Selasa, 13 Juli 2010

Khilafah Di Mata Para 'Ulama

Oleh: Syamsuddin Ramadhan al-Nawiy
Publikasi 11/03/2004

hayatulislam.net - Menegakkan Kembali Khilafah Islamiyyah

Menegakkan kembali khilafah Islamiyyah merupakan kewajiban syar’iy bagi seluruh kaum muslim. Alasan-alasan mengapa kaum muslim wajib berjuang menegakkan kembali khilafah Islam adalah sebagai berikut.


1. Perintah untuk mentaati pemimpin. Al-Qur'an di banyak ayat telah mewajibkan kaum muslim untuk mentaati seorang pemimpin (ulil amriy). Allah swt berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah RasulNya dan ulil amri (pemimpin) diantara kamu…” (Qs. An-Nisaa’ [4]: 59).

Ibnu ‘Athiyyah menyatakan bahwa ayat ini merupakan perintah untuk taat kepada Allah, RasulNya dan para penguasa. Pendapat ini dipegang oleh jumhur para ‘ulama: Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas, Ibnu Zaid dan lain sebagainya (Ibnu ‘Athiyyah, al-Muharrir al-Wajiiz, juz 4/hal. 158). Yang dimaksud dengan penguasa di sini adalah khalifah atau imam.

Ali Ash-Shabuni menyatakan bahwa ayat ini merupakan perintah untuk mentaati penguasa (khalifah) mukmin yang selalu berpegang teguh kepada syariat Allah swt. Sebab, tidak ada ketaatan kepada makhluk untuk bermaksiyat kepada Allah swt (Ali Ash-Shabuniy, Shafwaat al-Tafaasir, juz I/285).

Meskipun manthuq ayat ini berisikan perintah untuk mentaati pemimpin, namun ayat di atas menyiratkan dengan jelas kewajiban untuk mengangkat seorang pemimpin (khalifah). Pengertian semacam ini bisa dipahami dengan memperhatikan dalalah iltizam yang melekat pada ayat tersebut (Lihat Taqiyyuddin Al-Nabhani, Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, juz III/173-176; bandingkan pula dengan Imam Syaukani, Irsyadul Fuhul ila Tahqiiq al-Haq min ‘Ilm Al-Ushul; al-Amidiy, Al-Ihkaam fi Ushul al-Ahkaam). Perintah untuk taat kepada penguasa sekaligus merupakan perintah untuk mengangkat seorang pemimpin. Sebab, Allah swt tidak mungkin memerintahkan untuk mentaati pemimpin sementara itu pemimpinnya tidak ada atau belum diangkat. Atas dasar itu, ayat ini merupakan dalil wajibnya kaum muslim mengangkat seorang pemimpin (khalifah), agar mereka bisa memberikan ketaatan kepada ulil amri. Tanpa mengangkat khalifah (ulil amri) mustahil mereka bisa memberikan ketaatan.

2. Perintah untuk berhukum dengan aturan-aturan Allah swt secara menyeluruh dan sempurna. Allah swt telah berfirman, artinya:

“Wahai orang-orang yang beriman masuklah kamu kepada Iislam secara menyeluruh. Dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagi kamu.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 208).

Dalam menafsirkan ayat ini, Imam Ibnu Katsir menyatakan: “Allah swt telah memerintahkan hamba-hambaNya yang mukmin dan mempercayai RasulNya agar mengadopsi system keyakinan Islam (‘aqidah) dan syari’at Islam, mengerjakan seluruh perintahNya dan meninggalkan seluruh laranganNya selagi mereka mampu.” (Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, I/247).

Imam al-Nasafiy menyatakan bahwa, ayat ini merupakan perintah untuk senantiasa berserah diri dan taat kepada Allah swt atau Islam (Imam al-Nasafiy, Madaarik al-Tanzil wa Haqaaiq al-Ta’wiil, I/112).

Imam Qurthubiy menjelaskan bahwa, lafadz “kaaffah” merupakan “haal” dari dlamiir “mu’miniin”. Makna “kaaffah” adalah “jamii’an” (Imam Qurthubiy, Tafsir Qurthubiy, III/18).

Diriwayatkan dari Ikrimah bahwa, ayat ini diturunkan pada kasus Tsa’labah, ‘Abdullah bin Salam, dan beberapa orang Yahudi. Mereka mengajukan permintaan kepada Rasulullah saw agar diberi ijin merayakan hari Sabtu sebagai hari raya mereka. Selanjutnya, permintaan ini dijawab oleh ayat tersebut di atas.

Imam Thabariy menyatakan: “Ayat di atas merupakan perintah kepada orang-orang beriman untuk menolak selain hukum Islam; perintah untuk menjalankan syari’at Islam secara menyeluruh; dan larangan mengingkari satupun hukum yang merupakan bagian dari hukum Islam.” (Imam Thabariy, Tafsir Thabariy, II/337).

Penerapan syariat Islam hanya akan sempurna dengan adanya institusi Khilafah Islamiyyah. Atas dasar itu, eksistensi Khilafah Islamiyyah merupakan keniscayaan bagi sempurnanya penerapan hukum-hukum Islam. Tanpa Khilafah, syariat Islam tidak akan pernah bisa diterapkan secara sempurna. Dari sini pula kita bisa menyimpulkan bahwa hukum menegakkan kembali syariat Islam adalah wajib.

3. Persatuan dan kesatuan kaum muslim (Mauqif Bani al-Marjah, Shahwah al-Rajul al-Mariidl, hal. 376). Islam mewajibkan kesatuan dan persatuan kaum muslim dan melarang keterpecah-belahan (tafarruq). Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab sahihnya: Utsman bin Abi Syaibah telah bercerita kepada kami bahwa Yunus bin Abi Ya'fur telah bercerita kepada kami dari bapaknya dari Arfajah berkata: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: Siapa saja yang datang kepada kamu sekalian --sedangkan urusan kalian berada di tangan seorang (khalifah)-- kemudian dia hendak memecah-belah kesatuan jamaah kalian, maka bunuhlah dia.”

Dalam hadits ini dituturkan dengan sangat jelas, bahwa kesatuan kaum muslim (jama’ah muslim) dikaitkan dengan khalifah. Artinya, kesatuan kaum muslim hanya akan tertegak jika telah dibai’at seorang khalifah yang akan memimpin seluruh kaum muslim. Bahkan, Rasulullah saw mengancam siapa saja yang hendak memecah belah kesatuan kaum muslim dengan hukuman bunuh.

4. Khilafah adalah instrumen yang akan menyelesaikan persengketaan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Persengketaan dan perselisihan diantara kaum muslim dalam masalah apapun akan bisa dituntaskan jika ada pihak yang memutuskan perselisihan tersebut. Khalifah adalah pihak yang secara syar’iy akan menyelesaikan seluruh persengketaan dan perselisihan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Dalam sebuah kaedah ushul fiqh disebutkan “Amrul imaam yarfa’u al-khilafah (perintah imam [khalifah] dapat menyelesaikan persengketaan)”. (ibid, hal. 376).

5. Banyak riwayat yang menyiratkan wajibnya kaum muslim mengangkat seorang khalifah yang akan mengatur urusan mereka.

Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab sahihnya: Zahir bin Harb dan Ishaq bin Ibrahim telah bercerita kepada kami, Ishaq berkata telah memberi khabar kepada kami dan Zahir berkata telah bercerita kepada kami Jarir dari A'masy dari Zaid bin Wahab dari Abdurrahman bin Abdu Rabil Ka'bah berkata: Aku masuk dalam masjid, dan ketika Abdullah bin Amru bin 'Ash duduk di naungan Ka'bah dan manusia mengelilinginya, aku menghampirinya lalu aku duduk di hadapannya, kemudian dia berkata: Kami pernah bersama Nabi saw dalam suatu perjalanan, kemudian kami singgah di suatu tempat persinggahan,......ketika seseorang menyeru untuk shalat berjamaah, kami kemudian berkumpul di sekeliling Rasulullah saw. Lalu Rasul bersabda: Sesungguhnya tiada seorang Nabi sebelumku kecuali mereka memiliki tanggung jawab untuk menunjukkan umatnya kepada kebaikan, dan mengingatkan dari keburukan dari apa diketahuinya bagi mereka. Sampai kemudian Nabi bersabda : Siapa saja yang telah membai'at seorang Imam lalu memberikan uluran tangan dan buah hatinya, maka hendaknya ia mentaatinya. Jika datang orang lain hendak mengambil alih kekuasaannya, maka penggallah leher orang itu.”

Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab sahihnya, berkata Imam Muslim: Muhammad bin Basyar telah bercerita kepada kami bahwa Muhammad bin Ja'far telah bercerita kepada kami bahwa Syu'bah telah bercerita kepada kami dari Faratul Qazaz dari Abi Hazm berkata: Aku telah mengikuti majelis Abu Hurairah selama lima tahun, dan suatu saat aku pernah mendengarnya menyampaikan sebuah hadits dari Nabi saw telah bersabda: Dulu Bani Israil selalu diurusi oleh para Nabi. Setiap kali seorang Nabi meninggal, segera digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak akan ada lagi Nabi sesudahku, (tetapi) nanti akan muncul banyak khalifah. Para shahabat bertanya, apakah yang engkau perintahkan kepada kami? Beliau menjawab: Penuhilah bai'at yang pertama dan yang pertama itu saja.”

6. Ijma’ shahabat ra juga menunjukkan dengan jelas kewajiban untuk mengangkat seorang imam (khalifah) bagi kaum muslim (Ibnu Ishaq meriwayatkan, “Ketika Rasulullah saw wafat, kaum Anshor berpihak kepada Sa’ad bin Ubadah di saqifah Banio Sa’idah, sedangkan Ali bin Abi Thalib bersama Zubair bin Awwam dan Thalhah bin Ubaidillah menyendiri di rumah Fathimah. Sedangkan kaumMuhajirin berkubu kepada Abu Bakar, Umar dan Usaid bin Hudlair di Bani Abdul Asyhal. Tiba-tiba seseorang mendatangi Abu Bakar dan Umar bin Khaththab dan berkata, “Sesungguhnya kaum Anshor telah berpihak kepada Sa’ad bin Ubadah di saqifah Bani Sa’idah. Jika kalian ada keperluan dengan mereka, segeralah pergi ke tempat mereka, sebelum perkara ini semakin membesar. “Saat itu, jenazah Rasulullah saw belum diurus dan pintu rumah beliau ditutup keluarga beliau.” [Ibnu Hisyam, Sirah Ibnu Hisyam]).

Perhatian generasi awal Islam terhadap urusan khilafah dan pengangkatan seorang khalifah sangatlah besar. Sampai-sampai, mereka mendahulukan urusan pengangkatan seorang khalifah dan menunda penguburan jenazah Rasulullah saw. Sebagian besar diantara mereka menyibukkan diri untuk mengangkat seorang khalifah yang akan memimpin seluruh kaum muslim. Sedangkan shahabat-shahabat lain yang bertugas mengurusi jenazah Rasulullah saw (Ibnu Ishaq berkata, “Setelah Abu Bakar diangkat menjadi Khalifah, kaum muslim mulai mengurus jenazah Rasulullah saw pada hari Selasa. Para shahabat yang memandikan jenazah Rasulullah saw adalah Ali bin Abi Thalib, Al-‘Abbas bin Abdul Muthalib, al-Fadl bin ‘Abbas bin Abdul Muthalib, Qutsam bin al-‘Abbas, Usamah bin Zaid bin Haritsah, dan Syuqran mantan budak Rasulullah saw.” [Ibnu Hisyam, Sirah Ibnu Hisyam]). Namun demikian shahabat yang mengurusi jenazah Rasulullah saw menunda penyemayaman hingga para shahabat yang ada di Saqifah Bani Sa’idah menyelesaikan urusan mereka (mengangkat seorang khalifah).

Pada saat di saqifah Bani Sa’idah, kaum Muhajirin dan Anshor saling berargumentasi menunjukkan kelebihan mereka. Masing-masing berusaha menyakinkan pihak yang lain bahwa dirinya adalah orang yang lebih berhak menduduki jabatan kekhilafahan. Akhirnya, setelah melalui perdebatan yang sangat lama dan alot akhirnya pertemuan Saqifah berhasil mengangkat (membai’at) Abu Bakar al-Shiddiq sebagai khalifah pengganti Rasulullah saw. Setelah selesai melakukan pemilihan Khalifah, mereka segera kembali ke kediaman Rasulullah dan segera menyelenggarakan jenazah beliau saw. Waktu itu, jenazah Raulullah saw baru disemayamkan setelah 2 hari tiga malam, yakni setelah pemilihan di Saqifah selesai (Lihat Ibnu Hisyam, Sirah Ibnu Hisyam. Bandingkan juga dengan Taqiyyuddin al-Nabhani, diperluas oleh ‘Abdul Qadim Zallum, Nidzaam al-Hukmi fi Al-Islaam, hal 75-78).

Fragmen sejarah di atas telah menunjukkan kepada kita betapa besar perhatian para shahabat terhadap khilafah dan pengangkatan seorang Khalifah. Ijma’ shahabat ini membuktikan bahwa kaum muslim benar-benar diwajibkan untuk mengangkat seorang imam atau Khalifah.

Seluruh argumentasi di atas telah menyakinkan diri kita bahwa kewajiban menegakkan kembali Khilafah Islamiyyah merupakan puncak tertinggi pengabdian seorang muslim kepada Rabbnya. Sebab, dengan tertegaknya khilafah Islamiyyah hukum Islam bisa diterapkan secara sempurna di tengah-tengah masyarakat. Selain itu, Khilafah Islamiyyah merupakan jaminan bagi tersebarnya risalah Islam ke seluruh penjuru dunia, terbidasnya seluruh kedzaliman dan kebodohan, serta terwujudnya kesatuan kaum muslim dalam bentuk ummatan wahidah.
Atas dasar itu, seorang muslim diharamkan mengabaikan persoalan yang sangat penting ini. Mengabaikan, menganggap remeh, dan menelantarkan kewajiban menegakkan kembali khilafah Islamiyyah bisa dianggap sebagai kejahatan terbesar yang akan diganjar siksa pedih.


Pendapat Ulama Tentang Kewajiban Menegakkan Khilafah Islamiyyah
a. Ulama-Ulama Salaf

Ulama-ulama generasi awal Islam yang hidup di kurun terbaik telah memberi perhatian yang sangat besar terhadap urusan kekhilafahan. Shahabat-shahabat besar seperti Abu Bakar, Umar, ‘Utsman, ‘Ali ra dan shahabat-shahabat besar lainnya bergegas mengangkat seorang khalifah tatkala khalifah sebelumnya mangkat atau karena ada sebab-sebab syar’iy lainnya (Lihat Imam Thabariy, Tarikh al-Umam wa al-Muluuk).

Mereka juga banyak meriwayatkan hadits-hadits yang berbicara tentang Khilafah dan Khalifah. Perhatikan riwayat-riwayat berikut ini.

“Sesungguhnya tidak ada Nabi setelah aku, dan akan ada para khalifah, dan banyak (jumlahnya).” Para shahabat bertanya, “Apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Nabi saw menjawab, “Penuhilah bai'at yang pertama, dan yang pertama. Dan Allah akan bertanya kepada mereka apa-apa yang mereka pimpin.” [HR. Muslim].

Para shahabat juga selalu menjaga eksistensi Khilafah Islamiyyah sepanjang hidup mereka. Jika seorang khalifah mangkat, kaum muslim harus segera mengangkat khalifah baru, sebagai bentuk manifestasi dari sabda Rasulullah saw, artinya, “Barangsiapa mati tanpa seorang imam, maka matinya, mati jahiliyyah.” [HR. Ahmad].

Mereka juga menuturkan sabda Rasulullah, “Jika kalian menyaksikan seorang khalifah, hendaklah kalian taat, walaupun (ia) memukul punggungmu. Sesungguhnya jika tidak ada khalifah, maka akan terjadi kekacauan.” [HR. Thabaraniy].

‘Umar bin Khaththab ra sendiri bahkan memilih sekelompok pemuda yang dipersenjatai dengan pedang untuk mengawasi tim formatur pemilihan Khalifah yang dipimpin oleh ‘Abdurrahman bin ‘Auf. Beliau ra berpesan kepada pemuda-pemuda tersebut untuk memenggal tim formatur jika dalam jangka 2 hari tiga malam mereka tidak berhasil mengangkat seorang khalifah. Padahal, anggota tim formatur tersebut adalah shahabat-shahabat yang telah dijamin masuk surga. Namun demikian, tak satupun shahabat mengingkari keputusan ‘Umar ini. Ini menunjukkan bahwa para shahabat rela mempertaruhkan segenap jiwanya untuk mengangkat seorang Imam atau Khalifah ('Abdul Qadim Zallum, Nidzaam al-Hukm fi al-Islaam, hal. 81-82).

Sebagian shahabat-shahabat setelah periode khulafaur rasyidin memilih untuk tidak melepaskan dirinya dari penguasa-penguasa fasiq dan dzalim demi menjaga keutuhan dan kemashlahatan kaum muslim. Ini menunjukkan betapa mereka sangat memperhatikan urusan kekhilafahan dan berusaha menjaganya dengan sepenuh jiwa dan keyakinan. Dalam sebuat riwayat dituturkan bahwa Ibnu ‘Umar ra dan mayoritas ahlul bait termasuk orang-orang yang tidak menolak untuk membaiat Yazid bin Mua’awiyyah dan mereka tidak pernah membaiat seorangpun setelah mereka menyerahkan ketaatan kepada Yazid (Riwayat ini dituturkan oleh Imam Ahmad. Imam Ahmad menyatakan, “Telah meriwayatkan kepada kami Ismail bin Aliyah; telah meriwayatkan kepada saya Shakhr bin Juwairiyyah, dari Nafi’, ia berkata, “Ketika orang-orang berlepas diri dari Yazid bin Muawiyyah, Ibnu ‘Umar mengumpulkan anak-anak dan sanak keluarganya, kemudian ia berkata, “Saya membaiat lelaki ini (Yazid) atas dasar baiat kepada Allah dan RasulNya.” Riwayat ini juga dituturkan oleh Imam Muslim dan Tirmidziy. Imam Tirmidziy menshahihkan hadits ini). Pendapat semacam ini juga dipegang oleh Mohammad bin Hanafiyyah.

Generasi kedua memiliki sikap yang sama dengan generasi-generasi sebelumnya. Banyak riwayat menunjukkan betapa besar perhatian mereka terhadap Khilafah Islamiyyah. Perhatian yang sangat besar terhadap urusan pemerintahan ini telah mendorong mereka untuk selalu menjaga eksistensi dan kelanggengannya. Mereka tetap taat kepada para khalifah yang telah dibaiat oleh umat dan selama mereka memerintah dengan hukum-hukum Allah Swt, meskipun kepribadian para Khalifah tersebut buruk dan merusak.

Generasi kedua, seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Mohammad bin Ismail, Mohammad bin Idris, Ahmad bin Nuh, Ishaq bin Raahawiyah, dan lain-lain memberikan perhatian yang sangat besar atas kelangsungan pemerintahan Islam. Mereka memahami bahwa tanpa khalifah, agama ini tidak akan sempurna. Untuk itu, mereka lebih memilih untuk memberikan ketaatan kepada Khalifah fajir, semampang mereka masih menerapkan hukum-hukum Allah Swt (Al-Dararu al-Sunniyah fi al-Ajwabah al-Najdiyah, juz 7/hal. 177-178). Sebab, tatkala para Khalifah masih menerapkan hukum Islam, maka kemashlahatannya adalah untuk dirinya dan kaum muslim. Sedangkan kefasikannya hanya membahayakan dirinya sendiri (Thabaqaat al-Hanaabilah, juz 2/36).

Imam Hasan al-Bashriy dalam kitab al-Sunnah mengatakan, “Siapa saja yang diberi kewenangan untuk menduduki jabatan Khilafah berdasarkan kesepakatan dari umat (ijma’), dan umat telah ridlo kepada dirinya, maka ia adalah pemimpin atas kaum mukmin. Tak seorangpun boleh berdiam diri –meskipun semalam saja--, sementara itu ia tidak mengenal imamnya, baik pemimpinnya itu berperilaku baik maupun buruk…… Pendapat semacam ini juga dikemukakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal.” (Imam Ahmad menyatakan, “...Siapa saja yang berhasil mengalahkan seorang wali dengan perang (pedang), hingga dirinya diangkat menjadi seorang khalifah dan diberi gelar amirul mukminin, maka tak seorangpun yang beriman kepada Allah dan hari akhir, boleh berdiam diri meskipun semalam, sementara itu ia tidak tahu bahwa orang tersebut adalah seorang Imam, baik orang tersebut baik maupun fajir...” Abu Ya’la, al-Ahkaam al-Sulthaaniyyah, hal.23. Keyakinan semacam ini telah dipegang oleh para ulama salaf. Lihat juga Abu Ya’la, Thabaqaat al-Hanaabilah, juz I/ 241-242).

Dalam kesempatan yang lain, Imam Hasan al-Bashriy berkomentar mengenai penguasa-penguasa, “Mereka adalah pihak yang akan menjalankan lima urusan kita; menyelenggarakan sholat Jum’at, jama’ah, sholat Ied, menjaga tapal batas negara, dan memberlakukan hudud. Demi Allah, agama ini tidak akan sempurna tanpa mereka (penguasa), meskipun mereka suka berbuat dosa dan dzalim.” (Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Adab al-Hasan al-Bashriy, hal. 121. Lihat pula Jaami’ al-‘Uluum wa al-Hikam, juz 2/117).


b. Ulama-ulama Khalaf Dan Mutaakhirin

Imam Abu Ya’la Mohammad al-Husain Al-Firaiy al-Hanbaliy menyatakan, “Mengangkat khalifah merupakan kewajiban.” (Imam Abu Ya’la Mohammad al-Husain Al-Firaiy al-Hanbaliy, Al-Ahkaam al-Sulthaaniyyah, hal. 19).

Imam Ahmad berkata, “Akan ada fitnah yang sangat besar jika tidak ada imam yang mengurusi urusan masyarakat.” (Ibid, hal. 19. Keterangan Imam Ahmad ini terdapat di dalam riwayat Mohammad bin ‘Auf bin Sofyan al-Himashiy).

Imam Ibnu Taimiyyah berkata, “Harus dipahami bahwa wilayat al-naas (mengurus urusan masyarakat –tertegaknya Khilafah Islamiyyah) merupakan kewajiban teragung diantara kewajiban-kewajiban agama yang lain, bahkan agama ini tidak akan tegak tanpa adanya khilafah Islamiyyah.” (Imam Ibnu Taimiyyah, al-Siyaasat al-Syar’iyyah. Lihat pada Mauqif Bani al-Marjah, Shahwah al-Rajul al-Maridl, hal. 375).

Imam Mawardiy menyatakan, “Khilafah berkedudukan sebagai wakil nubuwwah….ia juga bertugas menjaga agama dan kehidupan dunia…..ia adalah sistem pemerintahan yang harus ditegakkan berdasarkan ijma’……mengangkat seorang khalifah hukumnya adalah wajib atas jama’ah al-Islamiyyah.” (Abu al-A’laa al-Maududiy, Al-Hukumah al-Islamiyyah, al-Mukhtaar al-Islamiy, cet-I, tahun 1977, diterjemahkan dalam bahasa Arab oleh Ahmad Idris).

Imam Al-Ghazaliy berkata, “Kita tidak mungkin bisa menetapkan sesuatu perkara ketika negara tidak lagi memiliki imam dan peradilan telah rusak…” (Imam Al-Ghazali, Ihyaa’ ‘Uluum al-Diin, lihat juga syarahnya oleh Al-Zabidiy, juz 2/233).

Pendapat-pendapat senada juga diketengahkan oleh ’ulama-‘ulama besar lain semisal, Imam Ahmad, Bukhari dan Muslim, Tirmidziy, Thabaraniy dan ashhab al-sunan lainnya; Imam al-Zujaj, Abu Ya’la al-Firaiy, al-Baghawiy, Zamakhsyariy, Ibnu Katsir, Imam al-Baidlawiy, Imam Nawawiy, al-Thabariy, Qurthubiy, Ibnu Khaldun, Imam al-Qalqasyandiy, dan lain-lain (Imam Ibnu Mandzur, Lisaan al-‘Arab, hal. 26; Imam Qalqasyandiy, Maatsirul al-Inafah fi Ma’aalim al-Khilafah, juz I/16; Imam Zamakhsyariy, Tafsir al-Kasysyaaf, juz 1/hal.209; Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al-Quraan al-‘Adzim, juz 1/hal. 70; Imam al-Baidlawiy, Anwaar al-Tanziil wa Asraar al-Ta`wiil, hal. 602; Imam Thabariy, Tharikhal-Umam wa al-Muluuk, juz 3/277; Imam Ibnu Taimiyyah, Minhaaj al-Sunnah al-Nabawiyyah, juz 1/137-138; Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun, juz 2/519; Ibnu ‘Abd al-Barr, al-Isti’aab fi Ma’rifat al-Ashhaab juz 3/1150 dan Taarikh al-Khulafaa’ hal.137-138, dan lain-lain).

Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani, “Menegakkan khilafah Islamiyyah berhukum fardlu kifayah atas kaum muslim di seluruh dunia Islam….Menegakkan khilafah tak ubahnya dengan kewajiban-kewajiban lain yang difardlukan oleh Allah swt…..mengabaikan kewajiban ini adalah kemaksiyatan terbesar yang akan diganjar dengan adzab yang sangat pedih.” (Taqiyyuddin al-Nabhani, Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, juz II, hal. 15).

Pendapat-pendapat senada juga diketengahkan oleh ‘ulama-ulama mutaakhirin yang lain, semisal al-Maududiy, Abdul Qadim Zallum, Sayyid Quthub, dan lain sebagainya (Bandingkan dengan Mauqif Bani al-Marjah, Shahwah al-Rajul al-Maridl).

Hampir-hampir tidak ada satupun ulama mukhlish yang mengingkari kewajiban untuk menegakkan kembali Khilafah Islamiyyah, meskipun mereka berbeda pendapat dalam menetapkan posisi Khalifah dan metode perjuangan untuk menegakkan kembali khilafah Islamiyyah. Para ulama sejak generasi awal Islam hingga mutaakhirin tidak pernah berselisih pendapat mengenai kewajiban untuk mengangkat seorang Khalifah atau Imam.

Hanya ‘ulama-ulama fajir dan fasiq yang menghambakan dirinya kepada orang-orang kafir yang terus berusaha memalingkan umat Islam dari upaya menegakkan Khilafah Islamiyyah, semisal, Ali ‘Abdul Raziq, Syarif Husain, serta orang-orang yang menyebarkan pemikiran-pemikiran kafir barat atas nama Islam. ‘Ulama-ulama semacam ini menyebarkan pemikiran-pemikiran rusak yang meracuni kejernihan ajaran Islam.

Dalam lintasan sejarah Islam tidak ada satupun masa dimana kaum muslim tidak diperintah oleh seorang khalifah. Mereka selalu berusaha mengangkat khalifah, seandainya Khalifah sebelumnya telah mangkat atau karena terkena sebab-sebab syar’iy lainnya. Tradisi semacam ini tidak pernah terhenti hingga kebodohan melanda sebagian besar kaum muslim. Dalam sejarah umat Islam kaum muslim tidak pernah tidak diperintah oleh seorang Khalifah dalam waktu yang lama, kecuali sejak tahun 1924 hingga sekarang ini. Padahal, kesempurnaan dan kelangsungan Islam sangat bergantung kepada sistem pemerintahan yang agung ini.


Apakah Khilafah Islamiyyah Hanya Berumur 30 Tahun dan Selebihnya Kerajaan?

Sebagian kaum muslim ada yang berpendapat bahwa masa kekhilafahan hanya berumur 30 tahun dan selebihnya adalah kerajaan. Mereka mengetengahkan hadits-hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, Ibnu Hibban dan ulama-ulama lainnya.

Rasulullah saw bersabda, “Setelah aku, khilafah yang ada pada umatku hanya berumur 30 tahun, setelah itu adalah kerajaan.” [HR. Imam Ahmad, Tirmidziy, dan Abu Ya’la dengan isnad hasan].

“Khilafah itu hanya berumur 30 tahun dan setelah itu adalah raja-raja, sedangkan para khalifah dan raja-raja berjumlah 12.” [HR. Ibnu Hibban].

“Sesungguhnya awal adari agama ini adalah nubuwwah dan rahmat, setelah itu akan tiba masa khilafah dan rahmat, setelah itu akan datang masa raja-raja dan para diktator. Keduanya akan membuat kerusakan di tengah-tengah umat. Mereka telah menghalalkan sutr, khamer, dan kefasidan. Mereka selalu mendapatkan pertolongan dalam mengerjakan hal-hal tersebu; mereka juga mendapatkan rejeki selama-selamanya, sampai menghadap kepada Allah swt.” [HR. Abu Ya’la dan Al-Bazar dengan isnad hasan].

Hadits-hadits inilah yang dijadikan dalil bahwa masa kekhilafahan itu hanya 30 tahun dan selebihnya adalah kerajaan. Lebih dari itu, mereka juga menyatakan bahwa perjuangan menegakkan Khilafah Islamiyyah hanyalah perjuangan kosong dan khayalan. Sebab, Rasulullah saw telah menyatakan dengan sangat jelas bahwa masa kekhilafahan itu hanya berumur 30 tahun. Walhasil, kekhilafahan tidak mungkin berdiri meskipun diperjuangkan oleh gerakan-gerakan Islam. Kalau pun pemerintahan Islam berdiri bentuknya tidak khilafah akan tetapi kerajaan.

Lalu, apakah benar bahwa hadits-hadits di atas dalalahnya menunjukkan bahwa umur khilafah Islamiyyah itu hanya 30 tahun dan selebihnya adalah kerajaan?

Untuk menjawab pendapat-pendapat ini kita harus menjelaskan satu persatu maksud dari hadits-hadits di atas.


Hadits Pertama

Kata khilafah yang tercantum dalam hadits pertama maknanya adalah khilafah nubuwwah, bukan khilafah secara mutlak.

Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fath al-Bariy berkata, “Yang dimaksud dengan khilafah pada hadits ini adalah khilafah al-Nubuwwah (khilafah yang berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip nubuwwah), sedangkan Mu’awiyyah dan khalifah-khalifah setelahnya menjalankan pemerintahan layaknya raja-raja. Akan tetapi mereka tetap dinamakan sebagai khalifah.” Pengertian semacam ini diperkuat oleh sebuah riwayat yang dituturkan oleh Imam Abu Dawud, “Khilafah Nubuwwah itu berumur 30 tahun.” [HR. Abu Dawud dalam Sunan Abu Dawud no.4646, 4647].

Yang dimaksud khilafah Nubuwwah di sini adalah empat khulafaur Rasyidin; Abu Bakar, ‘Umar , ‘Utsman, dan Ali Bin Thalib. Mereka adalah para khalifah yang menjalankan roda pemerintahan seperti Rasulullah saw. Mereka tidak hanya berkedudukan sebagai penguasa, akan tetapi secara langsung benar-benar seperti Rasulullah saw dalam mengatur urusan pemerintahan. Sedangkan kebanyakan khalifah-khalifah dari dinasti Umayyah, ‘Abbasiyyah dan ‘Utsmaniyyah banyak yang tidak menjalankan roda pemerintahan seperti halnya Rasulullah saw, namun demikian mereka tetap disebut sebagai amirul mukminin atau khalifah.

Ada diantara mereka yang dikategorikan sebagai khulafaur rasyidin, yakni Umar bin ‘Abdul ‘Aziz yang dibaiat pada bulan Shafar tahun 99 H. Diantara mereka yang menjalankan roda pemerintahan hampir-hampir dekat dengan apa yang dilakukan oleh Nabi saw, misalnya Al-Dzahir bi Amrillah yang dibaiat pada tahun 622 H. Ibnu Atsir menuturkan, “Ketika Al-Dzahir diangkat menjadi khalifah, keadilan dan kebaikan telah tampak di mana-mana seperti pada masa khalifah dua Umar (Umar bin Khaththab dan Ibnu Umar). Seandainya dikatakan, “Dirinya tidak ubahnya dengan khalifah Umar bin Abdul Aziz, maka ini adalah perkataan yang baik.”

Para Khalifah pada masa-masa berikutnya meskipun tak ubahnya seorang raja, akan tetapi mereka tetap menjalankan roda pemerintahan berdasarkan sistem pemerintahan Islam, yakni Khilafah Islamiyyah. Mereka tidak pernah menggunakan sistem kerajaan, kesultanan maupun sistem lainnyan. Walaupun kaum muslim berada pada masa-masa kemunduran dan keterpurukan, namun mereka tetap menjalankan roda pemerintahan dalam koridor sistem kekhilafahan bukan dengan sistem pemerintahan yang lain. Walhasil, tidak benar jika dinyatakan bahwa umur Khilafah Islamiyyah itu hanya 30 tahun. Yang benar adalah, sistem kekhilafahan tetap ditegakkan oleh penguasa-penguasa Islam hingga tahun 1924 M.


Hadits Kedua & Ketiga

Kata “al-muluuk”(raja-raja) dalam hadits di atas bermakna adalah, “Sebagian tingkah laku dari para khalifah itu tidak ubahnya dengan raja-raja.” Hadits di atas sama sekali tidak memberikan arti bahwa mereka adalah raja secara mutlak, akan tetapi hanya menunjukkan bahwa para khalifah itu dalam hal-hal tertentu bertingkah laku seperti seorang raja. Fakta sejarah telah menunjukkan pengertian semacam ini. Sebab, para khalifah dinasti ‘Abbasiyyah, Umayyah, dan ‘Utsmaniyyah tidak pernah berusaha menghancurkan sistem kekhilafahan, atau menggantinya dengan sistem kerajaan. Mereka tetap berpegang teguh dengan sistem kekhilafahan, meskipun sebagian perilaku mereka seperti seorang raja.

Meskipun kebanyakan khalifah pada masa dinasti ‘Abbasiyyah, Umayyah, dan ‘Utsmaniyyah ditunjuk selagi khalifah sebelumnya masih hidup dan memerintah, akan tetapi proses pengangkatan sang khalifah tetap dilakukan dengan cara baiat oleh seluruh kaum muslim; bukan dengan putra mahkota (wilayat al-‘ahdi).

Makna yang ditunjuk oleh frasa “dan setelah itu adalah raja-raja” adalah makna bahasa, bukan makna istilah. Dengan kata lain, arti dari frasa tersebut adalah “raja dan sultan” bukan sistem kerajaan dan kesultanan. Atas dasar itu, dalam hadits-hadits yang lain dinyatakan bahwa mereka adalah seorang penguasa (khalifah) yang memerintah kaum muslim dengan sistem khilafah. Dituturkan oleh Ibnu Hibban, Rasulullah saw bersabda, “Setelah aku akan ada para khalifah yang berbuat sebagaimana yang mereka ketahui dan mengerjakan sesuatu yang diperintahkan kepada mereka. Setelah mereka berlalu, akan ada para khalifah yang berbuat tidak atas dasar apa yang diketahuinya dan mengerjakan sesuatu tidak atas apa yang diperintahkan kepada mereka. Siapa saja yang ingkar maka ia terbebas dari dosa, dan barangsiapa berlepas diri maka ia akan selamat. Akan tetapi, siapa saja yang ridlo dan mengikuti mereka maka ia berdosa.”

Penjelasan di atas sudah cukup untuk menggugurkan pendapat yang menyatakan bahwa sistem khilafah Islamiyyah hanya berumur 30 tahun dan selebihnya adalah kerajaan. Hadits-hadits yang mereka ketengahkan sama sekali tidak menunjukkan makna tersebut. Sistem khilafah Islamiyyah tetap berlangsung dan terus dipertahankan di sepanjang sejarah Islam, hingga tahun 1924 M. Meskipun sebagian besar khalifah dinasti ‘Abbasiyyah, Umayyah, dan ‘Utsmaniyyah bertingkah laku tak ubahnya seorang raja, namun mereka tetap konsisten dengan sistem pemerintahan yang telah digariskan oleh Rasulullah saw, yakni khilafah Islamiyyah.

Tugas kita sekarang adalah berjuang untuk menegakkan kembali khilafah Islamiyyah sesuai dengan manhaj Rasulullah saw. Sebab, tertegaknya khilafah merupakan prasyarat bagi tersempurnanya agama Islam. Tidak ada Islam tanpa syariah, dan tidak ada syariah tanpa khilafah Islamiyyah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar