Minggu, 13 Juni 2010

TAHLILAN

Historis Upacara Tahlilan



Para pembaca, kalau kita buka catatan sejarah Islam, maka acara ritual tahlilan tidak dijumpai di masa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, di masa para sahabatnya ? dan para Tabi’in maupun Tabi’ut tabi’in. Bahkan acara tersebut tidak dikenal pula oleh para Imam-Imam Ahlus Sunnah seperti Al Imam Malik, Abu Hanifah, Asy Syafi’i, Ahmad, dan ulama lainnya yang semasa dengan mereka ataupun sesudah mereka. Lalu dari mana sejarah munculnya acara tahlilan?

Awal mula acara tersebut berasal dari upacara peribadatan (baca: selamatan) nenek moyang bangsa Indonesia yang mayoritasnya beragama Hindu dan Budha. Upacara tersebut sebagai bentuk penghormatan dan mendo’akan orang yang telah meninggalkan dunia yang diselenggarakan pada waktu seperti halnya waktu tahlilan. Namun acara tahlilan secara praktis di lapangan berbeda dengan prosesi selamatan agama lain yaitu dengan cara mengganti dzikir-dzikir
dan do’a-do’a ala agama lain dengan bacaan dari Al Qur’an, maupun dzikir-dzikir dan do’a-do’a ala Islam menurut mereka.

Dari aspek historis ini kita bisa mengetahui bahwa sebenarnya acara tahlilan merupakan adopsi (pengambilan) dan sinkretisasi (pembauran) dengan agama lain.

Tahlilan Dalam pandangan Islam


Acara tahlilan –paling tidak– terfokus pada dua acara yang paling penting yaitu:

1. Pembacaan beberapa ayat/surat Al Qur’an, dzikir-dzikir dan disertai dengan do’a-do’a tertentu yang ditujukan dan dihadiahkan kepada si mayit.

2. Penyajian hidangan makanan.

Pada dasarnya, pihak yang membolehkan acara tahlilan, mereka tidak memiliki argumentasi (dalih) melainkan satu dalih saja yaitu istihsan (menganggap baiknya suatu amalan) dengan dalil-dalil yang umum sifatnya. Mereka berdalil dengan keumuman ayat atau hadits yang menganjurkan untuk membaca Al Qur’an, berdzikir ataupun berdoa dan menganjurkan pula untuk memuliakan tamu dengan menyajikan hidangan dengan niatan shadaqah.

firman Allah subhanahu wata’ala (artinya):
“Maukah Kami beritahukan kepada kalian tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya.” (Al Kahfi: 103-104)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Tidak ada suatu perkara yang dapat mendekatkan kepada Al Jannah (surga) dan menjauhkan dari An Naar (neraka) kecuali telah dijelaskan kepada kalian semuanya.” (H.R Ath Thabrani)

Suatu ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mendengar berita tentang pernyataan tiga orang, yang pertama menyatakan: “Saya akan shalat tahajjud dan tidak akan tidur malam”, yang kedua menyatakan: “Saya akan berpuasa dan tidak akan berbuka”, yang terakhir menyatakan: “Saya tidak akan menikah”, maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menegur mereka, seraya berkata: “Apa urusan mereka dengan menyatakan seperti itu? Padahal saya berpuasa dan saya pun berbuka, saya shalat dan saya pula tidur, dan saya menikahi wanita. Siapa yang membenci sunnahku maka bukanlah golonganku.” (Muttafaqun alaihi)

Allah subhanahu wata’ala menyatakan dalam Al Qur’an (artinya):
“Dialah Allah yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji siapa diantara kalian yang paling baik amalnya.” (Al Mulk: 2)

Para ulama ahli tafsir menjelaskan makna “yang paling baik amalnya” ialah yang paling ikhlash dan yang paling mencocoki sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.

Maka beribadah dengan dalil istihsan semata tidaklah dibenarkan dalam agama. Karena tidaklah suatu perkara itu teranggap baik melainkan bila Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya menganggapnya baik dan tidaklah suatu perkara itu teranggap jelek melainkan bila Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya menganggapnya jelek. Lebih menukik lagi pernyataan dari Al Imam Asy Syafi’I:
“siapa yang menganggap baik suatu amalan (padahal tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah –pent) berarti dirinya telah menciptakan hukum syara’ (syari’at) sendiri”.

Kalau kita mau mengkaji lebih dalam madzhab Al Imam Asy Syafi’i tentang hukum bacaan Al Qur’an yang dihadiahkan kepada si mayit, beliau diantara ulama yang menyatakan bahwa pahala bacaan Al Qur’an tidak akan sampai kepada si mayit. Beliau berdalil dengan firman Allah subhanahu wata’ala (artinya):
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh (pahala) selain apa yang telah diusahakannya”. (An Najm: 39), (Lihat tafsir Ibnu Katsir 4/329).

Penyajian hidangan makanan

Memang secara sepintas pula, penyajian hidangan untuk para tamu merupakan perkara yang terpuji bahkan dianjurkan sekali didalam agama Islam. Namun manakala penyajian hidangan tersebut dilakukan oleh keluarga si mayit baik untuk sajian tamu undangan tahlilan ataupun yang lainnya, maka memiliki hukum tersendiri. Bukan hanya saja tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bahkan perbuatan ini telah melanggar sunnah para sahabatnya radhiallahu ‘anhum.

Jarir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu–salah seorang sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam– berkata: “Kami memandang kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh keluarga mayit merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit).” (H.R Ahmad, Ibnu Majah dan lainnya)

Al Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata dalam salah satu kitabnya yang terkenal yaitu ‘Al Um’ (1/248): “Aku membenci acara berkumpulnya orang (di rumah keluarga mayit –pent) meskipun tidak disertai dengan tangisan. Karena hal itu akan menambah kesedihan dan memberatkan urusan mereka.” (Lihat Ahkamul Jana-iz karya Asy Syaikh Al Albani hal. 211)

Al Imam An Nawawi seorang imam besar dari madzhab Asy Syafi’i setelah menyebutkan perkataan Asy Syafi’i diatas didalam kitabnya Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab 5/279 berkata: “Ini adalah lafadz baliau dalam kitab Al Um, dan inilah yang diikuti oleh murid-murid beliau. Adapun pengarang kitab Al Muhadzdzab (Asy Syirazi) dan lainnya berargumentasi dengan argumen lain yaitu bahwa perbuatan tersebut merupakan perkara yang diada-adakan dalam agama (bid’ah –pent).
Lalu apakah pantas acara tahlilan tersebut dinisbahkan kepada madzhab Al Imam Asy Syafi’i?

Malah yang semestinya, disunnahkan bagi tetangga keluarga mayit yang menghidangkan makanan untuk keluarga mayit, supaya meringankan beban yang mereka alami. Sebagaimana bimbingan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam hadistnya:
“Hidangkanlah makanan buat keluarga Ja’far, Karena telah datang perkara (kematian-pent) yang menyibukkan mereka.” (H.R Abu Dawud, At Tirmidzi dan lainnya)

Perkataan Imam Syafi’i tentang masalah ini :
Lihat dalam kitab I’anatu ath-tholibin juz 2. hlm. 146.
Lihat kitab almaudu’at Juz 3. Hlm. 239, dan Lihat: I’anatu ath-tholibin Juz. 2. Hlm. 146
Lihat kitab Ali Abdul al-Kafi as-Subki “Takmilatul Majmu" juz 10 hlm. 426 bahwa:
Imam Syafie rahimahullah dan para pengikutnya mengambil hukum bahwa pahala bacaan (al-Quran) dan hadiah pahala tidak sampai kepada si Mati kerana bukan dari amal mereka dan bukan usaha meraka (si Mati). Lihat: tafsir ibnu katsir Jld. 4. Hlm. 335, lihat juga hal 330.

Dalil-dalil yang dipegang oleh Ulama bahwa hadiah bacaan Al-Quran tidak diterima adalah:

Sebagaimana firman-firman Allah dibawah ini:

"Siapa yang mengerjakan amal yang soleh maka untuk dirinya sendiri dan siapa berbuat kejahatan maka (dosa-dosanya) atas dirinya sendiri dan tidaklah Tuhanmu menganiaya hamba" (QS. Fushilat : 46) .
"Kamu tidak akan diberi balasan kecuali apa yang telah kamu kerjakan" (QS. As-Safaat : 39)
"Baginyalah apa yang dia kerjakan dan atasnyalah apa yang dia usahakan" (QS. Al-Baqarah : 286)
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Allah takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (QS. An-Nur : 63)
"Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya." (Al-kahfi : 104).

Sekalipun banyak orang melakukan perbuatan yang tanpa dasar syar’i namun bukan suatu jaminan perbuatan tersebut benar. Firman Allah: “Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)” [Al-An’am : 116]

Larangan Rasul atas pengkhususan waktu ibadah
"Dari Abi Hurairah, dari Nabi sallallahu 'alaihi wa sallam: Janganlah kamu khususkan malam Jumat untuk melakukan ibadah antara malam-malam yang lain dan janganlah kamu menentukan Hari Jumat saja untuk berpuasa antara hari-hari yang lain, kecuali memang bertepatan puasa (tidak secara langsung) yang dikerjakan oleh seseorang kamu."[HR. Muslim (1930).]

Peringatan
"Dari Abu Hurairah radiallahu 'anhu dari Nabi salallahu 'alaihi wa-sallam bersabda: Setiap umatku akan masuk surga kecuali orang yang enggan. Para sahabat bertanya: Wahai Rasulullah! Siapakah orang yang enggan itu? Rasulullah menjawab: Siapa yang taat kepadaku maka dia masuk surga dan siapa yang durhaka kepadaku maka sesungguhnya dia telah enggan".[HR. Bukhari (13/214) dan Ahmad (2/361).]

"Aku telah tinggalkan pada kamu agama ini dalam keadaan putih bersih (jelas). Malamnya seperti siangnya yang tidak ada yang menyimpang daripadanya setelah (kewafatanku kecuali akan ditimpakan kepadanya) kehancuran". HR Ahmad dengan sanad sahih.

Diantara syubhat orang yang membolehkannya mengambil dalil sebagai berikut:

- Hadits Membayarkan hutang : HR. Muslim (3084) al-Wasaya, Tirmizi (1298) al-Ahkam, Nasaii (3591) al-Wasaya, Abu Daud (2494) al-Wasaya, Ahmad (8489) Musnad.
- Hadits Bersedekah untuk orang tua : HR Bukhari, Muslim, Abu Daud, Turmizi dan an-Nasaii.
- Hadits Nazar : HR Bukhari, Muslim, Abu Daud, Turmizi dan an-Nasaii.
- Hadits menunaikan Haji untuk orang tua: HR Bukhari, Muslim, Abu Daud, Turmizi dan an-Nasaii.
- Sabda rasul : "Ajarkanlah oleh kamu orang-orang yang sakaratul maut di kalangan kamu dengan kalimah: La ilaha illallah"[HR. Muslim (1527), al-Janaiz. Tirmizi (18980), al-Janaiz. Abu Daud (2710) al-Janaiz. Nasaii (1803). al-Janaiz, Ibn Majah (1430).]

- “Siapa yang menziarahi kubur orang tuanya atau salah seorang dari keduanya pada hari Jumat, kemudian membacakan surah Yasin, maka akan diampunkan dosanya". (hadits maudhu’)
10 H/R Muslim (1930). 11 H/R Bukhari (13/214) dan Ahmad (2/361). 12 H/R Muslim (1527), al-Janaiz. Tirmizi (18980), al-Janaiz. Abu Daud (2710) al-Janaiz. Nasaii (1803). al-Janaiz, Ibn Majah (1430).
Terdapat di dalam sanadnya seorang yang bernama 'Amar yang dikenali sebagai pemalsu hadits dan banyak meriwayatkan hadits-hadits yang batil. Imam Daraqutni rahimahullah berkata tentang 'Amar: "Amar adalah seorang pemalsu hadis".[Lihat: Hamisy Al-Um Li Asy-Syafi’I, Juz. 7. Hal. 269]

- Berdalil dengan fatwa Syeikhul Islam Ibn Taimiyah rahimahullah yang pernah membolehkan perbuatan menghadiahkan pahala bacaan al-Quran kepada orang yang telah mati, tetapi pada kenyataannya beliau telah rujuk (menarik balik dan membatalkan fatwa tersebut), yang mana beliau telah menegaskan: “Bahwa bukan menjadi suatu kebiasaan bagi para Salaf as-Soleh apabila mereka mengerjakan sholat-sholat sunnah, berpuasa, haji dan membaca al-Quran lalu pahalanya dihadiahkan kepada orang yang telah mati” Lihat dalam kitab Ali Abdul al-Kafi as-Subki “Takmilatul Majmu” - jld. 10 hlm. 417.

"alhaqqu mirrobbikum, fala takunanna minal mumtarin"
Wallohu a'lam bishshowab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar