Jumat, 11 Juni 2010

Syair Al 'Itiraf [Pengakuan] Abu Nawas, Dalam Sorotan




SYAIR ABU NAWAS

Syair ini sangat populer, di populerkan oleh banyak artis dan bahkan banyak dilantunkan di Pondok-pondok Pesantren di Indonesia menjelang masuknya waktu shalat. Sebagai sebuah syair ia menjadi sah-sah saja, sebagai hasil karya seni, namun lain halnya kalau sudah memasuki ranah ibadah, selain itu tidak ada contohnya dari Nabi untuk membaca syair yang dilagukan sebelum masuknya waktu shalat.

Ya Tuhanku, tidak pantas bagiku menjadi penghuni surga-Mu

Namun, aku tidak kuat dengan panasnya api neraka

Terimalah taubatku dan ampunilah dosa-dosaku

Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun dosa-dosa besar

Dosaku seperti jumlah pasir

Maka terimalah pengakuan taubatku Wahai Pemilik Keagungan

Dan umurku berkurang setiap hari

Dan dosaku bertambah, bagaimana aku menanggungnya

Ya Tuhanku, hamba-Mu yang berdosa ini datang kepada-Mu

Mengakui dosa-dosaku dan telah memohon pada-Mu

Seandainya Engkau mengampuni

Memang Engkaulah Pemilik Ampunan

Dan seandainya Engkau menolak taubatku

Kepada siapa lagi aku memohon ampunan selain hanya kepada-MU



Sikap Pesimis dan plin plan [tidak konsisten] terlihat dalam bait Syair Abu Nawas ini

Ya Tuhanku, tidak pantas bagiku menjadi penghuni surga-Mu

Namun, aku tidak kuat dengan panasnya api neraka

_____________________________________________________

SIAPA SEBENARNYA ABU NAWAS ?

Abu Nawas. Siapa pun pasti pernah mendengar nama ini. Di negara kita, ia dikenal sebagai seorang tokoh cerdik yang sarat dengan cerita-cerita lucu. Perseteruannya dengan Raja Harun al-Rasyid selalu menjadi cerita utama anak-anak kecil. Hebatnya, kisah lucu Abu Nawas seakan tak pernah habis. Selalu ada cerita lucu yang baru hingga akhirnya ia dikenal dengan seorang humoris yang sangat pintar. Raja Harun al-Rasyid, yang disebut sebagai Raja Dinasti Abbasiyah paling pintar, tak pernah berhasil mengalahkannya. Berbagai macam cara atau tipudaya dilakukan oleh raja Harun dan Abu Nawasdengan kecerdikannya selalu selamat dari ancaman penjara atau hukuman dari Raja Harun.

Syair “Ilahi lastu lil firdausi ahlan. Wa la aqwa ala nari al-jahimi…” yang sering kita dengar sebagai karya Abu Nawas, menggambarkan betapa jenakanya tokoh dari Baghdad itu. Konon, di dalam kubur Abu Nawas membaca doa di atas sehingga ia selamat dari amukan Munkar-Nakir. Kalau diartikan secara harfiah, doa itu memang agak lucu: masuk surga tak pantas, masuk neraka tidak kuat. Mungkin, dari sikap-sikapnya yang nyeleneh, akhirnya banyak yang mempercayai bahwa Abu Nawas adalah wali Allah atau minimal seorang tokoh sufi.

Gus Dur pun mengatakan bahwa syair itu adalah karya Abu Nawas, Syair ini dikarang oleh seorang ulama sufi besar di kota Baghdad pada pertengahan abad ke delapan yang silam. Ia Bernama Abu Nawas atau Abu Nuwas.

Tidak jelas dari mana sumbernya cerita dan kesufian Abu Nawas itu. Sebab dalam literatur sejarah Islam, Abu Nawas justru lebih dikenal sebagai tokoh sastra daripada seorang pelawak. Dan sekedar diketahui, ternyata petualangan Abu Nawas bukan dengan Harun al-Rasyid melainkan dengan khalifah setelahnya, Al-Amin, putra Harun. Bahkan ada yang mengatakan bahwa Abu Nawas tidak pernah bertatap muka dengan Harun al-Rasyid. Para sejarawan hanya mengenalnya sebagai tokoh sastra. Banyak ulama yang menempatkan Abu Nawas sebagai sastrawan Islam nomor wahid di dunia Islam mengalahkan Furazdaq, bahkan Jalaluddin al-Rumi (?).

Ibnu Arabi mengatakan, aku telah bandingkan syair Abu Nawas dengan yang lain, ternyata tidak aku temukan syair seindah miliknya. Tokoh hadits, sejarah dan sastra terkenal di Bashrah bernama Ubaidullah bin Muhammad mengatakan, barang siapa yang belajar sastra tetapi tidak meriwayatkan syair Abu Nawas, maka dia tidak akan sempurna sastranya. Kultsum al-Uttabi juga mengatakan, andaikan Abu Nawas hidup sejak masa Jahiliyah, niscaya tidak seorang pun yang bisa mengalahkannya. Imam al-Utbi mengatakan, al-Jahiz berkomentar, tidak aku temukan orang yang alim dalam ilmu bahasa dan lebih fasih lahjahnya dari mengalahkan Abu Nawas. Dan masih banyak komentar ulama yang senada dengan di atas.

Sayang, keahliannya dalam bersastra terkontaminasi oleh kebiasaannya yang mujun. Hampir semua kitab sejarah menyebutkan hal yang sama: Abu Nawas adalah sastrawan cabul: gemar minuman keras, berbicara kotor dan puisi-puisinya banyak mengkritik hadits dan ayat al-Qur’an yang melarang minum Khomer. Ia sering keluar masuk penjara karena puisi-puisinya itu.

Puisi dan cerita mujun-nya bisa dilihat dalam kitab-kitab sejarah seperti, Tarikh al-Islam (juz 10/161) karya sejarawan handal Adz-Dzahabi, Tarikh Baghdad (juz 7/ 436) karya Khatib al-Baghdadi, Tahdzib ibn Asakir juz 4 (biografi Abu Nawas), Wafayat al-A’yan karya Ibnu Khalkan, Masalik al-Abshar (jilid 9), Syudzurat al-Dzahab (juz 1/345) atau kitab Mulhaq al-Aghani juz 25 karya Abu al-Faraj al-Ashbihani yang khusus menerangkan biografi Abu Nawas.

Di samping peminum minuman keras, Abu Nawas ternyata juga seorang homosex, hal yang terasa asing ditelinga kita. Seorang tokoh Timur Tengah menulis sebuah disertasi mengenai hal ini. Dalam disertasinya yang berjudul al-Syudzudz al-Jinsiyah (kelainan seksual), beliau mengupas habis kepribadian Abu Nawas terutama tentang kelainan seksualnya. Karena itulah, selama hidupnya ia tidak pernah menyukai orang perempuan.

Dalam Mulhaq al-Aqhani juz 25 disebutkan bahwa Abu Nawas pernah dikawinkan secara paksa oleh orang tuanya dengan salah satu wanita yang masih familinya, tapi keesokan harinya perempuan itu ditalaknya karena Abu Nawas tidak mencintainya. Ia pernah mencintai seorang perempuan bernama Jinan. Sayang, cintanya tak sampai.

Kecabulannnya inilah yang membuat Abu Nawas nyaris tidak mendapatkan simpati dari tokoh-tokoh Islam. Salah satu bukti, dalam kitab-kitab balaghah sangat jarang dijumpai pengarangnya menggunakan contoh dari syair-syairnya. Kehebatan sastranya tenggelam di telan kefasikannya. Orang sebesar Imam Syafi pun mengakui kehebatan sastranya. Beliau mengatakan, seandainya Abu Nawas tidak mujun, niscaya aku akan belajar sastra kepadanya Para pengamat sastra menyimpulkan, ada tiga generasi dalam sastra Arab. Di masa Jahiliyah, hanya ada seorang penyair yang tak tertandingi yaitu Imru’ul Qois, dan pada masa awal perkembangan Islam ada nama Jarir dan Furazdaq, musuh al-Hajjaj. Sedang di abad terakhir hanya nama Abu Nawas yang terhebat.

Dus, belum ditemukan keterangan bahwa Syair “Ilahi lastu…” itu adalah karya Abu Nawas. Dalam sebuah kitab justru disebutkan bahwa syair itu adalah karya Syekh al-Sya’roni, bukan milik Abu Nawas. Begitu pula dengan cerita-cerita lucunya, tidak ditemukan dalam literatur sejarah.

Apakah ia seorang wali? Kita tidak bisa menjawabnya. Walaupun ada sebagian ulama berpendapat bahwa Abu Nawas termasuk zindiq, atau minimal fasiq. Namu pada detik-detik akhir kehidupannya, Abu Nawas berubah total. Khamer yang menjadi trade mark nya sejak ia menginjak dewasa dibuang jauh-jauh. Ia tidak lagi menggubah puisi-puisi mujun. Lembaran-lembaran syairnya dibakar habis. “Aku takut setalah aku mati nanti masih tersisa satu dari syairku. Karena itu aku membakarnya,” kata Abu Nawas ketika ditanya oleh salah seorang temannya. Kehidupan zuhudnya di masa injury time itu terangkum dalam beberapa syairnya yang kemudian dikenal dengan isltilah zuhdiyat.

Dari salah satu syair zuhdiyatnya ini, ada empat bait syair yang mirip dengan syair yang biasa kita dengar itu (Ilahi lastu…).
Konon, setalah meninggal, salah seorang temannya mimpi bertemu dengan Abu Nawas dengan wajah yang sangat tampan dan pakaian yang serba bagus.
“Apa yang kamu terima dari Allah?,” tanya si teman.
“Allah mengampuni segala dosaku,” jawab Abu Nawas.
“Mengapa?”
“Karena puisi-puisiku yang aku gubah sebelum aku mati.”
Alhasil, dari manakah sumber cerita yang sering kita dengar itu? Jawabnya, mungkin Abu Nawas ada dua: yang satu ada di kota Baghdad, Iraq. Sedang satunya ada di Indonesia. Dan yang kita dengar cerita itu adalah Abu Nawas yang hidup di Indonesia.

Sumber :
http://cakfata-denbagus.blogspot.com/2009_09_01_archive.htm
_______________________________________________

SIKAP SEORANG MUSLIM HARUS OPTIMIS

Diriwayatkan dalam shahih Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda:

لا يقل أحدكم: اللهم اغفر لي إن شئت، اللهم ارحمني إن شئت، ليعزم المسألة، فإن الله لا مكره له

"Janganlah ada seseorang di antara kamu yang berdo'a: "Ya Allah, ampunilah aku jika Engkau menghendaki", atau berdo'a: "Ya Allah, limpahkan rahmat-Mu kepadaku jika Engkau menghendaki; tetapi hendaklah berkeinginan kuat dalam permohonannya itu, karena sesungguhnya Allah tiada sesuatupun yang memaksa-Nya untuk berbuat sesuatu."

*Maksudnya ; jangan ada kalimat "Jika Engkau menghendaki", jadi kalimat yang lebih baik adalah; Ya Allah, ampunilah aku [optimis]....tanpa kalimat, jika Engkau menghendaki [pesimis].

"Dan disebutkan dalam riwayat Muslim:

وليعظم الرغبة، فإن الله لا يتعاظمه شيء أعطاه

"Dan hendaklah ia membesarkan harapannya, karena sesungguhnya Allah tidak terasa berat bagi-Nya sesuatu yang Dia berikan."

Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. (QS. Al A'raf : 56)

Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. (QS. Al Mu'minun : 60)



Wallahu a'lam
Anwar Baru Belajar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar