Minggu, 13 Juni 2010

--- Catatan Terhadap Syarah Nawaqidhul Islam --- [Bahasan : BAHAYA DAN BENCANA AKIBAT KAIDAH SALAH DALAM DEFINISI IBADAH]

BAHAYA DAN BENCANA AKIBAT KAIDAH SALAH DALAM DEFINISI IBADAH



Pendapat yang mengatakan bahwa sekadar perbuatan tanpa melihat persepsi dan keyakinan yang menyertainya pada obyek tujuan (untuk siapa perbuatan itu ditujukan), berpendapat bahwa itu adalah ibadah merupakan kesalahan besar dan fatal. Bukan itu saja, itu adalah bid’ah mungkar dan kesesatan besar yang mengakibatkan bencana besar, di antaranya:

1) Menuduh banyak kaum muslimin jatuh dalam kesyirikan dan kekafiran dan memvonis mereka telah keluar dari agama dan meninggalkan Islam, selanjutnya mereka harus dimusuhi, pedang dihunus, mereka harus perangi serta harta dan darah mereka dihalalkan. Ini kemungkaran besar dan kesalahan fatal yang membuat pelakunya termasuk golongan khowarij yang membunuhi umat Islam dan membiarkan penyembah berhala, atau minimal: memusuhi umat Islam dan menyerahkan loyalitas kepada penyembah berhala.

2) Mengubah makna ibadah sampai menjadi sekumpulan syiar-syiar dan upacara-upacara yang kosong dari isi; dan menjadi pembahasan-pembahasan menggelikan seputar kuburan, makam dan para wali. Maka tidak mengherankan ketika Al-Albani menamakan, misalnya, negara dinasti Saud (Saudi Arabia) sebagai negara tauhid pada kaset yang sama dengan kaset yang habis disebarluaskan untuk mendatangkan tentara Amerika dalam rangka memerangi Iraq di awal krisis Kuwait. Menurut pandangannya, Saudi Arabia negara tauhid ketika ia bertawalli kepada orang-orang kafir dan ketika ia berperang di bawah bendera mereka untuk melawan kaum muslimin, perang yang benar-benar menghancurkan. Perbuatan itu merupakan salah satu perbuatan kekafiran. Dengan itu, pelakunya menjadi kafir murtad jika tidak ada padanya penghalang-penghalang takfir. Ditambah lagi ia mengganti syariat dan menampakkan kekafiran yang nyata; misalnya dalam peraturan kewarganegaraan Saudi -rezim busuk dan rasis terkutuk- dan peraturan yang membolehkan bank-bank ribawi serta menjadi anggota organisasi-organisasi kafir seperti PBB.

Kemudian kami dapati ia menamakannya secara tertulis dalam kitabnya “Tahdziir As-Saajid Min Ittikhoodz Al-Qubuur Masaajid” pada cetakan keempat yang ada di hadapanku. Kitab ini diterbitkan oleh Al-Maktab Al-Islamiy tahun 1403 H / 1983 M, pada halaman 68, di mana ia berkata, “Ketika itu saya terheran-heran bagaimana fenomena paganisme (watsaniyah) masih ada di era Daulah Tauhid (Negara Tauhid).”

Mengapa ia menamkannya Daulah Tauhid?! Dan mengapa negara ini berhak mendapatkan kemuliaan yang agung ini?! Karena negara Saudi bersih dari kuburan dan makam yang dibangun. Demikianlah ia menamkan negara ini dengan penuh kelemahan, kepandiran dan kedunguan serta kedangkalan pikiran. Maha Suci Engkau ya Allah. Ini merupakan kedustaan besar!

3) Yang paling buruk dari sisi aqidah, meskipun tidak nampak, yaitu berpendapat bahwa Allah tidak menjadi ilah sejak azali. Allah menjadi ilah setelah diibadahi/disembah dalam arti setelah ada orang yang menyembahnya. Cukuplah keburukan pendapat ini.

Ya, mereka yang berpendapat seperti ini pasti akan menanggapi: Ma’aadzallaah (na’uudzubillah). Allah adalah ilah sejak azali dan akan abadi. Dalam arti, Dia berhak mendapatkan ibadah setiap yang beribadah (‘aabid). Tidak ada bedanya, baik ada yang beribadah kepadanya maupun tidak atau baik ada yang mau beribadah maupun tidak.

Kami katakan: Bagus, memang sudah seharusnya seperti itu jawaban kalian. Sekarang sampaikan kepada kami apa definisi ibadah menurut kalian?! Bukankah ibadah adalah setiap perbuatan yang dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah dalam kapasitas-Nya sebagai yang berhak diibadahi, yaitu berdasarkan keyakinan pelaku bahwa Allah memang yang berhak diibadahi?! Lalu bagaimana kalian menjadikan ibadah hanya terbatas pada perbuatan-perbuatan: sujud, ruku’, menyalakan lilin, mempersembahkan persembahan, menyembelih sembelihan, komitmen melaksanakan nadzar, dst, dari sisi ia hanya sekedar perbuatan.

Mungkin mereka akan langsung berkata: Tapi itu karena Allah-lah yang memerintahkan untuk melakukannya untuk diri-Nya dan Dia melarang melakukannya untuk selain-Nya. Oleh karena itulah kami menamakannya ibadah dan kami mengklasifikasikan pelaku yang memalingkannya kepada selain-Nya sebagai orang musyrik kafir.

Kami katakan: ini bagian dari kebodohan kalian atau kalian terang-terangan telah berdusta. Karena telah kami buktikan pada sujud, misalnya, bahwa Allah tidak mengklasifikasikannya sebagai ibadah jika dipalingkan kepada selain-Nya dan tidak pula mengkafirkan orang yang memalingkannya kepada selain-Nya. Bahkan Dia memerintahkan para malaikat dengan perintah wajib untuk melakukannya tanpa belas kasihan. Dan Dia melaknat (mengutuk) iblis dan mengusirnya dari surga ketika ia menolak dan sombong tidak mau melakukan perintah sujud tersebut. Sehingga dengan penolakan tersebut ia menjadi kafir. Dia hanya mengharamkan sujud kepada selain-Nya pada syariat penutup ini dan sebelumnya tidak haram. Pada syariat ini itu hanya haram bukan syirik atau kufur kecuali jika disertai dengan keyakinan yang mengkafirkan (i’tiqad mukaffir). Kalian membuat syariat dengan hawa nafsu kalian dan kalian menamakan banyak hal dengan nama-nama yang kalian buat-buat sendiri, yang Allah tidak sedikit pun menurunkan keterangan tentangnya. Ditambah lagi kontradiksi pendapat kalian dan jatuhnya kalian dalam lingkaran setan yang kadang terlihat jelas kadang samar.

Maka tidak mengherankan jika serangan para boneka dinasti Saud kepada Taliban –ketika majikan mereka AS memerintahkannya- terfokus pada persoalan makam dan kuburan. Lalu pembelaan dari para pembela Taliban terbatas pada penyampaian dalil-dalil bahwa mereka sedang dalam usaha menghancurkan kuburan-kuburan dan makam-makam tersebut semampu mereka?!

Adapun persoalan konvensi (adat istiadat) suku yang kufur yang didiamkan Taliban, persoalan taklid buta dan kebekuan fikih yang mengekor kepada pendapat ahli fikih masa kemunduran Islam yang sampai pada tingkat zhalamiyah (zalim dan gelap), persoalan ghuluw (sikap berlebih-lebihan) dan kesalahan-kesalahan yang dilakukan Taliban, yang mengotori gambaran Islam yang putih bersih, dan persoalan pengekangan dan penyitaan hak-hak manusia yang legal, semua persoalan itu poin yang perlu dibahas dan didiskusikan atau memberikan kritik dan nasehat kepada Taliban untuk membenarkannya. Kenapa tidak ?! Bukankah syirik kubur adalah bencana dan musibah besar yang seharusnya menjadi fokus perhatian dan perlu segera diatasi sebagaimana yang ada di khayalan mereka yang sakit, mereka yang terfitnah dari kalangan pengaku salafi, pemilik aqidah shahihah menurut anggapan mereka?!

Tidak mengherankan ketika kita mendengar salah satu imam dakwah wahabiyah di abad ini, yaitu Syaikh Muhammad bin Ibrahim Aalu Asy-Sayikh rahimahullah, ketika mengatakan, “Menerapkan syariat Allah tanpa selainnya merupakan saudara kandung ibadah hanya kepada Allah semata. Karena kandungan dua kalimat syahadat adalah bahwasanya Allah-lah yang berhak diibadahi, tiada sekutu bagi-Nya, dan bahwasanya hanya Rasul-Nya saja yang berhak diikuti. Tidaklah pedang jihad dihunus kecuali karena itu. Dan ketika ada perselisihan harus dikembalikan kepada syariat Allah.” [dari Fatawa Syaikh Muhammad bin Ibrahim: 12 / 251].

Ya, tidak mengherankan kaluar pernyataan semacam ini dari Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah, pernyataan yang kurang teliti. Meskipun di dalamnya juga mengandung sisi-sisi kebaikan yang tidak boleh diingkari. Hal itu karena pernyataan beliau bertolak dari pengertian ibadah yang asli dan terbelakang, yang mana ibadah adalah sekumpulan syiar dan perbuatan lahir dan batin dari berdiri, duduk, ruku’, sujud, puasa, haji, melempar jumrah, menyalakan lilin, mempersembahkan sembelihan dan persembahan, dan yang serupa dengannya.

Padahal yang benar bahwa menerapkan syariat Allah adalah ibadah kepada Allah itu sendiri atau sebagian dari ibadah kepada Allah, bukan sesuatu yang berbeda dengannya sehingga sampai dikatakan ia adalah saudara kandungnya. Karena syiar-syiar ibadah bukan ibadah itu sendiri, meskipun para ahli fikih salah menamakannya sebagai ibadah sebagai ganti dari istilah yang benar ‘syiar ibadah’. Namun ibadah adalah ketaatan kepada perintah untuk melaksanakannya, bukan syiar ibadah itu sendiri.

Inilah pernyataan Nabi penutup Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam ketika bersabda, “Itulah ibadah mereka (kepada ahbar dan ruhban).” Tidak bersabda, “Itu seperti atau saudara kandung ibadah kepada mereka” sebagai pengajaran kepada ‘Adiy bin Hatim ketika ia tidak memahami firman Allah Ta'ala,
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah” (QS. At-Taubah [9]: 31)
Makanya kontan ia berkata, “Kami tidak beribadah kepada mereka.” Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menanyainya, “Bukankah mereka mengharamkan apa yang dihalalkan Allah lalu kalian ikut mengharamkannya? Dan mereka menghalakan apa yang Allah haramkan lalu kalian ikut menghalalkannya.” ‘Adiy menjawab, “Ya benar.”!

Sebab terjatuh dalam kesalahan besar dan fatal ini -yang mengakibatkan berbagai musibah dan bencana- adalah ketidaktelitian dalam membedakan istilah-istilah yang berlainan. Ada perbedaan mendasar antara pengertian ibadah dalam arti ‘urfiy isthilahiy yang sempit –yang dipergunakan oleh bangsa Arab ketika Al-Qur'an diturunkan terhadap tuhan-tuhan dan sembahan-sembahan mereka, dan masih dipergunakan oleh seluruh manusia, dan itu yang biasa dipakai dalam Al-Qur'an ketika berbicara kepada orang-orang musyrik dan mendakwahi mereka kepada Islam dan tauhid-; dan antara pengertian ibadah dalam arti syar'i yang luas –yang dibawa Islam khusus untuk ‘ibadah kepada Allah’ (ibadatullah), yang dipakai untuk orang-orang beriman setelah mereka bertauhid dan beriman. Ada perbedaan antara semua itu pada satu sisi dan dari sisi asal kata ‘abd dan jamaknya ‘abiid pada sisi yang lain.

Adapun makna ibadah secara ‘urfiy isthilahiy adalah juga makna ibadah secara syar'i karena syariat tidak memberikan makna selain ini, yaitu: mengarahkan perkataan, perbuatan dan syiar-syiar tertentu kepada yang diyakini mempunyai sifat uluhiyah untuk mendekatkan diri kepadanya, meminta ridha, kecintaan dan kedekatan dengannya atau menjaga diri dari kejahatannya, atau agar mendapatkan kasih sayang, kebaikan dan memperoleh nikmat darinya, atau untuk meminta pertolongan dengannya dalam rangka menolak bahaya atau mendapatkan kemanfaatan, dan yang semacamnya.

Adapun makna dari sisi bahasa asli –yang mengandung makna ketundukan, pasrah dan semacamnya- makna inilah yang dimaksud dalam perkataan kami seperti: fulan A hamba sahaya fulan B, yang tidak ada hubungannya dengan persoalan syirik dan tauhid secara makna syar'i. Meskipun syariat membenci penggunaan kata ‘abd dan amah untuk hamba sahaya dan memberikan petunjuk agar menggantinya dengan kata fata (فَتَى) dan fatatun (فَتَاةُ).

Makna dari sisi bahasa ini juga maksud dari seperti sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, “Celakalah hamba dinar, celakalah hamba dirham, celakalah hamba khamishah …”. Ini termasuk keindahan gaya bahasa Nabi karena beliau meyerupakan orang yang telah dikuasai cinta harta dan perhiasan dengan hamba sahaya yang hina yang tidak kuasa melakukan apa-apa dan tidak mampu keluar dari kekuasaan tuannya. Ini tidak ada kaitannya dengan syirik dan tauhid dengan makna syar'i isthilahiy. Meskipun orang semacam ini layak mendapat celaan dan sangsi dari Allah Ta'ala. Cuma yang jelas, ini tidak masuk dalam pembahasan: hamba Laata, hamba Uzza dan hamba Manat.

Adapun makna ibadah yang luas yang dibawa Islam maka ia memperdalam dan memperluas makna isthilahiy yang sempit menurut bangsa Arab, menyesuaikan pada setiap kondisi, dan tergantung konteksnya. Seperti dalam firman Allah Ta'ala,
أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya.” (QS. Al-Jaatsiyah [45]: 23)
Karena ia menjadikan pendapat dan hawa nafsunya sebagai pembuat hukum (musyarri’) dan pemutus hukum (hakim). Sesuatu berhukum wajib menurutnya adalah yang menurut pendapatnya wajib, bukan yang dinyatakan wajib oleh syariat, demikian juga yang sunnah, halal, makruh, dan haram; semuanya sesuai akal dan pendapatnya atau syahwat dan hawa nafsunya. Ia menganggap diri atau hawa nafsunya sebagai pemilik siyadah (kedaulatan) dan hakimiyah (pemutus hukum). Ia menjadi musyarri’ bagi dirinya sendiri. Ia yang mendefinisikan mana yang bagus dan buruk, mana yang baik dan jelek. Inilah makna menjadikan hawa nafsunya sebagai ilah. Dengan itu ia menjadi musyrik kafir, belum masuk Islam sama sekali atau ia telah murtad setelah masuk Islam. Karena kami belum pernah mendengar ada seseorang yang membangun mihrab (bagian rumah yang paling terhormat) dirinya sendiri, yang dipersembahkan kepadanya sembelihan dan persembahan serta dinyalakan lilin, lalu ia mengadap cermin kemudian menundukan dirinya dengan ruku’ dan sujud kepada gambar dirinya yang ada di cermin!!

Telah kami jelaskan bahwa siyadah dan hakimiyah itu hak Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Barang siapa yang mengatakan bahwa salah satunya milik selain Allah maka ia telah menjadikan rabb dan ilah bersama Allah, itu tanpa melihat penamaan, baik ia menamakan dengan terang-terangan uluhiyah atau rububiyah atau menamakannya ‘melaksanakan siyadah atau kebebasan sebagaimana omong kosong orang-orang aliran ekstensialisme (al-wujudiyyun) –semoga Allah menghinakan, megutuk dan menghancurkan mereka; atau dengan menamakan ‘untuk menentukan nasib’, kedaulatan rakyat, kedaulatan negara, dikembalikan kepada hak tuhan milik raja, tindakan rasional, atau pemikiran politik yang membawa masalahat.

Makna ibadah dalam arti yang luas ini juga maksud dari firman Allah Ta'ala,
وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى أَوْلِيَائِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ
“Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.” (QS. Al-An-‘aam [6]: 121)
Yaitu jika kamu menaati dan mengikuti mereka (orang-orang musyrik) dalam penghalalan bangkai maka kamu menjadi kafir musyrik, keluar dari Islam, mengakui hak siyadah, hakimiyah dan tasyri’ untuk selain Allah. Inilah kesyirikan yang dimaksud di sini. Yaitu syirik kufur, yang membatalkan Islam, yang mengeluarkan dari millah bagi yang sebelumnya ada di dalamnya, yang tidak ada kitannya sama sekali dengan duduk, ruku’, sujud, sa’i atau thowaf.

Termasuk dalam bab ini adalah firman Allah Ta'ala,
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah” (QS. At-Taubah [9]: 31)

Ada riwayat tentang tafsir ayat ini dari ‘Adiy bin Hatim ra bahwa ia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam membaca ayat ini, Adiy berkata, “Saya mengatakan kepada beliau, ‘Kami tidak beribadah kepada mereka.’ Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menanyainya, “Bukankah mereka mengharamkan apa yang dihalalkan Allah lalu kalian ikut mengharamkannya? Dan mereka menghalakan apa yang Allah haramkan lalu kalian ikut menghalalkannya.” ‘Adiy menjawab, “Ya benar.” Beliau bersabda, “Itulah ibadah kalian kepada mereka.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi dalam Sunannya). Di sini ‘Adiy memahami ibadah dalam arti yang sempit (syiar-syiar ibadah yang menandakan merendahkan dan menundukkan diri), sebagaimana pemahaman orang-orang Arab, bahkan mayoritas penduduk bumi dalam memahami makna ibadah. Makanya Nabi SAW mengajarinya bahwa mengakui hak tasyri’ bagi orang-orang alim dan rahib-rahib dan menjadikan mereka sebagai arbab yang memiliki siyadah adalah bentuk ibadah kepada mereka dalam arti yang luas (merendahkan dan menundukkan diri bersama taat dan ittiba’ serta bersama cinta dan loyalitas), yang semuanya pada akhirnya akan kembali pada taat kepada perintah yang terbangun atas keyakinan bahwa yang ditaati mempunyai kapasitas sama dengan Allah (uluhiyah).

Imam Abu Muhammad Ali bin Hazem Al-Andalusiy mengungkapkan hal ini dalam Al-Ihkaam fii Ushuulil Ahkaam dengan ungkapan cukup berlebihan ketika ia mengatakan, “Perkataan orang yang berkata, ‘Saya beribadah kepada malaikat’ tidak pula ucapan orang-orang Nashara, ‘Kami menyembah Al-Masih (Isa AS)’ tidak otomatis menunjukkan kejujuran mereka. Karena ibadah berasal dari ubudiyah (penghambaan). Yang beribadah/menyembah seseorang adalah orang yang tunduk kepadanya dan orang yang mengikuti perintahnya. Adapun orang yang durhaka dan menyelisihinya bukanlah hambanya. Sehingga dia dusta dalam pengakuannya bahwa ia menyembahnya). Yang ia maksudkan adalah menjelaskan ketidakjujuran mereka, yaitu tidak sesuai dengan fakta di lapangan, sesuai dengan yang akan nampak nanti pada hari kiamat ketika tabir sudah disingkap.

------------
bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar