunuhlah ia. “ ( Muttafaq alaih ).
Beliau Rasulullah SAW menjadikan alasan pembunuhan itu adalah tindakan mengganti agama, artinya kafir setelah Islam, inilah manath hukumnya.
Bila ini telah jelas, maka kami katakan bahwa pensifatan kufur yang menyebabkan pelakunya dikenai hukuman, yaitu hukuman mati bagi pelaku yang telah tertangkap / dikuasai penguasa muslim ataupun diperangi bagi pelaku yang menolak untuk dihukum dengan melawan penguasa muslim itu. Pensifatan seperti ini berlaku baik bagi kafir ajnabi ( asing ) maupun kafir mathani ( setanah air ) tanpa ada perbedaan.
Jadi bila orang kafir ini telah menguasai wilayah negeri kaum muslimin tertentu maka hukumnyasama, tidak berbeda sama sekali, baik itu berasal dari luar negeri itu atau merupakan penduduk negeri itu. Ia tetap dihukumi kafir, atau ia telah kafir dan menguasai negeri itu.
Karena itu manath hukumnya berada di setiap keadaan ini bila orangnya adalah penduduk negeri itu maka ia telah kafir, dengan kekufurannya itulah ia telah keluar dari statusnya sebagai penduduk muslim di negeri itu dan berubah menjadi orang asing.
Allah SWT berfirman,
وَنَادَى نُوحٌ رَبَّهُ فَقَالَ رَبِّ إِنَّ ابْنِي مِنْ أَهْلِي وَإِنَّ وَعْدَكَ الْحَقُّ وَأَنْتَ أَحْكَمُ الْحَاكِمِينَ قَالَ يَانُوحُ إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ
“ Dan Nuh berseru kepada Rabbnya seraya berkata, “ Wahai Rabbku sesungguhnya anakku adalah termasuk dari keluargaku dan sesungguhnya janjiMu adalah benar dan Engkau adalah hakim yang paling bijak.” Allah SWT berkata, “ Wahai Nuh anakmu itu bukan termasuk keluargamu ( yang akan diselamatkan ) , sesungguhnya perbuatannya bukanlah perbuatan sholih . ( Hud : 45 – 46 ).
Dengan kekufurannya maka putra Nuh (Kan’an) telah keluar dari keanggotaan keluarga Nuh ( yang beriman ) dan menjadi orang yang asing dariNya.
Ada beberapa sifat yang kedua yang berpengaruh terhadap sanksi / hukuman.
Diantaranya perbedaan antara kafir asli dan murtad adalah bahwa hukuman bagi orang murtad jauh lebih berat sebagaimana tertera dalam pembahasan ke 14. Begitu pula perbedaan antara kafir Harbi dan kafir Musalam (terikat perjanjian damai) yang disebut di dalam ketiga madzhab (maliki, hambali, hanafi) yang berbeda dengan madzhab syafi’i. Demikian juga perbedaan antara musuh yang lebih dekat dan yang lebih jauh tentang mana yang lebih diprioritaskan untuk diperangi (Faqrah 13).
Dari sini anda melihat bahwa para penguasa murtad itu pada diri mereka telah terdapat seluruh sifat – sifat yang memberatkan seperti Riddah (kemurtadan), muharabah (layak diperangi) dan Al Qurb (kedekatan posisi mereka) yang semuanya berlawanan dengan sifat – sifat yang meringankan seprti kufur asli, musalamah (dalam perjanjian damai) dan Al Qu’du (kejauhan jarak).
Semisal dengan keterangan diatas, bahwa setiap yang memabukkan itu haram, sama saja, baik namanya khomer, atau alkohol atau arak, baik produksi dalam negeri maupun produksi luar negeri (barang impor). Dan sama saja baik warnanya merah atau putih. Ini semua bukan sifat – sifat yang berpengaruh terhadap hukum. Sesungguhnya yang disebut sifat itu hanya yang berpengaruh terhadap hukum yaitu berupa Ilat (alasan) dan manath hukumnya (letak gantungan hukum) yaitu memabukkan.
Maka kapanpun sifat ini di dapatkan walaupun tanpa melihat sifat – sifat lain yang ada, sesungguhnya telah di dapatkan pula hukum dan konsekuensinya.
Kadang disinipun masih di dapatkan pensifatan kedua yang juga berpengaruh terhadap hukuman. Misalnya meminum khomer disiang bulan Ramadhan sebagai hukumannnya pelaku dikenai had dan di ta’zir karena kehormatan bulan Ramadhan.
Kalau bukan pensifatan yang asli yaitu memabukkan tentu pelakunya tidak diwajibkan untuk dikenai sanksi / hukuman.
Wal hasil siapapun yang mengatakan bahwa ada perbedaan hukum antara kafir ajnabi dan kafir asli maka ia seperti orang yang berkata bahwa khomer impor berbeda dengan khomer lokal. Perhatikan baik – baik !.
Perang melawan penguasa murtad itu tidak disyaratkan agar kaum muslimin yang berjihad itu posisinya terpisah di suatu negeri yang terpisah dari negara penguasa murtad dan antek – antek mereka sebagaimana yang diklaim oleh sebagian orang.
Syarat ini cukup dibatalkan dengan ucapan yang saya kutip dari Ibnu Taimiyah tadi, yaitu ijma’ menyatakan wajibnya memerangi musuh nila ia telah masuk di wilayah negeri kaum muslimin. Lalu dimana letak negara yang berdiri sendiri / terpisah itu ?
Bahkan keadaan itulah yang merupakan salah satu kondisi dimana jihad hukumnya menjadi fardhu ain sebagaimana pembahasan ke 7, Syarat seperti ini juga belum pernah ditunjukkan oleh satupun orang dari kalangan ahli ilmu.
Pernyataan yang jitu tentang perkara ini telah disebutkan oleh Ibnu Qudamah , yaitu apabila musuh telah mendekat kesuatu negeri kaum muslimin, maka penduduknya boleh kembali menuju benteng untuk bertahan disana. Adapun perkara penguasa kafir murtad maka telah ada nash yang jelas ! Yaitu hadits Ubadah bin Shomitf R.A.
وَأَلا نُنَازِعَ الأَمْرَ أَهْلَهُ قَالَ إِلا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ
( Dan agar kami tidak merampas kekuasaan dari ahlinya/ penguasa yang sah, Beliau Rasulullah SAW berkata, “ Kecuali bila kalian melihat ada kekufuran yang nyata dan kalian memiliki bukti kuat dari Allah SWT tentangnya) )) Muttafaq ‘alaih((.
dalam hadits ini maupun hadits yang lainnya, Nabi SAW tidak pernah memberikan syarat tadi (perbedaan tempat dan keterpisahan tempat).Begitu juga tidak ada satupun ahli ilmu yang mengingatkan hal ini, sebgaiaman yang telah saya nukil dari Al Qodhi Iyadh dan Ibnu Hajar dalam mensyarah hadits ini.
Jika orang yang mensyarahkan syarat ini (perbedaan dan keterpisahan dua negeri) berkata, “ Sesungguhnya syarat ini wajib menurut logika/ akal bukan syar’I, maka saya katakan padanya, “ Akal itu tidak bisa mewajibkan sedikitpun kewajiban, sebagaimana yang telah saya sebutkan didalam dasar – dasar berpegang teguh kepada kitab dan sunah.”
Bila ia berkata, “ bahwa ini adalah perkara ijtihadi (membolehkan untuk ijtihad), “ maka kami katakan padanya,” Bila kita mencapai suatu ijtihad (tentang kewajiban syarat ini) maka urusan perang itu diserahkan kepada orang yang berpengalaman dalam urusan perang. Sebagaimana Firman Allah SWT ,
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا
“ Sesungguhnya Allah SWT menyuruh kelian agar menunaikan amanat kepada ahlinya.” (An Nisa: 58).
Sedangkan dari kacamata syar’i, kami katakan bahwa tidak ada syarat tertentu berkait dengan berperang melawan penguasa yang murtad selain Al Qudrah ( kemampuan) baik dari sisi jumlah personal maupun perbekalan (logistik).
Kemampuan ini juga memberikan batasan tentang kadar yang diminta, diantaranya adalah orang yang berpengalaman tentang urusan perang.
Dan barangsiapa membahayakan dirinya dengan berperang sendirian, maka hal itu dibolehkan dan tetap mendapat pahala. Insya Allah SWT. Hanya bila ia mengikuti suatu kelompok jihad ia hanya boleh keluar berperang dengan izin amirnya.
Adapun dalil yang membolehkan perang sendirian adalah firman Allah SWT ,
فَقَاتِلْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ لا تُكَلَّفُ إِلَّا نَفْسَكَ وَحَرِّضْ الْمُؤْمِنِينَ
“ Maka berperanglah di jalan Allah SWT, tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajibanmu sendiri. Dan kobarkanlah semangat orang – orang mukmin untuk berperang.” ( An Nisa : 84 ).
Ibnu Hazim berkata, “ perang melawan orang – orang kafir dapat dilaksanakan bersama tiap – tiap amir baik yang fasik maupun yang bukan fasik, juga bersama amir yang berkuasa maupun para prajurit sebagaimana bolehnya perang yang dilaksanakan bersama imam. Seseorangpun boleh memerangi musuh – musuh itu sendirian asalkan ia mampu.” ( Al Muhalla 7/299).
Menurut saya, “ Jihad melawan para thaghut – thaghut itu hukumnya fardhu ain. Maka satu orang pun boleh melaksanakannya bila ia menghendaki. Tentu bila ada peluang yang memungkinkan untuk menyerang satu diantara mereka. Ia tidak wajib menghadapi seluruh pasukan kafir yang berjumlah besar, tetapi ia boleh melarikan diri karena adanya perbedaan jumlah.
Maka jika ia tetap teguh dan tegar untuk tetap berperang sendirian dan memiliki tujuan untuk menggapai syahidah (mati syahid) itu pun dibolehkan dan baik.
Allah Ta’ala berfirman,
وَمِنْ النَّاسِ مَنْ يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاةِ اللَّهِ
“ Diantara manusia itu ada yang menjual dirinya untuk mencari ridhlo Allah SWT ”. (Al Baqarah 207).
Adapun yang wajib adalah memerangi para penguasa murtad itu secara bersama – sama melalui jamaah, sebab tuntutannya adalah untuk memenangkan agama Islam.
وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ
( "Dan agar agama itu semuanya hanya milik Allah SWT saja”. ( Al Anfal 39).
Tuntutan seperti ini tentu tidak mudah untuk dilakukan bila perang itu dilakukan sendirian.
Dan barangsiapa mengikuti satu kelompok jihad tertentu maka ia tidak boleh berperang kecuali dengan izin amirnya.
Allah SWT berfirman,
وَإِذَا كَانُوا مَعَهُ عَلَى أَمْرٍ جَامِعٍ لَمْ يَذْهَبُوا حَتَّى يَسْتَأْذِنُوهُ
“ Dan bila mereka bersamanya (Nabi SAW) dalam suatu urusan yang memerlukan pertemuan, mereka tidak meninggalkan Rasulullah sebelum meminta izin kepadanya”. ( An Nur :62).
Tambahan keterangan tentang ini terdapat di Bab Kelima, Insya Allah SWT.
Di masa Nabi SAW, sekelompok kaum muslimin telah keluar untuk memerangi para penguasa murtad, demikian juga masa – masa setelah beliau. Hal ini mereka lakukan tanpa harus membedakan posisi – posisi negeri mereka atau keterpisahannya satu sama lain.
Tatkala Al Asrad al ansi, nabi palsu yang berdusta melancarkan pemberontakan dan mendapat kemenangan di negeri Yaman serta berkuasa disana akhirnya salah satu antek – anteknya yaitu fairuz Ad Dailami melancarkan tipu muslihat terhadapnya hingga berhasil nyawanya. Peristiwa ini terjadi pada zaman nabi SAW ( Al Bidayah wa Nihayah, Ibnu Katsir 6/307 – 310)
Tindakan Fairuz itu tidak pernah diingkari oleh Nabi SAW maupun sahabat – sahabat beliau. Dan tidak ada satupun orang yang berkomentar, “ Bagaimana Fairuz – fairuz membutuh Al Aswad sedangkan ia (Al Aswad) belum masuk di wilayah suatu negeri yang berdiri sendiri ?
Yazid bin Walid beserta kelompoknya juga pernah melancarkan pemberontakan terhadap khalifah Al Walid bin Yazid tatkala ia dituduh berlaku lemah terhadap ketaatan agama hingga mereka membunuhnya, tanpa harus membedakan psisi negeri – negeri dimana mereka berada. (Al Bidayah wa Nihayah, Ibnu Katsir 10 / 6 – 11).
Demikian dua contoh ringkas tentang tema ini.
Para pelaku syuhbat tadi berdalil bahwa Nabi SAW tidak pernah mensyariatkan perang kecuali setelah peristiwa Hijrah. Dimana kaum muslimin telah memiliki negara yang berdiri sendiri di Madinah sehingga mereka dapat terbedakan darii musuh – musuh mereka.
Pendapat ini bukan hujjah, sebab di dalamnya tidak ada batasan yang jelas. Artinya bahwa belum ada Nash Syari yang melarang perang selain di dalam keadaan ytang semisal dnegna keadan ini dan ini jelas
Kemudian zaman itu adalah zaman Tasyri (proses diletakkannya syariat) sedankan zaman sekarang dan sejak wafat Nabi SAW adalah merupakan Zaman dimana syariat Islam dan hukum – hukumnya telah sempurna
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ
“pada hari ini telah kusempurnakan bagi kalian agama kalian” . (Al Maidah ayat :3 )
Selain itu telah ada ijma’ yang menyatakan bahwa apabila musuh kagir itu telah memasuki wilayah kaum muslimin maka bagi penduduk di tempat itu hukumnya Fardhu Ain untuk memerangi mereka, artinya melawan / menolak orang – orang kafir yang memasuki wilayah mereka hukumnya fardhu ain bagi kaum muslimin.
Inilah ! mereka kaum muslimin dan musuh mereka berada di dalam satu wilayah. Kaum muslimin benar – benar telah kehilangan kemerdekaan negerinya karena peperangan. Dan karena itulah mereka diwajibkan berperang dimana perang ini hukumnya fardhu ain menurut ijma. ( Al Ikhtiyarat Al Fiqhiyyah, halaman 309 ).
Sesungguhnya memberontak terhadap penguasa murtad merupakan perkara yang erat kaitannya dengan kemampuan, ukuran kemampuan di suatu negara berbeda dengan ukuran kemampuan negeri lainnya. Tentang pelaksanaannya yang berjak berkomentar dalam urusan ini adalah mereka yang ahli dalam urusan perang. Apabila Allah SWT telah mengetahui niat baik dari kelompok jihad tertentu maka niscaya Dia akan menunjuki merekadan memuadahkan mereka untuk melaksanakan perkara – perkara yang mendatangkan RidhoNya.Allah SWT berfirman,
فَعَلِمَ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَنْزَلَ السَّكِينَةَ عَلَيْهِمْ
” Maka Allah SWT mengetahui apa yang ada di dalam hati – hati mereka, lalu Allah SWT menurunkan ketentraman kepada mereka”. ( Al fath : 18).
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ يَهْدِيهِمْ رَبُّهُمْ بِإِيمَانِهِمْ
“ Sesungguhnya orang – orang yang beriman dan beramal sholih itu akan diberi petunjuk oleh Tuhan mereka dengan keimanan mereka”. (Yunus : 9)
Sedangkan orang – orang yang duduk -duduk / meninggalkan jihad Fardhu Ain ini, ternyata mereka tidak cukup duduk – duduk saja, malah mereka melemahkan semangat jihad orang lain dan menelantarkan mereka dengan berbagai syubhat. Ini yang tidak lain merupakan sanksi Qadrati bagi mereka karena absen dari Jihad.
Sebagaimana firman Allah SWT,
رَضُوا بِأَنْ يَكُونُوا مَعَ الْخَوَالِفِ وَطُبِعَ عَلَى قُلُوبِهِمْ فَهُمْ لا يَفْقَهُونَ
“ Mereka Ridho bersama orang – orang yang tertinggal / tidak berjihad dan hati – hati mereka telah dikunci mati, maka mereka tidak faham”. (At taubah 87).
Maka tatkala mereka absen dari kancah – kancah jihad, lalu Allah SWT mengunci mati hati – hati mereka dengan tidak adanya kefahaman padanya. Akhirnya mereka mulai melancarkan syubhat –syubhat tadi dengan tujuan untuk membenarkan sikap duduk – duduk mereka dari jihad dan untuk melemahkan semangat orang lain hingga mereka memikul dosa – dosa orang lain.
Beginilah ! Keburukan yang melahirkan keburukan yang lain. Allah SWT berfirman,
إِلا تَنفِرُوا يُعَذِّبْكُمْ عَذَابًا أَلِيمًا وَيَسْتَبْدِلْ قَوْمًا غَيْرَكُمْ وَلا تَضُرُّوهُ شَيْئًا وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ إِلا تَنصُرُوهُ فَقَدْ نَصَرَهُ اللَّهُ
“ Jika kalian tidak berperang niscaya Allah SWT akan mengadzab kalian dengan adzab yang pedih dan mengganti kalian dengan kaum yang lain. Dan kalian tidak dapat mendatangkan mudharat sedikitpun. Dan Allah SWT itu Maha Kuasa atas segala sesuatu. Jika kalian tidak menolongnya, maka Allah SWT benar – benar telah menolongnya.” (At Taubah 39 – 40 )
Sesungguhnya pendapat yang mensyaratkan bahwa kewajiban jihad itu syaratnya adalah perbedaan psisis antara dua negeri merupakan pendapat yang rusak.
Pendapat ini dapat menghalangi jihad, khususnya jihad defensif.
Pendapat ini juga berarti menerima keadaan yang terjadi dan mendiamkan para thaghut yang berkuasa di negeri kaum muslimin.
Pendapat ini juga berarti menggugurkan kewajiban jihad fardhu ain yang berlaku bagi tiap – tiap individu yang ada di negeri lain. Dan pendapat ini juga akan mencabut Islam sampai seakar – akarnya dari negeri tersebut dalam waktu yang relatif singkat. Naudzubillahi min dzalik. Namun demikian, hal itu bukan tidak mungkin terjadi. Berapa banyak negeri yang dahulunya pernah tegak kerajaan – kerajaan Islam yang besar di dalamnya, kemudian pada hari ini ia menjadi negeri – negeri kafir. Dan Islam berubah hanya menjadi monumen seiring dengan perubahan zaman.
Seperti Andalusia, Turkistan, Bukhara, Samarkand, Balkan dan lainnya.
Berapa banyak negeri Islam yang jatuh karena ulah – ulah komplotan anti jihad yang telah menelantarkan jihad dengan syuhbat – syuhbat syaithaniyah mereka.
Di India misalnya, dahulu disana pernah ada kerajaan Islam lalu di jajah oleh Inggris. Ulama Su’ pada saat itu telah sengaja menggugurkan kewajiban jihad dengan hujah bahwa Inggris penjajah itu adalah ulil amri yang wajib ditaati sebagaimana firman Allah SWT ,
أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنْكُمْ
“ Taatilah Allah SWT taatilah Rasul dan ulil amri diantara kalian.” ( An Nisa : 59).
Milik Allah SWT lah segala urusan, sebelum maupun sesudahnya. Hal ini serupa dengan suatu riwayat dri Umar bin Khatab bahwa diantara perkara yang dapat menghancurkan agama adalah bantahan kaum munafik terhadap Al Quran.
Dan bila ada ulama yang menghalang – halangi kaum muslimin untuk melaksanakan jihad dengan syuhbat- syuhbat syaithaniyah ini, berkomplot dan membantu penguasa kafir, maka orang alim semacam ini tidak diragukan lagi kekufurannya, Dia telah murtad dan keluar dari Millah (agama) Islam. Dan hukumnya sama dengan hukum bosnya yang kafir itu.
Karena Allah SWT berfirman,
وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ
“ Dan barangsiapa menjadikan mereka (orang – orang yahudi dan nasrani) sebagai pemimpin, maka sesungguhnya ia telah masuk golongan mereka.” ( Al Maidah 51).
Yang lain mensyaratkan agar kelompok kafir itu dapat dibedakan dari kaum muslimin yang bercampur dengan mereka.
Hal ini bisa terjadi, karena kelompok yang membantu penguasa kafir itu biasanya dapat dibedakan dengan seragam tertentu, ia memiliki kamp – kamp militer yang terbatas dan tempat – tempat yang bisa diketahui. Dan setiap orang yang mengetahui hal ini.
Adapun bila mereka tercampur dengan kaum muslimin maka adakalanya kaum muslimin yang berbaur dengan mereka aslinya bukan termasuk kelompok kafir tapi berbaur dengan mereka saat terjadi perang. Atau mereka memang termasuk dari kelompok kafir itu dan secara batin mereka dihukumi Islam, seperti orang yang mukrah (dipaksa/ditekan) orang yang merahasiakan keimannya atau orang yang memata – matai mereka.
Keadaan mereka semua tidak terlepas dari dua perkara :
Pertama, Secara zhahir mereka tidak bisa dibedakan dari orang kafir.
Keadaan seperti ini tidak menghalangi kaum muslimin untuk tetap memerangi mereka kapan saja. Sebagaimana yang telah disebutkan oleh Ibnu Taimiyah,” Dan barangsiapa diperintahkan orang – orang kafir untuk berperang bersama mereka secara paksa maka orang tersebut akan dibangkitkan pada hari kiamat menurut niatnya. Dan kewajiban kami selaku umat Islam adalah tetap memerangi seluruh tentara musuh, karena orang Islam yang dipaksa tadi tidak bisa dibedakan dari yang lainnya.
Telah ditetapkan di dalam hadits shahih dari Nabi SAW beliau bersabda,
يَغْزُو هذا البيتَ جيشٌ من الناس فبينما هم ببيداء من الأرض إذا خُسِفَ بهم. فقيل يا رسول الله: إن فيهم المُكْرَه، فقال: يُبعثون على نياتهم
“ Baitullah (Ka’bah) ini akan diserang oleh sepasukan manusia. Maka tatkala mereka berada di padang sahara disuatu permukaan bumi tiba – tiba mereka dibenamkan ke dalam bumi. Dikatakan, “ wahai Rasulullah, sesungguhnya diantara mereka terdapat orang yang mukrah (dipaksa) untuk ikut menyerang Ka’bah ! beliau menjawab, “ Mereka akan dibangkitkan pada hari kiamat menurut niat mereka”.
Di dalam lafadz Al Bukhari dari Aisyah beliau berkata, Nabi SAW bersabda,
يَغْزُو جَيْشٌ الْكَعْبَةَ فَإِذَا كَانُوا بِبَيْدَاءَ مِنَ الأَرْضِ يُخْسَفُ بِأَوَّلِهِمْ وَآخِرِهِمْ قَالَتْ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ يُخْسَفُ بِأَوَّلِهِمْ وَآخِرِهِمْ وَفِيهِمْ أَسْوَاقُهُمْ وَمَنْ لَيْسَ مِنْهُمْ قَالَ يُخْسَفُ بِأَوَّلِهِمْ وَآخِرِهِمْ ثُمَّ يُبْعَثُونَ عَلَى نِيَّاتِهِمْ
“ Sepasukan manusia akan menyerang Ka’bah, maka tatkala mereka berada di padang Sahara disuatu permukaan bumi tiba – tiba mereka dibenamkan semua dari barisan pertama hingga barisan terakhir.” Aisyah berkata, “ Aku bertanya, “ Wahai Rasulullah, kenapa mereka semua dibenamkan ke dalam bumi sedangkan diantara mereka ada rakyat jelata dan orang – orang yang bukan golongan mereka?” Nabi menjawab : “ Barisan awal hingga barisan akhir akan dibenamkan dan mreka akan dibangkitkan pada hari kiamat menurut niat – niat mereka.
Maka Allah SWT menghancurkan pasukan yang hendak merusak kehormantan – kehormantanNya, baik mereka yang dipaksa maupun yang tidak dipaksa padahal Allah SWT mampu.
Membedakan siapa saja diantara mereka. Namun demikian mereka akan dibangkitkan menurut niat mereka.
Lalu bagaimana orang – orang mukmin yang berjihad itu bisa diwajibkan untuk bisa membedakan antara yang dipaksa dan yang tidak dipaksa sedang mereka tidak mengetahui hal itu ?
Bahkan seandainya ada yang mengaku keluar berperang karena dipaksa niscaya pengakuan itu tidak bermanfaat baginya.
Sebagaimana diriwayatkan bahwa Abbas bin Abdul Muthalib pernah berkata kepada Nabi SAW saat ia ditawan kaum muslimin pada perang Badar :
يا رسول الله! إني كنت مكرها. فقال: «أما ظاهرك فكان علينا، وأما سريرتك فإلى الله
“ Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku ini dipaksa untuk berperang melawanmu”. Nabi menjawab, “ Adapun zhahir perbuatanmu adalah memerangi kami sedangkan yang tersembunyi dihatimu aku diserahkan kepada Allah SWT”. ( Majmu’ Fatawa 28 / 535 – 537 ).
Ditempat lain beliau berkata, “ Dan kami tidak mengetahui mana yang mukrah (dipaksa) dan tidak mampu membedakannya dari yang lain. Maka jika kami memerangi mreka karena perintah Allah SWT tentu kami mendapatkan pahala dan dimaafkan sedangkan mereka dibangkitkan menurut niat mereka. Maka barangsiapa keadaanya dipaksa dan tidak mampu menolaknya niscaya ia dikumpulkan di hari kiamat sesuai niat mereka.
Jika ia terbunuh dalam tegaknya agama Islam maka madharat yang ditimbulkan tidak lebih besar dibanding pembunuhan terhadap orang yang terbunuh dari prajurit kaum muslimin”. (Majmu’ fatawa 28 / 547).
Saya katakan, “ Saya telah mengupas syarat – syarat ikrah (dipaksa/ ditekan) yang mu’tabar menurut syari, agar orang yang dipaksa itu memenuhi keinginan mereka. Syarat – syarat ikrah ini ada di dalam risalah yang lain.
Dan ternyata syarat – syarat ikrah yang mu’tabar menurut syari ini sama sekali tidak terdapat pada mayoritas antek – antek para penguasa murtad itu.
Saya juga telah menyebutkan bahwa ikrah itu tidak menjadi dalih yang membolehkan untuk membunuh seorang muslim menurut ijma ulama tanpa ada perbedaan pendapat. Lalu bagaimana dengan mereka – mereka yang membunuh kaum muslimin dan membunuh mereka untuk membantu orang kafir ?
Kedua. Secara dhahir, orang – orang Islam yang berada dibarisan musuh dapat dibedakan, mereka dapat diketahui oleh tentara Islam. Inilah yang dikenal dengan Tatarrus (Musuh yang bertameng dengan tameng kaum muslimin).
Ibnu Taimiyah berkata, “ Bahkan sekiranya pada musuh itu terdapat kaum–kaum shalih dari manusia – manusia pilihan sedangkan perang merlawan musuh tidak bisa dilakukan tanpa membunuh mereka, maka niscaya mereka dibunuh juga.
Karena para Imam bersepakat bahwa bila kaum kafir itu berlindung dengan tameng hidup (kaum muslimin) dan dikhawatirkan terjadi madharat yang lebih besar pada diri umat Islam secara umum, bila mreka tidak diperangi, maka dibolehkan menyerang tameng hidup itu dengan maksud menyerang orang kafir. Sedangkan bila tidak ada kekhawatiran terhadap kaum muslimin secara umum maka tetap dibolehkan menyerang tameng hidup itu menurut salah satu dari dua pendapat ulama.
Dan bila diantara tameng hidup itu ada yang terbunuh demi terlaksananya jihad yang diperintahkan oleh Allah SWT dan RasulNya maka ia mati syahid walau keadaan batinnya terdhalimi dan ia akan dibangkitkan pada hari kiamat menurut niatnya. Terbunuhnya tameng hidup itu tidak lebih besar bahayanya dibanding terbunuhnya kaum mukminin mujahidin.
Maka jika jihad itu wajib dan meski banyak sekali kaum muslimin yang terbunuh, maka terbunuhnya kaum muslimin yang ada di barisan musuh dan pesukan Islam karena adanya hajat jihad tentu tidak lebih besar bahayanya.

bersambung.......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar