Rabu, 09 Juni 2010

STATUS PENDUKUNG THOGHUT DALAM HUKUM ISLAM bag 1

Syaikh ‘Abdul Qoodir Bin ‘Abdul ‘Aziiz




STATUS
PENDUKUNG THOGHUT
DALAM HUKUM ISLAM










Penerjemah:
Abu Musa Ath Thoyyaar

STATUS PARA PENDUKUNG THOGHUT DALAM HUKUM ISLAM
Kajian Kritis Terhadap Buku
( Ar Risalah Al imaaniyyah Fil Muwaalaah)
Risalah ini pengarangnya adalah: Ustaadz Thol’at Fu’aad Qoosim, risalah ini juga merupakan pedoman syar’iy dan pemikiran bagi Al Jamaa’ah Al Islaamiyyah Mesir. Dan risalah ini merupakan penuempurna buku yang Al Qoulul Qoothi’ Fii Man Imtana’a ‘Anisy Syaroo-i’ yang telah saya kritik sebelumnya. Dalam halaman b dalam Kata Pengantar buku Al Qoulul Qoothi’ dikatakan: “Dan tidak samar lagi bahwasanya kami membedakan antara para penguasa yang merubah hukum dengan para personal di dalam kelompok mereka yang menolong dan membelanya. Adapun para penguasa, mereka adalah orang-orang murtad lantaran mereka telah mengganti syari’at Alloh. Sedangkan personal dari kelompok mereka, maka tidak samar lagi bahwasanya ia harus diteliti syuruuthul ahliyyah (syarat-syarat bisa dijatuhi vonis hukum) dan mawaani’ (hal-hal yang menjadi penghalang) nya, dan harus dilaksanakan iqoomatul hujjah (disampaikan penjelasan) sebelum divonis murtad secara ta’yiin.” Maka buku Ar Risaalah Al Liimaaniyyah datang untuk membahas tentang hukum semua personal dari anggota kelompok (pemerintahan) yang membantu dan membela penguasa yang murtad. Dan kesimpulan penulis risalah ini sama dengan kesimpulan penulis Al Qoulul Qoothi’, yaitu menentukan status hukum kelompok ini (pemerintah) dan tidak menetapkan suatu hukum tertentu terhadap semua personal anggotanya kecuali setelah tabayyun (klarifikasi) tentang keadaan para personal anggota tersebut secara ta’yiin. Maka dalam penutupan risalah tersebut pada halaman 37-38 dikatakan: “Akan tetapi setiap orang yang mengangkat dirinya sebagai hakam (pemutus perkara) yang memutuskan perkara di tengah-tengah manusia hendaknya pertama kali ia melihat jenis muwaalaah (loyalitas) nya: apakah termasuk muwaalaah dhoohiriyyah (loyalitas secara dhohir) saja atau termasuk muwaalaah baathiniyyah (loyalitas secara batin). Jika termasuk muwaalaah dhoohiriyyah --- dan di sana tidak ada manfaat dan kemaslahatan sedikitpun yang bisa diterima --- maka pelakunya adalah berdosa dan bermaksiyat sesuai dengan derajat perbuatannya. Adapun jika termasuk muwaalaah baathiniyyah maka ini merupakan kekafiran dan dijelaskan kepada pelakunya dengan kekafirannya dengan cara iqoomatul hujjah (menyampaikan penjelasan). Atas dasar ini maka kita tidak bisa --- tidak dibenarkan --- untuk memvonis kafir --- secara ta’yiin --- setiap orang yang berwalaa’ (loyal). Sama saja baik berwalaa’ kepada orang-orang kafir atau kepada sebuah pemerintahan atau kepada sebuah ideologi kafir, sebelum melaksanakan kaidah-kaidah yang telah kami jelaskan. Memang kita menyatakan bahwa perbuatan tersebut secara umum adalah perbuatan kafir, atau bahwa pemerintah tersebut secara umum adalah pemerintah kafir, namun untuk men ta’yiin kepada personal-personalnya tidak dibenarkan kecuali setelah melaksanakan kaidah-kaidah yang telah kami sebutkan. Misalnya pemerintah Mesir sekarang ini adalah pemerintah kafir, sedangkan personal-personalnya secara ta’yiin --- selain presiden --- maka wajib melaksanakan apa yang telah kami sebutkan sebelum memvonis kafir kepada setiap orang di antara mereka. Dan presiden ini dikecualikan karena memang kekafirannya disebabkan hal-hal yang lain selain al muwaalaah (loyal), justru di sini dialah yang diberi walaa’ (loyalitas) dalam permasalahan ini. Adapun jika yang dimaksud itu adalah membahas kekafirannya, maka berwalaa’ (loyalitas) dia kepada barat atau kepada Yahudi mencabut kaidah-kaidah tersebut. Dan demikian pula dengan aparat keamanan negara Mesir sekarang ini adalah aparat kafir, namun secara ta’yiin (personalnya) yang bekerja di dalamnya --- yang tidak kita ketahui keadaannya dan tidak kita ketahui pula jenis walaa’nya --- maka kita tidak boleh memvonis kafir kepadanya sebelum melaksanakan apa-apa yang telah kami sebutkan.” Dan penulis risalah ini memberikan sebutan kepada prang yang mengatakan bahwa para pembantu penguasa tersebut kafir secara ta’yiin dengan berbagai sebutan di antaranya, pada halaman 3: “… orang yang terjerumus dalam khondaqut takfiir (parit orang yang suka mengkafirkan)… ”, dan pada halaman 4: “… masuk dalam perangkap piramide takfiir… ”, dan juga pada halaman 4: “… maka mereka sesat dan menyesatkan… ”, dan pada halaman 6: “… Kami telah meliahat srigala-srigala takfiir telah keluar dari hutan-hutan seperti ini… ”. Dan pada tulisan-tulisan berikut ini anda akan melihat celaan-celaan yang dilontarkan oleh penulis risalah tersebut yang terkena pertama kali adalah Abu Bakar Ash Shiddiiq dan seluruh sahabat yang bersamanya, karena sesungguhnya mereka telah bersepakat untuk mengkafirkan orang-orang yang menjadi pendukung orang murtad secara ta’yiin.
Dan pembahasan dalam masalah ini akan kami bagi menjadi tiga bagian, yaitu:

Bagian pertama :
Beberapa pengantar kepada permasalahan.
Bagian kedua :
Penjelasan mengenai status para pendukung thoghut dalam hukum Islam.
Bagian ketiga :
Kajian kritis terhadap buku Ar Risaalah Al imaaniyyah.
Sedangkan bagian pertama dan kedua adalah merupakan pijakan dan pendahuluan untuk kritikan yang terdapat dalam bagian ketiga.

Bagian Pertama:
Beberapa Kata Pengantar Kepada Permasalahan

Sebelum menjelaskan status para pendukung thoghut dalam hukum Islam, terlebih dahulu kami berikan tiga kata pengantar, Pertama : Penjelasan tentang definisi thoghut dan para pendukung thoghut, Kedua : Penjelasan tentang kejahatan para pendukung thoghut dan yang Ketiga: Penjelasan tentang tata cara berijtihad dalam An Nawaazil (permasalahan yang jarang terjadi). Dan berikut ini penjelasannya.

PENGANTAR PERTAMA:
Pengertian Thoghut Dan Para Pendukung Thoghut

Iman seseorang tidak akan syah sampai dia kufur terhadap thoghut, Alloh subhana wa ta’aalaa berfirman :
فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى
Brangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Alloh, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat… (QS. Al Baqoroh : 256)
Ayat ini merupakan tafsiran dari syahadat Laa Ilaaha Illalloh yang mencakup An Nafyu (peniadaan) dan Al Itsbaat (penetapan).
An Nafyu artinya : mengingkari segala bentuk ibadah kepada selain Alloh, hal ini direalisasikan oleh seseorang dengan cara meyakini atas bathilnya beribadah kepada selain Alloh dan dengan cara meninggalkan dan membenci peribadatan tersebut,serta mengkafirkan dan memusuhi orang-orang yang melakukannya. Inilah yang dimaksud dengan kufur terhadap thoghut, dan beginilah cara kufur terhadap thoghut sebagaimana yang dikatakan oleh syaikh Muhammad bin Abdul Wahab.
Al Itsbaat artinya : Menetapkan peribadahan hanya untuk Alloh semata dengan cara melaksanakan segala bentuk ibadah hanya kepada Alloh semata. Dan inilah yang dimaksud Iman kepada Alloh pada ayat diatas.
Ibnu Katsiir berkata, adapun firman Alloh subhanahu wa ta’aalaa yang berbunyi:
فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لَا انْفِصَامَ لَهَا
“…karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Alloh, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus…” (QS. Al Baqoroh : 256)
Maksudnya : Barang siapa meninggalkan andaad (segala sesuatu yang dianggap sebagai tandingan Alloh), berhala dan apa-apa yang diserukan oleh syaithon untuk diibadahi selain Alloh lalu dia mengesakan Alloh dan beribadah hanya kepadaNya saja serta bersaksi bahwasannya tidak ada ilah selain Alloh,
فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى
…sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat…
Maksudnya: Sungguh dia telah mantap urusannya dan telah berjalan diatas jalan yang lurus.
Kemudian Ibnu Katsiir, menukil dari ‘Umar Bin Khattab bahwasannya thoghut itu adalah syaithan. Dan Ibnu Katsiir berkata: ”Pendapatnya yaitu : bahwa thoghut itu syaithan, adalah pendapat yang sangat kuat karena dia mencakup segala keburukan yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyyah yang berupa beribadah, berhukum, dan meminta pertolongan kepada berhala” (Tafsir Ibnu Katsiir, I/311), dan pada I / 512 Ibnu Katsiir mengatakan: “Bahwa orang-orang yang mengatakan seperti perkataan ‘Umar Bin Khoth-thoob tersebut adalah: Ibnu ‘Abbaas, Abul ‘Aaliyah, Mujaahid, ‘Athoo’, ‘Ikrimah, Sa’iid bin Zubair, Asy Sya’biy, Al Hasan, Adl Dlohaak, As Suddiy.
Dan Ibnu Katsiir menukil dari Jaabir bahwasannya thoghut itu adalah para dukun yang dihampiri oleh syetan.
Dan dia juga menukil dari Mujaahid bahwasannya thoghut itu adalah syetan berbentuk manusia yang dijadikan hakim oleh manusia dan dia yang menguasai urusan mereka.
Dan beliau menukil dari Imam Maalik bahwa thoghut itu adalah segala sesuatu yang diibadahi selain Alloh.
Dan dalam menafsirkan firman Alloh Ta’aalaa yang berbunyi:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ ءَامَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu… (QS. An Nisaa’ : 60)
Ibnu Katsiir berkata:”Ayat ini lebih umum dari semua itu, karena sesungguhnya ayat ini mencela semua orang yang menyeleweng dari Al Qur’an dan Sunnah dan berhukum kepada selain keduanya yang berupa kebatilan. Dan inilah yang dimaksud dengan thoghut itu disini. (Tafsiir Ibnu Katsiir, I / 519)
Ibnul Qoyyim berkata: ”Thoghut adalah segala sesuatu yang disikapi oleh seorang hamba secara berlebihan berupa hal-hal yang diibadahi atau diikuti atau ditaati. Dengan demikian thoghut itu adalah orang yang dijadikan hakim oleh manusia selain Alloh dan RosulNya, atau yang mereka ibadahi selain Alloh, atau yang mereka ikuti tanpa berdasarkan keterangan dari Alloh atau yang mereka taati pada perkara-perkara yang mereka tidak mengetahui bahwa perkara tersebut merupakan ketaatan kepada Alloh. Inilah thoghut-thoghut yang berada di dunia ini, yang apabila engkau perhatikan thoghut-thoghut tersebut dan sikap manusia terhadapnya niscaya engkau melihat kebanyakan mereka berpaling dari ibadah kepada Alloh, lalu beribadah kepada thoghut dan dari berhukum kepada Alloh dan RosulNya menjadi berhukum kepada thoghut. Dan dari mentaati Alloh serta mengikuti RosulNya menjadi mentaati thoghut serta mengikutinya”. (A’laamu Al Muwaqqi’iin, I / 50).
Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhaab berkata: ”Thoghut itu bersifat umum, maka segala sesuatu yang diibadahi selain Alloh dan dia rela seperti yang diibadahi atau yang diikuti atau yang ditaati diluar ketaatan kepada Alloh dan RosulNya, maka ia adalah thoghut. Dan thoghut itu banyak sedangkan kepalanya ada 5 :
Pertama: Syetan, yang mengajak beribadah kepada selain Alloh. Dalilnya adalah firman Alloh Ta’aalaa :
أَلَمْ أَعْهَدْ إِلَيْكُمْ يَابَنِي ءَادَمَ أَنْ لَا تَعْبُدُوا الشَّيْطَانَ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu hai Bani Adam supaya kamu tidak menyembah syaitan? Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu.(QS. Yaasin : 60)
Kedua: Penguasa Dholim, yang merubah hukum-hukum Alloh, dalilnya adalah firman Alloh ta’aalaa :
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ ءَامَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. (QS. An Nisaa’: 60)
Ketiga: Orang yang memutuskan perkara (hukum) dengan selain apa yang diturunkan oleh Alloh, dalilnya adalah firman Alloh ta’aalaa :
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Alloh, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS. Al Maa-idah : 44)
Keempat: Orang yang mengakui mengetahui hal-hal yang ghoib, dalilnya adalah firman Alloh Ta’aalaa :
عَالِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا إِلَّا مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا
(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada Rosul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya. (QS. Al Jin : 26-27)
Dan Alloh ta’aalaa berfirman :
وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلَّا يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الْأَرْضِ وَلَا رَطْبٍ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
Dan pada sisi Alloh-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir bijipun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh). (QS. Al An’aam : 59)
Kelima: Orang yang diibadahi selain Alloh dan ia rela, dalilnya adalah firman Alloh ta’aalaa :
وَمَنْ يَقُلْ مِنْهُمْ إِنِّي إِلَهٌ مِنْ دُونِهِ فَذَلِكَ نَجْزِيهِ جَهَنَّمَ كَذَلِكَ نَجْزِي الظَّالِمِينَ
Dan barangsiapa di antara mereka mengatakan: "Sesungguhnya aku adalah tuhan selain daripada Alloh", maka orang itu Kami beri balasan dengan Jahannam, demikian Kami memberikan pembalasan kepada orang-orang zalim. (QS. Al Anbiyaa’ : 29)
Dinukil dari risalah Ma’na Thoghut Wa Ru-uusu Anwaa’ihi tulisan Muhammad bin ‘Abdul Wahhaab yang terdapat dalam kitab Majmuu’ At Tauhiid cetakan Maktabah Ar Riyaadh Al Hadiitsah halaman 260.
Syaikh Muhammad Haamid Al Faqiy ketika mendefinisikan thoghut berkata: “Dari perkataan para salaf dapat disimpulkan bahwasannya thoghut itu adalah sesuatu yang memalingkan dan menghalangi seseorang dari beribadah kepada Alloh, dan dari memurnikan diin dan ketaatan pada Alloh dan RosulNya, sama saja apakah sesuatu tersebut berupa syaithon dari kalangan jin atau manusia, pepohonan, bebatuan, dan yang lainnya. Dan tidak diragukan lagi termasuk dalam pengertian ini adalah berhukum dengan undang-undang, syari’at-syari’at, dan lainnya yang diluar Islam yang dibuat oleh manusia untuk dijadikan hukum dalam urusan darah (nyawa), sex, dan harta yang menggantikan syari’at Alloh, seperti pelaksanaan hudud, pengharaman riba, zina, khomer, dan yang lainnya yang dihalalkan dan dilindungi oleh undang-undang tersebut baik pelaksanaannya maupun orang-orang yang melaksanakannya dan undang-undang itu sendiri adalah thoghut. Orang-orang yang membuatnya dan menawarkannya adalah thoghut dan semua buku semacam itu yang dibuat berdasarkan akal manusia untuk memalingkan dari kebenaran yang dibawa oleh Rosululloh SAW baik secara sengaja maupun tidak sengaja adalah thoghut.” (catatan kaki hal 287 dalam kitab Fat-hul Majiid, karangan ‘Abdur Rohmaan bin Hasan, cetakan Daarul Fikri, tahun 1399 H).
Syaikh Sulaimaan bin Samhaan An Najdiy berkata: ”Thoghut itu ada tiga macam, Thoghut di bidang hukum, Thoghut di bidang ibadah, dan Thoghut di bidang ketaatan dan keteladanan.” (Ad Duror As Suniyah, juz 8 hal 272)
Dari uraian diatas saya simpulkan, sesungguhnya definisi thoghut yang paling mencakup adalah pendapat orang yang mengatakan bahwa thoghut adalah: segala sesuatu yang diibadahi selain Alloh --- dan ini adalah perkataan Imam Malik --- juga pendapat orang yang mengatakan bahwa thoghut itu adalah syaithan, dan ini adalah pendapat mayoritas sahabat dan tabi’in. Adapun pendapat selain kedua ini merupakan cabang dari keduanya. Dan dua pendapat itu kembali kepada satu pokok yang mempunyai dhohir dan hakikat. Barangsiapa melihat dari dhohirnya maka dia mengatakan thoghut itu adalah segala sesuatu yang diibadahi selain Alloh, dan barangsiapa melihat pada hakikatnya maka dia mengatakan thoghut itu adalah syaithan, hal itu karena sesungguhnya syaithanlah yang mengajak untuk beribadah kepada selain Alloh, sebagaimana syaithan jugalah yang mengajak untuk berbuat segala bentuk kekafiran, Alloh berfirman :
أَلَمْ تَرَ أَنَّا أَرْسَلْنَا الشَّيَاطِينَ عَلَى الْكَافِرِينَ تَؤُزُّهُمْ أَزًّا
Tidakkah kamu lihat, bahwasanya Kami telah mengirim syaitan-syaitan itu kepada orang-orang kafir untuk menghasung mereka berbuat ma`siat dengan sungguh-sungguh? (QS. Maryam : 83)
Oleh karena itu semua orang yang kafir dan semua orang yang beribadah kepada selain Alloh, disebabkan oleh tipu daya syaithan, dan setiap orang yang beribadah kepada selain Alloh sebenarnya dia beribadah kepada syaithan, sebagaimana firman Alloh ta’aalaa :
أَلَمْ أَعْهَدْ إِلَيْكُمْ يَابَنِي ءَادَمَ أَنْ لَا تَعْبُدُوا الشَّيْطَانَ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu hai Bani Adam supaya kamu tidak menyembah syaitan? Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu. (QS. Yaasin : 60)
Dan Alloh berfirman tentang Ibrahim alaihis salam :
يَاأَبَتِ لَا تَعْبُدِ الشَّيْطَانَ
Wahai bapakku, janganlah kamu menyembah syaitan… (QS. Maryam : 44)
Padahal bapaknya beribadah kepada berhala, sebagaimana firman Alloh ta’aalaa
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لِأَبِيهِ ءَازَرَ أَتَتَّخِذُ أَصْنَامًا ءَالِهَةً
Dan (ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya Aazar: Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan?…(QS. Al An’aam : 74)
Dengan demikian maka syaithan itu adalah thoghut yang paling besar, maka semua orang yang beribadah kepada berhala, seperti patung atau pohon, atau manusia maka sebenarnya dia adalah beribadah kepada syaithan. Dan setiap orang yang berhukum pada manusia atau peraturan-peraturan atau undang-undang selain Alloh maka pada hakikatnya dia berhukum kepada syaithan dan inilah yang dimaksud dengan berhukum kepada thoghut.
Maka barangsiapa yang menyatakan thoghut secara global dari segi dhohirnya, maka dia menyatakan thoghut itu adalah segala sesuatu yang diibadahi selain Alloh dan barangsiapa yang menyatakan secara global dari sisi hakikatnya maka dia menyatakan bahwa thoghut itu adalah syaithan sebagaimana yang saya nukil diatas.
Dan barangsiapa yang menyatakan thoghut itu secara terperinci dari sisi dhohirnya maka dia mengatakan bahwa thoghut itu adalah segala sesuatu yang diibadahi atau diikuti atau ditaati atau dijadikan hakim selain Alloh, dan ini adalah perkataan Ibnul Qoyyim, dan perkataan Sulaiman bin Samhan, mirip dengan perkataannya semuanya ini kembali kepada makna ibadah, maka mengikuti, mentaati, dan berhukum adalah merupakan ibadah yang tidak boleh ditujukan kecuali hanya kepada Alloh, sebagaimana firman Alloh ta’aalaa :
اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ
Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya… (QS. Al A’raaf : 3)
Ini berkenaan dengan mengikuti, dan Alloh ta’aalaa berfirman :
قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ
Katakanlah: Ta`atilah Alloh dan Rosul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Alloh tidak menyukai orang-orang kafir.(QS. Ali ‘Imroon : 32)
Ini tentang ketaatan, dan Alloh ta’aalaa berfirman :
وَلَا يُشْرِكُ فِي حُكْمِهِ أَحَدًا
…dan Dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan keputusan.(QS. Al Kahfi : 26)
dan ini tentang berhukum.
Maka mengesakan Alloh dalam mengikuti, mentaati dan berhukum termasuk mengesakan Alloh dalam beribadah yaitu tauhiid uluuhiyyah yang sama persis seperti mengesakan Alloh dalam shalat, berdo’a dan ibadah-ibadah ritual. Semua ini merupakan Ibadah, sedangkan Alloh ta’aalaa berfirman :
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ
Dan Kami tidak mengutus seorang Rosulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku. (QS. Al Anbiyaa’ : 25)
Dengan demikian ibadah adalah mencakup segala sesuatu yang dicintai dan diridhoi Alloh baik berupa perkataan maupun perbuatan yang lahir maupun batin.
Maka definisi yang mencakup makna thoghut dipandang dari sisi dhohirnya adalah segala sesuatu yang diibadahi selain Alloh. Adapun secara terperinci didalam Al Qur’an disebutkan dua macam thoghut yaitu: Thoghut di bidang ibadah dan Thoghut di bidang hukum.
A. Adapun Thoghut dibidang ibadah terdapat dalam firman Alloh:
وَالَّذِينَ اجْتَنَبُوا الطَّاغُوتَ أَنْ يَعْبُدُوهَا
Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembahnya…(QS. Az Zumar : 17)
Yaitu segala sesuatu yang diibadahi selain Alloh baik berupa syaithan, manusia, yang hidup atau yang mati, atau hewan atau benda mati yang berupa pohon atau batu atau bintang-bintang tertentu baik beribadah dengan cara mempersembahkan hewan korban kepadanya atau berdo’a kepadanya atau sholat kepadanya selain kepada Alloh atau dengan cara mentaatinya dan mengikutinya pada hal-hal yang menyelisihi syari’at Alloh. Dan kalimat (segala sesuatu yang diibadahi selain Alloh) dikhususkan dengan kalimat (sedangkan dia rela dengan ibadah tersebut) supaya tidak masuk didalamnya seperti Isa bin Maryam atau Nabi-nabi yang lainnya, para malaikat dan orang-orang sholeh, karena mereka itu diibadahi selain Alloh namun mereka tidak rela dengan ibadah tersebut sehingga mereka tidak disebut sebagai thoghut.
Ibnu Taimiyyah berkata : Alloh subhanahu wa Ta’aalaa berfirman :
وَيَوْمَ يَحْشُرُهُمْ جَمِيعًا ثُمَّ يَقُولُ لِلْمَلَائِكَةِ أَهَؤُلَاءِ إِيَّاكُمْ كَانُوا يَعْبُدُونَ قَالُوا سُبْحَانَكَ أَنْتَ وَلِيُّنَا مِنْ دُونِهِمْ بَلْ كَانُوا يَعْبُدُونَ الْجِنَّ أَكْثَرُهُمْ بِهِمْ مُؤْمِنُونَ
Dan (ingatlah) hari (yang di waktu itu) Alloh mengumpulkan mereka semuanya kemudian Alloh berfirman kepada malaikat: "Apakah mereka ini dahulu menyembah kamu?".Malaikat-malaikat itu menjawab: "Maha Suci Engkau. Engkaulah pelindung kami, bukan mereka: bahkan mereka telah menyembah jin; kebanyakan mereka beriman kepada jin itu.(QS. Saba’ : 40-41)
Maksudnya adalah para malaikat tidak menyuruh mereka untuk melakukan hal itu, akan tetapi yang menyuruh mereka adalah jin supaya mereka menjadi penyembah syaithan yang menampakkan wujudnya kepada mereka sebagaimana syaithan-syaithan yang terdapat pada berhala dan sebagaimana syaithan-syaithan yang menemui sebagian orang yang beribadah dan menunggu-nunggu bintang-bintang sampai-sampai syaithan tersebut menampakkan diri dan berbicara dengan orang-orang tersebut, padahal yang menampakkan diri tersebut adalah sebangsa jin, oleh karena itu Alloh ta’aalaa berfirman :
أَلَمْ أَعْهَدْ إِلَيْكُمْ يَابَنِي ءَادَمَ أَنْ لَا تَعْبُدُوا الشَّيْطَانَ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ وَأَنِ اعْبُدُونِي هَذَا صِرَاطٌ مُسْتَقِيمٌ وَلَقَدْ أَضَلَّ مِنْكُمْ جِبِلًّا كَثِيرًا أَفَلَمْ تَكُونُوا تَعْقِلُونَ
Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu hai Bani Adam supaya kamu tidak menyembah syaitan? Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu", dan hendaklah kamu menyembah-Ku. Inilah jalan yang lurus. Sesungguhnya syaitan itu telah menyesatkan sebahagian besar di antaramu. Maka apakah kamu tidak memikirkan? (QS. Yaasin : 60-62)
Dan Alloh subhanahu wa ta’aalaa berfirman :
أَفَتَتَّخِذُونَهُ وَذُرِّيَّتَهُ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِي وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّ بِئْسَ لِلظَّالِمِينَ بَدَلًا
Patutkah kamu mengambil dia dan turunan-turunannya sebagai pemimpin selain daripada-Ku, sedang mereka adalah musuhmu? Amat buruklah iblis itu sebagai pengganti (Allah) bagi orang-orang yang zalim. (QS. Al Kahfi : 50)
(Majmuu’ Fataawaa, jilid 4 hal 135-136)
B. Thoghut dibidang hukum, terdapat dalam firman Alloh ta’aalaa:
يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ
…Mereka hendak berhakim kepada thaghut… (QS. An Nisaa’ : 60)
Yaitu segala sesuatu yang dijadikan sebagai hakim (pemutus perkara) selain Alloh. Seperti hukum ciptaan manusia, undang-undang ciptaan manusia atau hakim yang memutuskan perkara dengan selain apa yang diturunkan oleh Alloh. Orang itu sebagai penguasa atau hakim atau yang lainnya. Diantara fatwa ulama kontemporer (ulama pada zaman sekarang) dalam masalah ini adalah fatwa yang dikeluarkan oleh panitia tetap untuk penelitian ilmiyah dan fatwa di Saudi Arabia ketika menjawab orang yang menanyakan tentang thoghut dalam firman Alloh:
يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ
“…mereka hendak berhukum kepada thoghut…” ,
… yang dimaksud thoghut dalam ayat itu adalah segala sesuatu yang memalingkan dari berhukum kepada kitab Alloh dan sunnah Rosululloh, lalu berhukum kepadanya, seperti sistem dan undang-undang buatan manusia atau adat istiadat yang diwarisi secara turun temurun atau para pemimpin suku yang memutuskan perkara diantara mereka berdasarkan adat tersebut, atau berdasarkan pendapat pemimpin kelompok atau dukun. Dari sini dapat difahami bahwa segala sistem yang dibuat untuk landasan berhukum sebagai tandingan bagi syari’at Alloh, masuk dalam pengertian thoghut (fatwa no. 8008), dan ketika menjawab pertanyaan : “Kapan kita boleh mengatakan seseorang dengan menyebut nama dan orangnya bahwa ia itu thoghut?”, maka dia jawab :”Apabila mengajak untuk berbuat syirik atau beribadah kepada dirinya atau mengaku mengetahui hal-hal yang ghoib atau berhukum dengan selain yang diturunkan Alloh secara sengaja dan hal-hal yang semacam dengan itu (fatwa no. 5966) yang berfatwa : ‘Abdulloh bin Qu’uud, ‘Abdulloh bin Ghodiyaan, ‘Abdur Rozzaaq ‘Afiifiy dan ‘Abdul ‘Aziiz bin Baaz (Fataawaa Al Lajnah Ad Daa-imah, I / 542-543, yang dikumpulkan oleh Ahmad ‘Abdur Rozaaq Ad Duwais, cetakan Daarul ‘Aashimah, Riyaadh, tahun 1411 H).
Setelah itu tinggallah dua masalah lagi:
Pertama: Sesungguhnya manusia itu ada yang beriman dan ada yang kufur kepada thoghut, Alloh ta’aalaa berfirman :
يُؤْمِنُونَ بِالْجِبْتِ وَالطَّاغُوتِ
…Mereka percaya kepada jibt dan thaghut… (QS. An Nisaa’ : 51)
Dan Alloh ta’aalaa berfirman :
فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ
…Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Alloh… (QS. Al Baqoroh : 256)
(Lihat Majmuu’ Fataawaa, Ibnu Taimiyyah VII / 558-559)
Beriman kepada thoghut adalah dengan cara beribadah kepadanya atau dengan cara berhukum kepadanya, sedangkan kufur kepada thoghut adalah dengan cara tidak beribadah kepadanya, meyakini bathilnya beribadah kepadanya, tidak berhukum kepadanya dan juga memusuhi para penyembah thoghut dan mengkafirkan mereka.
Kedua: Sesungguhnya kufur terhadap thoghut dan beriman kepada Alloh ta’aalaa itu adalah Tauhid yang diajarkan oleh seluruh para Rosul dan inilah yang pertama kali mereka da’wahkan sebagaimana firman Alloh ta’aalaa :
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اُعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rosul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Alloh (saja), dan jauhilah Thaghut itu… (QS. An Nahl : 36)
Sedangkan thoghut yang dimaksud dalam pembahasan kita ini (status para pendukung thoghut dalam hukum Islam) adalah thoghut dibidang hukum, yang dalam hal ini adalah undang-undang dan hukum ciptaan manusia yang dijadikan rujukan hukum selain Alloh. Dan juga para penguasa kafir yang menjalankan hukum selain hukum yang diturunkan oleh Alloh.
Sedangkan yang dimaksud para pendukung thoghut tersebut adalah mereka yang membela dan mempertahankannya hingga mereka berperang baik dengan ucapan maupun perbuatannya. Oleh karena itu semua orang yang membela thoghut, baik dengan ucapan maupun perbuatan, mereka masuk dalam pengertian pendukung thoghut, karena perang itu dilakukan dengan ucapan dan perbuatan sebagaimana kata Ibnu Taimiyyah ketika membicarakan perang melawan orang-orang kafir asli : ”Adapun orang-orang yang tidak mempunyai kekuatan dan kemampuan berperang seperti perempuan, anak-anak, pendeta, orang tua, orang buta, dan orang-orang yang semacam mereka, menurut mayoritas ulama tidak boleh dibunuh, kecuali jika mereka ikut berperang baik dengan ucapannya maupun perbuatannya” (Majmuu’ Fataawaa, XXVIII / 414), dan beliau juga berkata: “Dan berperang itu ada dua macam, yaitu berperang dengan menggunakan tangan dan berperang dengan menggunakan lisan ---sampai beliau mengatakan --- dan begitu juga pengrusakan kadang dilakukan dengan tangan dan kadang dilakukan dengan menggunakan lisan, dan pengrusakan yang dilakukan dengan lisan terhadap ajaran Islam melebihi pengrusakan yang dilakukan dengan tangan.” (Ash Shoorimul Masluul, hal 385). Berdasarkan hal ini maka yang dimaksud dengan pendukung thoghut pada pembahasan kita disini adalah:
A. Orang-orang yang membela dengan ucapan mereka, golongan ini dipimpin oleh sebagian ulama suu’ (ulama jahat) yang sok tahu,yang memberikan pengesahan dalam syariat Islam terhadap para penguasa kafir dan membela para penguasa tersebut dari tuduhan kekafiran dan membodoh-bodohkan kaum muslimin yang berjihad melawan mereka dan menuduh mereka telah keluar dari Islam dan menyesatkan mereka, mereka menipu para penguasa tersebut dengan kaum muslimin yang berjihad, juga masuk dalam pengertian para pendukung thoghut dengan ucapan, sebagian para penulis, jurnalis, para penyiar berita yang melakukan perbuatan yang sama.
B. Orang-orang yang membela dengan perbuatannya yang paling nyata adalah para tentara penguasa kafir dan pasukannya. Sama saja tentara dan polisi yang terlibat langsung maupun yang tidak langsung karena mereka berdasarkan undang-undang negara dan dipersiapkan untuk melaksanakan tugas-tugas berikut :
• Menjaga sistem negara yang berlaku, hal itu berarti menjaga terus berlangsungnya pemberlakuan undang-undang ciptaan manusia dan menghukum semua orang yang menyimpangnya atau berusaha merubahnya.
• Menjaga hal-hal yang ditetapkan secara sah berdasarkan hukum ini berarti menjaga pemimpin negara tersebut yang kafir karena pemimpin negara tersebut dianggap sebagai pemimpin yang sah berdasarkan undang-undang mereka. Karena pengangkatannya telah dianggap sesuai dengan tata cara yang diatur dalam undang-undang ciptaan manusia.
• Memperkokoh kekuasaan undang-undang dengan cara melaksanakan keputusan-keputusan, undang-undang dan hukum, termasuk melaksanakan keputusan-keputusan yang dikeluarkan oleh pengadilan hukum thoghut yang menggunakan hukum ciptaan manusia.
Juga semua orang yang membela mereka dengan perkataan atau perbuatan selain yang telah kami sebutkan diatas. Mereka masuk juga sebagai anshoorut thoghut (pendukung thoghut) meskipun orang tersebut dari negara lain, ia hukumnya sama juga. Inilah yang dimaksud sebagai thoghut dan mereka yang kami sebut di ataslah yang dimaksud sebagai pendukung thoghut.




PENGANTAR KEDUA
Penjelasan Tentang Kejahatan Para
Pendukung Thoghut

Ketahuilah bahwasannya orang kafir itu tidak mungkin melakukan kerusakan dibumi atau mendzalimi sebuah bangsa, kecuali pasti dengan bantuan orang-orang yang membantunya untuk melakukan kedzoliman dan kerusakan, dan yang menjaga mereka dari orang yang ingin membalasnya. Dengan demikian maka orang kafir dan kerusakan yang dilakukan itu tidak akan eksis kecuali karena ada orang yang membantu dan membelanya, karena itu Alloh berfirman :
وَلَا تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ
“Dan janganlah kamu “rukun” kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka,…” (QS.Huud : 113)
Para ulama mengatakan:”Ar Rukun” adalah sedikit cenderung, dan Ibnu Taimiyyah berkata: ”Dan begitu pula disebutkan dalam sebuah atsar: “Pada hari kiamat akan dikatakan: Manakah orang-orang dzolim dan pembantu-pembantunya? --- atau dikatakan orang-orang yang semacam mereka --- kemudian mereka dikumpulkan dalam satu peti dari api lalu dilemparkan kedalam neraka”. Dan lebih dari seorang salaf yang mengatakan yang disebut dengan para pembantu orang-orang dzalim adalah orang-orang yang membantu mereka meskipun hanya dengan mengisikan tinta atau mengambilkan pena. Dan diantara mereka ada yang mengatakan: Bahkan orang yang mencucikan baju mereka termasuk pembantu mereka, dan mereka itu termasuk yang disebut sebagai jodoh-jodoh mereka. Dalam sebuah ayat: Karena sesungguhnya orang yang membantu untuk berbuat baik dan taqwa, adalah keluarga orang yang berbuat baik dan taqwa. Dan orang yang menolong untuk berbuat dosa dan permusuhan adalah keluarga orang yang berbuat dosa dan permusuhan. Alloh subhanahu wa ta’aalaa berfirman :
مَنْ يَشْفَعْ شَفَاعَةً حَسَنَةً يَكُنْ لَهُ نَصِيبٌ مِنْهَا وَمَنْ يَشْفَعْ شَفَاعَةً سَيِّئَةً يَكُنْ لَهُ كِفْلٌ مِنْهَا
Barangsiapa yang memberikan syafa`at yang baik, niscaya ia akan memperoleh bahagian (pahala) daripadanya. Dan barangsiapa yang memberi syafa`at yang buruk, niscaya ia akan memikul bahagian (dosa) daripadanya…(QS. An Nisaa’ : 85)
Orang yang memberi syafa’at adalah orang yang membantu orang lain, maka dia dengan orang tersebut menjadi genap yang sebelumnya ganjil. Oleh karena itu asy syafa’ah al hasanah ditafsirkan dengan membantu orang-orang yang beriman untuk berjihad. Sedangkan asy syafaa’ah as sayyi-ah ditafsirkan dengan membantu orang-orang kafir dalam memerangi orang-orang beriman sebagaimana hal itu disebutkan oleh Ibnu Jariir dan Abu Sulaimaan (Majmuu’ Fataawaa, VII / 64)
Maka penguasa kafir itu tidak akan eksis, dan tidak akan eksis pula hukum-hukum kafir serta kerusakan-kerusakan besar di negara-negara muslimin yang ditimbulkannya, kecuali lantaran orang-orang yang membela para penguasa thoghut itu. Sama saja apakah mereka itu membantu dengan perkataan yang menyesatkan dan menipu manusia, atau membantu dengan perbuatan. Dengan cara menjaga mereka dan undang-undang mereka dari orang yang ingin membalas mereka. Maka tidak mengherankan kalau Alloh menyebut tentara-tentara penguasa kafir itu dengan pasak-pasak, karena merekalah yang mengokohkan kekuasaannya dan merekalah yang menjadi penyebab eksisnya kekafiran yaitu dalam firman Alloh :
وَفِرْعَوْنَ ذِي الْأَوْتَادِ
dan kaum Fir'aun yang mempunyai pasak-pasak (tentara yang banyak). (QS. Al Fajr : 10)
Ibnu Jariir dalam menafsirkan ayat ini mengatakan: Alloh mengatakan: Apakah kamu tidak melihat apa yang Alloh lakukan kepada Fir’aun yang memiliki pasak-pasak. Para ahli ta’wil berselisih pendapat tentang makna firman Alloh yang berbunyi: ذِي الْأَوْتَادِ”Yang mempunyai pasak-pasak” dan kenapa Dia katakan begitu?, sebagian mereka mengatakan: Artinya adalah yang mempunyai tentara-tentara yang memperkuat kekuasaannya, dan mereka mengatakan pasak-pasak dalam permasalahan ini maksudnya adalah tentara-tentara.” (Tafsiif Ath Thobariy, XXX / 179).
Ini semua menjelaskan tentang kejahatan para pendukung thoghut, dan bahwasannya mereka itulah penyebab yang sebenarnya atas eksisnya kekafiran dan kerusakan. Maka tidak mungkin orang kafir itu dapat merusak dan mendzilimi ummat kecuali dengan menggunakan para pembantu yang menolongnya. Dan kalau Rosululloh saja bersabda :
أنا برئ من كل مسلم يقيم بين أظهر المشركين
Aku berlepas diri dari setiap muslim yang tinggal ditengah-tengah orang musyrik.
Lalu bagaimana dengan orang yang membantu kekafiran mereka?, dan bagaimana dengan orang yang membantu mereka untuk menyakiti dan memerangi kaum muslimin?.
Dan kalau kita lihat, sesungguhnya peperangan yang dilancarkan kaum muslimin terhadap para penguasa thoghut, dengan tujuan menggulingkan mereka dan mengangkat seorang penguasa muslim, kenyataannya peperangan tersebut adalah peperangan melawan para pendukung mereka yang terdiri dari tentara dan yang lainnya. Oleh karena itu wajib hukumnya untuk mengetahui status hukum para pendukung thoghut dan inilah tema pembahasan kita.
PENGANTAR KETIGA :
Tata Cara Berijtihad Pada Sebuah Permasalahan
Saya telah sebutkan syarat-syarat menjadi seorang Mujtahid ketika membahas tentang syarat-syarat mufti pada bab 5 dalam kitab ini. Dan disini saya akan sebutkan tata cara berijtihad pada sebuah permasalahan yang terjadi.
Apabila terjadi sebuah permasalahan terhadap kaum muslimin atau terhadap salah seorang diantara mereka, dan seorang yang telah layak untuk berijtihad hendak berijtihad untuk mengetahui hukum syar’iy nya, maka kewajiban dia yang pertama adalah melihat permasalahan tersebut, apakah permasalahan tersebut merupakan permasalahan yang sudah disepakati (ijmaa’) oleh para ulama atau merupakan masalah yang masih diperselisihkan dikalangan ulama?, hal ini dilakukan supaya dia tidak berfatwa dengan fatwa yang bertentangan dengan ijmaa’ sehingga dia akan tersesat, lantaran mengikuti selain jalan orang-orang beriman. Dan dia tidak boleh berdalil dengan Al Qur’an dan sunnah tanpa melihat pendapat para ulama tentang permasalahan yang ia hadapi. Karena bisa jadi salah dalam memahami dalil atau meletakkan dalil tidak pada tempatnya, sehingga dengan demikian termasuk orang-orang yang menyelewengkan ayat dari tempatnya. Dan anda akan melihat pada kritikan kami terhadap kitab “Ar Risalah Al Ilmaniyyah Fil Muwaalaah” bahwa penulisnya berdalil dengan beberapa yang mendukung pendapatnya dalam masalah yang kita perselisihkan ini. Sebelum meneliti pendapat-pendapat salaf terhadap masalah tersebut, padahal permasalahan tersebut merupakan masalah yang sudah disepakati (ijmaa’) hukumnya oleh para sahabat, bahkan anda akan dapatkan penulis berdalil dengan beberapa nash yang tidak ada kaitannya dengan masalah yang kita perselisihkan ini, dan dia sama sekali tidak menyinggung nash-nash yang bersangkutan dengan permasalahan yang kita perselisihkan ini.
Dan tidak ada satupun firqoh (kelompok) yang menyelisihi Ahlus Sunnah Wal Jama’ah kecuali karena mengikuti manhaj (methode) yang tidak lurus seperti ini, yaitu meyakini sebuah keyakinan sebelum berdalil, kemudian baru mencari dalil dari Al Qur’an dan Sunnah untuk mendukung keyakinannya tanpa melihat kepada pendapat-pendapat salaf dalam masalah tersebut. Dengan cara seperti inilah Khowaarij, Murji-ah, Mu’tazilah, dan lainnya tersesat.
Kalau kami katakan bahwa harus dimulai dengan melihat kepada ijmaa’ sebelum melihat kepada Al Qur’an dan sunnah, hal itu bukan berarti kami lebih mengutamakan ijmaa’ dari pada nash. Aka tetapi ini hanyalah lebih mendahulukan dalam melihat. Inilah yang disebut oleh Abu Haamid Al Ghozaaliy ra dalam kitabnya “Al Mankhul, hal 466”.
Dan Abu Haamid Al Ghozaaliy juga berkata :”Setiap mujtahid dalam menghadapi setiap permasalahan harus mengosongkan pandangannya dari suatu pendapat tertentu sebelum ia melihat kepada dalil, kemudian dia baru mencari dalil yang berkaitan dengan masalahnya.
Lalu yang pertama kali ia lihat adalah ijmaa’ jika dia tidak perlu melihat kepada Al Qur’an dan sunnah, karena Al Qur’an dan sunnah bisa mengandung kemungkinan mansukh (terhapus hukumnya) sedangkan ijmaa’ tidak ada yang mansukh. Maka adanya ijmaa’ itu merupakan dalil yang tegas bahwa apa yang terdapat dalam Al Qur’an dan Sunnah tersebut telah mansukh, hal itu karena ummat Islam itu tidak mungkin bersepakat terhadap sebuah kesalahan.
Kemudian setelah itu hendaknya ia melihat kepada Al Qur’an dan Sunnah yang mutawaatir. Keduanya itu satu derajat karena keduanya merupakan ilmu (dalil) yang qhot’i. Dan tidak mungkin ada perselisihan pada dalil-dalil yang qoth’iy kecuali apabila salah satunya mansuukh. Maka jika dia mendapatkan nash dari Al Qur’an dan sunnah yang mutawattir tentang masalah yang dia kaji, maka hendaknya dia ambil nash tersebut.
Kemudian hendaknya ia mencari dalil-dalil yang umum dan yang dhohir.
Kemudian setelah itu mencari dalil-dalil yang mengkhususkan dari dalil-dalil yang umum tersebut yang bisa didapatkan dari hadits-hadits aahaad dan qiyas. Jika ada qiyas atau hadits aahaad yang bertentangan dengan keumuman dalil, maka kami telah bahas sebelumnya mana yang harus diambil.
Jika ia tidak mendapatkan lafadz secara nash atau secara dhohir maka hendaknya dia melihat kepada qiyas dari nash.
Jika ada 2 qiyas atau dua hadits atau dua keumuman dalil yang saling bertentangan, maka hendaknya ia mencari mana yang lebih kuat (rojih), jika kedua-duanya menurutnya sama, maka dia tinggalkan satu pendapat dan dia pilih satu pendapat dari pendapat itu (Al Mustashfa) karangan Al Ghozaaliy II / 392, yang beliau nukil dari kitab Ar Rodd ‘Alaa Man Akhlada ilal Ardli, karangan As Suyuuthiy hal 163-164 terbitan Al Kutub Al ‘Ilmiyah, 1403 H.
Dan atas bimbingan Alloh setelah kami membahas pengertian thoghut dan para pendukung thoghut, dan setelah kami menjelaskan kejahatan para pendukung thoghut tersebut, kami akan menjelaskan hukum mereka secara syar’iy sesuai dengan apa yang dijelaskan oleh Abu Haamid Al Ghozaaliy yaitu dengan melihat kepada ijmaa’ kemudian melihat kepada dalil-dalil dari Al Qur’an dan Sunnah.
Bagian Kedua :
Hukum Menjadi Pendukung Thoghut
Yang dimaksud disini adalah orang-orang yang membela para penguasa murtad yang menjalankan hukum dengan selain hukum Alloh diberbagai negara kaum muslimin pada hari ini. Sedangkan yang dimaksud dengan orang-orang yang membela adalah orang-orang yang menjaga, mempertahankan dan membela mereka dari orang-orang Islam mujahidin yang ingin menggulingkannya. Orang-orang yang membela adalah orang-orang yang membela mereka dengan perkataan dan berperang mempertahankan mereka dengan senjata. Dan mereka itulah yang menjadi penyebab tetap eksisnya undang-undang kafir di negeri-negeri tersebut, sebagai mana yang telah kami jelaskan lalu.
Sedangkan hukum para pendukung thoghut itu adalah cabang dari hukum thoghut itu sendiri. Dan para penguasa yang menjalankan hukum selain hukum Alloh adalah murtad. Akan kami sebutkan dalil-dalilnya nanti pada pembahasan kedelapan insya Alloh.
Adapun status para pendukung thoghut tersebut, yang terdiri dari para ulama suu’, para penyiar berita, tentara dan lain-lain dalam hukum Islam, mereka kafir secara ta’yiin (perorangannya) pada hukum dzohirnya. Berikut ini dalil-dalilnya :
1. Dalil pertama adalah ijmaa’ para sahabat.
Rosululloh SAW, selama hidupnya tidak pernah memerangi orang-orang mutad yang mumtani’ (mempertahankan diri dari kekuasaan Islam). Akan tetapi para sahabat, setelah wafatnya beliaulah yang memerangi mereka, pada masa khalifah Abu Bakar Ash Shiddiiq. Dari beliau dan para sahabat lainnyalah perincian hukum permasalahan ini diambil, Rosululloh SAW bersabda :
فإنه من يعش منكم فسيرى اختلافا كثيرا فعليكم بسنتي و سنة الخلفاء الراشدين المهديين عضوا عليها بالنواجذ وإياكم و محدثات الأمور فإن كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وكل ضلالة في النار
Sesungguhnya barangsiapa diantara kalian yang hidup sesudahku, akan melihat banyak perselisihan. Maka hendaknya kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah khulafaur rasyidin yang mendapat petunjuk. Gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham kalian. Dan janganlah kalian membuat hal-hal yang baru, sesungguhnya setiap yang baru itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu adalah sesat dan setiap kesesatan itu di neraka. Hadits ini diriwayatkan At Tirmidziy dan dia mengatakan : “Hadits ini hasan shohiih”
Sedangkan para sahabat telah berijmaa’ atas kafirnya para pendukung pemimpin-pemimpin kemurtadan. Seperti para pendukung Musailamah yang mengaku nabi al kadzaab dan Thulaihah Al Asadiy yang mengaku nabi Al Kadzaab. Para sahabat merampas harta mereka, menawan perempuan-perempuan mereka dan para sahabat bersaksi bahwa orang-orang mereka yang tewas berada di neraka. Hal ini adalah sikap pengkafiran para sahabat terhadap para pendukung tersebut. Dalilnya adalah :
Atsar yang diriwayatkan oleh Thooriq bin Syihaab, ia mengatakan:”Datang utusan Buzakhoh dari Bani Asad dan Ghathafan kepada Abu Bakar, mereka memohon perdamaian. Maka Abu Bakar memberikan pilihan kepada mereka antara al harbul mujliyah dan as silmul mukhziyah. Mereka mengatakan: ”Al Muljiyah ini kami sudah mengetahuinya, lalu apa yang dimaksudkan dengan yang al mukhziyah?” Abu Bakar menjawab:”Kalian dilucuti dari al halqoh (senjata) dan al kuro’ (semua kuda), apa yang kami dapatkan dari kalian kami jadikan sebagai ghoniimah (harta rampasan), kalian kembalikan apa yang kalian dapatkan dari kami, kalian bayar diyat (tebusan) setiap orang kami yang kalian bunuh dan kalian mengikuti ekor-ekor onta sampai Alloh menampakkan kepada kholifah Rosul dan orang-orang muhajirin sesuatu yang bisa mengampuni kalian.” Lalu apa yang dikatakan Abu Bakar itu dipaparkan kepada manusia, maka berdirilah ‘Umar dan berkata: ”Aku mempunyai pendapat yang akan kuusulkan kepadamu. Adapun perkataanmu tentang al harbul mujliyah dan as silmul mukhziyah itu sangat bagus sekali. Dan Perkataanmu “Apa yang kita dapatkan dari kalian dianggap sebagai rampasan perang dan apa yang kalian dapatkan harus dikembalikan kepada kami”, ini juga bagus sekali. Adapun perkataanmu “kalian harus membayar diyat (tebusan) setiap orang kami yang kalian bunuh dan orang kalian yang mati dineraka” maka benar adalah sesungguhnya orang-orang kami telah berperang dan terbunuh dalam menjalankan perintah Alloh, maka mereka mendapatkan pahala dari Alloh dan kalian tidak harus membayar diyat.” Thooriq bin Syihaab mengatakan: ”Lalu orang-orangpun mengikuti pendapat ‘Umar”. Atsar ini diriwayatkan oleh Al Barqoniy sesuai dengan syarat Al Bukhooriy. Dari Nailul Authoor tulisan Asy Syaukaaniy VIII / 22. Riwayat ini juga disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Fat-hul Baariy setelah itu beliau mengatakan: ”Al Humaidiy mengatakan; Al Bukhooriy meringkasnya dan hanya menyebutkan ujungnya, yaitu yang berbunyi: (kalian mengikuti ekor-ekor unta –-- sampai –-- yang dapat mengampuni kalian). Dan Al Barqoni meriwayatkan secara panjang dengan menggunakan sanad yang digunakan Bukhori dalam meriwayatkan atsar tersebut” (Fat-hul Baariy, XIII / 210). Dan atsar ini asalnya dalam Shohiih Al Bukhooriy pada bab Al Istikhlaaf, Kitaabul Ahkaam no. 7221. sedangkan utusan Buzakhoh adalah kaumnya Thulaihah Al Asadiy yang berperang bersamanya. Ketika mereka dikalahkan oleh sahabat, mereka mengirim utusan kepada Abu Bakar.
Ibnu Hajar menyebutkan hadits ini dalam syarahnya lalu mengatakan:”Al Muljiyah artinya adalah meninggalkan semua hartanya. Sedangkan al mukhziyah artinya adalah tinggal dalam kehinaan. Sedangkan al halqoh artinya adalah senjata. Sedangkan al kuro’ artinya adalah semua kuda”. Dan manfaatnya adalah, (semua itu dilucuti dari mereka) supaya mereka tidak mempunyai kekuatan, sehingga manusia merasa aman dari mereka. Sedangkan perkataan yang berbunyi: “…apa yang kami dapatkan dari kalian, kami jadikan sebagai ghonimah (harta rampasan)…” yaitu rampasan itu tetap menjadi ghonimah yang akan kami bagi sesuai dengan ketentuan syar’iy, dan tidak dikembalikan kepada kalian sedikitpun. Sedangkan perkataannya yang berbunyi: “…dan kalian kembalikan kepada kami semua yang kalian dapatkan dari kami…” yaitu apa saja yang kalian rampas dari pasukan Islam ketika berperang. Sedangkan perkataannya: “…kalian membayar diyat…” yaitu kalian membawa diyat (tebusan) mereka kepada kami. Sedangkan perkataannya yang berbunyi “orang yang mati diantara kalian masuk neraka” artinya : tidak ada diyat bagi mereka di dunia karena mereka mati dalam kesyirikan mereka, mereka dibunuh dengan alasan yang benar sehingga tidak ada diyat bagi mereka . sedangkan perkataannya yang berbunyi: “…kalian dibiarkan…” dan: “….mengikuti ekor-ekor onta….” artinya : kalian dibiarkan menggembalakannya. Karena jika mereka dilucuti dari peralatan perang, mereka kembali ke pedalaman dan mereka tidak mempunyai penghidupan kecuali hasil dari onta mereka. Ibnu Bath-thool mengatakan: Mereka murtad lalu bertaubat, lalu mereka mengirim utusan kepada Abu Bakar untuk memohon ampun. Maka Abu Bakar menjawab bahwa ia tidak akan memutuskan perkara mereka kecuali setelah bermusyawarah. Maka ia mengatakan kepada mereka: Pulanglah kalian dan ikutilah ekor-ekor unta kalian di padang pasir. Namun yang lebih kelihatan kuat adalah bahwa tujuan dari pemberian tenggang waktu kepada mereka itu adalah supaya kelihatan kejujuran taubat dan kebaikan mereka pada kebaikan Islam mereka.” (Fat-hul Baariy, XIII / 210-211)
Yang menjadi dalil dari atsar ini adalah perkataan Abu Bakar kepada orang-orang murtad: ”Orang kalian yang mati masuk neraka.” Dan persetujuan ‘Umar serta seluruh sahabat dengan sikap Abu Bakar itu. Semacam ini adalah merupakan ijmaa’ mereka untuk mengkafirkan orang-rang yang menjadi pendukung dan pasukan para penguasa yang murtad secara ta’yiin (perorangan). Karena tidak diperselisihkan lagi bahwa orang-orang yang terbunuh adalah orang-orang muayyan (tertentu). Sebagaimana juga tidak ada perselisihan antara ahlus sunnah bahwa tidak boleh memberikan kesaksian bahwa seseorang itu masuk neraka kecuali orang-orang yang sudah jelas kafir. Adapun orang muslim walaupun ia fasik, maka menurut aqidah ahlus sunnah –-- sebagaimana yang dikatakan oleh Ath Thohaawiy --- : ”Dan kami berpendapat untuk sholat berjama’ah baik dibelakang orang yang baik maupun orang yang fajir dari orang Islam, dan menyolatkan mereka yang mati dan tidak menyatakan seorangpun diantara mereka masuk surga atau masuk neraka”. Lihat Syarhul ‘Aqiidah Ath Thohaawiyah, terbitan Al Maktab Al Islamiy 1403 H, hal 421 426. Adapun orang yang mati dalam keadaan kafir, maka boleh dinyatakan ia masuk neraka, sebagaimana sabda Rosululloh SAW :
إن أبي و أباك في النار
Sesungguhnya bapakku dan bapakmu berada dieraka
Hadits ini diriwayatkan Muslim. Dan sebagaimana Sabda Rosululloh mengenai Abu Thoolib, pamannya :
هو في ضحضاح من نار
Dia berada dipermukaan neraka.
Hadits ini diriwayatkan Al Bukhooriy (3883), dan Rosululloh bersabda :
حيثما مررت بقبر كافر فبشره بالنار
Setiap kali kamu melewati kuburan orang kafir maka berikan kabar gembira kepadanya dengan api neraka.
Al Baihaqiy mengatakan :”Hadits ini diriwayatkan Al Bazzaar dan Ath Thobrooniy dalam Al Kabiir, dan rijaal (sanad) nya shohiih”. (Majma’uz Zawaa-id, I / 118)
Ini adalah penukilan yang shohiih dan ijmaa’ yang shiriih (nyata) dari para sahabat untuk mengkafirkan para pendukung dan bala tentara penguasa yang murtad secara ta’yiin dengan tanpa tabayyun terhadap syarat-syarat dan hal-hal yang menjadi penghalang untuk memvonis kafir yang terdapat pada mereka karena mereka mumtani’un bisy syaukah (mempertahankan diri dengan kekuatan). Jumlah mereka ribuan. Ibnu Taimiyyah menyebutkan bahwa pengikut Musailamah Al Kadzaab berjumlah sekitar seratus ribu atau lebih. (Minhaajus Sunnah, VII / 217). Dan telah kami sebutkan --- dalam penjelasan kaidah takfiir --- bahwa tabayyun terhadap syarat dan penghalang vonis kafir itu hanya dilakukan terhadap orang yang maqduur ‘alaih (dibawah kekuasaan Islam), dan dalilnya adalah ijmaa’ sahabat yang disebutkan disini. Ibnu Taimiyyah mengatakan: ”Dan karena orang murtad itu jika mumtani’ --- dengan cara bergabung dengan darul harbi atau orang-orang murtad itu mempunyai kekuatan yang mereka gunakan untuk menolak hukum Islam –-- sesungguhnya orang tersebut, tidak diragukan lagi, dibunuh dengan tanpa istitaabah” (Ash Shorimul Maslul, hal. 322). Beliau juga mengatakan: ”Bahwasannya orang yang mumtani’ itu tidak dilakukan istitaabah (tidak disuruh taubat), akan tetapi yang dilakukan istitaabah itu hanyalah orang yang maqduur ‘alaih (berada dibawah kekuasaan Islam)”. (Ash Shorimul Maslul, hal. 325-326). Dan yang lalu telah disebutkan dalam penjelasan kaidah takfir bahwa tabayyun terhadap syarat dan penghalang vonis kafir masuk dalam pengertian istitaabah.





A. Ijmaa’ adalah –-- sebagaimana yang dikatakan Asy Syaukaaniy --- : ”Kesepakatan para mujtahid dari ummat Muhammad SAW, setelah wafatnya beliau, pada satu masa, terhadap sebuah perkara. Dan yang dimaksud dengan kesepakatan, adalah kesamaan dalam keyakinan atau perkataan atau perbuatan” Irsyaadul Fuhaul, hal. 68.
B. Bagaimana cara untuk mengetahui ijmaa’? Al Khothiib Al Baghdaadiy mengatakan :”Ketahuilah bahwasannya ijmaa’ itu dapat diketahui dari perkataan, atau perbuatan, atau perkataan dan iqroor (sebagian mengatakan sesuatu dan sebagian yang lainnya membiarkannya), atau perbuatan dan iqroor (sebagian berbuat sesuatu dan sebagian yang lainnya membiarkannya). Adapun dengan perkataan yaitu samanya perkataan semua mujtahid terhadap sebuah hukum, dengan cara mereka semuanya mengatakan bahwa ini halal atau haram. Adapun dengan perbuatan yaitu mereka semua mengerjakan sesuatu. Adapun dengan perkataan dan iqroor, yaitu sebagian mereka berkata sesuatu kemudian perkataan itu tersebar pada sebagian yang lainnya dan yang mendengarnya diam tidak menyelisihinya. Adapun dengan perbuatan dan iqroor, yaitu sebagian melakukan sesuatu dan yang lain mendengarkannya namun mereka diam tidak mengingkarinya”. Al Faqiih Wal Mutafaqqih, tulisan Al Baghdaadiy, terbitan Daarul Kutub Al ‘Ilmiyyah 1400 H, I / 170. Dari sini dapat diketahui bahwa ijmaa’ para sahabat dalam permasalahan kita ini --- status para pendukung thoghut di dalam hukum Islam --– adalah ijmaa’ shohih karena semuanya mereka bersepakat. Dan bahwasannya ijmaa’ ini telah terjadi dengan perkataan, perbuatan dan iqroor. Adapun perkataan adalah perkataan Abu Bakar: “…dan orang kalian yang mati masuk neraka…”, hal ini disepakati oleh ‘Umar lalu para sahabat yang lain mengikuti perkataan ‘Umar, sebagaimana hadits Thoriq bin shihab. Adapun perbuatan adalah bahwa sahabat semuanya memerangi mereka semuanya dengan satu cara yaitu perang melawan orang murtad – sebagaimana keterangan yang telah lalu dalam lebih dari satu tempat – dan mereka tidak membedakan antara yang diikuti (pemimpin) dan yang mengikuti (yang dipimpin). Dan adapun iqroor, tidak diketahui adanya sahabat yang menyelisihi dan mengingkari apa yang kami sebutkan tadi.
Kesimpulannya: sesungguhnya ijmaa’ sahabat dalam masalah ini termasuk ijmaa’ yang paling kuat dari segi keshohihan dan penukilannya.
C. Kedudukan ijmaa’ sebagai dalil, ijmaa’ adalah dalil ketiga dalam dalil-dalil syar’iy –-- setelah Al Qur’an dan Sunnah --– dan dalil-dalil yang menunjukkan bahwa ijmaa’ itu sebagai dalil banyak diantaranya,
Firman Alloh :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Alloh dan ta`atilah Rosul (Nya), dan ulil amri di antara kamu… (QS. An Nisaa’ : 59)
Ayat ini menyatakan tiga dalil pertama dari dalil-dalil hukum, yaitu Al Kitab (taatilah Alloh), As Sunnah (taatilah Rosul), dan ijmaa’ ulama (dan ulil amri diantara kalian). Penjelasan tentang cara menyimpulkannya telah berlalu dalam lebih dari satu tempat dalam kitab ini (Al Jaami’).
Firman Alloh :
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
Dan barangsiapa yang menentang Rosul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (QS. An Nisaa’ : 115)
Sedangkan ijmaa’ ulama termasuk sabilul mu’minin (jalan orang-orang yang beriman), dan hal ini sudah pasti. Dan disebutkan pula ancaman bagi orang yang menyelisihinya, hal ini menunjukkan kewajiban mengikutinya. Dengan ayat inilah Asy Syaafi’iy dan ulama lainnya berdalil bahwa ijmaa’ itu merupakan dalil. Lihat Al Mushtashfa, tulisan Al Ghozaaliy, terbitan Al Amiriyah I / 175 dan Majmuu’ Fataawaa Ibnu Taimiyyah, XIX / 178 dan 192.
Asy Syaafi’iy juga berdalil bahwa ijmaa’ itu merupakan dalil dengan hadits marfuu’ dari ‘Umar :
ألا فمن سره بحبحة الجنة فليلزم الجماعة فإن الشيطان مع الفذ و هو من الاثنين أبعد
Barangsiapa yang senang masuk ketengah-tengah syurga, hendaknya dia mengikuti jama’ah. Karena sesungguhnya syaitan itu bersama orang yang sendirian dan ia lebih jauh dari dua orang.
Hadits ini diriwayatkan Ahmad, At Tirmidziy dan Al Haakim, dan beliau menshohihkannya, dan hal itu disetujui oleh Adz Dzahabiy. Lihat Kasyful Khofa’, tulisan Al ‘Ajluni no. 1265.
Asy Syaafi’iy mengatakan sesungguhnya yang dimaksud dengan mengikuti jama’atul Muslimin adalah mengikuti apa yang dikerjakan, seperti penghalalan, pengharaman dan taat untuk menjalankan keduanya, karena tidak mungkin mengikuti mereka secara fisik sedangkan mereka berpencar-pencar diberbagai negeri. Beliau mengatakan: ”Barangsiapa mengatakan sebagaimana yang dikatakan oleh jama’atul muslimin, maka ia telah mengikuti jama’ah mereka. Dan barangsiapa menyelisihi apa yang dikatakan oleh jama’atul muslimin maka ia telah menyelisihi jama’ah mereka, yang mana ia telah diperintahkan untuk mengikutinya. “Ar Risaalah, tulisan Asy Syaafi’iy, Tahqiiq Ahmad Syaakir, hal. 173-176.
Ibnu Taimiyyah berkata :”Ijmaa’ pengertiannya adalah bersepakatnya ulama muslimin terhadap sebuah hukum. Jika telah terjadi ijmaa’ terhadap sebuah hukum, maka tidak boleh seorangpun keluar dari ijmaa’ mereka. Karena ummat ini tidak akan bersepakat atas kesesatan. Majmuu’ Fataawaa, XX / 10, masalah ini juga bisa dikaji dalam Majmuu’ Fataawaa I / 16 dan 17, III / 368, XIX / 91, 92, 276 dan 177, XXVIII / 125.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar