Jumat, 11 Juni 2010

Kita Semua Pasti Ditanya....[Serial Kajian 2 : "Hukum Korupsi / Mark Up"]




Tidak akan bergeser tapak kaki seorang hamba pada hari Kiamat sehingga dirinya ditanya tentang empat perkara :

• Tentang umurnya, untuk apa ia habiskan ?
• Tentang jasadnya, untuk apa ia gunakan ?
• Tentang hartanya, darimana ia mendapatkannya dan kemanakah ia menafkahkannya ?
• Dan tentang ilmunya, apakah yang telah ia amalkan ?


[HR.Tirmidzi dan Ad-Darimi, dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahihul Jami’ ,No. 7300]

Firman Allah ;

“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Isra’: 36)

Pada hari (ketika), lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. (QS. An Nuur : 24)

_________________________________________________

Hukum Korupsi dan Mark Up Dokumen


Pembicaraan sekitar tiga "penyakit" berbahaya ini (KKN) akhir-akhir ini menjadi topik yang sangat populer di tengah masyarakat dan bangsa Indonesia, khususnya di penghujung orde baru dan awal masa reformasi (1998). Tiga penyakit di atas sering diidentikkan sebagai penyakit orde baru, karena ketiga bencana itu memang tumbuh dengan subur dan mengakar selama pemerintahan rezim orde baru.

Selama ini penyakit KKN bukanlah tidak terungkap. Akan tetapi sikap masyarakat sebelum masa reformasi cenderung pasrah dan pessimis karena merasa tidak mampu melawan arus gelombang KKN yang cukup deras dan mapan. Dahulu masyarakat tidak sanggup mengungkapkan isi hatinya dan tak tahu mau kemana isi hati itu disampaikan. Akhirnya mereka menyimpan rasa marah dan ketidaksetujuannya terhadap sistem orde baru dan belum menemukan momentum yang tepat untuk menyampaikan unek-unek tersebut.

Memang tingkat korupsi dan kolusi di negeri kita sudah melampaui batas-batas kewajaran. Jauh sebelum lembaga (Non-government Organisation) dari Jerman melakukan survei yang hasilnya diterbitkan oleh sebuah majalah Jerman terkenal "der Spiegel" mengumumkan bahwa Indonesia adalah negara paling korup di Asia, jauh sebelum itu rakyat Indonesia sudah lama menjerit kepedihan atas tekanan penyakit yang tak berprikemanusiaan itu. Anak-anak mereka mau melamar pekerjaan menjadi pegawai negeritidak diterima kalau tidak membayar sejumlah uang. Bahkan bagi yang tidak lulus, uangnyapun tidak kembali. Yang banyak diterima adalah orang-orang yang dekat dengan kekuasaan. Mereka mau mengurus surat-suratnya seperti KTP, SIM, Paspor, IMB dsb. di kantor-kantor pemerintah, maka setiap meja yang dilalui surat itu, harus diberi uang "sogok". Biaya resmi dari pengurusan sebuah surat akhirnya menjadi berlipat-lipat karena setiap pejabat yang terkait, meminta jatah dan imbalan. Kalau tidak dikasi, urusan mereka dipersulit.

Baru setelah munculnya era reformasi, isi hati mereka bisa dilepaskan. Yang tadinya tidur memendam sejumlah perasaan dongkol, mereka hanya bisa berbisik-bisik antar sesama mereka tetapi sekarang barulah unek-unek mereka tersalurkan, kendatipun hasilnya belum terasa maksimal.

Lain lagi dunia pengadilan yang seharusnya menjadi tempat bagi pencari keadilan. Di lembaga peradilan, terjadi kongkalikong antar hakim, jaksa dan pengacara. Menang dan kalah tidak lagi didasarkan pada standar benar-salah. Tetapi ditentukan oleh besarnya uang "suap". Siapa yang ingin menang dalam suatu perkara maka ia harus siap membayar dan menyogok majlis hakim, jaksa dan sebagainya. Bahkan ada keputusan yang di"tender"kan. Siapa yang paling besar bayarannya, dialah yang mengantongi vonnis. Sedang pihak yang tak mampu membayar sesuai target, harus menelan pil pahit, kendatipun dia berada di pihak yang benar dan bukti-buktinya kuat. Memang tidak seluruh hakim, jaksa atau pengacara berbuat seperti itu. Tapi kesan umum masyarakat kita tentang lembaga peradilan yang ada sudah demikian buruk dan sulit dihapus.

Jadi korupsi, kolusi dan nepotisme itu sudah menjadi budaya dan melembaga dalam rezim orde baru. Bahkan di era pemerintahan reformasi inipun budaya KKN masih saja terasa kental. Perubahannya sangat alot. Kesan awal yang muncul selama beberapa bulan pemerintah reformasi berkuasa ialah tidak berani membasmi penyakit KKN hingga ke akar-akarnya. Memeriksa harta Soehartopun mereka mundur maju, ragu-ragu dan mengulur-ulur waktu. Hal ini menguatkan asumsi bahwa Soehartoisme masih mempunyai akar yang kuat dalam tubuh pemerintah reformasi ini.

Korupsi dalam pandangan Syari`at

Islam diturunkan Allah -Subhanahu wa Ta`ala- adalah untuk dijadikan pedoman dalam menata kehidupan umat manusia, baik dalam berkeluarga, bermasyarakat, dan bernegara. Tidak ada sisi yang teralpakan (tidak diatur) oleh Islam. Aturan atau konsep itu bersifat "mengikat" bagi setiap orang yang mengaku "muslim". Konsep Islam juga bersifat totalitas dan komprihensif, tak boleh dipilah-pilah seperti yang dilakukan kebanyakan rezim sekarang ini. Mengambil sebagian dan membuang bagian lainnya, adalah sikap yang tercela dalam pandangan Islam (al-Baqoroh : 85).

Salah satu aturan Islam yang bersifat individual, adalah mencari kehidupan dari sumber-sumber yang halal. Islam mengajarkan kepada ummatnya agar dalam mencari nafkah kehidupan, hendaknya menempuh jalan yang halal dan terpuji dalam pandangan syara`. Pintu-pintu rezeki yang halal terbuka sangat luas, tidak seperti yang dibayangkan oleh banyak orang awam, bahwa dizaman modern ini pintu rezeki yang halal sudah tertutup rapat dan tak ada jalan keluar dari sumber yang haram. Anggapan ini amat keliru dan pessimistik. Tidak masuk akal, Allah memerintahkan hambaNya mencari jalan hidup yang bersih sementara pintu halal itu sendiri sudah tidak didapatkan lagi. Alasan di atas lebih merupakan hilah (dalih) untuk menjustifikasi realitas masyarakat kita yang sudah menyimpang jauh dan menghalalkan segala cara.

Dalam waktu yang sama, Allah melarang hambanya memakan harta/hak orang lain secara tidak sah, apakah melalui pencurian, copet, rampok, pemerasan, pemaksaan dan bentuk-bentuk lainnya. Dalam kaitan ini, Allah swt berfirman dalam al-Qur`an:

"Dan janganlah kamu makan harta sesama kamu dengan cara yang batil". (al-Baqoroh 188, dan An-Nisa`: 29).

Larangan (nahy) dalam ayat di atas menunjukkan bahwa memakan barang atau harta orang lain, baik bersifat individu atau harta orang banyak hukumnya haram. Pelakunya diancam dengan dosa.

Korupsi ialah menyalahgunakan atau menggelapkan uang/harta kekayaan umum (negara, rakyat atau orang banyak) untuk kepentingan pribadi. Praktik korupsi biasanya dilakukan oleh pejabat yang memegang suatu jabatan pemerintah. Dalam istilah politik bahasa Arab, korupsi sering disebut ‘al-fasad’, atau ‘risywah’. Tetapi yang lebih spesifik, ialah "ikhtilas" atau "nahb al-amwal al-`ammah".

Dari keterangan di atas, dapat dipahami bahwa korupsi adalah pekerjaan yang diharamkan karena termasuk memakan harta orang lain dengan cara tidak sah.

Dua hal dalam risywah [sogok / suap]

Seorang muslim hendaknya berusaha keras menjauhi praktik risywah dalam hidupnya. Ini adalah prinsip yang hendaknya kita pegang teguh. Mengingat janji "laknat" Rasul saw. bagi pelaku risywah itu. Bahkan sekalipun seorang muslim menanggung risiko, akibat menolak praktik risywah tersebut. Umpamanya, gara-gara menolak menyogok, seseorang tidak diterima menjadi pegawai, padahal dia berhak untuk lulus. Atau urusannya menjadi terbengkalai, karena tidak mau menyogok, dan sebagainya. Inilah sikap yang terbaik bila memungkinkan.

Hukum "kolusi" menurut Islam

Yang dimaksud dengan kolusi di sini ialah persekongkolan antara dua pihak untuk suatu perbuatan melanggar hukum dan merugikan orang lain. Umpamanya seorang pejabat yang berwenang memutuskan pemenang sebuah tender bersepakat dengan salah seorang pengaju tender agar tendernya yang dimenangkan, maka kesepakatan itu disebut "kolusi". Begitu juga hakim di pengadilan yang berkolusi dengan pihak-pihak yang berperkara, agar perkaranya dimenangkan.

Dalam bahasa agamanya, kolusi bisa disebut dengan "risywah". Tetapi dalam bahasa politiknya, kolusi sering disebut "al-mahsubiyah".

Bila kita membahas masalah kolusi dalam tinjauan hukum syara`, maka kita dapt temukan beberapa nash yang secara langsung dan tegas berbicara tentang masalah kolusi ini, diantaranya, firman Allah :

"Dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim dengan tujuan memakan harta orang lain dengan cara yang tak sah, padahal kamu mengetahui."

Dalam ayat di atas, praktik bersekongkol antara pihak yang berperkara dengan penguasa/hakim dengan tujuan untuk memakan harta orang lain dengan cara yang berdosa (tidak sah), adalah perbuatan terlarang dan diharamkan.

Di samping itu, kita juga dapat menemukan hadits Rasul saw. yang secara tegas berbicara tentang kolusi dan korupsi, yaitu :

"Rasulullah -shallallahu `alaihi wasallam- melaknat orang yang memberikan uang sogok (risywah), penerima sogok dan perantara keduanya (calo)."

Nepotisme dalam pandangan Islam

Istilah "nepotisme" biasa dipakai untuk menerangkan praktik dalam kekuasaan umum yang mendahulukan kepentingan keluarga dekat untuk mendapatkan suatu kesempatan. Dalam bahasa arabnya biasa dipakai istilah "al-Muhabah"

Dalam pandangan Islam, suatu jabatan harus dipegang oleh orang yang berkompeten, ahli untuk bidang yang ditawarkan. Dalam suatu hadits disebutkan bahwa penyerahan jabatan kepada yang bukan ahlinya merupakan salah satu tanda akhir zaman (asyrat al-Sa`ah):

"Apabila sesuatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah Kiamat."

Adapun jika yang diserahi tugas itu adalah kerabat dekat dari orang yang memberi tugas, bukanlah menjadi persoalan. Yang penting apakah orang tersebut memenuhi persyaratan atau tidak. Jadi prinsip yang ditanamkan dalam Islam adalah soal kompetensi seseorang atas sesuatu jabatan, bukan ada tidaknya hubungan kekerabatan. Kalaupun sekiranya pemangku sebuah jabatan adalah keluarga dari orang menunjuk, selama orang tersebut berkompeten/berhak dan tidak ada pihak-pihak yang merasa dizalimi, maka hal itu tidaklah menjadi persoalan.

Jika kita memegang prinsip "kekerabatan" sebagai landasan, dalam arti setiap ada hubungan kekerabatan seseorang dengan pejabat yang menunjuk maka itu sudah merupakan nepotisme yang terlarang, secara rasional barangkali sikap ini kurang obyektif. Hanya gara-gara hubungan kerabat, seseorang tidak berhak mendapatkan haknya, padahal ia berkompeten dalam urusan itu, tentu sikap seperti ini berlebihan yang tidak pada tempatnya. Jadi dalam pandangan Islam, nepotisme tidak selamanya tercela. Yang dilarang adalah menempatkan keluarga yang tidak punya keahlian dalam suatu posisi karena didasari oleh adanya hubungan kekeluargaan. Atau punya kapasitas, tetapi masih ada orang yang lebih berhak untuk jabatan itu, namun yang didahulukan adalah keluarganya. Ini juga nepotisme yang tercela. Karena ada orang lain yang dizalimi,- tidak mendapatkan haknya.

Rezim orde baru memang sarat dengan praktik nepotisme yang terlarang. Sejumlah pejabat tinggi menempatkan anak, istri, menantu, keponakan mereka untuk menduduki kursi dan jabatan pemerintahan ataupun swasta. Padahal mereka ini bukan lulus karena keahliannya. Buktinya, ada orang-orang yang lebih ahli dari mereka tidak mendapatkan haknya. Begitu juga dengan keanggotaan MPR dan DPR. Banyak dari mereka yang diangkat itu sama sekali tidak memiliki prestasi atau keahlian dalam bidang yang dibutuhkan. Praktik ini jelas merupakan "nepotisme" yang berdosa yang dijanjikan Rasul sebagai tanda-tanda hari Kiamat.

Wallahu a`lamu bish-Shawab

DR. Daud Rasyid, MA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar