Minggu, 13 Juni 2010

-- Catatan Terhadap Syarah Nawaqidhul Islam --- [LANJUTAN... Tentang Ibadah]

Dan apa yang diriwayatkan Tirmidzi dari Aisyah ra berkenaan dengan berdirinya Nabi SAW untuk merangkul Zaid bin Haritsah.

Dan apa yang diriwayatkan Nasai, Tirmidzi dan Abu Daud dari Aisyah ra berkenaan dengan berdirinya Nabi SAW menyambut kedatangan Fathimah dan berdirinya Fathimah menyambut kedatangan beliau SAW.

Dan apa yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi berkenaan dengan berdirinya Nabi SAW menyambut Ikrimah bin Abu Jahal ketika ia hijrah kepada beliau. Dan hadits-hadits mutawatir maknawi lainnya yang bersifat qath’iy dan meyakinkan.

Adapun dua macam berdiri yang terakhir hukumnya haram. Yaitu berdiri untuk mengagungkan, bukan untuk tujuan penghormatan dan memberi salam serta yang semisalnya. Bentuknya ada dua: berdiri karena seseorang yang sedang duduk sebagaimana yang dilakukan oleh para pembantu raja untuk mengagungkan tanpa ada sebab lain yang mengharuskannya. Adapun para pengawal, polisi, dan profesi semisalnya yang merupakan tuntutan pekerjaan mereka maka tidak apa-apa. Karena itu berdiri demi menjalankan pekerjaan yang tidak mungkin sempurna dilakukan tanpanya. Dan berdiri untuk orang masuk atau lewat untuk mengagungkannya tanpa bersalaman, rangkulan, atau penyambutan. Pertama qiyam ‘alaihi dan kedua qiyam lahu, keduanya haram. Ada dalil-dalil yang melarang keras dan menginformasikan bahwa perbuatan tersebut menyerupai orang-orang ajam (non arab) ketika mengagungkan selain Allah SWT. Sebagaimana riwayat-riwayat berikut:

Apa yang diriwayatkan Tirmidzi dan dishahihkannya dari Anas bin Malik ra, ia berkata:
«لَمْ يَكُنْ شَخْصٌ أَحَبَّ إِلَى الصَّحَابَةِ مِنَ النَّبِيِّ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ، وَكَانُوا إِذَا رَأَوْهُ لَمْ يَقُومُوا لَهُ لِمَا يَعْلَمُونَ مِنْ كَرَاهَتِهِ لِذَلِكَ»
“Tidak ada orang yang lebih dicintai oleh para sahabat dari Nabi SAW. Ketika mereka melihat beliau mereka tidak berdiri untuk beliau karena mereka tahu bahwa beliau tidak menyukainya.”

Apa yang diriwayatkan Abu Daud dan Tirmidzi dari Mu’awiyah bahwa Nabi SAW bersabda:
«مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَمْتَثِلَ النَّاسُ لَهُ قِيَاماً فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ»
“Barang siapa yang suka apabila ia datang orang-orang berdiri menyambutnya maka siapkanlah tempat duduknya di neraka.”

Hadits shahih yang diriwayatkan Muslim dari Jabir ra:
(....، فَأَشَارَ إِلَيْهِمْ فَقَعَدُوا، فَلَمَّا سَلَّمَ قَالَ: «إِنْ كِدْتُمْ آنِفاً لِتَفْعَلُوا فِعْلَ فَارِسٍ وَالرُّومِ يَقُومُونَ عَلَى مُلُوكِهِمْ وَهُمْ قُعُودٌ فَلاَ تَفْعَلُوا»)
… Maka beliau SAW memberi isyarat kepada mereka (para sahabat agar jangan berdiri), mereka pun duduk. Setelah mengucapkan salam beliau bersabda: “Tadi, hampir saja kalian melakukan perbuatan orang Persia dan Romawi. Mereka biasa berdiri untuk menghormati raja-raja mereka sementara para raja duduk, maka janganlah kalian melakukannya.”

Dalam sabda beliau sedikit pun tidak menyebutkan tentang syirik atau kekafiran. Hanya sekadar kebencian dari menyerupai orang-orang Persia dan Romawi, tidak lebih dari itu.

Dalam hadits yang diriwayatkan Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah dan Abu Umamah Al-Bahiliy ra bahwa Nabi SAW bersabda:
«لاَ تَقُومُوا كَمَا يَقُومُ اْلأَعَاجِمُ يُعَظِّمُ بَعْضُهُمْ بَعْضاً»
“Janganlah kalian berdiri sebagaimana berdirinya orang-orang ajam, yang sebagian mereka berdiri untuk mengagungkan sebagian yang lain.”

Ini seperti hadits sebelumnya, tidak sedikit pun menyebutkan tentang syirik atau kekafiran. Hanya sekadar kebencian dari menyerupai orang-orang ajam, tidak lebih dari itu.

Dan hadits-hadits lainnya.

Dari hadits-hadits tersebut bisa disimpulkan bahwa berdiri untuk menghormati makhluk terdapat ancaman keras bagi orang yang suka diperlakukan dengannya. Itu dikarenakan ia menyukai perbuatan yang amat buruk. Yaitu pengagungan yang diharamkan untuk makhluk. Padahal itu hanya layak untuk Allah SWT dalam syariat penutup ini.

Sebagaimana ia juga termasuk menyerupai orang-orang kafir. Masalah menyerupai orang-orang kafir dalam kekhususan mereka yang berkaitan dengan kekafiran mereka terdapat ancaman dan larangan keras tentangnya. Ahmad dan Abu Daud meriwayatkan dari Ibnu Umar ra bahwa Nabi SAW bersabda:
«مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ»
“Barang siapa menyerupai suatu kaum maka ia bagian dari mereka.”

Dan Tirmidzi meriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Aash bahwa Nabi SAW bersabda:
«لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا، وَلاَتَشَبَّهُوا بِالْيَهُودِ وَلاَبِالنَّصَارَى»
“Bukan termasuk golongan kami orang yang menyerupai golongan lain dan janganlah kalian menyerupai Yahudi dan Nasrani.”

Dan puluhan hadits shahih lainnya, baik yang melarang secara tersurat maupun tersirat.

Dua macam berdiri yang diharamkan ini tidak dinamakan sebagai ibadah oleh Nabi SAW, tidak pula perbuatannya disebut sebagai kesyirikan. Tidak pula beliau mengatakan: Kalian telah menjadikanku rabb atau ilah; atau bersabda: kalian telah beribadah kepadaku selain Allah; atau kalian telah menjadikanku tandingan Allah; atau ucapan semacam itu, yang mirip atau ucapan yang serupa dari sisi hukumnya. Padahal beliau SAW melarang keras keduanya sebagaimana yang telah kami jelaskan secara rinci!

Kita tahu bahwa shalat adalah ibadah. Ia berbeda dengan berdiri. Atau dengan ungkapan yang lebih teliti, shalat adalah syiar ibadah dan bahwasanya berdiri dalam shalat adalah ibadah dan akan tetap sebagai ibadah, atau dengan ungkapan yang lebih teliti ia adalah syiar ibadah. Kesimpulannya, meskipun tidak dikerjakan dengan khusyu’ yang sempurna atau ketenangan yang sempurna, sebagaimana seharusnya, namun shalat adalah ibadah atau dengan ungkapan yang lebih teliti ia adalah syiar ibadah. Demikian juga ruku dan sujud yang merupakan bagian dari shalat.

Sebagian pendukung dakwah wahabiyah berusaha lari dari apa yang barusan kami katakan dengan ucapan mereka: (Dalam setiap risalah dan syariat samawiyah terdapat perintah dan larangan. Juga, terdapat kufur dan iman terhadap syariat tersebut. Berdasarkan kufur dan iman yang dijelaskan dalam syariat yang diturunkan dari Allah SWT terbentuklah berbagai pengertian dan istilah. Pengertian kufur dalam syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW berbeda dengan pengertian kufur dalam syariat yang dibawa oleh Isa AS. Padahal asas semua risalah satu, yaitu laa ilaaha illallaah) atau perkataan semacam ini. Kemudian mereka memberikan beberapa misal. Seperti: (Minum khamer termasuk dosa besar dalam syariat Muhammad SAW. Namun dalam syariat nabi-nabi yang lain termasuk barang yang paling halal).

Jawaban kami adalah:

Perkataan kalian masih bersifat global. Masih mengandung campur aduk pengertian yang berbahaya. Sehingga masih mengandung kebenaran sekaligus kebatilan. Hal itu akan nampak pada rincian berikut ini:

Ya memang, dien penutup ini menghapus semua syariat terdahulu. Sehingga yang halal dan haram pada syariat terdahulu sudah berubah pada syariat penutup ini. Apa yang bersesuaian atau sama dengan syariat terdahulu itu tetap dikatakan syariat baru yang sama dengan syariat terdahulu dan bukan sebagai bentuk menyetujui syariat terdahulu. Bagaimanapun juga ini kemestian dari syariat dan akal. Saya kira saya sudah membahasnya secara tuntas pada satu bab khusus dalam kitab kami ini ‘Kitab Tauhid’. Hanya saja memang hukum naskh ada dalam hukum-hukum syar'i taklifiy: wajib (fardhu), mustahab (sunnah), halal (mubah), makruh dan haram. Demikian juga pada hukum-hukum wadh’iy: sah, batal, rusak, sebab, syarat dan lainnya. Dari sisi ini terdapat perbedaan pada istilah dan pengertian sesuai dengan perbedaan syariat.

Namun ada istilah dan pengertian obyek-obyek tertentu yang berkaitan dengan realita tertentu sebagai gambaran terhadapnya atau hukum atasnya. Dan ini termasuk kategori informasi (berita). Merupakan hal yang mustahil baik secara akal maupun syariat ada naskh dalam berita. Berita itu cuma dua kemungkinan, kalau tidak benar ya dusta. Tidak ada kemungkinan yang lain. Ya memang, kadang terdapat perkataan yang tidak jelas yang tidak mungkin menamainya benar atau dusta. Hal itu karena ia terdiri dari bagian-bagian yang sebagiannya benar dan sebagiannya batil (seperti perkataan kalian yang sedang kami analisa dan diskusikan sekarang ini). Namun jika bagian-bagiannya diurai akan memungkinkan untuk menentukan hukum atasnya dari sisi prinsip. (Ya, terkadang ini sulit bagiku atau kalian. Namun pada prinsipnya bisa dilakukan. Kalau kalian mau katakanlah: sebagaimana yang ada dalam ilmu Allah).

Ya memang, ada kalimat-kalimat yang terlihat seolah-olah memungkinkan untuk ditentukan hukumnya apakah benar ataukah dusta. Padahal hakikatnya ia adalah tidak mengandung apa-apa (omong kosong). Seperti ucapan: (ruh manusia berwarna hijau). Karena ruh sama sekali bukan termasuk materi yang bisa berlaku padanya konsep warna. Yang benar seharusnya dikatakan: ini adalah omong kosong. Secara mutlak ruh tidak bisa berwarna. Karena seandainya engkau katakan: ruh manusia warnanya bukan hijau, bisa jadi ada orang yang tertipu sehingga ia akan memahami bahwa warnanya merah misalnya.

Kami tidak akan membahas ini panjang lebar. Karena seharusnya ini adalah persoalan yang sudah sangat jelas. Ini bisa diketahui dengan indera dan akal sebelum datang syariat. Karena ini sudah tertanam dalam akal manusia sebelum ia mendapatkan kewajiban menjalankan syariat (taklif). Karena taklif tidak akan diberikan jika akal tidak ada. Allah Ta'ala berfirman,
وَعَلَّمَ آَدَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلَائِكَةِ
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat.” (QS. Al-Baqarah [2]: 31)

Adapun misal-misal yang kalian sebutkan justru itu sebagai hujjah atas (yang menyerang) kalian bukan hujjah bagi (yang membela) kalian.

Kalian katakan: (Minum khamer termasuk dosa besar dalam syariat Muhammad SAW. Namun dalam syariat nabi-nabi yang lain termasuk barang yang paling halal).

Kami jawab: Bagus, kalian benar. Namun khamer tetap khamer dan ia adalah setiap yang memabukkan. Ini realitas obyektif yang bisa dimengerti dengan indera, eksperimen dan akal. Namun hukum syar'i berbeda sesuai dengan perbedaan syariat. Pengertian khamer menurut kami dan syariat-syariat terdahulu sama dari sisi ia adalah suatu materi yang dapat diminum, dimakan, dihirup, atau dihisap selanjutnya mengakibatkan mabuk. Mabuk adalah perubahan yang maklum pada akal dan jiwa. Namun hukum meminumnya berbeda sesuai dengan perbedaan syariat.

Ketika Rasulullah SAW bersabda,
مَا أَسْكَرَ كَثِيرُهُ فَقَلِيلُهُ (وَفِي رِوَايَةٍ: فَمِلْءُ الْكَفِّ مِنْهُ) حَرَامٌ
“Apa yang ketika banyak memabukkan maka ketika sedikit (dalam suatu riwayat: meskipun cuma sepenuh telapak tangan) hukumnya haram.”, beliau mengalihkan kepada sesuatu realita yang bisa diindera yang dinamakan atau disifati bahwa ia memabukkan (muskirah). Muskirah adalah istilah yang sudah maklum dalam bahasa Arab. Orang Arab mengenalnya sebelum datangnya wahyu. Mereka juga mengetahui realitasnya melalui indera dan akal. Kemudian beliau SAW menghukuminya dengan hukum syar'i, yaitu haram.

------------

Tidak ada komentar:

Posting Komentar