Rabu, 09 Juni 2010

STATUS PENDUKUNG THOGHUT DALAM HUKUM ISLAM bag 2

.
D. Ijmaa’ sahabat adalah dalil qhot’i, orang yang menyelisihinya kafir:
Kedudukan ijmaa’ sahabat sebagai dalil tidak diperselisihkan oleh para ulama. Sampai ulama yang mengingkari kemungkinan terjadinya ijmaa’ setelah masa sahabat, karena berpencarnya mereka diberbagai negeri, mereka yang mengingkari kemungkinan terjadinya, seperti Ibnu Hazm, ia dalam hal ini sependapat dengan seluruh ulama lainnya atas sahnya ijmaa’ sahabat dan bahwasannya ia adalah merupakan dalil. (Lihat Al Muhalla tulisan Ibnu Hazm, I / 54)
Sehingga jika ijmaa’ sahabat telah terjadi, maka ijmaa’ tersebut merupakan dalil qhot’i sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah dalam Minhaajus Sunnah, I / 220. Sedangkan ijmaa’ itu qhot’iyyud dalaalah (jelas penunjukkannya), yang tidak ada perselisihan lagi padanya, sebagaimana ijmaa’ sahabat pada permasalahan kita sekarang --- status para pendukung thoghut di dalam hukum Islam --- tidak seorangpun dari kalangan sahabat yang menyelisihinya. Ibnu Taimiyyah mengatakan :”Ijmaa’ itu qhot’iyyud dalaalah atau dzonniyyud dalaalah? Sebagian orang ada yang berpendapat qhot’iyyud dalaalah secara mutlak dan sebagian lagi mengatakan dzoniyyud dalaalah secara mutlak. Dan sebagian lagi tidak mengakui kedua-duanya. Yang benar adalah diperinci, sesungguhnya ada ijmaa’ yang qhot’iyyud dalaalah yang diketahui secara yakin bahwa tidak ada seorang mukminpun yang menyelisihinya. Ijmaa’ yang semacam ini harus diakui kepastian kebenarannya. Dan ijmaa’ semacam ini pasti termasuk bagian yang dijelaskan oleh Nabi yang membawa petunjuk.” (Majmuu’ Fataawaa, VII / 39).
Ijmaa’ semacam ini adalah qhot’iyyud dalaalah (jelas maksudnya), orang yang menyelisihinya kafir. Maka tidak boleh seseorang keluar atau berfatwa dengan fatwa yang menyelisihi ijmaa’ tersebut. Ibnu Taimiyyah berkata: ”Begitu pula firman Alloh:
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ
Dan barangsiapa yang menentang Rosul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min… (QS. An Nisaa’ : 115)
Kedua hal tersebut adalah saling beriringan. Setiap orang yang menentang Rosul setelah jelas petunjuk baginya maka dia telah mengikuti jalan selain orang-orang beriman. Dan setiap orang yang mengikuti jalan selain orang-orang yang beriman ia telah menentang Rosul setelah jelas petunjuk baginya. Jika dia menyangka bahwa dia mengikuti jalannya orang-orang beriman padahal dia salah, maka dia kedudukannya seperti orang yang menyangka mengikuti Rosul padahal dia salah. Dan ayat ini menunjukkan bahwasannya ijmaa’nya orang-orang beriman itu merupakan hujjah, mengingat bahwa menyelisihinya berarti menyelisihi Rosul. Dan bahwa semua apa yang mereka sepakati dan tidak ada orang beriman yang menyelisihinya, adalah petunjuk yang dijelaskan oleh Alloh. Dan orang yang menyelisihi ijmaa’ ini kafir sebagaimana kafirnya orang yang menyelisihi nash yang jelas. Adapun apa yang disangka ijmaa’ tapi tidak pasti, maka tidak bisa dipastikan pula permasalahan tersebut merupakan petunjuk yang jelas dari Rosul. Dan orang yang menyelisihinya tidak kafir. Bahkan perkiraan ijmaa’ itu kadang salah dan yang benar adalah sebaliknya. Inilah penyelesaian masalah tentang kapan seseorang yang menyelisihi ijmaa’ itu kafir dan kapan tidak kafir” (Majmuu’ Fataawaa, VII / 38-39). Dan beliau juga mengatakan yang semacam itu dalam (Majmuu’ Fataawaa, XIX / 269-270). Al Qoodliy ‘Iyaadl berkata: ”Kebanyakan mutakallimin dari kalangan fuqohaa’ dan pemikir dalam masalah ini berpendapat kafir orang yang menyelisihi ijmaa’ yang shohih yang memenuhi syarat-syarat ijmaa’ yang disepakati secara umum. Mereka berhujjah dengan firman Alloh :
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
Dan barangsiapa yang menentang Rosul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.(QS. An Nisaa’ : 115)
Dan Sabda Rosul SAW :
من خالف الحماعة قيد شبر فقد خلع ربقة الإسلام من عنقه
Barangsiapa yang menyelisihi jama’ah sejengkal saja, ia telah melepaskan ikatan Islam dari lehernya.
Dan para ulama menukil ijma atas kafirnya orang yang menyelisihi ijmaa’”. (Asy Syifaa II / 1079, cet, Al Halabiy yang ditahqiiq oleh Al Bajawiy)
Kesimpulannya: sesungguhnya memvonis kafir terhadap para pendukung thoghut yang mempertahankan diri secara ta’yiin telah ditetapkan dengan ijmaa’ qhot’iy dari para sahabat yang tidak ada perselisihan. Ijmaa’ semacam ini orang yang menyelisihinya kafir. Maka barangsiapa yang menyelisihi hukum ini ia telah mengikuti bukan jalannya orang-orang beriman dan ia telah keluar dari jama’ah mereka.
‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziiz mengatakan: ”Rosululloh dan para pemimpin setelah beliau telah menetapkan sunnah yang mana mengikuti sunnah tersebut merupakan bentuk pembenaran terhadap kitab Alloh, ketaatan kepada Alloh dan membela agama Alloh. Tidak ada seorangpun yang berhak untuk merubahnya dan melihat kepada pendapat yang menyelisihinya. Maka barangsiapa yang menyelisihinya dan mengikuti selain jalan orang-orang beriman, Alloh akan ikutkan dia dengan apa yang ia ikuti dan Alloh masukkan kedalam neraka jahannam, dan jahannam itu adalah sejelek-jelek tempat kembali.” Perkataan ini diriwayatkan oleh Al Laalikaa-iy dengan sanad darinya dalam kitab Syarhu I’tiqoodi Ahlis Sunnah, cet. Daarut Thoyyibah, I / 94 dan diriwayatkan oleh Al Ajurriy dalam kitab Asy Syari’ah, cet. Anshoorus Sunnah, hal. 48.
Tambahan ; Ijmaa’ adalah hujjah meskipun belum diketahui dalilnya dari Al Qur’an atau As Sunnah yang dijadikan landasan para ulama yang berijmaa’. Ijmaa’ mereka terhadap sebuah hukum itu sendiri merupakan hujjah, maka jika diketahui ada nash lainnya maka nash itu merupakan dalil yang lain, sebagaimana kata Ibnu Taimiyyah :”Dan dengan demikian maka adanya ijmaa’ bersama dengan nash adalah dua dalil sebagaimaa Al Qur’an dan As Sunah”. (Majmuu’ Fataawaa. XIX / 270). Jika nashnya tidak diketahui maka tidak wajib mencarinya, karena ijmaa’ yang shohih itu merupakan hujjah tersendiri. Asy Syaukaaniy berkata :”Ustadz Abu Ishaaq berkata ; Seorang Mujtahid tidak wajib mencari dalil terhadap masalah yang sudah disepakati (ijmaa’). Namun jika ia mendapatkan dalil yang lain atau ada orang lain yang menunjukkan dalil kepadanya maka dalil itu merupakan salah satu dalil dalam permasalahan tersebut. Abul Hasan As Suhailiy berkata ; Apabila para ulama telah berijmaa’ terhadap sebuah hukum yang belum diketahui dalilnya dari ayat atau qiyas atau yang lainnya, maka wajib mengikuti ijmaa’ tersebut karena mereka tidak akan berijmaa’ kecuali berdasarkan dalil yang harus diketahui.” (Irsyaadul Fuhuul, hal. 76).
Selain itu sesungguhnya jika ijmaa’ terhadap suatu hukum itu benar-benar terjadi, akan pasti ada dalilnya dari Al Qur’an dan As Sunnah, sebagaimana kata Ibnu Taimiyyah: ”Tidaklah sebuah hukumpun yang disepakati oleh ummat kecuali ada dalil nashnya. Maka ijmaa’ merupakan dalil atas adanya nash yang digunakan oleh para imam, bukan sesuatu yang samar ilmunya”. (Minhaajus Sunnah, VII / 38-39). Pada perkataannya ini Ibnu Taimiyyah berdalil dengan firman Alloh :
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ
Sebagaimana yang kami nukil dari beliau diatas dari Majmuu’ Fataawaa, VII / 38-39. Dan untuk menunjukkan kebenaran perkataan Ibnu Taimiyyah ini, berikut ini kami sebutkan dalil-dalil yang berupa nash dari Al Qur’an dan As Sunnah terhadap hukum yang sama dengan hukum yang telah kami tetapkan berdasarkan ijmaa’ sahabat diatas. Urutan semacam ini sesuai dengan tata cara ijtihad yang kami nukil sebelumnya dari Abu Haamid Al Ghozaaliy ra.
2. Dalil kedua dari Kitabulloh, yaitu firman Alloh :
الَّذِينَ ءَامَنُوا يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ الطَّاغُوتِ فَقَاتِلُوا أَوْلِيَاءَ الشَّيْطَانِ إِنَّ كَيْدَ الشَّيْطَانِ كَانَ ضَعِيفًا
Orang-orang yang beriman berperang di jalan Alloh, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut, sebab itu perangilah kawan-kawan syaitan itu, karena sesungguhnya tipu daya syaitan itu adalah lemah. (QS. An Nisaa’ : 76)
Tentang Thoghut telah berlalu penjelasan artinya dalam Kata Pengantar, disana disebutkan bahwa secara nash yang termasuk dalam pengertian thoghut adalah setiap orang yang dimintai untuk memutuskan perkara selain Alloh seperti hakim, yang memutuskan perkara dengan selain apa yang diturunkan Alloh, atau dengan menggunakan undang-undang kafir. Alloh berfirman:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ ءَامَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu… (QS. An Nisaa’ : 60)
Oleh karena itu orang yang dimintai untuk memutuskan hukum selain Alloh adalah thoghut. Ath Thobariy menerangkan maksud sabiluth thoghut (jalan thoghut) artinya adalah: “Ketaatan, jalan dan manhaj syaetan yang ia syari’atkan untuk orang-orang yang kufur kepada Alloh yang menjadi pengikutnya.” (Tafsiir Ath Thobariy, V / 169).
Maka siapa saja yang berperang dalam rangka mempertahankan pemerintah yang kafir atau undang-undang kafir –-- sebagaimana yang dilakukan oleh para pendukung pemerintah murtad --– dan setiap orang yang berperang dijalan thoghut ia kafir. Alloh berfirman :
وَالَّذِينَ كَفَرُوا يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ الطَّاغُوتِ
”dan orang-orang kafir berperang dijalan thoghut”.
Dan berperang disini mencakup berperang dengan perkataan atau perbuatan sebagaimana yang kami nukil dari Ibnu Taimiyyah dalam Kata Pengantar.
Dan perhatikanlah firman Alloh:
فَقَاتِلُوا أَوْلِيَاءَ الشَّيْطَانِ
”maka perangilah wali-wali syaetan”,
… ayat ini menjelaskan kepada anda bahwa thoghut itu pada hakikatnya adalah syaetan yang mengajak untuk segala kekafiran. Dan sesungguhnya setiap orang yang berperang di jalan thoghut sebenarnya dia berperang di jalan syaetan. Ini merupakan penguat atas kekafiran mereka, karena sesungguhnya wali-wali syaetan itu adalah kafir, sebagaimana firman Alloh :
وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَوْلِيَاؤُهُمُ الطَّاغُوتُ
Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan… (QS. Al Baqoroh : 257)
Dan firman Alloh :
إِنَّا جَعَلْنَا الشَّيَاطِينَ أَوْلِيَاءَ لِلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ
Sesungguhnya Kami telah menjadikan syaitan-syaitan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman. (QS. Al A’roof : 27)
Ini adalah dalil yang paling jelas atas kafirnya orang-orang yang membela pemerintah murtad dengan perkataan, seperti sebagian ulama suu’ dan jurnalis, maupun dengan perbuatan, seperti tentara dengan segala macamnya. Sesungguhnya mereka berperang dijalan thoghut, dan barangsiapa yang berperang dijalan thoghut maka ia kafir. Dan untuk mengkafirkan mereka tidak harus mereka memerangi secara langsung atau dia terlibat langsung dalam peperangan, akan tetapi setiap orang yang dipersiapkan untuk berperang mempertahankan pemerintah kafir --- yang merupakan sabiluth thoghut --- maka ia kafir. Dan jika orang yang berhukum kepada thoghut saja Alloh hukumi kafir, lalu bagaimana dengan orang yang berperang dibelakangnya dan dijalannya.
3. Dalil yang ketiga dari kitabulloh, yaitu firman Alloh :
مَنْ كَانَ عَدُوًّا لِلَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَرُسُلِهِ وَجِبْرِيلَ وَمِيكَالَ فَإِنَّ اللَّهَ عَدُوٌّ لِلْكَافِرِينَ
Barangsiapa yang menjadi musuh Alloh, malaikat-malaikat-Nya, Rosul-Rosul-Nya, Jibriil dan Mikail, maka sesungguhnya Alloh adalah musuh orang-orang kafir. (QS. Al Baqoroh : 98)
Tentang sebab turunnya ayat ini para ahli tafsir mengatakan : Sesunnguhnya orang-orang yahudi ketika mereka mengetahui bahwa yang menurunkan wahyu kepada Nabi SAW, itu adalah Jibriil, mereka mengatakan; sesungguhnya Jibriil itu turun membawa adzab dan bencana, oleh karena itu maka Jibriil adalah musuh kami. Maka Alloh menurunkan ayat ini dan ayat sebelumnya yang menjelaskan bahwa barangsiapa yang memusuhi seorang dari Rosul Alloh maka ia telah memusuhi semua Rosul (utusan) Alloh dari malaikat dan manusia. Sebagaimana Firman Alloh :
اللَّهُ يَصْطَفِي مِنَ الْمَلَائِكَةِ رُسُلًا وَمِنَ النَّاسِ
Alloh memilih utusan-utusan (Nya) dari malaikat dan dari manusia… (QS. Al Hajj : 75)
Dan barangsiapa yang memusuhi para Rosul Alloh maka ia telah memusuhi Alloh dan ia termasuk orang-orangkafir.
فَإِنَّ اللَّهَ عَدُوٌّ لِلْكَافِرِينَ
…maka sesungguhnya Alloh adalah musuh orang-orang kafir. (QS. Al Baqoroh : 98)
(Lihat Tafsiir Ibnu Katsiir I / 131 – 133)
Permusuhan terhadap Alloh, Rosulnya dan AgamaNya manakah yang lebih besar daripada upaya menyingkirkan hukum-hukum syari’at Alloh dan menggantinya dengan undang-undang kafir? Permusuhan terhadap Alloh, RosulNya dan agamaNya manakah yang lebih besar daripada mengejek syi’ar-syi’ar agama seperti jenggot atau hijab atau yang lainnya yang disiarkan melalui media massa para thoghut itu? Permusuhan terhadap Alloh, RosulNya dan agamaNya manakah yang lebih besar daripada membantu system pemerintahan sekuler kafir dengan perkatan atau perbuatan, berperang untuk membelanya dan mempertahankan keberadaannya dan berperang dalam rangka mempertahankan aimmatul kufri (para pemimpin kafir) yang menjalankan sistem ini?. Bukankah ini yang dilakukan oleh para penguasa murtad, pendukung-pendukungnya dan tentara-tentaranya?. Bukankah perbuatan mereka ini jelas-jelas permusuhan terhadap Alloh, RosulNya dan AgamaNya?. Dan barangsiapa yang memusuhi Alloh, RosulNya, dan AgamaNya maka dia kafir.
فَإِنَّ اللَّهَ عَدُوٌّ لِلْكَافِرِينَ
…maka sesungguhnya Alloh adalah musuh orang-orang kafir.
Al Khofajiy dalam kitab Nasiimur Riyaadl Syarhus Syifaa Lil Qoodliy ‘Iyaadl, IV / 395) :”Telah terjadi di Tunis ada orang yang mengatakan kepada orang lain; Saya musuh kamu dan musuh nabimu. Maka diadakanlah sebuah majlis untuk orang tersebut. Lalu sebagian imam dari madzhab Maalikiy memberikan fatwa bahwa dia murtad harus disuruh taubat. Dan kekafirannya itu disimpulkan dari firman Alloh :
مَنْ كَانَ عَدُوًّا لِلَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَرُسُلِهِ وَجِبْرِيلَ وَمِيكَالَ فَإِنَّ اللَّهَ عَدُوٌّ لِلْكَافِرِينَ
Barangsiapa yang menjadi musuh Alloh, malaikat-malaikat-Nya, Rosul-Rosul-Nya, Jibriil dan Mikail, maka sesungguhnya Alloh adalah musuh orang-orang kafir.
Dan sebagian lainnya memberikan fatwa bahwa kekafirannya itu berupa penghinaan, maka tidak perlu disuruh taubat (langsung dibunuh – pent). Dinukil dari Asy Syifaa karangan Al Qoodliy ‘Iyaadl, cet. Al Halabiy yang ditahqiiq oleh Al Bajawiy jilid II, catatan kaki hal. 951. Saya katakan; Jika para ulama saja mengkafirkan orang yang mengucapkan perkataan semacam ini, lalu bagaimana dengan orang yang mengganti syari’at Nabi SAW, secara kesuluruhan dan menghina agamanya serta mengejek penganutnya? Dan bagaimana dengan orang yang membantunya untuk melakukan perbuatan itu dan menolongnya serta membelanya?
Alloh berfirman :
إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الْأَرْضِ فَسَادًا أَنْ يُقَتَّلُوا
Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Alloh dan Rosul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh… (QS. Al Maa-idah : 33)
Ayat ini turun berkenaan dengan orang-orang murtad --- pada peristiwa al ‘uroniyyin --- dan mayoritas ulama menafsirkan al muharrobah dalam ayat ini dengan orang yang membegal ditengah perjalanan, baik orang Islam maupun orang kafir. Lihat Fat-hul Baariy VIII / 274. Apabila orang yang mencegat dijalan terhadap orang Islam karena hendak mencuri atau yang lainnya, ia disebut sebagai orang yang memerangi Alloh dan RosulNya, lalu bagaimana dengan orang yang mencegat dijalan untuk menghalangi agama Alloh dan RosulNya dengan cara mematikan hukum-hukum syari’atNya? Dan bagaimana dengan orang yang berusaha untuk menjayakan syari’at-syari’at kafir dimuka bumi dan menjalankan hukumnya terhadap darah, kehormatan dan harta kaum muslimin? Dan bagaimana dengan orang yang membantu perbuatan tersebut? Permusuhan terhadap Alloh, RosulNya dan agamaNya apa yang lebih besar dari pada perbuatan ini? Akan tetapi permasalahannya adalah sebagaimana firman Alloh ta’aalaa :
فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ
…Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada. (QS. Al Hajj : 46)
Barangsiapa yang memusuhi Alloh, RosulNya dan agamaNya sebagaimana yang dilakukan oleh para penguasa dan tentara mereka tersebut, maka dia kafir.
4. Dalil keempat dari Al Qur’an, Alloh berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ فَتَرَى الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ يُسَارِعُونَ فِيهِمْ يَقُولُونَ نَخْشَى أَنْ تُصِيبَنَا دَائِرَةٌ فَعَسَى اللَّهُ أَنْ يَأْتِيَ بِالْفَتْحِ أَوْ أَمْرٍ مِنْ عِنْدِهِ فَيُصْبِحُوا عَلَى مَا أَسَرُّوا فِي أَنْفُسِهِمْ نَادِمِينَ وَيَقُولُ الَّذِينَ ءَامَنُوا أَهَؤُلَاءِ الَّذِينَ أَقْسَمُوا بِاللَّهِ جَهْدَ أَيْمَانِهِمْ إِنَّهُمْ لَمَعَكُمْ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فَأَصْبَحُوا خَاسِرِينَ يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَائِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Alloh tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya berkata: "Kami takut akan mendapat bencana". Mudah-mudahan Alloh akan mendatangkan kemenangan (kepada Rosul-Nya), atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya. Maka karena itu, mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka. Dan orang-orang yang beriman akan mengatakan: "Inikah orang-orang yang bersumpah sungguh-sungguh dengan nama Alloh, bahwasanya mereka benar-benar beserta kamu?" Rusak binasalah segala amal mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang merugi. Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Alloh akan mendatangkan suatu kaum yang Alloh mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu'min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Alloh, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Alloh, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Alloh Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS. Al Maa-idah : 51-54)
Ayat-ayat ini berkenaan dengan haramnya seorang muslim berwalaa’ kepada orang kafir dan hukum orang yang berwalaa’ kepada mereka. Dan sebelum berbicara tentang tafsirnya dan hukum-hukum yang disimpulkan darinya, kami terlebih dahulu menjelaskan tentang perngertian al muwaalaah.

Pendahuluan tentang pengertian
al muwaalaah ditinjau dari bahasa dan syari’at.
A. Secara bahasa : al muwaalaah asalnya adalah al walyu yang artinya al qurbu dan ad dunuu (dekat), sebagaimana sabda Rosululloh SAW, kepada seorang anak; كل مما يليك (Makanlah dari yang dekat denganmu.) Sedang: والى بين شيئين Artinya adalah; keduanya saling mengikuti (berurutan) tanpa ada jeda antara keduanya. Sebagaimana al muwaalaah dalam berwudhu artinya adalah berurutan tanpa ada jeda. Maka al muwaalaah pada asalnya berarti al qurbu (dekat) dan al mutaaba’ah (mengikuti).
Dan kebalikan dari al muwaalaah adalah al mu’aadaah yang artinya al muba’adah (jauh) dan al mukholafah (menyelisihi).
Dan al waliy adalah kebalikan dari al ‘aduw (musuh). Al Waliy artinya adalah an Nashiir (penolong), al mu’iin (pembantu), al haliif (sekutu), al muhibb (yang mencintai), ash shodiq (teman dekat), al qoriib (kerabat), an nasab (keturunan nasab), al mu’tiq (yang memerdekakan budak), al mu’taq (budak yang dimerdekakan), al ‘abdu (budak, hamba) dan semua orang yang memegang urusan orang lain disebut sebagai walinya. Seperti waliyul amri (yang memegang kekuasaan / pemerintah), wali perempuan dalam menikah, wali anak yatim dan yang semacam dengannya.
Al Farroo’ mengatakan: ”Al Waliy dan Al Maulaa dalam bahasa arab artinya sama.” (Lisanul ‘Arob, XV / 408) dan keduanya digunakan sebagai faa’il (subyek) –-- yaitu al muwaaliy –-- dan digunakan sebagai maf’uul (obyek) --- yaitu al muwalaa --- (lihat buku karangan Ar Roghiib Al Ashfaahaniy, hal. 533).
Seseorang berwalaa’ kepada seseorang artinya ia mengikutinya, mentaatinya, dekat dengannya dan menolongnya.
Sedangkan تولى عنه Artinya adalah berpaling dan pergi darinya. Artinya berkebalikan dengan tawalliy yang berarti dekat, diantaranya adalah firman Alloh :
فَأَعْرِضْ عَنْ مَنْ تَوَلَّى عَنْ ذِكْرِنَا
Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari orang yang berpaling dari peringatan Kami… (QS. An Najm : 29)
Dan firman Alloh:
فتولّ عنهم
Dan berpalinglah dari mereka.
Jika kata tawalliy itu berarti berpaling dan pergi, sebagaimana dalam firman Alloh;
لَا يَصْلَاهَا إِلَّا الْأَشْقَى الَّذِي كَذَّبَ وَتَوَلَّى
Tidak ada yang masuk ke dalamnya kecuali orang yang paling celaka, yang mendustakan (kebenaran) dan berpaling (dari iman). (QS. Al Lail : 15-16)
Maka ada kata yang dihapus (mahdzuuf) setelah kata tawalliy yaitu kata ‘an (dari).
Lihat: Lisaanul ‘Arob karangan Ibnu Mandzuur, cet. Daarus Shoodir, XV / 406-415, An Nihayah karangan Ibnul Atsiir V / 227-230, Al Mufrodaat karangan Ar Roghiib Al Ashfaahaniy 533-535, Mukhtarus shuhhah karangan Ar Rooziy hal. 736, Al Mu’jam Al Wasiith karangan Lembaga Bahasa Arab Mesir II / 1057-1058 dan Majmuu’ Fataawaa tulisan Ibnu Taimiyyah. XX / 499.
B. Adapun dari sisi syar’iy al muwaalaah itu mencakup beberapa arti, yang maksudnya bisa dimengerti sesuai dengan bentuk kalimatnya. Dan semua arti muwaalaah secara syar’iy kembali kepada arti asalnya secara bahasa, yaitu al qurbu dan ad dunuu. Adapun artinya secara syar’iy adalah sebagai berikut :
1. Walaa’ yang berupa An Nusrah (pertolongan) dan ini adalah arti yang paling menonjol dalam al Qur’an dan As Sunnah sampai-sampai arti walaa’ yang lain --- seperti walaa’ yang berarti memerdekakan budak dan walaa’ nasab --- semuanya kembali kepada arti An Nusroh (pertolongan) ini. Sebagaimana firma Alloh :
وَمَا كَانَ لَهُمْ مِنْ أَوْلِيَاءَ يَنْصُرُونَهُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ
Dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pelindung-pelindung yang dapat menolong mereka selain Alloh…” (QS. Asy Syuraa : 46)
Ayat ini menunjukkan bahwa al wali adalah an nashir (penolong) dan bahwa bantuan itu tidak diragukan lagi termasuk dari muwaalaah. Dan Alloh berfirman :
بَلِ اللَّهُ مَوْلَاكُمْ وَهُوَ خَيْرُ النَّاصِرِينَ
Tetapi (ikutilah Alloh), Allohlah Pelindungmu, dan Dia-lah sebaik-baik Penolong. (QS. Ali ‘Imroon : 150)
Artinya Allohlah penolongmu dan Dialah sebaik-baik penolong. Dan Alloh berfirman :
أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ
…Engkaulah Maula kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir. (QS. Al Baqoroh : 286)
Artinya Engkaulah Penolong kami. Dan Alloh berfirman:
وَاعْتَصِمُوا بِاللَّهِ هُوَ مَوْلَاكُمْ فَنِعْمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيرُ
…dan berpeganglah kamu pada tali Alloh. Dia adalah Maula (Penolong)mu, maka Dialah sebaik-baik Maula (Penolong) dan sebaik-baik Penolong. (QS. Al Hajj : 78)
Dan diantaranya adalah firman Alloh :
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi wali (penolong) bagi sebahagian yang lain… (QS. At Taubah : 71)
Artinya sebagai penolong bagi yang lainnya. Dan Alloh berfirman :
وَالَّذِينَ كَفَرُوا بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ
Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadiwali( penolong) bagi sebagian yang lain… (QS. Al Anfaal : 73)
Artinya sebagai penolong bagi yang lain dan mereka saling tolong menolong. Dan Alloh berfirman :
وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ
…Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka… (QS. Al Maa-idah : 51)
Artinya mengikuti dan menolong mereka. Ibnu Sikkiit berkata: ”Kalau dikatakan mereka itu saling berwalaa’ artinya adalah mereka berkumpul untuk saling menolong” (Lisaanul ‘Arob, XV / 407) Dan pengertian-pengertian yang disebutkan disini dinukil dari berbagai macam tafsir dan dari mu’jam-mu’jam yang tersebut diatas. Dan ayat-ayat yang menerangkan walaa’un nusroh (walaa’ yang berarti pertolongan) banyak sekali.
2. Walaa’ yang berupa At Thoo’ah (ketaatan) dan Al Mutaaba’ah (pengikutan). Diantaranya adalah firman Alloh :
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى
Dan barangsiapa yang menentang Rosul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan ia mengikuti apa yang ia ikuti… (QS. An Nisaa’ : 115)
Alloh menjelaskan bahwa mengikuti jalan selain jalannya orang yang beriman itu termasuk bagian “tawalliy” (نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى). Dan juga firman Alloh :
اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ
Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya… (QS. Al A’roof : 3)
Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang mengikuti seseorang berarti dia telah menjadikannya sebagai wali. Masuk dalam pengertian ini pula ibadah kepada selain Alloh. Sebagaimana yang dikatakan Tsa’lab: ”Setiap orang yang beribadah kepada selain Alloh, berarti dia telah menjadikannya sebagai wali”. (Lisaanul ‘Arob, XV / 411). Yang menunjukkan hal ini adalah firman Alloh :
وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى
…Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Alloh (berkata): Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Alloh dengan sedekat-dekatnya. (QS. Az Zumar : 3)
Dan juga yang menunjukkan bahwa al muwaalaah dan at tawalli itu berarti al mutaaba’ah (mengikuti) adalah firman Alloh :
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُجَادِلُ فِي اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّبِعُ كُلَّ شَيْطَانٍ مَرِيدٍ كُتِبَ عَلَيْهِ أَنَّهُ مَنْ تَوَلَّاهُ فَأَنَّهُ يُضِلُّهُ
Di antara manusia ada orang yang membantah tentang Alloh tanpa ilmu pengetahuan dan mengikuti setiap syaitan yang sangat jahat, yang telah ditetapkan terhadap syaitan itu, bahwa barangsiapa yang berkawan dengan dia, tentu dia akan menyesatkannya… (QS. Al Hajj : 3-4)
Berwalaa’ kepada setan disini artinya adalah mengikuti, sebagaimana ditafsirkan oleh ayat sebelumnya:
وَيَتَّبِعُ كُلَّ شَيْطَانٍ
”…dan mengikuti setiap setan…”
Begitu pula surat Al An ‘aam: 121 dan An Nahl: 100.
3. Walaa’ yang berupa Al Mawaddah (kasih sayang) dan Al Mahabbah (cinta). Adapun walaa’ yang berarti mawaddah adalah sebagaimana firman Alloh :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang… (QS. Al Mumtahanah : 1)
Dalam ayat ini Alloh menjadikan mawaddah termasuk muwaalaah. Adapun walaa’ yang berupa mahabbah adalah sebagaimana dalam firman Alloh :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَتَّخِذُوا ءَابَاءَكُمْ وَإِخْوَانَكُمْ أَوْلِيَاءَ إِنِ اسْتَحَبُّوا الْكُفْرَ عَلَى الإِّيمَانِ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ قُلْ إِنْ كَانَ ءَابَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan bapa-bapa dan saudara-saudaramu pemimpin-pemimpinmu, jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka pemimpin-pemimpinmu, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. Katakanlah: "Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Alloh dan Rosul-Nya… (QS. At Taubah : 23-24)
Dalam ayat ini Alloh menjadikan cinta kepada orang-orang kafir itu sebagai walaa’ kepada mereka. Dengan demikian maka al mawaddah dan al mahabbah termasuk muwaalaah.
4. Walaa’ yang berupa at Tahaaluf (persekutuan, perjanjian) dan Al Mu-aakhooh (persaudaraan), yang atas dasar ini orang-orang muhajirin dan anshor saling mewariskan sebelum dinasakh (hukumnya dihapus) dengan walaa’ yang berupa nasab (keturunan). Walaa’ inilah yang disebutkan dalam firman Alloh :
إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ ءَاوَوْا وَنَصَرُوا أُولَئِكَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا وَلَمْ يُهَاجِرُوا مَا لَكُمْ مِنْ وَلَايَتِهِمْ مِنْ شَيْءٍ حَتَّى يُهَاجِرُوا وَإِنِ اسْتَنْصَرُوكُمْ فِي الدِّينِ فَعَلَيْكُمُ النَّصْرُ إِلَّا عَلَى قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijroh serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Alloh dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi. Dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijroh, maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijroh. (Akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka… (QS. Al Anfaal : 72)
Mereka sebagai wali bagi sebagian yang lain artinya adalah mereka saling mewarisi berdasarkan perjanjian. Sebagaimana disebutkan dalam firman Alloh :
وَالَّذِينَ عَقَدَتْ أَيْمَانُكُمْ فَآتُوهُمْ نَصِيبَهُمْ
…Dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bahagiannya… (QS. An Nisaa’ : 33)
Adapun yang dimaksud dengan
مَا لَكُمْ مِنْ وَلَايَتِهِمْ مِنْ شَيْءٍ حَتَّى يُهَاجِرُوا
Tidak ada perwalian bagi kalian atas mereka.
artinya adalah tidak ada saling mewarisi antara orang yang berhijroh dan orang yang belum berhijroh, meskipun mereka itu keluarga. Sebagaimana yang dikatakan oleh Al Farroo’: ”Yang dimaksud dengan مَا لَكُمْ مِنْ وَلَايَتِهِمْ (tidak ada perwalian bagi kalian atas mereka) : kalian tidak ada warisan terhadap mereka sedikitpun.” (Lisaanul ‘Arob, XV / 407)
Kemudian Alloh berfirman :
وَإِنِ اسْتَنْصَرُوكُمْ
…dan jika mereka meminta pertolongan kepada kalian…
Alloh menjadikan walaa’ yang berupa warisan dan menetapkan walaa’ yang berupa pertolongan. Kemudian walaa’ yang berupa saling mewarisi ini dihapus dengan firman Alloh :
وَأُولُو الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ
…Orang-orang yang mempunyai hubungan itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang kerabat) di dalam kitab Alloh… (QS. Al Anfaal : 75)
Lalu tinggallah pemberian bagian kepada para wali atas dasar perjanjian secara anjuran (bukan kewajiban –pent) sebagaimana firman Alloh :
وَأُولُو الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ إِلَّا أَنْ تَفْعَلُوا إِلَى أَوْلِيَائِكُمْ مَعْرُوفًا
…Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris mewarisi) di dalam Kitab Alloh daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama)… (QS. Al Ahzaab : 6)
Maka warisan itu hanya bagi keluarga sedangkan para wali hanya berhak mendapatkan perlakuan baik.
5. Walaa’un Nasab (keturunan) mereka adalah ‘ashobah dari kalangan kerabat. Dan atas dasar inilah ditetapkan hukum warisan, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat diatas (Al Anfaal : 75 dan Al Ahzaab : 6) dan sebagaimana dalam sabda Nabi SAW :
ألحقوا الفرائض بأهلها فما بقي فهو لأولى رجل ذكر
Berikanlah warisan itu kepada yang berhak, jika ada kelebihan maka berikanlah kepada laki-laki yang paling dekat nasabnya kepada orang yang mewariskan. Hadits Muttafaq ‘alaih.
Walaa’un nasab ini juga menjadi wali darah (nyawa) bagi orang yang dibunuh dengan tanpa alasan yang benar. Sebagaimana firman Alloh :
وَمَنْ قُتِلَ مَظْلُومًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَانًا
…Dan barangsiapa dibunuh secara dholim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya… (QS. Al Isroo’ : 33)
Walaa’un nasab juga menjadi wali dalam pernikahan, sebagaimana sabda Nabi SAW :
أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل
Wanita manapun yang menikah tanpa seijin walinya, maka nikahnya batal.
Hadits ini diriwayatkan oleh Al Arba’ah (Imam yang empat) kecuali An Nasaa-iy dan dishohihkan oleh Abu ‘Awanah, Ibnu Hibbaan dan Al Haakim.
6. Walaa’ul ‘itqi (pembebasan budak). Orang yang memerdekakan dan budak yang dimerdekakan disebut sebagai “maulaa”. Atas dasar ini terjadilah saling mewarisi dengan syarat-syarat tertentu. Maka barangsiapa memerdekakan seorang budak, ia mewarisi hartanya jika ia mati dan tidak mempunyai ahli waris. Dan hal ini disebutkan dalam hadits Nabi Saw :
إنما الولاء لمن أعتق
Sesungguhnya walaa’ itu bagi orang yang memerdekakan .Hadits ini Muttafaq ‘alaih
7. Walaa’ul Islam, orang yang masuk Islam lantaran seseorang, maka ia disebut sebagai maula orang yang masuk Islam tersebut. Dan pendapat yang kuat bahwa walaa’ semacam ini tidak ada konsekuensi hukum apapun.
Ibnul Atsiir mengatakan: ”Dalam hadits disebutkan berulang kali kata “Al Maulaa” dan kata ini mencakup banyak pengertian. Ia mencakup Ar Robb (penguasa), Al Maalik (raja), As Sayyid (tuan), Al Mun’im (yang memberi kenikmatan), Al Mu’tiq (orang yang memerdekakan budak), An Nashiir (penolong), Al Muhibb (yang mencintai), At Taabi’ (yang mengikuti), Al Jaar (tetangga), Ibnul ‘Amm (anak paman dari ayah), Al Haliif (sekutu yang terikat perjanjian), Al ‘Aqiid (orang yang terikat janji), Ash Shohr (menantu, ipar laki-laki), Al ‘Abdu (hamba, budak), Al Mu’taq (budak yang dimerdekakan) dan Al Mun’am ‘alaih (orang yang diberi kenikmatan). Kebanyakannya disebutkan dalam hadits, maka wali diartikan sesuai dengan kontek pembicaraan hadits, dan setiap orang yang mengurusi perkara atau melaksanakannya maka ia disebut sebagai walinya.” (An Nihaayah, V / 228)
Dari penjelasan diatas maka jelaslah bahwasannya muwaalaah itu mencakup al munasharoh (pertolongan), al muwaafaqoh (persetujuan, al mutaaba’ah (mengikuti), ath thoo’ah (ketaatan), al mawaddah (kasih sayang) dan al mahabbah (cinta). Semua ini masing-masing disebut muwaalaah.
Maka al muwaalaah yang diwajibkan secara syar’iy adalah seorang muslim yang memberikan sikap-sikap diatas kepada Alloh, RosulNya dan orang-orang beriman sebagaimana firman Alloh :
وَمَنْ يَتَوَلَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْغَالِبُونَ
Dan barangsiapa mengambil Alloh, Rosul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Alloh itulah yang pasti menang. (QS. Al Maa-idah : 56)
Dan Al Muwaalaah yang diharamkan secara syar’iy adalah seorang muslim yang memberikan bentuk-bentuk muwaalaah tersebut kepada orang-orang kafir, sebagaimana firman Alloh :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia… (QS. Al Mumtahanah : 1)
Sesungguhnya Alloh telah mewajibkan kepada orang-orang yang beriman untuk memusuhi, membenci dan memerangi orang-orang kafir semampu mereka. Sebagaimana firman Alloh :
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ
Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: "Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Alloh, kami ingkari (kekafiran) mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Alloh saja… (QS. Al Mumtahanah : 4)
Dan Alloh berfirman :
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ
Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka ialah neraka Jahannam. Dan itulah tempat kembali yang seburuk-buruknya. (QS. At Taubah : 73 dan At Tahrim : 9)
Maka barangsiapa yang melakukan hal yang sebaliknya, ia mentaati orang-orang kafir atau mencintai mereka atau membantu mereka, maka ia telah bermuwaalaah kepada mereka dan barangsiapa yang bermuwaalaah kepada mereka ia telah kafir, berdasarkan firman Alloh –-- (ayat-ayat diatas dapat juga dijadikan dalil) --- :
وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ
…Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka…(QS. Al Maa-idah : 51)
Dan kekafirannya lebih kuat lagi apabila ia mentaati mereka pada masalah yang membahayakan Islam dan Muslimin sebagaimana yang dilakukan oleh para pendukung penguasa yang murtad karena dengan demikian ia bersekutu dengan mereka dalam kekafiran dan membantu kekafiran untuk menang atas Islam. Dan penjelasan masalah ini akan dibahas setelah ini dengan perkataan para ulama. Insya Alloh.

Setelah pendahuluan yang menjelaskan tentang arti Al muwaalaah, kita kembali kepada ayat-ayat yang dijadikan landasan dalil. Maka kami katakan;
Sebab turunnya ayat-ayat tersebut bermacam-macam namun tidak ada yang shohih yang bisa dijadikan landasan sebagai dalil sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Jariir Ath Thobariy, beliau mengatakan :”Jika keadaannya seperti itu (sebab turunnya ayat tidak ada yang shohih – pent) maka yang benar adalah hukum yang diambil adalah sesuai dengan dzohirnya ayat secara umum, karena ayat tersebut menyatakan secara umum --- sampai beliau mengatakan --- namun tidak diragukan lagi bahwasannya ayat tersebut turun berkenaan dengan orang munafiq yang berwalaa’ kepada orang-orang yahudi atau nasrani karena takut dirinya tertimpa bencana. Karena ayat setelah itu menunjukkan hal tersebut. Yaitu pada firman Alloh :
فَتَرَى الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ يُسَارِعُونَ فِيهِمْ يَقُولُونَ نَخْشَى أَنْ تُصِيبَنَا دَائِرَةٌ
Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya berkata: "Kami takut akan mendapat bencana…” (QS. Al Maa-idah : 52)
Ibnu Jariir menjelaskan; ayat itu menunjukkan secara umum, ia berkata : “Dan pendapat yang benar menurut kami adalah sesungguhnya Alloh melarang orang-orang beriman semuanya agar tidak menjadikan orang-orang yahudi dan nasrani sebagai anshoor (pendukung, penolong) dan sekutu-sekutu dan wali selain Alloh, RosulNya dan orang-orang beriman, maka ia termasuk golongan mereka dalam berkelompok melawan Alloh, RosulNya dan orang-orang beriman. Dan juga Alloh serta RosulNya baroo’ (berlepas diri) darinya --- sampai beliau mengatakan --- yang dimaksud dengan firman Alloh :
وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ
Adalah; barangsiapa yang berwalaa’ kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani selain orang-orang beriman, maka ia termasuk golongan mereka, Alloh mengatakan; Sesungguhnya barangsiapa bermuwaalaah dan membantu mereka dalam memusuhi orang-orang beriman maka ia termasuk penganut agama mereka. Karena sesungguhnya tidak seorangpun yang berwalaa’ kepada seseorang kecuali dia bersamanya dan dalam agamanya serta dia telah ridho dengan apa yang dilakukan oleh orang yang ia berwalaa’ kepadanya. Dan jika dia telah ridho kepadanya dan ridho kepada agamanya maka ia telah memusuhi apa yang bertentangan dan yang benci kepadanya, maka ia hukumnya sama dengan orang yang dia berwalaa’ kepadanya” (Tafsiif Ath Thobariy, VI / 276-277)
Dan Al Qurthubiy mengatakan: ”Firman Alloh yang berbunyi :
وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ
Artinya adalah (barangsiapa) yang memperkokoh mereka dalam memusuhi kaum muslimin
فَإِنَّهُ مِنْهُمْ
Maka dia termasuk golongan mereka.
Alloh menerangkan bahawasannya hukumnya sama dengan hukum mereka. Dan inilah yang menghalangi orang Islam untuk mendapatkan warisan dari orang murtad. Dahulu yang berwalaa’ kepada mereka adalah Ibnu Ubay, kemudian hukum ini terus berlaku sampai hari qiamat. Dan Alloh telah berfirman :
وَلَا تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ
Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka… (QS. Huud : 113)
Dan Alloh berfirman :
لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ
Janganlah orang-orang mu'min mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mu'min…(QS. Ali ‘Imroon : 28)
Dan Alloh berfirman :
لَا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ
… janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu…” (QS. Ali ‘Imroon : 118)
Dan tentang hal ini telah berlalu pembahasannya. Ada juga yang mengatakan bahwa arti ayat :
بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ
Sebagian mereka wali bagi sebagian yang lainnya.
Maksudnya adalah (wali) dalam hal An Nushroh (pertolongan)
وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ
Dan barangsiapa yang berwalaa’ kepada mereka maka dia termasuk golongan mereka.
Ini (adalah kalimat yang terdiri dari) syarat dan jawabnya. Maksudnya, karena dia telah menyelisihi Alloh dan RosulNya sebagaimana mereka (yahudi dan nasrani – pent) menyelisihi Alloh dan RosulNya, dan wajib memusuhi dia sebagaimana wajib juga memusuhi mereka (yahudi dan nasrani –pent), juga dia wajib masuk neraka sebagaimana mereka juga wajib masuk neraka, maka dia menjadi bagian dari mereka, maksudnya menjadi sahabat-sahabat mereka” (Tafsir Al Qurthubi, VI / 217)
Asy Syaukaaniy berkata: ”Firman Alloh :
وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ
Dan barangsiapa yang berwalaa’ kepada mereka maka dia termasuk golongan mereka.
Maksudnya, sesungguhnya dia dihitung sebagai golongan mereka, dan ini adalah ancaman yang sangat keras, karena sesungguhnya kemaksiatan yang sampai batas kekafiran adalah kemaksiatan yang paling tertinggi yang tidak ada lagi kemaksiatan diatasnya. --- sampai beliau mengatakan tentang firman Alloh :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ
Wahai orang yang beriman, barangsiapa yang murtad diantara kalian dari agamanya.
Ini adalah permulaan dalam menerangkan hukum-hukum yang berkaitan dengan orang-orang murtad setelah menerangkan bahwa muwaalaah orang Islam kepada orang-orang kafir merupakan perbuatan kafir, dan itu adalah bagian dari macam-macam riddah (perbuatan murtad).” (Fat-hul Qodiir karangan Asy Syaukaaniy, II / 50-51)
Ibnu Taimiyyah berkata: ”Yang semacam itu juga disebutkan Alloh SWT, dalam ayat yang lain :
تَرَى كَثِيرًا مِنْهُمْ يَتَوَلَّوْنَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَبِئْسَ مَا قَدَّمَتْ لَهُمْ أَنْفُسُهُمْ أَنْ سَخِطَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَفِي الْعَذَابِ هُمْ خَالِدُونَ وَلَوْ كَانُوا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالنَّبِيِّ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مَا اتَّخَذُوهُمْ أَوْلِيَاءَ وَلَكِنَّ كَثِيرًا مِنْهُمْ فَاسِقُونَ
Kamu melihat kebanyakan dari mereka tolong-menolong dengan orang-orang yang kafir (musyrik). Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka sediakan untuk diri mereka, yaitu kemurkaan Alloh kepada mereka; dan mereka akan kekal dalam siksaan. Sekiranya mereka beriman kepada Alloh, kepada Nabi (Musa) dan kepada apa yang diturunkan kepadanya (Nabi), niscaya mereka tidak akan mengambil orang-orang musyrikin itu menjadi penolong-penolong, tapi kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS. Al Maa-idah : 80-81)
Alloh menyebutkan jumlah syarthiyyah (kalimat yang berbentuk syarat) yang menunjukkan bahwa jika terdapat syaratnya maka terdapatlah yang disyaratkan dengan menggunakan kata “لَوْ” (seandainya) yang menunjukkan bahwa jika syarat tidak ada maka yang disyaratkan juga tidak ada. Alloh berfirman :
وَلَوْ كَانُوا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالنَّبِيِّ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مَا اتَّخَذُوهُمْ أَوْلِيَاءَ
Dan seandainya mereka itu beriman kepada Alloh, kepada nabi dan kepada apa yang diturunkan kepadanya, pasti merekatidak menjadikan mereka sebagai wali.
Ayat ini menunjukkan bahwa iman yang tersebut dalam ayat ini bertolak belakang dengan sikap menjadikan mereka sebagai wali. Dan iman tidak akan berkumpul dalam satu hati dengan sikap menjadikan mereka sebagai wali. Hal itu menunjukkan bahwa orang yang menjadikan mereka sebagai wali, berarti ia tidak melaksanakan iman yang wajib yang berupa iman kepada Alloh, kepada nabi dan kepada apa yang diturunkan kepadanya.
Yang semacam itu juga disebutkan Alloh dalam firmanNya
لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka… (QS. Al Maa-idah : 51)
Alah mengabarkan dalam ayat-ayat tersebut bahwa orang yang bermuwaalaah / berwalaa’ kepada mereka bukanlah orang beriman. Dan Alloh mengkabarkan disini bahwa orang yang bermuwaalaah kepada mereka termasuk dari golongan mereka. Dengan demikian maka Al Qur’an itu sebagiannya menguatkan sebagian yang lainnya.” (Majmuu’ Fataawaa, VII / 17-18)
Ibnu Taimiyyah juga berkata: ”Yang memperjelas hal itu adalah bahwa Alloh menyebutkan permasalahan ini dalam bentuk kalimat larangan agar tidak bermuwaalaah kepada orang-orang kafir. Alloh berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ فَتَرَى الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ يُسَارِعُونَ فِيهِمْ يَقُولُونَ نَخْشَى أَنْ تُصِيبَنَا دَائِرَةٌ فَعَسَى اللَّهُ أَنْ يَأْتِيَ بِالْفَتْحِ أَوْ أَمْرٍ مِنْ عِنْدِهِ فَيُصْبِحُوا عَلَى مَا أَسَرُّوا فِي أَنْفُسِهِمْ نَادِمِين – إلى قوله- يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Alloh tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya berkata: "Kami takut akan mendapat bencana". Mudah-mudahan Alloh akan mendatangkan kemenangan (kepada Rosul-Nya), atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya. Maka karena itu, mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka. Dan orang-orang yang beriman akan mengatakan: "Inikah orang-orang yang bersumpah sungguh-sungguh dengan nama Alloh, bahwasanya mereka benar-benar beserta kamu?" Rusak binasalah segala amal mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang merugi. Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Alloh akan mendatangkan suatu kaum yang Alloh mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya… (QS. Al Maa-idah : 51-54)
Orang-orang yang dilarang agar tidak bermuwaalaah kepada orang-orang yahudi dan nasrani adalah orang-orang yang disebutkan dalam ayatur riddah (ayat mengenai orang-orang murtad- pent) Dan hal ini juga sudah maklum akan berlaku sepanjang zaman.
Yaitu ketika Alloh melarang untuk bermuwaalaah kepada orang-orang kafir dan menerangkan bahwa orang yang bermuwaalaah kepada mereka termasuk golongan mereka, Alloh menerangkan bahwa orang yang bermuwaalaah kepada mereka, dan murtad dari Islam tidak akan membahayakan sedikitpun pada Islam.” (Majmuu’ Fataawaa, XVIII / 300) Yang semacam ini juga beliau sebutkan dalam XXVIII/193.
Dan Ibnu Taimiyyah juga mengatakan :”Alloh berfirman :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi wali… (QS. Al Maa-idah : 51)
Ia setuju dan menolong mereka,
فَإِنَّهُ مِنْهُمْ
… maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka…
(Majmuu’ Fataawaa, XXV / 326)
Wa ba’du:
Kami telah sebutkan perkataan para ulama mengenai ayat-ayat yang terdapat dalam surat Al Maa-idah: 51-54 yang dijadikan landasan dalil. Namun ada beberapa permasalahan yang harus diperhatikan berkaitan dengan bermuwaalaahnya seorang muslim kepada orang kafir, yaitu :
A. Bahwa ayat-ayat yang melarang agar tidak bermuwaalaah kepada orang-orang kafir ini bersifat umum. Bukan hanya sekedar bermuwaalaah kepada orang-orang yahudi dan nasrani saja, tanpa orang-orang kafir lainnya. Hal itu karena kata “Yahudi dan Nasrani” merupakan “laqob” (nama sebuatan / julukan – pent). Padahal mafhuum mukhoolafah dalam laqob tidak dapat dijadikan hujjah menurut jumhur ulama. (Lihat Irsyaadul Fuhuul karangan Asy Syaukaaniy, hal. 166 dan 169). Dengan demikian maka larangan untuk tidak bermuwaalaah mencakup kepada orang yahudi, nasrani dan orang-orang kafir lainnya, sebagaimana yang ditunjukkan dalam ayat-ayat lain seperti firman Alloh :
لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ
Janganlah orang-orang mu'min mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mu'min… (QS. Ali ‘Imroon : 28)
Dan firman Alloh :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia… (QS. Al Mumtahanah : 1)
Oleh karena itu Abu Bakar Ibnul ‘Arobiy mengatakan ketika menafsirkan ayat-ayat dalam surat Al Maa-idah ini: ”Sesungguhnya ayat ini menunjukkan larangan untuk menjadikan seluruh orang kafir itu sebagai wali” (Ahkaamul Qur-aan, karangan Ibnul ‘Arobiyy, II / 630).Maka masuk dalam pengertian ini pula larangan agar orang muslim tidak bermuwaalaah kepada orang-orang murtad karena mereka adalah termasuk golongan orang-orang kafir. Sesungguhnya penamaan murtad itu tidak menghalanginya untuk disebut sebagai orang kafir, sebagaimana firman Alloh :
وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ
…Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran… (QS. Al Baqoroh : 217)
Dan Alloh berfirman :
كَيْفَ يَهْدِي اللَّهُ قَوْمًا كَفَرُوا بَعْدَ إِيمَانِهِمْ
Bagaimana Alloh akan menunjuki suatu kaum yang kafir sesudah mereka berima… (QS. Ali ‘Imroon : 86)
Dan ayat-ayat yang semacam itu. Bahkan Ibnu Taimiyyah mengatakan: ”Dan kekafiran orang murtad itu lebih besar dari pada kafir asli berdasarkan ijmaa’” (Majmuu’ Fataawaa, XXVIII / 478 dan yang semacam itu juga terdapat dalam XXVIII / 534 dan XXXV / 158-159.
B. Ayat-ayat dalam surat Al Maa-idah tersebut menunjukkan telah kafirnya orang yang bermuwaalaah kepada orang-orang kafir. Dan kekafirannya itu menjadi semakin diperkuat dengan hal-hal yang disebutkan dalam ayat yang sama dan ayat-ayat lainnya. Diantaranya adalah sebagai berikut;
• Firman Alloh :
وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ
…Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi wali, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. (QS. Al Maidah : 51)
Alloh memperkuat kekafiran mereka dengan menggunakan kata penguat yaitu “Inna” (sesungguhnya).
• Dan firman Alloh :
حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فَأَصْبَحُوا خَاسِرِينَ
…Rusak binasalah segala amal mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang merugi. (QS. Al Maa-idah : 53)
Hapusnya amalan dan kerugian disebabkan kekafiran.
• Dan firman Alloh :
مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ
…barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya… (QS. Al Maa-idah : 54)
Inilah adalah khitob yang sama kepada orang-orang yang dilarang agar tidak bermuwaalaah kepada orang-orang kafir sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah dan Asy Syaukaaniy yang telah saya nukil tadi diatas bahwasannya muwaalaah itu adalah bentuk dari kemurtadan.
• Dan firman Alloh :
لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ
Janganlah orang-orang mu'min mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mu'min. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Alloh… (QS. Ali ‘Imroon : 28)
Ibnu Jariir Ath Thobariy ketika menafsirkan ayat ini berkata: ”Wahai orang-orang beriman, janganlah kalian jadikan orang-orang kafir sebagai penolong dan pendukung, kalian berwalaa’ kepada mereka atas dasar agama mereka dan kalian bantu mereka dalam memusuhi orang-orang Islam, dan kalian tunjukkan rahasia kaum muslimin kepada mereka. Sesungguhnya orang yang melakukan hal itu, Alloh berlepas diri darinya dan dia berlepas diri dari Alloh, lantaran ia telah murtad dari agamanya dan masuk agama kafir” (Tafsiir Ath Thobariy, VI / 313).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar