Rabu, 09 Juni 2010

Aqidah Jihadiyah Umat Islam bag 4

Segi keduaPhoto 8>
Kekhususan artinya bahwa larangan berperang karena berbaurnya orang-orang mukmin dengan orang-orang kafir di Makkah itu berlaku khususuntuk kisah perjanjian Hudaibiyah saja, bukan yang lain. Konsidi itu tidak boleh dijadikan dalil untuk kondisi-kondisi yang lain yang semisal dengannya. Pendapat tentang kekhususan ini, Insya Allah SWT merupakan pendapat yang benar dalilnya,:
* Bahwa Allah SWT melarang Nabi SAW untuk memrangi penduduk Makkah pada peristiwa Hudaibiyah (pada tahun 6 Hijriyah) merupakan larangan sesuai takdir. Kemudian beliau diizinkan untuk memerangi mereka setelah dua tahun berlalu, yaitu pada Fathu Makkah (penaklukan kota Makkah) pada tahun delapan Hijriyah. Izin ini merupakan izin sesuai syari.
Negeri yang dimaksud adalah negeri Makkah, dan orang-orang Islam yang tertindaspun, sebagian mereka masih tinggal disana, seperti Ibnu Abbas dan yang lainnya. (Majmu Fatawa 2/ 323 - 326).
Al Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah, beliau berkata, “ Tatkala Allah SWT menaklukan negeri Makkah melalui tangan Rasulullah SAW, beliau berdiri di tengah-tengah manusia lalu memuji Allah SWT dan menyanjungNya, kemudian berkata,
إن الله حَبَسَ عن مكة الفيل وسلط عليها رسوله والمؤمنين، فإنها لا تحل لأحد كان قبلي، وإنها أحلت لي ساعة من نهار، وإنها لن لأحد من بعدي

“ Sesungguhnya Allah SWT telah menahan pasukan gajah dari bumi Makkah dan menguasakannya kepada RasulNya dan orang-orang yang beriman. Sesungguhnya negeri Makkah itu tidak pernah ditaklukan bagi seorangpun sebelumku. Namun ia ditaklukan untukku dalam waktu sesaat disiang hari dan ita tidak akan ditaklukan bagi seorangpun setelahku. ” ( Hadits no 2434).
Dengan hadits ini anda mengetahui bahwa larangan perang pada peristiwa Hudaibiyah bersifat khusus. Karena negeri yang sama telah ditaklukan setelah itu. Negeri yang dimaksud adalah negeri Makkah. Dan kaum muslimin yang tertindas pun sebagian mereka masih berada di dalamnya.
Diantara dalil yang menunjukkan kekhususan juga adalah bahwa ada beberapa keadaan dimana orang-orang mukmin berbaur dengan orang-orang kafir dan ahli maksiat. Sedangkan pembunuhan atau siksaan terjadi secara merata. Namun halangan yang bersifat taqdir dari Allah SWT itu (sebagaimana yang terjadi pada peristiwa Hudaibiyah) ternyata tidak berada dibalik kondisi ini.
Sehingga dalil ini menunjukkan bahwa kekhususan nash berlaku untuk kisah Hudaibiyah saja. Dan tidak ada penghalangan bila peristiwa semacam itu ditakdirkan terjadi lagi. Adapun menurut syari bila peristiwa semacam itu terjadi lagi maka ia tidak bisa dijadikan hujah.
Diantara peristiwa-peristiwa yang mana kaum mukminin berbaur dengan kaum kafir sedangkan siksaan dan pembunuhan tidak dapat terhindarkan dari mereka karena ia berkaitan erat dengan takdir adalah sebagai berikut :
• Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi dari jabir bin Abdullah, beliau berkata,
بعث رسول الله صلى الله عليه وسلم سرية إلى خَثْعَم، فاعتصم ناس منهم بالسجود، فأسرع فيهم القتل، قال: فبلغ ذلك النبي صلى الله عليه وسلم، فأمر لهم بنصف العقل وقال: أنا بريء من كل مسلم يقيم بين أظهر المشركين، لاتراءى نارهما
“ Rasulullah SAW pernah mengirim sepasukan sariyah ke Khats’am. Orang-orang diantara mereka pun ada yang berteguh hati untuk bersujud, lalu pembunuhan terhadap orang-orang di daerah itu dipercepat hingga peristiwa itu sampai ke telinga Nabi SAW. Maka Nabi SAW menyuruh mereka untuk membayar separuh diat (tebusan) dan bersabda, “ Aku berlepas diri dari setiap muslim yang tinggal (menetap) ditengah-tengah kaum musyrik jangan sampai api keduanya bisa saling terlihat oleh keduanya (disaat dinyalakan). ( Dishahihkan oleh Albani, di dalam Irwa’ul Ghalil 5/30).
• Hadits padang sahara yang tersebut di dalam ucapan Ibnu Taimiyah terdahulu. Dimana pasukan yang hendak menyerang ka’bah dibenamkan ke dalam bumi (disebuah padang sahara) padahal diantara mereka ada yang dipaksa dan ada pula orang-orang yang tidak terlibat dalam penyerangan itu.
• Hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda,”
إذا أنزَلَ الله بقوم عذابا أصاب العذاب من كان فيهم ثم بعثوا على أعمالهم
“ Jika Allah SWT menimpakan adzab terhadap suatu kaum, Niscaya adzab itu akan mengenai siapa saja diantara mereka kemudian (pada hari kiamat) mereka akan dibangkitkan menurut amal mereka.” (Hadits no 7108).
• Hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dari Ummul Mukminin Zainab binti Jahsyin, beliau berkata, “
أنهلك وفينا الصالحون؟ قال النبي صلى الله عليه وسلم : «نعم إذا كثر الخبث
“ Akankah kita dibinasakan sedangkan diatnara kita terdapat orang-orang yang sholih ? “ Nabi SAW menjawab, “ Ya, bila kejahatan telah merajalela.” (Hadits no 7059)
• Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban di dalam kitab shahih beliau dari Aisyah,
إن الله إذا أنزل سطوته بأهل نقمته وفيهم الصالحون، قُبِضُوا معهم ثم بُعِثُوا على نياتهم وأعمالهم
“ Sesungguhnya Allah SWT itu, apabila telah menurunkan kekuasaanya terhadap orang-orang yang Dia Murkai, sedangkan diantara mereka terdapat orang-orang shalih niscaya orang-orang sholih itu akan dicabut nyawa-nyawa mereka bersama-sama dengan orang-orang yang Dia murkai, kemudian mereka akan dibangkitkan menurut niat mreka dan amal-amal mereka.”
Hadits-hadits ini semuanya semakna dengan hadits-hadits padang sahara (baida’).
Saya katakan, “ Ungkapan kekhususan disini bukan berarti bahwa orang mukmin yang bercampur baur dengan orang kafir itu tidak memiliki kehormatan atau halal darahnya. Tidak ! bahkan ia terlindungi baik darah maupun kehormatannya dengan keimanan yang ada padanya. Ia dilindungi dimanapun ia berada.


Bahkan Nabi SAW pernah menyuruh orang – orang yang mukrah (dipaksa/ditekan) agar menghancurkan pedangnya saat terjadi perang yang menimbulkan fitnah, serta menyuruhnya untuk tidak melawan meskipun ia dibunuh. (Majmu’ Fatawa 28 / 537 – 538, 546 – 547) ( Al Mughni wasysyarh Al Kabir 10 / 505) ( Al Majmu’ Syrahul Madzahib 19/297).
Bantahan Terhadap syuhbat :
Orang – orang yang menyatakan bahwa perang melawan penguasa kafir itu syaratnya adalah bisa dibedakannya kelompok yang kafir dari kelompok kaum muslimin, ternyata membawa syuhbat. Dimana mereka berdalil dengan Firman Allah SWT,
وَلَوْلا رِجَالٌ مُؤْمِنُونَ وَنِسَاءٌ مُؤْمِنَاتٌ لَمْ تَعْلَمُوهُمْ أَنْ تَطَئُوهُمْ فَتُصِيبَكُمْ مِنْهُمْ مَعَرَّةٌ بِغَيْرِ عِلْمٍ لِيُدْخِلَ اللَّهُ فِي رَحْمَتِهِ مَنْ يَشَاءُ لَوْ تَزَيَّلُوا لَعَذَّبْنَا الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا
“ Dan kalau tidak karena laki – laki yang mukmin dan perempuan – perempuan yang mukminah yang tidak kamu ketahui bahwa kamu akan membunuh mereka yang menyebabkan kamu ditimpa kesusahan tanpa pengetahuanmu, tentulah Allah SWT tidak akan menahan tanganmu dari membinasakan mereka. Supaya Allah SWT memasukkan siapa yang dikehendaki ke dalam RahmatNya, sekiranya mereka tidak bercampur baur niscaya kami akan mengadzab orang – orang kafir diantara mereka dengan adzab yang pedih (Al Fath 25).
Artinya kalau bukan karena ada laki-laki mukmin dan perempuan-perempuan mukminah dari golongan mereka yang tertindas (di Makkah) yang kalian tidak mengetahui mereka wahai umat Islam. Dan bila kalian memerangi ahli Makkah (penduduk Makkah) pada peristiwa Hudaibiyah pastilah kalian akan membunuh sebagian mereka kaum muslimin dan kalian akan ditimpa kesusahan (berupa aib dan dosa). Dan sekiranya mereka tidak bercampur baur dan orang – orang mukmin terpisah dari orang – orang kafir, pastilah Allah SWT akan mengadzab orang – orang kafir dengan pembunuhan dan yang lainnya.
Dengan ayat ini sebagian orang berdalil bahwa bercampur baurnya orang-orang mukmin dengan orang – orang kafir menjadi penghalang untuk memerangi orang kafir sekaligus menjadi dalih untuk meninggalkannya, sebab peperangan terhadap mereka akan mengakibatkan terbunuhnya sebagian kaum mukminin yang berbaur dengan mereka.
Sebagaimana tampak bahwa pendapat ini akan menyebabkan terlantarnya jihad, baik jihad ofensif maupun jihad defensif.
Sekarang ini tidak ada satu negeri pun melainkan pasti di dalamnya terdapat kaum muslimin yang berbaur dengan mereka (orang-orang kafir) dari keturunan yang bermacam – macam.
Di Cina, India, Rusia, Amerika dan yang lainnya, disemua negara kafir ini terdapat kaum muslimin.
Apakah keadaan demikian ini menjadi halangan untuk memerangi mreka disaat ada kemampuan ?
Syuhbat ini dapat dibantah dari dua segi :

Segi pertama :
Bahwa larangan berperang pada peristiwa Hudaibiyah adalah larangan/halangan yang bersifat taqdir, sedangkan berhujah dengan taqdir itu tidak boleh. Keterangannya, Bahwa Nabi SAW pada saat itu hendak menuju Makkah untuk melaksanakan Umroh, lalu penduduk Makkah bertekad untuk menghalangi Nabi SAW masuk ke Makkah. Nabipun bertekad untuk memerangi mereka jika mreka tetap menghalangi maksud kedatangan beliau setelah bermusyawarah bersama para sahabat. Sebagaimana hadits yang telah diriwayatkan oleh Al Bukhari berikut ini,
Abu Bakar berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ خَرَجْتَ عَامِدًا لِهَذَا الْبَيْتِ لَا تُرِيدُ قَتْلَ أَحَدٍ وَلَا حَرْبَ أَحَدٍ فَتَوَجَّهْ لَهُ فَمَنْ صَدَّنَا عَنْهُ قَاتَلْنَاهُ قَالَ امْضُوا عَلَى اسْمِ اللَّهِ
“ Ya Rasulullah, engkau telah sengaja keluar untuk mengunjungi baitullah ini. Engkau tidak bermaksud membunuh seseorang atau memeranginya. Maka tetaplah Engkau mendatangi baitullah itu. Siapa saja yang menghalangi kita, pasti kita akan memeranginya.” Beliau berkata,” laksanakanlah dengan menyebut nama Allah SWT”. (Hadits 4178, 4179).
Maka Nabipun melaksanakan tekad ini hingga unta beliau mogok, menghentikan perjalanan. Sebagian sahabatpun berkata, “ Qoswa (nama unta Nabi) baru mogok ? “ Nabi menjawab
ما خلأت القصواء وما ذاك لها بخلق ولكن حبسها حابس الفيل، ثم قال: والذي نفسي بيده لايسألوني خُطَّة يعظمون فيها حرمات الله إلا أعطيتهم إياها
“ ia tidak mogok (dengan menderum), itu bukan perangainya, tetapi ia tertahan oleh dzat yang menahan pasukan gajah”. Lalu beliau berkata, “ Demi dzat yang jiwaku ada di genggamannya, tidaklah mereka memintaku suatu jalan yang di dalamnya mereka mengagungkan kehormatan – kehormatan Allah SWT melainkan pasti Kuberikan jalan itu kepada mereka.” (hadits 2731 – 2732).
Artinya Allah SWT yang telah menahan unta itu untuk melanjutkan perjalanan menuju Makkah sebagaimana Dia telah menahan pasukan gajah dan Raja Abrahah memasuki Makkah.
Ini merupakan halangan yang berhubungan dengan taqdir maka nabipun mengetahui bahwa Allah SWT belum mengizinkan peperangan dalam kondisi ini. Lalu nabipun bertekad untuk menerima perjanjian damai dengan mereka dan beliaupun terlibat di dalamnya.
Kemudian sampailah kepada beliau berita terbunuhnya utusan beliau yang telah pergi ke Makkah yaitu Usman Bin Affan. Pada saat itulah Nabi SAW bertekad untuk memerangi mereka untuk yang kedua kalinya. Dan beliaupun mengambil baiat dari sahabat – sahabat beliau yaitu Baitur Ridhwan, yang isinya agar mereka tidak lari dari pertempuran atau berbaiat untuk mati. (Lihat Fathul Bari 6/117).
Kemudian Usman dibebaskan dan perjanjian damai pun terlaksana sebagaimana yang dikehendaki Allah SWT.
Semua hadits ini dan ayat yang dijadikan dalil (tentang perjanjian Hudaibiyah) dan bahkan satu surat penuh (Al Fath) belum diturunkan sebelum peristiwa Hudaibiyah. Tetapi diturunkan saat perjanjian tersebut selesai terlaksana.
Sebagaimana anda ketahui bahwa Nabi SAW pernah bertekad untuk memerangi mereka dua kali, pertama disaat beliau melaksanakan perjalanan lalu unta beliau tertahan, kedua disaat beliau mengambil baiat.
Pada saat Nabi SAW bertekad untuk memerangi penduduk Makkah sebanyak dua kali itu, beliau mengetahui betul bahwa di Makkah masih terdapat kaum mukminin yang tertindas, sebagian mereka menjadi mata-mata serta beliau mendoakan keselamatan mereka. (HR Al Bukhari 4598).
Fakta semacam ini ternyata tidak menghalangi beliau untuk bertekad memerangi mereka. Bahkan perang melawan mereka adalah kewajiban, dengan tujuan untuk menyelamatkan mereka yang tertindas. Allah SWT berfirman,
وَمَا لَكُمْ لا تُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالْمُسْتَضْعَفِينَ مِنْ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ..
“ Mengapa kalian tidak mau berperang di jalan Allah SWT sedangkan kaum Mustadhafin (tertindas) dari kalangan laki-laki, wanita dan anak-anak berkata, “ ya Tuhan keluarkanlah kami dari negeri yang penduduknya zhalim ini”. (An Nisa 75).
Tetapi, pada saat itu Nabi belum di izinkan untk berperang karena Faktor taqdir bukan faktor syari. Sebab kalau kalau larangan itu karena faktor syari (dengan wahyu) tentu Nabi SAW tidak melangsungkan perjalanan itu dan tidak mengambil baiat.
Larangan yang erat kaitannya dengan taqdir ini karena suatu hikmah yang diketahui Allah SWT , diantaranya adalah adanya kaum tertindas di Makkah dan karena perjanjian damai itu membuahkan manfaat yang besar yang dengannya manusia merasa aman lalu jumlah mereka yang masuk Islam berlipat ganda dibanding waktu-waktu sebelumnya. Sebagaimana ayat tadi (supaya Allah SWT memasukkan siapa yang Dia kehendaki di dalam RahmatNya). Sampai-sampai Allah SWT menyebut perjanjian damai ini dengan Fath (kemenangan/penaklukan).
Ini semua menerangkan bahwa halangan/larangan berpernagan pada peristiwa Hudaibiyah berkaitan erat dengan takdir.
Tentang pembatalan berhujah dengan dalih Taqdir ini. Ibnu Taimiyah berkata,
“ Takdir tidak bisa dijadikan hujah dan dalih bagi anak Adam, tetapi takdir itu untuk di imani bukan dijadikan hujah. Orang yang berhujah dengan takdir adalah orang yang akal dan agamanya telah rusak, berlawanan satu sama lainnya.
Jika takdir itu bisa dijadikan hujah dan dalih, pastilah tidak seorangpun yang mendapatkan cepa karena perbuatan dosanya, tidak disiksa dan tidak akan di Qishash dan pada saat itu orang yang berhujah dengan takdir ini bila dirinya, hartanya, harga dirinyua dan kehormatannya di zhalimi semestinya agar tidak ditolong dari orang yang menzaliminya serta tidak perlu memarahi dan mencelanya.
Dan yang demikian ini tentu bertentangan dengan tabiat manusia sehingga tidak seorangpun mau melakukannya. Karena hal itu bertentangan dnegan tabiat dan dilarang oleh syariat.
Sekiranya takdir itu adalah hujad dan dalian tentu iblis tidak dicela dan tidak disiksa. Demikian juga Fir’aun, kaum Nuh, Kaum ‘ad, Tsamud, dan orang-orang kafir selain mereka dan tentu jihad melawan kafir pun tidak dibolehkan. Hudud tidak boleh ditegakkan, pencuri tidak boleh dipotong tangannya, orang zina tidak boleh dicambuk dan dirajam, dan orang yang membunuh tidak boleh dibunuh sebagai qishash serta orang yang melampaui batas tidak dikenai sanksi.
Jadi barangsiapa berhujah dengan takdir untuk meninggalkan sesuatu yang diperintahkan dan berkeluh kesah karena tertimpa takdir yangtidak ia sukai maka imannya benar-benar telah terbalik dan ia termasuk komplotan orang-orang atheis kagir dan munafik. Beginilah keadaan orang-orang yang berhujah dengan takdir. ( Majmu’ Fatawa 323-326 )
Yang dimaksud kekhususan disini hanyalah bahwa bercampur baurnya mereka itu sama sekali bukan penghalang untuk tetap memerangi orang-orang kafir meskipun diyakini bahwa diantara mereka terdapat kaum muslimin yang akan terbunuh, sebagai resiko yang mesti ditanggung. Tentu bila memerangi mereka itu mendatangkan maslahat syari.
Inilah pendapat yang telah menjadi ketetapan jumhur Fuqaha ( Al Mughni wasy Syarh Al Kabir 10/505) & ( ( Al Majmu’ syarhul Muhadzab 19/297).
Ilmu seperti ini wajib disebarluaskan di kalangan kaum muslimin agar mereka berhati-hati untuk tidak bercampur baur niscaya kami azab orang-orang kafir diantara mereka itu Al fath : 25
لَوْ تَزَيَّلُوا لَعَذَّبْنَا الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ
Al Qurtubi menyebutkan bahwa imam Malik tidak berpendapat tentang kebolehan menyerang musyrik bila diketahui bahwa diantara mereka terdapat kaum muslimin dengan dalil ayat ini.
Beliau berkata bahwa Abu Hanifah membolehkannya. Kemudian Al Qurtubi berkata, kadang-kadang membunuh orang Islam yang dijadikan tameng hidup oleh musuh itu dibolehkan, dan Insya Allah SWT tidak terjadi ikhtilaf di dalamnya. Yaitu apabila terdapat maslahat yang mendesak menyeluruh dan pasti ! “
Kemaslahatan yang mendesak (darurat) maksudnya bahwa pasukan Islam tidak akan berhasil mencapai posisi musuh guna membunuh mereka tanpa lebih dahulu membunuh tameng hidup (kaum muslimin).
Kemaslahatan yang menyeluruh maksudnya bahwa diyakini memberi maslahat bagi seluruh umat, sehingga membunuh orang Islam yang dijadikan tameng hidup itu benar-benar menghasilkan kemaslahatan bagi setiap kaum muslimin. Maka jika hal itu tidak dilakukan justru orang-orang kafir sendirilah yangakan membunuh tameng hidup itu sehingga mereka akan menguasai seluruh umat.
Kemaslahatan yang pasti maksudnya bahwa kemaslahatan itu diyakini bisa terwujudnya dengan cara membunuh tameng hidup itu.
Ulama kami berkata, “ kemaslahatan dengan ikatan-ikatan ini tidak sepatutnya untuk diperselisihkan.
Karena telah menjadi keniscayaan bahwa tameng hidup itu pasti terbunuh, bagi dengan tangan-tangan musuh sehingga mengakibatkan kerusakan yang besar, yaitu berkuasanya musuh atas segenap kaum muslimin. Atau dengan tangan-tangan kaum muslimin sehingga musuh dapat dibinasakan dan seluruh umat Islam selamat.
Bagi orang yang berfikir sulit untuk mengatakan bahwa tameng hidup itu tidak boleh dibunuh di dalam gambaran seperti ini dilihat dari satu segi. Karena larangan membunuh mereka mengakibatkan lenyapnya tameng hidup itu, Islam dan kaum muslimin.
Namun tatkala kemaslahatan ini ternyata mengandung mafsadat tentu jiwa yang tidak memperhatikan hal ini tidak akan menyukainya. Maka sesungguhnya mafsadat itu bila dihubungkan dengan kemaslahatan yang dihasilkan iat terasa tidak ada atu seperti tidak ada. Wallahu ‘alam.” (tafsir Al Qurtubi 16/282 – 288).
Menurut saya, “ Pernyataan ini dapat mengobati orang yang sakit hati dan memberi minum orang yang haus. Sesungguhnya tidak ada perbedaan pendapat diantara para Imam tentang wajibnya menjaga lima hal yang penting, yaitu agama, nyawa, keturunan, akal dan harta.
Tidak diperselisihkan lagi bahwa menjaga agama didahulukan daripada menjaga nyawa. Karena inilah maka jihad disyariatkan untuk menjaga agama padahal dengan jihad itu nyawa dan harta bisa lenyap. Allah SWT berfirman,
إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَى مِنْ الْمُؤْمِنِينَ أَنفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمْ الْجَنَّةَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ وَعداً عَلَيْهِ حَقاً فِي التَّوْرَاة وَالإِنْجِيل وَالقُرْآن
“ Sesungguhnya Allah SWT telah membeli nyawa dan harta orang-orang beriman dengan surga, mereka berperang di jalan Allah SWT, hingga mereka membunuh atau terbunuh, sebagai janji yang benar di dalam kitab Taurat, Injil dan Qur’an.” (At-Taubah 111).
كُتِبَ عَلَيْكُمْ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ وَعَسى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ
“ Telah diwajibkan atas kalian berperang sedangkan ia sesuatu yang kalian tidak menyukainya. Dan bisa jadi kalian tidak menyukai sesuatu sedangkan ia lebih baik bagi kalian.” (Al Baqarah 216).
Tidak diragukan lagi bahwa bahaya-bahaya yang menimpa kaum muslimin itu disebabkan berkuasanya para penguasa murtad atas mereka dan diiringi berbagai fitnah yang besar yang melanda mereka.
Bahaya ini kian meningkat berlipat ganda yaitu dengan terbunuhnya sebagian kaum muslimin yang hidup dibawah paksaan penguasa murtad itu, yangmana keberadaan mereka dibarisan musuh atau bercampur baur dengannya disaaat terjadi pertempuran itu sama sekali tidak ada unsur kesengajaan.
Sesungguhnya banyak sekali negeri-negeri Islam yang berjalan diats jalan kemurtadan yang sempurna.
Maka fitnah mana yang lebih besar dari ini ? Fitnah ini jauh lebih berat dibanding musibah-musibah jihad, baik itu dibunuh, dipenjara, disiksa atau diusir.
Allah SWT berfirman,
وَالْفِتْنَةُ أَشَدُّ مِنْ الْقَتْلِ
“ Dan fitnah itu lebih keras dari pembunuhan (Al Baqarah 191).

وَالْفِتْنَةُ أَكْبَرُ مِنْ الْقَتْلِ
“ Dan fitnah itu lebih besar dari pembunuhan (Al Baqarah 217)

Karenanya wajib menolak kerusakan yang lebih besar (fitnah kufur dan kemurtadan) dengan menanggung kerusakan yang lebih ringan (musibah-musibah akibat jihad).
Inilah yang telah ditetapkan di dalam kaidah-kaidah Fiqih yang khusus membicayakan bagaimana menolak suatu bahaya. Seperti kaidah yang berbunyi :
الضرورات تبيح المحظورات
“ Keadaan-keadaan yang darurat itu membolehkan dilaksanakannya hal-hal yang dilarang.”
يُتحمل الضرر الخاص لدفع الضرر العام
“ Bahaya-bahaya yang khusus itu ditanggung untuk menolak bahaya-bahaya yang umum.”
الضرر الأشد يُزال بالضرر الأخف
“Bahaya yang lebih besar dihilangkan dengan bahaya yang lebih ringan.”
إذا تعارض مفسدتان روعي أعظمهما ضررا
“Apabila dua kerusakan berhadapan maka bahaya yang lebih besar disingkirkan.”
يُختار أهون الشرين
“Dipilih keburukan yang lebih ringan.” (lihat Al Qawaid AL Fiqhiyah, Syaikh Musthafa Az Zarqa kaidah 20, 25-28).
Ibnu Taimiyah berkata; “Dan yang demikian itu bahwa Allah SWT membolehkan pembunuhan terhadap nyawa-nyawa manusia menurut kebutuhan demi kemaslahatan manusia itu sendiri. Sebagaimana FirmanNya, “ Fitnah itu lebih besar daripada pembunuhan. Artinya bahwa pembunuhan itu, meskipun di dalamnya terdapat keburukan dan kerusakan, namun Fitnah orang-orang kafir berupa keburukan dan kerusakan jauh lebih besar dariNya.” (Majmu’ Fatawa 28/755)
Tidaklah anda semua melihat apa yang terjadi pada diri umat Islam di berbagai negeri ? darah dan harta mereka dihalalkan oleh hukum-hukum kafir, diiringi dengan merajalelanya perbuatan fasiq, keji, dan pembodohan (yang disengaja) terhadap agama, melecehkan Islam dan pemeluknya agar tumbuh generasi-generasi yang asing terhadap agamanya.
Fitnah mana yang lebih dahsyat dari ini ? dan apa yang tersisa pada diri kaum muslimin ? Allah SWT berfirman,
وَقَالَ الَّذِينَ اسْتُضْعِفُوا لِلَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا بَلْ مَكْرُ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ إِذْ تَأْمُرُونَنَا أَنْ نَكْفُرَ بِاللَّهِ وَنَجْعَلَ لَهُ أَندَادًا وَأَسَرُّوا النَّدَامَةَ لَمَّا رَأَوْا الْعَذَابَ وَجَعَلْنَا الأَغْلالَ فِي أَعْنَاقِ الَّذِينَ كَفَرُوا هَلْ يُجْزَوْنَ إِلا مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“ Dan orang-orang yang dianggap lemah berkata kepada orang-orang yang menyombongkan diri.” (Tidak) sebenarnya tipu daya kalian di waktu malam dansiang yang menghalangi kami. Ketika kalian menyeru kami supaya kami kafir kepada Allah SWT dan menjadikan sekutu-sekutu bagiNya.” Kedua belah pihak menyatakan penyesalan tatkala mereka melihat adzab. Dan kami pasang belenggu-belenggu dileher orang-orang kafir mereka tidak dibalas melainkan dengan apa yang telah mereka kerjakan.” ( Saba : 33
Bantahan terhadap syuhbat yang berbahaya (dari) syaikh Al Albani.

Telah tersebut di dalam kitab Al Aqidah Ath Thahawiyah, dengan syarh (penjelasan) dan tahqiq (pemeriksaan) oleh Syaik Al Albani, cetakan Al Maktab Al Islami 1398 H, halaman 47. Telah disebutkan di dalam suatu matan “ Kita tidak pernah berpendapat tentang bolehnya memberontak terhadap imam kita, dan para ulil amri kita, meskipun mereka berbuat aniaya kita tidak mendoakan mereka dnegan doa-doa yang buruk serta kita tidak akan mencabut/melepaskan tangan kita dari ketaatan terhadap mereka.”
Dalam catatan kaki, Syaikh Al Albani mengemukakan, “ pensyarah telah menyebutkan hadits-hadits yang banyak tentang matan itu, yang mana anda melihat hadits-hadits itu telah ditakhrij di dalam kitabnya.
Kemudian persyarah berkata, “ Adapun alasan agar tetap melazimi ketaatan terhadap mereka, meskipun mereka telah berbuat zhalim dikarenakan akibat dari membelot/ keluar dari ketaatan kepada mereka itu akan membuahkan kerusakan-kerusakan yang berlipat ganda bila dibandingkan dengan kerusakan akibat kezaliman merkea. Bahkan bersabar terhadap kezaliman mereka itu dapat menghapus kesalahan-kesalahan kita.
Karena Allah SWT tidak akanb menguasakan mereka atas diri kita melainka disebabkan oleh kerusakan amal-amal kita. Sedangkan balasan itu setimpal dnegna jenis amal yang kita lakukan. Maka kita wajib bersungguh-sungguh dalam memohon ampun (istighfar) dan tarbiyah (membina diri) serta memperbaiki amal (ishlahul amal). Allah SWT berfirman,
“ Dan demikianlah kami telah menjadikan sebagian orang zhalim itu penolong bagi sebagian yang lain, terhadap apa-apa yang telah mereka usahakan.’ (An An’am 9).
Maka bila rakyat ingin lepas dari kezaliman penguasa, hendaklah ia meninggalkan perbuatan zalim itu.
Pensyarah yang dimaksud oleh Al Albani adalah Ibnu Abi Al’izz Al hanafi, penulis Kitab Syarh Aqidah Thahawiyah, pernyataan beliau termaktub di dalam syarh beliau, cetakan Al Maktab Al Islami 1403 H, halaman 431).
Syaikh Al Albani sengaja meringkas pernyataan beliau, namun sebenarnya pensyarah tidak pernah menyebutkan lafaz “Tarbiyah” tetapi yang disebutkan di dalam tema itu adalah lafaz “taubat”.
Kemudian Al Albani mengomentari pernyataan pensyarah, seraya berkata, “ Di dalam pernyataan ini ada keterangan tentang jalan keluar dari kezhaliman penguasa yang merkea itu satu kulit dan satu bahasa dengan kita. Yaitu agar umat Islam bertaubat kepada Rabb mereka, dan membenarkan Aqidah mereka, serta mendidik diri-diri dan keluarga mereka berdasarkan ajaran Islam yang benar, sebagai perwujudan dari Firman Allah SWT.” Sesungguhnya Allah SWT tidak akan merubah nasib suatu kaum hingga mereka sendiri yang merubah nasib mereka.” ( Ar Ro’du : 11).
Seorang dari zaman ini ada yang mengisyaratkan tentang persoalan ini dengan ucapan,
“ Tegakkanlah daulah Islam di hati-hati kalian niscaya ia akan tegak untuk kalian diatas bumi kalian.”
Jalan keluar itu bukanlah apa yang dikhayalkan sebagian orang yaitu berupa revolusi bersenjata yang dilancarkan terhadap para penguasa dengan cara melakukan kudeta militer. Sesungguhnya, kudeta militer itu, selain ia merupakan bentuk bid’ah masa kini, ia juga menyelesihi nash-nash syari yang memerintahkan agar merubah apa yang ada di dalam jiwa-jiwa manusia itu sendiri dan membenahi Fondasi sebagai dasar untuk membangun suatu bangunan. Allah SWT berfirman,” Dan Allah SWT pasti akan menolong siapa saja yang menolong agamanya, sesungguhnya Allah SWT itu Maha Kuat lagi Maha Perkasa. “ (Al Hajj : 40).
Inilah komentar dari Syaikh Al Albani. Di dalamnya terdapat kekeliruan yang berbahaya dan kesamaran yang parah. Tentu hal yang demikian tidak pantas terjadi pada syaikh dan siapapun selain beliau yang memiliki segudang ilmu.
Keterangan tentang hal ini sebagai berikut;
1. Pada Bab ketiga, tentang kewajiban-kewajiban thaifah Manshurah telahsaya sebutkan yaitu kewajiban jihad melawan penguasa-penguasa murtad yang memerintah di negeri-negeri kaum muslimin dengan hukum-hukum selain hukum Allah SWT (syariat Islam).
Disana juga saya sebutkan fatwa-fatwa Ahmad Syakir dan Muhammad Hamid Al Faqi serta Muhammad bin Ibrahim Aalusy syaikh tentang pengkafiran mereka itu.
Diantara komentar syaikh Ahmad Syakir apakah boleh di dalam syariat Allah SWT itu bila kaum muslimin diatur dengan undang-undang yang diambil dari undang-undang Eropa yang paganis lagi Kafir itu sampai pada kata beliau, “ Sesungguhnya perkara tentang undang-undang/hukum positif ini merupakan perkara yang terang seterang matahari yaitu kufur yang nyata tidak ada sedikitpun yang tersembunyi. (Umdatut tafsir, tulisan Ahmad Syakir / 173 – 174).
Diantara ucapan syaikh Muhammad Hamid Al faqi’ (semisal dengan ini atau bahkan lebih buruk darinya adlah orang yang menjadikan ucapan-ucapan orang-orang Eropa menjadi undang-undang yang mengatur masalah darah, nikah dan harta serta mendahulukannya daripada apa yang telah ia ketahui dan telah jelas baginya tentang hukum-hukum yang bersumber dari kitab dan sunah Rasulnya. Orang semacam ini tidak diragukan lagi kemurtadannya bila ia tetap mengulang-ulang perbuatannya dan tidak mau kembali kepada hukum yang telah diturunkan oleh Allah SWT. Tidak bermanfaat baginya sebutan/nama apapaun yang ia sandang, demikian pula amal papaun berupa amal-amal zhahir sepeti sholat, puasa dan haji serta sejenisnya, semua itu tidak bermanfaat baginya.” (Fathul Majid Syarh Kitabut Tauhid) catatan kaki hal 396).
Diantara ucapan Syaikh Muhammad bin Ibrahim Aalusy (Sesungguhnya berhukum dengan selain apa yang telah diturunkan oleh Allah SWT adalah kufur akbar di berbagai keadaan. Yang kelima diantaranya adalah beliau mensifati keadaan bagi sebagian besar negeri-negeri kaum muslimin saat ini dengan keterangan yang detail.
Beliau menuturkan, “ Pengadilan-pengadilan yangada dikebanyakan bumi Islam saat ini di dalamnya telah tersedia undang-undang buatan manusia yang komplit, dengan pintu terbuka, dan orang-orang pun bahu membahu mendukungnya. Para penguasanya mengatur rakyatnya dengan undang-undang yang bertentangan dengan hukum sunah dan kitab. Yaitu berupa hukum-hukum dari undang-undang yang diberlakukan secara mengikat bagi mereka, menjadikannya sebagai dasar untuk memberikan ketetapan bagi mereka dan mewajibkan hukum-hukum itu atas merkea. Lalu kekufuran mana yang lebih tinggi dari kekufuran ini. Dan pembatal syahadat (bahwa muhammad adalah utusan Allah SWT) mana yang lebih parah setelah pembatal ini ? ( Dari Risalah Tahkimul Qowanin).
Keterangan ini memberikan kecukupan bagi anda wahai saudaraku kaum muslim untuk mengetahui hukum apa yang terjadi di negeri-negeri ini yaitu menyingkirkan hukum Allah ta’ala dan membuat syariat/undang-undang yang bertentangan dengan hukum Allah SWT untuk mengatur manusia merupakan gambaran yang sama dengan peristiwa yang menjadi sebab turunnya ayat, ( Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah SWT, maka mrekea itulah orang-orang kafir : Al Maidah : 44).

Bentuk peristiwa yang menjadi turunnya ayat, secara qathi terdapat di dalam nash itu sendiri menurut ijma”. Sebagaimana penuturan As Suyuthi di dalam kitab Al Itqan juz 1 / 28-30).
Perkara ini, yakni kufurnya aturan-aturan yang mengatur manusia dengan dasar selain apa yang telah diturunkan Allah itu terlihat jelas oleh Syaikh Al Albani, sebagaimana penuturan beliau tentang ketetapan perkara ini.

2. Menurut saya, diantara kekeliruan-kekeliruan yang berbahaya diaman sebagian orang terjerumus di dalamnya, yaitu mendudukan hadits-hadits yang sebenarnya berlaku bagi imam-imam kaum muslimin diberlakukan utnk para penguasa murtad itu.
Misalnya hadits Ibnu Abbas (Marfu’)
“Barangsiapa membenci sesuatu dari amirnya, maka hendaklah ia bersabar. Sesungguhnya barangsiapa yang membelot dari ketaatan terhadap penguasa walaupun sejengkal saja, niscaya ia mati sebagaimana matinya orang-orang jahiliyah.”(muttafaq alaih).
Dan hadits Auf bin Malik Al Asyaji, bahwa Nabi SAW bersabda,
“ Sebaik-baik pemimpin kalian adalah para pemimpin yang kalian mencintai mereka dan mereka mencintai kalian, kalian mendoakan mereka dan merekapun mendoakan kaian. Sedangkan seburuk-buruk pemimpin kalian adalah para pemimpin yang kalian benci terhadap mereka dan mereka membenci kalian, kalian melaknat mereka dan merekapun melaknat kalian.”
Auf bin Malik berkata,
Kami bertanya,
“ Wahai Rasulullah apakah kami tidak memerangi mereka saja ? “ Beliau menjawab, “Jangan ! Selama mereka mau menegakkan sholat di tengah-tengah kalian”(HR. Mukmin).
Di dalam riwayat lain disebutkan, “Tidak, selama mereka masih sholat !
Kupasan tentang kesamaan ini dapat dilihat dari dua segi :
Pertama : Hadits-hadits ini berlaku khusus bagi para penguasa muslim bukan penguasa kafir. Dan hadits-hadits ini tidak bisa dijadikan dalil untuk para penguasa murtad karena :
a. Mereka tidak memenuhi syarat-syarat Imamah seperti ilmu syari dan ‘adalah (berlaku lurus sesuai ajaran Islam).
b. Mereka tidak pernah diangkat menjadi penguasa dengan baiat syari yang benar. Sedangkan baiat itu tidak akan sesuai tuntutan syari kecuali bila telah didasarkan atas syarat agar berhukum dengan kitab dan sunah.
Sebagaimana Al Bukhari telah meriwayatkan bahwa Ibnu Umar pernah menulis surat kepada Abdul Malik bin Marram dalam rangka membaiatnya ! “ Aku mengakui bahwa mendengar dan taat diatas dasar. Kitab Allah SWT dan Sunah rasulNya wajib diberikan kepadamu, semampuku ( hadits 7272)
Ibnu Hajar berkata, Pada dasarnya di dalam pembaiatan Imam itu ia dibaiat agar mengamalkan kebenaran, menegakkan hudud dan beramar makruf nahi mungkar.” ( fathul Bari 13/203)
Sedangkan para penguasa murtad itu mereka bersumpah, untuk mengamalkan undang-undang dan hukum-hukum positif, demokrasi sosialisme dan paham-paham kafir lainnya disaat mereka menerima jabatan pemerintahan.
c. Mereka tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban Imam dan yang pertama adalah menjaga agama Islam ini diatas dasar-dasarnya yang telah baku. Sebagaimana yang telah disebutkan oleh Al Mawardi tentang kewajiban-kewajiban Imam kaum muslimin baik dari sisi syarat-syarat, baiat maupun kewajiban-kewajiban sebagaimana point a, b, c, diatas.
Anda juga melihat bahwa mendudukkan hadits-hadits Imam atas penguasa-penguasa thaghut itu menimbulkan kekeliruan yang membahayakan dan kesamaran.
Kedua, Jika hadits-hadits tentang imam tadi dipaksakan untuk tetap diberlakukan atas mereka, maka sesungguhnya hadits-hadits ini berkaitan erat dengan hadits ubadah bin Shomit [ Dan agar kami tidak merampas kekuasaan dari ahlinya (penguasa yang sah), Nabi SAW bersabda, “ kecuali jika kalian melihat kufur yang nyata yang kalian memiliki bukti/keterangan dari Allah tentangnya] (muttafaq alaih).
Karenanya kapanpun penguasa itu melakukan kufur yang nyata seperti berhukum dengan hukum yang diturunkan oleh Allah berarti benar-benar telah gugur ketaatan terhadapnya dan ia telah keular dri kursi kekuasaannya serta wajib diperangi.
Sebagaimana kata Al Qodhi ‘Iyadh didalam menjelaskan hadits ubadah itu, beliau berkata, “ Ulama bersepakat bahwa Imamah tidak boleh diserahkan kepadaorang kafir, dan bila muncul kekufuran dari seorang kafir, dan bila muncul kekufuran dari seorang amir maka ia wajib dicopot”, sampai pada kata beliau , “ Maka jika ia melakukan kekufuran, mengubah syariat, atau berbuat bid’ah berarti ia telah keluar dari kekuasaannya serta ketaatan terhadapnya menjadi gugur. Kaum musliminpun wajib memeranginya dan mencopotnya lalu mengangkat Imam yang adil, jika hal itu memungkinkan mereka dan seterusnya.” ( Shahih Muslim, dengan syarh Imam Nawawi 12/229).
Dari keterangan diatas tentu anda melihat, bahwa tidak ada tempat untuk berdalil dengan hadits-hadits Imam Kaum Muslimin guna diberlakukan pada diri penguasa thaghut yang murtad itu.
Anda juga melihat alangkah bahayanya kesamaran yang berkembang dari istidlal (berdalil) dengan hadits-hadits ini, yang mana ia akan mengakibatkan berpalingnya kaum muslimin dari jihad memerangi thaghut-thaghut itu yang telah diwajibkan atas mereka.

3. Syaikh Al Albani juga tergelincir di dalam kekeliruan saat mengomentari kita Aqidah Thahawiyah.
Perlu diingat bahwa pernyataan Imam Ath Thahawi dan Ibnu Abil (Selaku pensyarah) adalah ditujukan kepada diri Imam Muslimin, jika ia berbuat fasik atau aniaya, dan bukan ditujukan kepada pemimpin yang kafir. Dan ini sangat jelas terdapat di dalam penuturan Imam Ath Thahawi,”Kami tidak melihat (kebolehan) memberontak terhadap para Imam kita”. Artinya Imam-imam kaum muslimin. Lalu Al Albani mengambil pernyataan kedua Imam tadi dan mendudukannya pada para penguasa muslim zaman ini, yang mana kekufuran dan kemurtadan mayoritas mereka tidak diragukan sama sekali, Akhirnya hal itu mengakibatkan kesamaran yang berbahaya.
Dan syaikh Al Albani sebenarnya telah menetapkan kekufuran sistem yang mengatur kehidupan kaum muslimin dengan selain syariat Islam, diantaranya ucapan beliau, “ Saya benar-benar telah mendengar banyak sekali diantara mereka (kaum muslimin) yang berceramah dengan penuh semangat dan ghirah Islam yang terpuji untuk menetapkan bahwa hakimiyyah itu hanya hak Allah SWT semata, dengan itu pula ia menampar sistem kekuasaan kafir. Ini jelas sesuatu yang bagus, sekalipun pada saat ini kita tidak mampu merubahnya. ( Al Haditsu Hujjatan binafsihi fil Aqaid wal Ahkam 96,97)
Ini adalah ucapan Al Albani, beliau bersikap diam terhadap ta’liq (komentar) Syaikh Ahmad Syakir (di dalam syarh Aqidah Thahawiyah), yaitu ucapan pensyarah yang berbunyi (sesungguhnya seorang hakim itu, bila ia berkeyakinan bahwa berhukum dengan apa yang telah diturunkan Allah SWT itu tidak wajib, boleh pilih-pilih atau ia meremehkannya disertai keyakinannya bahwa ia adalah hukum Allah SWT, maka yang demikian ini adalah kufur akbar).
Ahmad Syakir mengomentari pernyataan diatas dengan ucapan beliau, “ dan yang demikian ini seperti yang menimpa orang-orang yang belajar undang-undang Eropa yaitu, Para tokoh-tokoh umat Islam dan wanita mereka yang telah diresapkan ke dalam hati-hati mereka rasa cinta terhadap undang-undang kafir itu, tergila-gila padanya, membelanya berhukum dengannya dan menyiarkannya….). (Syarh Aqidah Thahawiyah 323, 324).
Lalu bagaimana Syaikh Al Albani berkata bahwa jalan keluar dari para penguasa kafir itu adalah dengan sabar dan tarbiyah ?
Hal yang demikian itu tentu bertentangan dengan jumhur salaf yang telah menetapkan bahwa kesabaran itu untuk menghadapi hakim/penguasa muslim jika ia berbuat fasiq atau aniaya. Adapun bila ia berbuat kekafiran maka wajin memeranginya bila mampu, sebagaiman ijma ulama’.
Tentang ini saya telah sebutkan pernyataan Al Qodhi ‘Iyadh dan Ibnu Hajar.Keduanya telah mengutip ijma’ tentang wajibnya memerangi penguasa kafir. ( Shahih muslim dengan syarh An Nawawi 12/229 & fathul bari 13/ 7, 116, 123).
Diantara ucapan Ibnu Hajar adalah [“Kesimpulannya, bahwa penguasa Muslim itu harus copot bila berbuat kekafiran atas dasar ijma’. Makawajib bagi setiap muslim untuk melaksanakannya.” ( Fathul Bari13/123).
Pernyataan manakah yang lebih terang dari ini ?
Hukum bersabar terhadap penguasa muslim yang berbuat aniaya dan memberontak terhadap penguasa kafir dapat dipahami dari kompromi antara hadits-hadits tentang ketaatan terhadap para Imam kaum muslimin.
Hadits-hadits yang menyuruh bersabar terhadap para imam, seperti hadits-hadits Ibnu Abbas (marfu’).
“ Barangsiapa membenci sesuatu dari amirnya maka hendaklah ia bersabar. Sesungguhnya barangsiapa keluar dari ketaatan terhadap penguasa walaupun sejengkal saja niscaya ia mati sebagaimana matinya orang jahiliyah”. ( Muttafaq alaih).
Semisal dengan itu juga adalah hadits wail bin hajar dan hadits ummu salamah, semoga Allah SWT meridhoi mereka semua.
Hadits-hadits ini diikat oleh hadits Ubadah bin Shomit”Kami pernah dipanggil Nabi SAW lalu kami berbai’at untuk selalu mendengar dan taat baik disaat kami suka atau tidak suka, disaat kami sulit atau mudah atau saat kami diperlakukan tidak adil dan agar kami tidak merampas kekuasaan dari ahlinya (penguasa yang sah) beliau berkata, “Kecuali jika kalian melihat kekufuran yang nyata yang kalian memiliki bukti dari Allah SWT tentangnya”. (Muttafaq alaih).
Hadits ini adalah hadits yang memerintahkan bersabar terdapa imam sekaligus menjadi pengkhususnya. Maka jika seorang Imam/penguasa berbuat kafir niscaya wajib ditentang dan digulingkan !
Al Bukhari mengisyaratkan pengikatan (Hadits) seperti ini dengan menyebutkan hadits-hadits sabar seperti hadits-hadits Ibnu Abbas dan Ibnu Masud tadi lalu mengikutinya dengan hadits ubadah di dalam bab yang sama. ( Kitabul Fitan, Shahih Bukhari pada bab II).
Jadi kalau keluar dari kekufuran para penguasa murtad adalah dengan memerangi mereka dengan senjata dan ini hukumnya wajib disaat ada kemampuan, menurut ijma’, jalan keluar itu bukan dengan tarbiyah saja. Hujah Syaikh Al Albani telah dikalahkan dengan hujah ijma’ yang telah dinukil Al Qodhi ‘Iyadh dan Ibnu Hajar.
Dan apabila penguasa melakukan kekufuran maka tidak perlu melihat mafsadat (kerusakan) yang diakibatkan dari pemberontakan terhadap mereka. Karena tidak ada mafsadat yang lebih besar dari fitnah kekufuran. Firman Allah SWT, “ Dan fitnah itu lebih besar (dosanya) daripada pembunuhan (Al Baqarah 217).
Para ulama juga sepakat bahwa menjaga agama lebih di dahulukan dari menjaga nyawa, harta, keturunan, kehormatan dan harga diri.
Di muka telah disebutkan ucapan Ibnu Taimiyah, “ yang demikian itu bahwa Allah SWT membolehkan pembunuhan terhadap jiwa-jiwa manusia. Karena ada kebutuhan untuk kemaslahatan manusia itu sendiri, sebagaimana FirmanNya, “ Dan fitnah itu lebih besar dosanya daripada pembunuhan”. Artinya pembunuhan itu, walaupun didalamnya terdapat keburukan dan kerusakan, namun di dalam fitnah orang-orang kafir terdapat keburukan dak kerusakan yang lebih besar darinya. (Majmu Fatawa 28/355).
4. Diantara ucapan Al Albani di dalam kitab Al Haditsu Hujjatun Binafsihi, hal. 97, yaitu bahwa pada hari ini kita tidak mampu memukul sistem-sistemn kafir. Maka sesungguhnya jika kaum muslimin dalam keadaan lemah, tidak mampu berjihad, mereka wajib meraih kemampuan, karena Allah SWT berfirman,” Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka dengan segenap kekuatan yang kalian sanggupi”. (Al Anfal : 60)
Inilah yang telah ditetapkan Ibnu Taimiyah, yaitu bahwa disaat kewajiban jihad gugur disebabkan ketidakmampuan atau lemah maka kewajiban pada saat itu adalah I’dadul Quwah (Menyiapkan kekuatan). (Majmu’ Fatawa 28/259).
Kekuatan itu adalah senjata, bukan tarbiyah, sebagaimana hadits uqbah bin amir (Marfu’).
“Ingatlah ! sesungguhnya kekuatan itu adalah melempar !” (HR. Muslim).
Syaikh al Albani sendiri telah menetapkan hal ini, dimana beliau telah menyebut hal ini di dalam ucapannya yang berjudul Al Mustaqbalu lil Islam (masa depan milik Islam).
Saya telah menukilnya di dalam masalah perjanjian, dihalaman 242, dari Risalah ini. Al Albani berkata, [ hadits yang bermakna ] Perkara ini benar-benar akan sampai ke tempat-tempat yang dilalui oleh siang dan malam, … sampai pada kata beliau, “diantara perkara yang tidak diragukan lagi bahwa untuk mewujudkan tersebarnya Islam mengharuskan kaum muslimin untuk kembali kuat baik dari sisi spiritual, material dan persenjataan mereka, hingga merekamampu mengalahkan kekuatan kekafiran dan thaghut-thaghut yang melampaui batas. (dikutip dari Muqaddimah Kitab Al Hikamu Al jadiratu bil Idzaati).
Jadi disaat kaum muslimin lemah dan tidak mampu melawan musuh, kewajiban pada saat itu adalah menyiapkan kekuatan ! bukan sekedar Tarbiyah.

5. Dan ucapan syaikh Al Albani bahwa revolusi bersenjata terhadap para penguasa murtad merupakan pertimbangan keliru yang dikhayalkan oleh sebagian orang adalah tidak benar, ia bukanlah pertimbangan yang keliru, bahkan tindakan itu merupakan bentuk daripada mengikuti sunah Nabi SAW sebagaimana Hadits Ubadah bin Shamit !
“ dan agar kami tidak merampas kekuasaan dari ahlinya (penguasa yang sah). Nabi berkata, “ Kecuali jika Engkau melihat kufur yang nyata yang engkau memiliki bukti dari Allah SWT tentangnya. (Muttafaq alaih.
Dalam menafsirkan Firman Allah SWT [Apakah hukum jahiliyah yang kalian cari (Al Maidah 50) Ibnu Katsir berkata,” Allah SWT mengingkari tindakan orang yang keluar dari hukum Allah SWT yang mengandung segala bentuk kebaikan, dan yang mencegah segala keburukan lalu ia membuat tandingan kepada selainnya berupa pendapat-pendapat, hawa nafsu, dan istilah-istilah yang dibuat oleh para tokoh tanpa bersandar diatas hukum/syariat Allah SWT. Sampai pada kata beliau” Maka barangsiapa melakukan itu berarti ia telah kafir, wajib dibunuh, hingga ia kembali kepada hukum Allah SWT. Maka tidak boleh berjukum kepada selain hukum Allah SWT itu, sedikit maupun banyak.”
Lalu bagaimana Syaikh mengatakan bahwa melawan mereka (para penguasa murtad) degnan persenjataan, di zaman sekarang ini dianggap pertimbangan yang keliru, sedangkan Al Qodhi ‘Iyadh Ibnu Hajar telha menukil ijma’ tentang wajibnya memerangi orang-orang seperti mereka.

6. Kudeta militer hanyalah satu macam cara diantara berbagai macam cara pemberontakan bersenjata terhadap thaghut-thaghut itu. Dan ia hukumnya wajib.
Lalu bagaimana Syaikh mengatakan kewajiban syari sebagai bentuk bid’ah.
Kudeta militer bukan merupakan bid’ah masa kini sebagaimana pendapat syaikh. Pada zaman Nabi SAW telah terjadi hal demikian itu.
Yaitu ketika Fairuz ad Dailami memberontak terhadap Al Aswad Al ‘Ausi yang mengaku sebagai Nabi lagi pendusta, hingga Fairuz membunuhnya.
Siapapun telah menyebutkan peristiwa ini pada Faqrah sebelumnya. Sebagaimana pernah saya sebutkan di akhir-akhir masalah perjanjian setia dan baiat yait contoh-contoh tentang pemberontakan terhadap penguasa yang sah (Bab II), yang kesemuanya mirip degnan kudeta militer. Dimana peristiwa-peristiwa itu terjadi pada Tiga abad yang utama (zaman Nabi, Sahabat, Tabiin).
Jadi kudeta militer bukan termasuk bid’ah masa kini sebagaimana pendapat syaikh.

7.Syaikh tidak hanya mengatakan bahwa perlawanan bersenjata adalah bid’ah. Bahkan beliau mengatakan bahwa perlawanan bersenjata itu menyelisihi nash-nash syari yang menyuruh untuk merubah apa yang ada pada diri manusia. “Sesungguhnya Allah tidak merubah nasib suatu kaum hingga ia merubah apa yang ada pda diri mereka sendiri.” (Ar Ra’du :11)>
Perkaranya tidak seperti yang diucapkan beliau itu. Sesungguhnya perlawanan bersenjata (jihad fi sabilillah) termasuk bagian dari merubah apa yang ada pada diri manusia. Karena, sesungguhnya kehinaan yang menimpa kaum muslimin dimana mereka hidup di bawah kekuasaan penguasa-penguasa murtad tidak akan pernah terjadi kecuali karena sebab mereka telah meninggalkan jihad, condong terhadap dunia dan takut mati. Dan tidak ada jalan keluar bagi kaum muslimin dari kehinaan ini kecuali dengan merubah ini semua. Artinya dengan jihad dan tidak condong terhadap kehidupan dunia yang penuh tipuan. Hal demikian ini telah jelas menurut nash, sebagaimana dua hadits Tsauban dan Ibnu Umar, semoga Allah meridhoi mereka. Dari Tsauban bahwa Rasulullah SAW bersabda,
“ Hampir-hampir kalian dikerumuni oleh umat-umat dari setiap untuk sebagaimana makanan yang ada diatas piring besar yang dikerumuni banyak orang. “ Kami Bertanya, “ Ya Rasulullah apakah jumlah kami pada saat itu sedikit ? “ Nabi SAW menjawab : “ Kalian pada hari itu berjumlah banyak, Tetapi kalian hanyalah seperti buih air bah. Kehebatan kalian telah dicabut dari hati musuh-musuh kalian dan Dia menjadikan penyakit Wahn di hati kalian. “ Mereka berkata, “ Apakah penyakit Wahn itu ya Rasulullah ? “ beliau bersabda, “ Cinta hidup dan benci mati.
Dari Ibnu Umar bahwa Nabi SAW bersabda,
“ Apabila kalian telah berjual beli dengan cara ‘inah dan kalian sibuk berternak serta puas dengan bercocok tanam, sedangkan kalian meninggalkan jihad. Niscaya Allah akan menmpakan kehinaan ats kalian yang tidak akan dicabut hingga kalian kembali kepad agama klian.” (HR Abu Dawud.”
Anda dapat melihat bahwa meninggalkan jihad adalah bagian dari sebab hinanya kaum muslimin. Dan untuk merubah ini hanya dengan kembali kepada jihad. Khususnya jihad yang wajib, seperti jihad memerangi Thaghut. Jadi jihad itu termasuk merubah apa yang ad pada diri-diri manusia yang tentu tidak bertentangan sebagaimana kata Syaikh Al Albani. Dan perubahan ap yang ada pada diri-diri manusia itu tidak hanya dengan ilmu dan tarbiyah saja yang disebut Syaikh sebagail jalan keluar. Bhkan jihad yang diingkari syaikh adalah sebagai jalan keluar yang semestinya.

8. Kami sepakat dengan Syaikh tentang kewajiban merubah apa yang ada pada diri masing-masing manusia agar Allah SWT mencabut kehinaan dan kerendahan dari diri kita.
Saya telah menyebutkan hal ini pada dasar kelima, dari tema lima hal yang mendasari terwujudnya kemenangan dan hal-hal yang menyebutkan ia tertunda, tepatnya diawal-awal masalah I’dad Imani (Lihat Bab IV kewajiban Amir yang kedelapan).
Namun demikian kami berbeda pendapat dengan syaikh pada beberapa perkara diantaranya :
a. Ungkapan beliau bahwa perlawanan bersenjata (jihad) itu menyelisihi konsep merubah apa yang ada pada diri manusia seperti keterangan diatas.
b. Membatasi bentuk merubah apa yang ada pada diri manusia hanya dnegna ilmu dan tarbiyah. Dan saya akan menyendirikan pembahasan dua perkara ini di lampiran ketiga dan keempar, tepatnya diakhir pasal ini.
Pada pembahasan itu, anda akan melihat bahwa ilmu syari dan ‘adalah (berlaku lurus sesuai ajaran Islam) bukan merupakan syarat wajib jihad. Sedangkan orang yang bodoh dan hasik juga mendapatkan perintah berjihad dengan sempurna sebagaimana orang yang berilmu dan orang yang shalih.
Jihad yang hukumnya Fardhu ain tidak boleh ditunda disat ada kemampuan/qudrah hanya dengan maksud ingin mencapai sesuatu yang sebenarnya bukan merupakan syarat wajib jihad.
Bila jihad tida dapat terlaksana kecuali bersama dengan Amir fajir, atau prajurit yang banyak berbuat kefasikan, maka yang wajib adalah berjihad bersama mereka untuk menolak kerusakan yang lebih besar, yaitu kerusakan yang bersumber dari orang-orang kafir. Inilah madzhab Ahlus Sunah wal Jama’ah, sebagaimana kata imam Ibnu Taimiyah, [“ Dan karena inilah bahwa diantara dasar-dasar ahlus sunah wal jamaah adalah berjihad bersama setiap orang baik dan orang fasik. Karena Allah SWT menguatkan agama ini dengan laki-laki yang Fajir (berbuat fasik) dan kaum-kaum yang tidak mendapatkan bagian diakherat sebagaimana khabar dari Nabi SAW.
Karena bila peperangan tidak dapat terlaksana selian bersama dengan pemimpin-pemimpin yang fajir atau bersama prajurit yang banyak berbuat Fajir. Maka pasti akan terjadi sala satu dari dua hal ! Yaitu ditinggalkannya perang bersama mereka yang mengakibatkan berkuasanya musuh yang lebih besar bahayanya terhadap agama. Atau tetap berperang bersama Amir Fajir itu sehingga dnegannnya akan dapat menolak dua hal yang lebih Fajir dan dapat menegakkan syariat Islam yang lebih banyak, meskipun tidak dapat menegakkan semuanya. Beginilah yang wajib dilaksanakan pada kejadian seprti ini, dan kejadian-kejadian lain yang serupa. Bahkan banyak sekali peperangan-peperangan yang terjadi setelah era Khulafaur Rasyidin dimana peperangan itu tidak terjadi melainkan dengan cara ini. (Majmu’ Fatawa 28/506 – 507).

c. Begitu juga bila jihad tidak dapat dilakukan kecuali dengan ahli bid’ah, maka yang wajib adalah berjihad bersama mereka.
Kita tidak mengatakan, “ Kita tidak berperang bersama mereka hingga mereka meninggalkan kebid’ahan-kebid’ahan mereka tetapi kami tetap berjihad bersama ahli bid’ah dengan selalu mengajak mereka untuk beriltizam (komitmen) terhadap sunah.”

Ibnu Taimiyah berkata, “ Bila terdapat halangan untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban baik berupa ilmu, jihad dan sebagainya. Dan kewajiban-kewajiban itu hanya bisa dilaksanakan dengan orang-orang yang masih berbuat bid’ah dimana bahayanya bukan bentuk bahaya yang mengabaikan kewajiban itu sendiri, maka meraih kemaslahatan yang wajib dengan tetap menanggung kerusakan yang lebih ringan adalah lebih baik daripada sebaliknya. Dan karenanya pembicaraan dalam masalah ini memerlukan banyak penjabaran. (Majmu’ Fatawa 28/212).
Menurut saya kita sepakat dengan Syaikh Al Albani bahwa berkuasanya orang-orang kafir dan berbagai kezaliman atas diri kita hanya disebabkan kemaksiatan-kemaksiatan yang kita lakukan. Allah berfirman, “ Dan musibah keburukan yang menimpa semata-mata berasal dari kamu sendiri.” (An Nisa 79).
Sedangkan Ibnu Hazim berkomentar keras dalam mengingkari siapa saja yang melarang jihad bersama dengan amir yang Fasiq, beliau bersabda, “ Tidak ada dosa setelah kekufuran yang lebih besar dari dosa orang yang melarang jihad terhadap orang kafir dan menyuruh untuk diserahkannya para wanita muslimah kepada mereka disebabkan kefasikan seorang laki-laki muslim (yang orang tadi tidak mau berjihad bersamanya) yang mana kefasikan orang yang selainnya saja tidak pernah diperhitungkan.” (Al Muhalla 7/300).
Hal ini merupakan hukuman kodrati bagi kita.
Tetapi kami berbeda pendapat dengan Syaikh tentang pembatasan cara untuk menolak mereka (para penguasa thaghut) itu hanya dengan taubat dari berbagai kemaksiatan dan kembali kepada Allah (Inabah).
Dan Syaikh mengingkari cara syari untuk menolak orang-orang kafir itu (seperti penguasa murtad). Cara syari yang dimaksud adalah jihad yang disebut oleh Syaikh dengan Khuruj Musallah (Perlawanan bersenjata).

9. Diantara pernyataan Syaikh yang bertentangan satu dengan yang lainnya, bahwa beliau mengajak umat Islam untuk bersabar terhadap kelakuan penguasa mereka dan pada saat yang sama beliau menyerukan kepada mereka untuk berjihad melawan kaum Kuffar penjajah, dengan ucapan beliau, “ Adapun kaum Kuffar penjajah itu, maka sama seklai tidak ada ketaatan bagi mereka. Bahkan wajib menyiapkan persiapan yang sempurna baik materi maupun mental untuk mengusir mereka dan mensucikan bumi Islam dari kekotoran-kekotoran mereka. (Kitab Aqidah Thahawiyah, syarh wa Ta’liq Al Albani, 48).Photo 4>Photo 4>
Kafir penjajah itu adalah kafir ajnabi (asing). Dan telah saya jelaskan sebelumnya bahwa tidak ada perbedaan antara orang kafir yang berkuasa terhadap umat islam itu keadaanya ajnabi (orang asing) atau Mahali (orang tempatan). Karena alasan kewajiban jihad melawannya terdapat pada dua keadaan, satu diantaranya sifat kufur itu sendiri. Sebagaimana Kafir Mahali dapat berubah menjadi (orang asing) ajnabi bagi umat islam karena kekafirannya (meskipun berada dalam satu tempat). Sebagaimana Firman Allah SWT,
“Allah berkata, “ Wahai Nuh sesungguhnya ia bukan keluargamu, sesungguhnya perbuatannya adalah bukan perbuatan yang shalih.” (Hud : 46)
Saya telah menjelaskan hal ini sebelumnya.

10. Selain point kesembilan diatas Syaikh juga berkata di dalam kitab yang sama, “ Ketahuilah bahwa jihad itu ada dua bagian. Yang pertama Fardhu Ain, yaitu menghalangi serangan musuh yang masuk ke sebagian negeri Islam, seperti Yahudi yang sekarang ini menjajah Palestina, maka seluruh kaum muslimin berdosa hingga Yahudi itu keluar dari Palestina, (Halaman 49).
Sebelumnya telah saya sebutkan, bahwa para penguasa murtad itu hakikatnya musuh kafir yang menguasai negeri Islam, karena itu jihad melawan mereka hukumnya Fardhu Ain. Bahkan jihad melawan penguasa murtad lebih di dahulukan dengan dua alasan yaitu, kedekatan (Al Qurbu) dan Ar Ridah (Kemurtadan). Bahkan orang-orang Yahudi tetap bisa bercokol di Palestina itu hanya disebabkan mereka dipelihara oleh para penguasa Thaghut yang murtad itu.
Kemudian kami bertanya kepada Syaikh satu pertanyaan, “ Kenapa beliau berkata bahwa jalan keluar dari kezhaliman para penguasa adalah dengan cara mengadakan perubahan pada diri masing-masing orang, melalui ilmu dan Tarbiyah ? “ Kemudian beliau berkata, “ Sesungguhnya jalan keluar dari cengkeraman Yahudi dengan cara Jihad, padahal semua saja baik penguasa murtad dan orang Yahudi itu sama-sama orang kafir yang ditakdirkan menguasai kaum muslimin disebabkan dosa-dos kaum muslimin sendiri, lalu kenapa syaikh membedakan antara dua uslub (cara) menghadapi mereka ? “
Umar bin Khatab pernah berkata kepada Sa’ad bin Abi Waqash disebuah perjalanan untuk memerangi Persia, “ Janganlah kalian berkata sesungguhnya musuh kita lebih buruk dari kita, maka mereka tidak akan menguasai kita. Acapkali suatu kaum itu dikuasai oleh kaum yang lain yang lebih buruk. Sebagaimana kaum Bani Israel pernah dikuasai oleh orang-orang kafir Majusi disaat mereka melakukan hal-hal yang dimurkai oleh Allah, FirmanNya, Lalu mereka merajalela di kampung-kampung dan itulah ketetapan yang pasti terlaksana.” (Al Isra :5).
Di dalam hadits Tsaubah (marfu) disebutkan.
“ Dan aku tidak akan menguasakan atas mereka musuh selain dari diri mereka sendiri sehingga akan menghalalkan kesucian mereka, meski manusia dari segala penjuru bersatu padu mengeroyok mereka sehingga sebagian mereka membinasakan sebagian yang lain dan sebagian mereka memenjarakan sebagian yanglain.”( HR Muslim).
Ini adalah Nash bahwa musuh kafir itu tidak akan bisa menguasai kaum muslimin kecuali bila kerusakan mereka sudah mencapai tingkat yang parah. Dan ini merupakan perkara yang tidak lepas dari Taqdir. Lalu apakah yang wajib dilaksanakan bila musuh kafir telah menguasai kaum muslimin itu ? Apakah sebatas memperbaiki keadaan jiwa ataukah kewajiban itu dengan melawan permusuhan mereka melalui cara yang disyariatkan oleh Allah yaitu dengan jihad ?
Apa yang telah disepakati oleh ulama salaf pada maqam seperti ini ? Tarbiyah atau jihad yang hukumnya Fardhu ‘Ain ? Mana yang lebih wajib untuk diperangi ? Orang-orang Murtad seperti penguasa-penguasa itu atau orang kafir asli seperti Yahudi ?
Mana yang lebih wajib diperangi ? Musuh yang jaraknya dekat dengan kaum muslimin seperti para penguasa murtad itu, atau musuh yang jauh seperti yahudi ? (Lihat kembali Faqran 14).
Tentang ucapan beliau seputar pentingnya memperkokohkan Fondasi untuk mendirikan bangunan Islam diatasnya, kami sepakat dengan beliau bahwa dakwah dan Tarbiyah agar terbentuk kelompok yang mau melaksanakan jihad untuk menolak Fitnah orang-orang kafir adalah sebuah keharusan.
Adapun memutlakkan dakwah dan tarbiyah saja tanpa meletakkan jihad tegak dihadapan mata kita maka saya melihat bahwa hal itu tidak akan menghasilkan apa-apa, karena factor-faktor perusak dan penghancur itu masih aktif bekerja begitu juga yang lain serta didukung oleh kementrian pendidikan dn penerangan serta badan-badan wakaf pemerintah dan mendapat perlindungan dari pihak kepolisian.
Kembali saya ingatkan, bahwa membatasi usaha perbaikan hanya dengan Tarbiyah adalah tindakan menyimpang dari kewajiban syari yaitu jihad.
Pembatasan itu juga menyelisihi petunjuk Nabi SAW, karena beliau tidak hanya menempuh jalan Tarbiyah secara mutlak seperti ini.
Namun beliau berdakwah hingga terbentuk satu kelompok yang memiliki kekuatan, yang dengan kekuatan itu beliau berjihad melawan orang kafir, sebagai realisasi dari perintah Allah SWT, yaitu, Sabda Nabi SAW,
“ Dan berperanglah bersama orang yang mentaatimu untuk melawan orang yang bermaksiat kepadamu.”(HR Muslim).
Allah SWT berfirman,
“Maka berperanglah di jalan Allah, tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri. Dan kobarkanlah semangat jihad kepada kaum mukminin semoga Allah menahan kekuatan orang-orang kafir.” (An Nisa 84).
Mengobarkan semangat jihad kaum muslimin dijadikan Allah sebagai jalan untuk menahan kekuatan orang-orang kafir dan menolak fitnah mereka dengan jalan jihad. Ayat dan hadits ini merupakan Nash yang gambling dalam mengungkapkan maksudnya.
Benar, ilmu dan Tarbiyah itu haw dan ia termasuk I’dad dalam rangka jihad, demi terbentuknya kelompok yang memiliki kekuatan lagi mampu membumikan agama Allah.
Bersamaan dengan itu saya katakana, “ Bila kekuatan materi yang dimiliki satu kelompok jihad telah sempurna. Namun dari sisi Tarbiyah belum memuaskan, Maka yang wajib menurut syari adalah tetap berjihad bersama dengan kelompok itu, sebagai pengamalan dari apa yang telah ditetapkan oleh Ahlus sunah wal Jama’ah, yaitu berperang bersama orang-orang Islam yang baik maupun yang masih berbuat Fasik.


bersambung.......yg ke 5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar