Selasa, 13 Juli 2010

Bolehkah Muslim Berfikir Sekuler?

Oleh: Muhammad al-Khaththath
Publikasi 23/06/2004

hayatulislam.net - Masa reformasi memberikan kesempatan kepada siapapun untuk berbicara. Hanya saja, tidak jarang orang berbicara tanpa berfikir, apakah yang dikatakan itubenar ataukah salah? Pula, tanpa didukung data dan tanpa dilihat kesesuaiannya dengan fakta.Dan masihsering orang berbicara tanpa pikiran yang jernih dan hati yang bersih. Sehingga terkesan yang bersangkutan asal bunyi. Sebagai contoh, ada seorang presenter TV swasta baru-baru ini dengan pongah mengatakan: Apa tidak gila itu MUI menuntut pemutusan hubungan diplomatik dengan AS?


Kalimat tersebut tidak memerlukan jawaban. Kesan yang tampak dari pengucapannya yang arogan adalah pelecehan terhadap MUI. Ditambah lagi ada kesan menggugat peranan MUI baru-baru ini dalam menggelorakan semangat jihad kaum muslimin Indonesia dalam menentang kezaliman yang dilakukan oleh negara super kafir AS terhadap negeri Islam Afghanistan. Semua itu berpangkal dari adanya pandangan bahwa urusan negara dan politik tidak ada hubungannya dengan urusan agama, dus bukan wilayah otoritas MUI sebagai lembaga agama ngong tentang pemutusan hubungan dengan AS. Benarkah anggapan demikian menurut pandangan agama Islam? Dan bolehkah seorang muslim berfikir demikian?



Negara Adalah Bagian Dari Agama

Islam adalah ajaran hidup yang komprehensif. Mulai dari bangun pagi sampai tidur lagi, seorang muslim diberi petunjuk untuk menjalaninya agar hidup bahagia dan sejahtera dunia akhirat. Seorang muslim tidak cukup hanya mengucapkan syahadat: asyhadu an laa ilaaha illallah waasyhadu anna muhammadarrasulullah! “Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak dan wajib disembah kecuali Allah, dan saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad Saw itu adalah utusan Allah”. Pernyataan formal saja tidak cukup, tapi harus diukuti dengan segala konsekuensinya yang tercantum dalam keseluruhan ajaran syari’at Islam. Juga seorang muslim yang sudah bersyahadat tidak cukup hanya melaksanakan sholat, membayar zakat, melaksanakan puasa ramadlan, atau pergi haji ke Makkah. Semua rukun Islam itu baru dasar. Ibarat membangun rumah, seorang muslim baru membuat fondasinya. Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar r.a. bahwasanya Rasulullah Saw bersabda:

“Dibangun Islam itu di atas lima perkara, yaitu syahadat bahwasanya tiada Tuhan yang berhak dan wajib disembah kecuali Allah dan bahwasanya Muhammad Rasulullah, menegakkan sholat, membayar zakat, pergi haji ke baitullah, dan melaksanakan shaum di bulan Ramadhan.”

Jadi lima perkara itu adalah asas-asas Islam, bukan Islam adalah itu saja. Artinya, kewajiban seorang muslim dalam melaksanakan agamanya belum selesai.

Kenapa demikian? Sebab, Islam bukanlah agama seperti agama Nasrani, Yahudi, Budha, Hindu atau agama-agama lain yang hanya membahas masalah keyakinan, seperangkat upacara ritual, dan sedikit budi pekerti. Tapi Islam itu sebuah agama yang mengatur seluruh aspek kehidupan. Dalam terminologi modern, Islam dapat dikategorikan sebagai ideologi (mabda’), yaitu aqidah yang menghasilkan peraturan-peraturan. Hanya saja, kalau ideologi seperti sosialisme, komunisme, dan kapitalisme sama sekali tidak membahas tentang akhirat, justru Islam membahas secara rinci dan tuntas tentang akhirat. Ideologi modern berdimensi keduniaan semata, agama-agama ritual berdimensi keakhiratan semata, namun Islam berdimensi dunia akhirat sekaligus. Oleh karena itu, setiap muslim digambarkan oleh Allah SWT sebagai orang yang selalu berdoa untuk sukses dunia maupun akhirat, sebagaimana firman-Nya:

Dan di antara mereka ada orang yang berdo`a: “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka.” (Qs. al-Baqarah [2]: 201).

Kalau kita perhatikan sepintas kilas sekalipun, hukum syari’at Islam tidak berhenti pada rukun Islam yang lima. Tetapi membahas tentang seluruh aspek kehidupan, menjawab seluruh persoalan yang dihadapi manusia dalam hidup ini.

Aqidah dan ibadah yang terdapat dalam rukun Islam yang lima tersebut telah dirinci dengan jelas dan khas seabagai sebuah keyakinan dan metode pendekatan diri kepada Allah SWT. Bahkan masih ada sejumlah ibadah khusus yang belum terdapat dalam rukun Islam tersebut seperti doa, istighfar, sholawat, dan membaca al-Qur’an yang disunnahkan serta kewajiban jihad fi sabilillah yang merupakan puncak peribadahan dalam sistem Islam. Allah SWT berfirman:

Katakanlah: “Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” (Qs. at-Taubah [9]: 24).

Dalam konteks kenegaraan, jihad merupakan bagian yang tak terpisahkan dari politik luar negeri Daulah Islamiyah. Sebab sebagai umat yang membawa risalah Islam ke seluruh umat manusia (lihat Qs. Saba’ [34]: 28), umat di bawa naungan negara Daulah Khilafah Islamiyah berjuang mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia. Negara melakukan berbagai propaganda tentang Islam dan kemuliaan Islam dalam teori dan prakteknya. Dan negara menyiapkan kekuatan pasukan kaum muslimin (mujahidin) untuk berjihad di medan laga (lihat Qs. al-Anfaal [8]: 60) manakala ada kekuatan negara asing/kafir yang menghalangi dakwah Islam dengan cara-cara fisik. Dan jihad merupakan cara terakhir manakala cara-cara diplomatik dan argumentasi pemikiran tidak diindahkan oleh lawan.

Negara dalam pandangan Islam adalah melindungi kepentingan warga negara baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Negara menjamin keselamatan setiap warga negara yang ada di luar negeri dengan politik luar negerinya, baik warga negera sedang menjalankan tugas negara maupun untuk kepentingan pribadi, seperti sedang belajar, perjalanan dagang, untuk misi kebudayaan dan kemanusiaan, dan lain-lain. Dengan demikian negara membuat berbagai hubungan luar negeri dalam koridor syari’at Islam.

Di dalam negeri, negara secara praktis bertanggung jawab atas kesejahteraan warga negara, baik muslim maupun non muslim. Dalam sistem negara Islam, negara menjamin terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan pokok (al hajat al asasiyah), baik sandang, pangan, maupun papan. Tidak boleh ada rakyat yang lapar, telanjang, atu tak punya tempat tinggal. Banyak ayat dan hadits yang menyebut tentang itu. Di antaranya:

“Penduduk negeri mana saja, dimana terdapat orang yang lapar, dan mereka membiarkan, maka telah lepas tanggungan Allah atas mereka.”

Hadits tersebut memberikan pengertian bahwa negara wajib menjamin jangan sampai ada orang yang mati kelaparan. Juga, adalah menjadi kewajiban kaum muslimin secara keseluruhan, manakala kas negara sedang kosong, mengeluarkan sebagian hartanya untuk memenuhi kebutuhan itu. Artinya, negara berhak menarik pajak —secara insidental— kepada kaum muslimin yang memiliki kelebihan harta untuk memenuhi kekurangan dana kas negara (baitul mal) bagi kepentingan memenuhi kebuhan pokok masyarakat yang tak mampu memenuhi kebutuhannya sendiri.

Juga, negara wajib memberikan peluang seluas-luasnya bagi warga negara yang mampu, untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan luksnya (al hajat al kamaliyah). Negara memberikan fasilitas kepada rakyat untuk berusaha. Negara menerapkan sistem administrasi bebas biaya. Negara memberikan kredit tanpa bungan kepada siapapun warga negara yang beruasaha. Negara memberikan tanah kepada para petani yang mampu mengelola usaha tani. Negara memberikan hibah biaya usaha tani bagi para petani trampil yang tak memiliki modal. Negara membuka lapangan kerja yang seluas-luasnya, baik dengan membuka BUMN-BUMN maupun memberikan berbagai fasilitas kepada para pengusaha. Prinsip pemerintahan dalam Islam adalah memberikan kemudahan, bukan kesulitan. Diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad Saw berpesan kepada dua orang gubernur yang baru dilantiknya untuk wilayah Yaman:

“Mudahkanlah, janganlah kalian persulit.” (lihat An-Nabhani, Sistem Pemerintahan Islam).

Disamping itu negara dalam pandangan Islam harus menjamin hak umum masyarakat, dengan memberikan pendidikan, pelayanan kesehatan, dan jaminan keamanan secara gratis kepada seluruh warga negara, tanpa pandang bulu, miskin ataupun kaya. Termasuk yang tidak pandang bulu ini, adalah kedudukan warga negara di depan hukum syari’at Islam. Antara pejabat dan rakyat jelata, kedudukannya sama. Antara sipil dan militer kedudukannya sama. Antara kaya dan miskin kedudukannya sama. Antara warga muslim maupun non muslim, semuanya sama, yakni tunduk dengan hukum syari’at Islam. Bahkan dalam pendidikan, orang-orang non muslim pun harus mengikuti pelajaran al-Qur’an, al-Hadits, dan berbagai aturan hukum yang bersumber dari keduanya, agar dapat berinteraksi di masyarakat seusai dengan aturan hukum syari’at Islam. Dan masih banyak lagi keterangan bahwa negara bagian dari ajaran Islam.


Khatimah

Dengan demikian di dalam sistem Islam tidak ada ruang berfikir sekuler, yakni berfikir bahwa agama itu terpisah dari negara. Sebab, berfikir parsial tentang Islam berarti mengimani sebagian dan sekaligus mengkufuri sebagian lain. Hal ini dilarang keras di dalam ajaran Islam. Allah SWT berfirman:

Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. (Qs. al-Baqarah [2]: 85). [Buletin Al-Ihsan, Edisi 21]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar