Minggu, 13 Juni 2010

-- Catatan Terhadap Syarah Nawaqidhul Islam --- [Selesai... Tentang Ibadah]

Pengertian ibadah juga memiliki realitas obyektif yang bisa dipahami dari indera dan akal sebelum adanya syariat. Kalau ibadah tidak bisa dimengerti maka perkataan para Nabi kepada kaumnya: [Janganlah kalian beribadah kecuali kepada Allah] tidak bermakna apa-apa. Karena kaum mereka akan mengatakan: Apa maksud ‘ibadah’, kami tidak mengenalnya sama sekali.

Namun kenyataannya, berdasarkan riwayat sejarah yang mutawatir dan nash-nash Al-Qur'an yang meyakinkan kaum mereka mengerti maksud dari perkataan para Nabi tersebut. Dan mayoritas mereka langsung mengingkari dan menolaknya dengan argumen,
مَا نَحْنُ بِتَارِكِي آلِهَتِنَا عَنْ قَوْلِكَ
“Kami sekali-kali tidak akan meninggalkan sembahan-sembahan kami karena perkataanmu” (QS. Huud [11]: 53)
,
أَجَعَلَ اْلآلِهَةَ إِلاَهاً وَاحِداً؟! إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ!
“Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang Satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.” (QS. Shaad [38]: 5.) dan ayat-ayat semisalnya.

Kaum para nabi langsung mengerti maksud seruan para nabi dan mengerti bahwa seruan itu adalah bencana besar yang akan menghancurkan kebiasaan mereka turun temurun. Karena seruan para Nabi itu berkonsekuensi batilnya tuhan-tuhan mereka dan bahwasanya tuhan-tuhan mereka itu hanyalah sekadar khurafat yang tidak berwujud dalam alam nyata!

Apa pengertian ibadah atau apa pengertian ilah yang menjadi sebab perseteruan antara para nabi dengan kaumnya?! Apa hubungan antara kedua pengertian tersebut?! Jadi, harus ada pendefinisian pengertian ibadah dan pengertian ilah serta menjelaskan mana di antara keduanya yang menjadi asal persoalan dan mana yang menjadi pengikut/cabang? Inilah yang telah saya jelaskan di depan. Penjelasannya akan semakin gamblang dengan bentuk bantahan atas sanggahan-sanggahan kalian. Itu akan bisa dipahami sedikit demi sedikit, insya Allah.

Persoalan di sini adalah persoalan jenis perbuatan dan macamnya. Maksudnya, persoalan keyakinan dan persepsi yang menyertai perbuatan tersebut. Bukannya persoalan derajat,kerasnya atau sifat dan bentuk perbuatan.

Orang tenggelam yang minta pertolongan kepada orang yang sedang berdiri di tepi sungai/laut tidak dianggap sedang beribadah kepadanya selain Allah. Dan itu tanpa melihat bagaimana ia bersangat-sangat dalam meminta pertolongannya dan kerasnya suara permintaannya.

Demikian juga keadaan orang yang tidak berani berperang setelah Allah wajibkan atas mereka, karena takut terhadap manusia dan takut mati, terluka, tersakiti dan beratnya kondisi. Bahkan ketakutan mereka terhadap manusia menyamai ketakutan mereka kepada Allah atau malah melebihi. Hal ini berdasarkan nash Al-Qur'an yang meyakinkan. Namun meskipun demikian tidak satupun orang berakal yang mengatakan bahwa dengan sikap mereka ini menjadikan mereka menjadi penyembah manusia selain Allah, alias menjadi orang musyrik dengan kesyirikan yang mengeluarkan dari agama Islam. Meskipun memang tidak diragukan lagi sikap tersebut adalah sikap tercela dan buruk.

Kalau mau, kami akan tulis ratusan lembar halaman di sini untuk membuktikan bahwa tidak ada satupun perbuatan manusia di dunia, tidak ada bedanya antara perbuatan anggota badan –seperti sujud dan ruku’- maupun perbuatan hati –seperti cinta, takut dan khawatir- yang layak dari sisi sekadar perbuatannya untuk menjadi ibadah. Tetapi, untuk menyebutnya sebagai ibadah harus disertai keyakinan atau persepsi tertentupada diri pelaku mengenai siapa obyek/tujuan dari perbuatannya.

Dengan penjelasan di atas menjadi jelaslah kebatilan penamaan atau anggapan sebagian amalan sebagai ibadah, atau dengan ungkapan lebih teliti: sebagai syiar-syiar ibadah, dari sisi hanya sekadar amalan tanpa melihat apa keyakinannya pada siapa obyek tujuan ia beramal.

Adapun jenis keyakinan atau persepsi mengenai obyek tujuan amalan yang akan menjadikan amalan yang ditujukan kepadanya menjadi ibadah adalah keyakinan ‘uluhiyah’, termasuk di antaranya ‘keyakinan rububiyah selain Allah’. Bukan keyakinan selain itu. Hal ini akan dipahami dengan logika syariat dan akal yang sehat.

Oleh karena itu kami simpulkan kaidah penting:
Tidak mungkin suatu amalan hati, atau ucapan lisan atau amalan anggota badan disebut ibadah kecuali jika didahului keyakinan uluhiyah atau rububiyah selain Allah, sekalipun hanya pada satu bagian dari makna uluhiyah atau rububiyah selain Allah, pada sesuatu yang untuknya amalan itu ditujukan.

Jadi pengertian uluhiyah, termasuk di dalamnya rububiyah selain Allah, pasti mendahului pengertian ibadah. Dan ibadah tidak terjadi kecuali pasti ditujukan kepada ilah.

Misalnya, barang siapa yang meyakini bahwa jin adalah makhluk di bawah pengaturan Allah. Namun ia meyakini bahwa ia mampu bersembunyi dari Allah atau mampu lolos dari pengawasan Allah. Maka dengan keyakinan semacam ini ia menjadi musyrik kafir, murtad dari Islam jika sebelumnya Islamnya sah. Akibat dari keyakinan tersebut ketakutannya kepada jin termasuk ibadah sekalipun hanya ketakutan sedikit. Dan barang kali ia meyakini mampu mengalahkannya, menantangnya, bermain-main dengannya melalui praktek sihir.

Hal ini berbeda sekali dengan takutnya seorang muslim yang kabur lari dari seekor singa yang mau menerkamnya. Padahal bisa jadi ketakutannya menguasai dirinya di mana yang ada dalam hatinya hanya rasa takut. Barang kali sampai ia tidak sadar ketika jatuh ke jurang karena tidak melihatnya. Namun meskipun demikian ketakutannya tersebut bukan termasuk ibadah. Tidak mungkin ketakutannya adalah ketakutan ibadah. Tidak mungkin ia mati dalam keadaan musyrik kafir seandainya mati karena jatuh ke jurang. Barang siapa yang menganggapnya telah musyrik kafir karena ketakutan semacam itu maka ia telah hilang akal dan telah meninggalkan Islam. Nikmatilah itu!

Misal di atas menjelaskan bahwa musuh dakwah wahabiyah dari kalangan sufi, briliwiyah, syiah itsna ‘asyriyah dan musuh-musuh lainnya yang memerangi dakwah wahabiyah secara membabi buta, mereka tidak lebih baik dan lebih mendalam pemikirannya ketika menjawab tuduhan dari dakwah wahabiyah ketika mereka menyebutkan ‘niat’ atau ‘maksud dari pelaku perbuatan’ bahwa itu adalah manathul hukm (sebab hukum) dalam masalah itu.

Kebatilan anggapan bahwa perbedaan niat adalah sebab hukum dalam masalah itu akan nampak dari merenungkan bahwa takut misalnya, muncul, biasanya dalam jiwa. Maka tidak ada hubungannya dengan ‘kehendak’, ‘maksud’ dan ‘niat’ ketika ia menjadi ‘takut ibadah’ atau ‘takut biasa’.

Meskipun niat berpengaruh berkaitan dengan celaan dan sangsi atau pujian dan pahala karena ‘amalan itu tergantung niatnya dan bagi setiap orang itu apa yang dia niatkan’. Namun ia tidak berpengaruh sama sekali dalam menentukan macam perbuatan. Pembunuh yang salah tetap disebut pembunuh sekalipun ia tidak dihukum dan tidak berhak mendapat sangsi pembunuh yang membunuh dengan sengaja. Namun realitanya ia adalah pembunuh. Ia tidak akan secara tiba-tiba berubah menjadi ‘orang yang tertawa’ atau ‘pebisnis’ disebabkan karena berubahnya niat!

Mereka semua (kedua pihak yang berseteru) sama-sama berkutat dalam kontradiksi. Tidak ada bedanya antara ulama dakwah wahabiyah dan musuh mereka dalam masalah ini. Mayoritas mereka menolak untuk berpikir secara mendalam dan melakukan penelitian secara detil. Mereka lebih suka tenggelam dalam mencela, melaknat dan mengkafirkan atau mengangkat derajat ulama pendahulu mereka sampai derajat maksum (terjaga dari kesalahan) dan suci, serta bersikeras mempertahankan kesalahan mereka daripada memperbaiki kesalahan mereka dan berdoa kepada Allah memintakan ampun untuk mereka dan semoga mereka mendapatkan pahala atas ijtihad mereka, separah apapun derajat kesalahan mereka.

Maka harus menghentikan rangkaian tindakan penghancuran Islam. Yang mana ini sangat dikhawatirkan oleh amirul mukminin Umar bin Khathab ra ketika ia berkata:
(إِنَّمَا يَهْدِمُ اْلإِسْلاَمَ: زَلَّةُ الْعَالِمِ، وَجَدَلُ الْمُنَافِقِ بِالْكِتَابِ، وَحُكْمُ اْلأَئِمَّةِ الْمُضِلِّينَ)
“Sebenarnya yang akan menghancurkan Islam adalah ketergelinciran ulama, debatnya munafik menggunakan Al-Qur’an dan hukum yang dikeluarkan oleh pemimpin yang menyesatkan.”

Perkataan yang sangat bagus ini bukanlah murni hasil pemikirannya sendiri, tapi ia simpulkan dari sabda Rasulullah SAW!

---------------
bersambung pada pembahasan Hadits Abu Bakar [masih dalam ranah Ibadah]...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar