Saya dan sebagian umat muslim lainnya telah menyadari bahwa pemilu pada kenyataannya telah gagal membawa perubahan yang paling mendasar, yaitu menciptakan masyarakat makmur yang berkeadilan menyeluruh dalam pemerataan..
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, setiap kalian adalah pemimpin dan kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hari kiamat (atas apa-apa yg kamu pimpin)..
Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah meletakkan amanah yang tak sanggup dipikul oleh bumi, langit dan gunung-gunung, di atas pundak manusia atas keinginan manusia itu sendiri..
Pertanyaannya adalah.. apakah kita sanggup memikul amanah itu ? bagaimanakah caranya ? bagaimana pula jika kita berkhianat ?
Disini.. saya tidak ingin membahas betapa kufurnya demokrasi.. dan betapa beratnya tugas yang harus dipikul oleh seorang pemimpin.. tapi disini.. saya ingin memaparkan fakta bahwa salah satu yang menunjang system demokrasi (kufur) tersebut, yaitu pemilu.. adalah hanya perbuatan yang mubazir..
April 2009.. di bulan ini puncak ‘pesta’ demokrasi di negara ini telah dimulai.. masyarakat akan memilih wakil2nya yang akan duduk di kursi legislatif, kemudian eksekutif..
Yang akan menjadi pembahasan saya disini adalah.. biaya yang harus dikeluarkan untuk terselenggaranya ‘pesta’ ini ternyata sangatlah besar.. pululan trilyun rupiah.. karena.. paling tidak pemerintah mengucurkan Rp 20 triliun utk pemilu tahun ini.. dan ini murni dari pemerintah saja.. belum termasuk biaya kantong pribadi para caleg dan calon eksekutif dan biaya2 sampingan lainnya..
Sebut saja salah satu caleg utk DPRD Kota Padang Panjang, Sumatera Barat.. dia mengaku telah menghabiskan sampai saat ini Rp 7 juta dari Rp17 juta yang disiapkannya utk biaya kampanye.. dari jumlah itu, Rp 12 juta dirogoh dari koceknya sendiri.. sedangkan Rp 5 juta sisanya didapat dari berhutang.. kata caleg tersebut, uang tadi dipakai mulai utk biaya spanduk, tim sukses, hingga sumbangan kegiatan olahraga.. jika ada tanah yang akan dijual, tentu akan saya jual utk modal kampanye, katanya..
Begitu juga dengan caleg asal Bandung.. dia mengaku sampai tengah bulan februari saja.. telah keluar biaya Rp 50 – 70 juta.. jumlah ini masih lebih sedikit dibandingkan teman-temannya yang sudah mengeluarkan uang hingga ratusan juta rupiah..
Kedua caleg yang saya sebut diatas.. baru caleg sekelas utk DPRD tingkat Kabupaten /Kota.. bagaimana dengan caleg yang berlaga untuk duduk di kursi DPRD tingkat Provinsi dan DPRD Pusat ?
Seorang caleg DPR-RI dari PDIP yang berlaga di daerah Jakarta Pusat, Jakarta Selatan dan luar negeri, rela merogoh kantong hingga Rp 1.5 miliar untuk membayar jasa Lembaga Survey Indonesia (LSI).. dan itu hanya utk LSI saja.. Belum perangkat kampanye lainnya..
LSI disewa semata mata untuk mengangkat citra sang caleg agar menarik di mata masyarakat.. lembaga ini juga diminta menyusun strategi bagaimana caranya agar masyarakat nanti mau mencontreng nama kliennya.. LSI berubah menjadi mesin politik kedua sang caleg setelah partai..
Pengeluaran partai pun untuk pemenangan pemilu tak kalah besarnya..
Dari pemasangan iklan di media massa saja.. mereka harus mengeluarkan uang miliaran rupiah.. berdasarkan riset AC Nielsen, jumlah belanja iklan politik di televisi selama Oktober 2008 hingga Februari 2009 saja mencapai angka Rp 118,7 miliar..
Dgn rincian.. Partai Gerindra Rp 46,782 miliar.. Partai Demokrat Rp 36,121.. Partai Golkar Rp 18,873 miliar.. PKS Rp 4,866 miliar.. PDIP Rp 4,672 miliar.. PPP Rp 3,294 miliar.. PAN Rp 1,529 miliar.. Hanura Rp 1,432 miliar.. PKB Rp 269 juta.. PBB Rp 236 juta.. PBR Rp 136 juta.. PDP Rp.112 juta.. PKPB Rp 115 juta.. Patriot Rp 80 juta..
Salah satu stasiun tv juga menyebutkan lima partai besar dengan pengeluaran dana iklan mereka apabila diakumulasikan berjumlah sekitar Rp 26 miliar rupiah.. dan angka ini akan terus bertambah..
Pada tahun 2008 AC Nielsen memonitor iklan yang dipasang di 11 televisi nasional, 8 televisi lokal, 92 surat kabar, serta 151 majalah dan tabloid.. secara keseluruhan, total belanja iklan 2008 tercatat sebesar 41,7 triliun !
Belum lagi pemerintah.. selain para peserta pemilu, pemerintah sebagai penyelenggara pemilu juga harus menggelontorkan dana yang tidak sedikit.. Untuk pemilu 2009 ini.. KPU mendapat kucuran dana sebesar 13,5 triliun dari pemerintah.. dan dana itu diambil dari anggaran belanja negara tahun 2009..
Sebelumnya.. utk anggaran tahun 2008, KPU mendapat alokasi dana Rp 6,67 triliun.. jadi.. total Rp 20,17 triliun yang dikeluarkan pemerintah hanya utk KPU..
Selain kepada KPU.. pemerintah juga mengeluarkan uang utk Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk operasional pusat dan daerah sebesar Rp 1,5 triliun..
Selain dari APBN.. pemerintah juga mendapat suntikan dana dari sejumlah negara asing.. menurut Deputi Bappenas bidang polito, Bambang Sutejo.. pendanaan asing untuk program-program pendukung pelaksanaan pemilu 2009 telah mencapai sekitar 487,5 miliar..
Dana terbesar dari Australia, yaitu sebesar Aus$ 27,395 juta, sedangkan dari pemerintah AS melalui USAID memberikan dana sekitar US$ 7 juta..
Ternyata… begitu besar biaya yang harus dikeluarkan negara untuk mengongkosi “pesta demokrasi” ini, dan ironisnya.. semua ini belum menjamin terpilihnya pemimpin yang mampu mengubah keadaan masyarakat…
Pengamat Politik Universitas Indonesia mengatakan.. biaya pemilu tahun 2009 ini memang terlalu tinggi dan tidak efisien.. karena biaya tinggi inilah yang pada akhirnya menyebabkan sering terjadinya praktik money politic (politik uang)..
“Tidak hanya membagi-bagikan uang untuk memperoleh kekuasaan, tapi juga mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya saat berkuasa, ” katanya.. dan beliau mengatakan bahwa pemilu tidak membawa manfaat besar bagi masyarakat.. hal ini bisa dilihat dari rendahnya kinerja legislatif, sering mangkirnya anggota dewan saat rapat.. dan rendahnya produktifitas para anggota dewan..
Bagaimana dengan caleg..? banyak partai yang melakukan jual-beli nomor urut caleg.. saat caleg berhasil menduduki kekuasaan, maka yang terfikir adalah mengembalikan uang yang telah dikeluarkan saat pencalonan..
Ada kisah menarik dari seorang nenek2 berumur 70 tahun.. katanya ia sudah lupa berapa kali ia ikut pemilu.. yang ia ingat adalah.. ia tak pernah mangkir barang sekalipun dalam pemilu yang berlangsung di negeri ini..
Ia juga sudah kenyang dengan berbagai janji yang keluar dari mulut para juru kampanye tentang kesehatan gratis, pendidikan gratis dan sebagainya.. Padahal, wujud dari janji2 tersebut tak pernah ia terima.. Bahkan, ketika sang suami harus dirawat di rumah sakit, tak sesenpun bantuan yang ia terima, hingga laki-laki pendamping hidupnya itu pun meninggal dunia..
Salah satu tim ahli Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM menjelaskan.. demokrasi hanya sebagai sarana bagi pemodal untuk mendapatkan kekuasaan.. dasar pertarungannya adalah kuat kuatan modal.. inilah yang menjadikan demokrasi mahal.. pelan-pelan demokrasi menjadi industri.. dan rakyat hanya dimobilisasi..
“Rakyat bukan hanya tidak mendapat apa-apa, tapi justru tertipu habis,” katanya..rakyat tidak memiliki harapan lagi dengan sistem demokrasi ini.. sebab, pemilu itu murni kepentingan pengusaha.. Pemilu legislatif, pemilihan kepala daerah, pemilihan gubernur, semuanya ada bandarnya.. ketika pemenang muncul, hakikatnya pemilu itu dimenangkan oleh sang bandar..
Karenanya.. tak ada lagi harapan dari mesin demokrasi ini.. dan semestinya rakyat bisa mengambil sikap..dan bentuk paling sederhana adalah tidak memilih (Golput).. “Ibaratnya, itu selemah-lemahnya iman,”kata ahli dari UGM itu..
beliau berpendapat.. sistem pengangkatan pemimpin yang berjalan saat ini harus dirubah.. pada level yang paling tinggi, perubahan itu lewat revolusi.. namun, revolusi itu sulit dilakukan meski gampang diucapkan.. harus ada momentum, subjek dan objeknya.. dan pada level yang paling rendah, ya itu tadi.. golput, katanya..
Sekarang pertanyaannya adalah.. apakah sepadan hasil yang diperoleh dari ‘pesta’ ini dengan biaya yang telah dikeluarkan ? jawabannya tidak !
karena.. sampai detik ini.. masih saja kita melihat.. ibu-ibu tua di pinggir jalan meminta-minta.. anak kecil berusia 3-4 tahun, tertidur di bawah jembatan layang hanya beralaskan kardus dan koran.. lantas.. mana hasil dari janji2 kampanye pemilu yang diadakan setiap 5 tahunnya...? Bukankah fakir miskin dan anak terlantar harusnya dipelihara negara? lantas.. kenapa masih banyak kita lihat saudara2 kita meminta-minta di pinggir jalan..?
Apakah negara sudah mati?
Melihat kejadian itu, saya lantas bertanya,
dimana negara?
Ternyata negara masih ada kok, lihat saja negara yang dipimpin oleh presiden hasil pemilu langsung 2004, yang sekarang telah menjadi presiden RI untuk periode 2009 - 2014 dengan berbesar hati mengucurkan miliaran rupiah untuk mengambil alih tanggung jawab Lapindo yang telah menenggelamkan kawasan porong dengan lumpur panasnya lho…ini bukti bahwa negara masih ada, tapi ya itu tadi keberadaan negara hanya untuk orang-orang kaya seperti pemilik Lapindo itu..
Nah, kalau keberadaan negara hanya untuk orang kaya.. mengapa pula para elite politik dalam setiap kampanye pemilu selalu mengumbar janji bahwa bila nanti terpilih akan mengentaskan sebagian besar warga dari jurang kemiskinan? Mengapa setelah menjabat mereka meninggalkan orang-orang miskin?
Ah,…memang mereka semua pembohong…lantas, apakah kita masih akan memilih para pembohong itu menjadi wakil kita bahkan presiden kita pada pemilu 2014 nanti ?
Rasanya tidak, cukup sudah kita diludahi dari atas kereta kencana oleh para pangeran hasil pemilu setiap lima tahun itu…
GOLPUT bukan sekedar pilihan namun sebuah perlawanan !
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, setiap kalian adalah pemimpin dan kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hari kiamat (atas apa-apa yg kamu pimpin)..
Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah meletakkan amanah yang tak sanggup dipikul oleh bumi, langit dan gunung-gunung, di atas pundak manusia atas keinginan manusia itu sendiri..
Pertanyaannya adalah.. apakah kita sanggup memikul amanah itu ? bagaimanakah caranya ? bagaimana pula jika kita berkhianat ?
Disini.. saya tidak ingin membahas betapa kufurnya demokrasi.. dan betapa beratnya tugas yang harus dipikul oleh seorang pemimpin.. tapi disini.. saya ingin memaparkan fakta bahwa salah satu yang menunjang system demokrasi (kufur) tersebut, yaitu pemilu.. adalah hanya perbuatan yang mubazir..
April 2009.. di bulan ini puncak ‘pesta’ demokrasi di negara ini telah dimulai.. masyarakat akan memilih wakil2nya yang akan duduk di kursi legislatif, kemudian eksekutif..
Yang akan menjadi pembahasan saya disini adalah.. biaya yang harus dikeluarkan untuk terselenggaranya ‘pesta’ ini ternyata sangatlah besar.. pululan trilyun rupiah.. karena.. paling tidak pemerintah mengucurkan Rp 20 triliun utk pemilu tahun ini.. dan ini murni dari pemerintah saja.. belum termasuk biaya kantong pribadi para caleg dan calon eksekutif dan biaya2 sampingan lainnya..
Sebut saja salah satu caleg utk DPRD Kota Padang Panjang, Sumatera Barat.. dia mengaku telah menghabiskan sampai saat ini Rp 7 juta dari Rp17 juta yang disiapkannya utk biaya kampanye.. dari jumlah itu, Rp 12 juta dirogoh dari koceknya sendiri.. sedangkan Rp 5 juta sisanya didapat dari berhutang.. kata caleg tersebut, uang tadi dipakai mulai utk biaya spanduk, tim sukses, hingga sumbangan kegiatan olahraga.. jika ada tanah yang akan dijual, tentu akan saya jual utk modal kampanye, katanya..
Begitu juga dengan caleg asal Bandung.. dia mengaku sampai tengah bulan februari saja.. telah keluar biaya Rp 50 – 70 juta.. jumlah ini masih lebih sedikit dibandingkan teman-temannya yang sudah mengeluarkan uang hingga ratusan juta rupiah..
Kedua caleg yang saya sebut diatas.. baru caleg sekelas utk DPRD tingkat Kabupaten /Kota.. bagaimana dengan caleg yang berlaga untuk duduk di kursi DPRD tingkat Provinsi dan DPRD Pusat ?
Seorang caleg DPR-RI dari PDIP yang berlaga di daerah Jakarta Pusat, Jakarta Selatan dan luar negeri, rela merogoh kantong hingga Rp 1.5 miliar untuk membayar jasa Lembaga Survey Indonesia (LSI).. dan itu hanya utk LSI saja.. Belum perangkat kampanye lainnya..
LSI disewa semata mata untuk mengangkat citra sang caleg agar menarik di mata masyarakat.. lembaga ini juga diminta menyusun strategi bagaimana caranya agar masyarakat nanti mau mencontreng nama kliennya.. LSI berubah menjadi mesin politik kedua sang caleg setelah partai..
Pengeluaran partai pun untuk pemenangan pemilu tak kalah besarnya..
Dari pemasangan iklan di media massa saja.. mereka harus mengeluarkan uang miliaran rupiah.. berdasarkan riset AC Nielsen, jumlah belanja iklan politik di televisi selama Oktober 2008 hingga Februari 2009 saja mencapai angka Rp 118,7 miliar..
Dgn rincian.. Partai Gerindra Rp 46,782 miliar.. Partai Demokrat Rp 36,121.. Partai Golkar Rp 18,873 miliar.. PKS Rp 4,866 miliar.. PDIP Rp 4,672 miliar.. PPP Rp 3,294 miliar.. PAN Rp 1,529 miliar.. Hanura Rp 1,432 miliar.. PKB Rp 269 juta.. PBB Rp 236 juta.. PBR Rp 136 juta.. PDP Rp.112 juta.. PKPB Rp 115 juta.. Patriot Rp 80 juta..
Salah satu stasiun tv juga menyebutkan lima partai besar dengan pengeluaran dana iklan mereka apabila diakumulasikan berjumlah sekitar Rp 26 miliar rupiah.. dan angka ini akan terus bertambah..
Pada tahun 2008 AC Nielsen memonitor iklan yang dipasang di 11 televisi nasional, 8 televisi lokal, 92 surat kabar, serta 151 majalah dan tabloid.. secara keseluruhan, total belanja iklan 2008 tercatat sebesar 41,7 triliun !
Belum lagi pemerintah.. selain para peserta pemilu, pemerintah sebagai penyelenggara pemilu juga harus menggelontorkan dana yang tidak sedikit.. Untuk pemilu 2009 ini.. KPU mendapat kucuran dana sebesar 13,5 triliun dari pemerintah.. dan dana itu diambil dari anggaran belanja negara tahun 2009..
Sebelumnya.. utk anggaran tahun 2008, KPU mendapat alokasi dana Rp 6,67 triliun.. jadi.. total Rp 20,17 triliun yang dikeluarkan pemerintah hanya utk KPU..
Selain kepada KPU.. pemerintah juga mengeluarkan uang utk Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk operasional pusat dan daerah sebesar Rp 1,5 triliun..
Selain dari APBN.. pemerintah juga mendapat suntikan dana dari sejumlah negara asing.. menurut Deputi Bappenas bidang polito, Bambang Sutejo.. pendanaan asing untuk program-program pendukung pelaksanaan pemilu 2009 telah mencapai sekitar 487,5 miliar..
Dana terbesar dari Australia, yaitu sebesar Aus$ 27,395 juta, sedangkan dari pemerintah AS melalui USAID memberikan dana sekitar US$ 7 juta..
Ternyata… begitu besar biaya yang harus dikeluarkan negara untuk mengongkosi “pesta demokrasi” ini, dan ironisnya.. semua ini belum menjamin terpilihnya pemimpin yang mampu mengubah keadaan masyarakat…
Pengamat Politik Universitas Indonesia mengatakan.. biaya pemilu tahun 2009 ini memang terlalu tinggi dan tidak efisien.. karena biaya tinggi inilah yang pada akhirnya menyebabkan sering terjadinya praktik money politic (politik uang)..
“Tidak hanya membagi-bagikan uang untuk memperoleh kekuasaan, tapi juga mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya saat berkuasa, ” katanya.. dan beliau mengatakan bahwa pemilu tidak membawa manfaat besar bagi masyarakat.. hal ini bisa dilihat dari rendahnya kinerja legislatif, sering mangkirnya anggota dewan saat rapat.. dan rendahnya produktifitas para anggota dewan..
Bagaimana dengan caleg..? banyak partai yang melakukan jual-beli nomor urut caleg.. saat caleg berhasil menduduki kekuasaan, maka yang terfikir adalah mengembalikan uang yang telah dikeluarkan saat pencalonan..
Ada kisah menarik dari seorang nenek2 berumur 70 tahun.. katanya ia sudah lupa berapa kali ia ikut pemilu.. yang ia ingat adalah.. ia tak pernah mangkir barang sekalipun dalam pemilu yang berlangsung di negeri ini..
Ia juga sudah kenyang dengan berbagai janji yang keluar dari mulut para juru kampanye tentang kesehatan gratis, pendidikan gratis dan sebagainya.. Padahal, wujud dari janji2 tersebut tak pernah ia terima.. Bahkan, ketika sang suami harus dirawat di rumah sakit, tak sesenpun bantuan yang ia terima, hingga laki-laki pendamping hidupnya itu pun meninggal dunia..
Salah satu tim ahli Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM menjelaskan.. demokrasi hanya sebagai sarana bagi pemodal untuk mendapatkan kekuasaan.. dasar pertarungannya adalah kuat kuatan modal.. inilah yang menjadikan demokrasi mahal.. pelan-pelan demokrasi menjadi industri.. dan rakyat hanya dimobilisasi..
“Rakyat bukan hanya tidak mendapat apa-apa, tapi justru tertipu habis,” katanya..rakyat tidak memiliki harapan lagi dengan sistem demokrasi ini.. sebab, pemilu itu murni kepentingan pengusaha.. Pemilu legislatif, pemilihan kepala daerah, pemilihan gubernur, semuanya ada bandarnya.. ketika pemenang muncul, hakikatnya pemilu itu dimenangkan oleh sang bandar..
Karenanya.. tak ada lagi harapan dari mesin demokrasi ini.. dan semestinya rakyat bisa mengambil sikap..dan bentuk paling sederhana adalah tidak memilih (Golput).. “Ibaratnya, itu selemah-lemahnya iman,”kata ahli dari UGM itu..
beliau berpendapat.. sistem pengangkatan pemimpin yang berjalan saat ini harus dirubah.. pada level yang paling tinggi, perubahan itu lewat revolusi.. namun, revolusi itu sulit dilakukan meski gampang diucapkan.. harus ada momentum, subjek dan objeknya.. dan pada level yang paling rendah, ya itu tadi.. golput, katanya..
Sekarang pertanyaannya adalah.. apakah sepadan hasil yang diperoleh dari ‘pesta’ ini dengan biaya yang telah dikeluarkan ? jawabannya tidak !
karena.. sampai detik ini.. masih saja kita melihat.. ibu-ibu tua di pinggir jalan meminta-minta.. anak kecil berusia 3-4 tahun, tertidur di bawah jembatan layang hanya beralaskan kardus dan koran.. lantas.. mana hasil dari janji2 kampanye pemilu yang diadakan setiap 5 tahunnya...? Bukankah fakir miskin dan anak terlantar harusnya dipelihara negara? lantas.. kenapa masih banyak kita lihat saudara2 kita meminta-minta di pinggir jalan..?
Apakah negara sudah mati?
Melihat kejadian itu, saya lantas bertanya,
dimana negara?
Ternyata negara masih ada kok, lihat saja negara yang dipimpin oleh presiden hasil pemilu langsung 2004, yang sekarang telah menjadi presiden RI untuk periode 2009 - 2014 dengan berbesar hati mengucurkan miliaran rupiah untuk mengambil alih tanggung jawab Lapindo yang telah menenggelamkan kawasan porong dengan lumpur panasnya lho…ini bukti bahwa negara masih ada, tapi ya itu tadi keberadaan negara hanya untuk orang-orang kaya seperti pemilik Lapindo itu..
Nah, kalau keberadaan negara hanya untuk orang kaya.. mengapa pula para elite politik dalam setiap kampanye pemilu selalu mengumbar janji bahwa bila nanti terpilih akan mengentaskan sebagian besar warga dari jurang kemiskinan? Mengapa setelah menjabat mereka meninggalkan orang-orang miskin?
Ah,…memang mereka semua pembohong…lantas, apakah kita masih akan memilih para pembohong itu menjadi wakil kita bahkan presiden kita pada pemilu 2014 nanti ?
Rasanya tidak, cukup sudah kita diludahi dari atas kereta kencana oleh para pangeran hasil pemilu setiap lima tahun itu…
GOLPUT bukan sekedar pilihan namun sebuah perlawanan !
dblackdwarf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar