Bismillaah..
Tanya:
Ustadz, bagaimana kriteria wanita yg d jadikan istri?
Ibnu muhammad [Jibnunmuhammadjawas@yahoo
.com]
Jawab:
Para ulama menyebutkan beberapa kriteria dalam memilih calon istri, yang mana kriteria ini juga berlaku bagi wanita yang mencari calon suami. Berikut beberapa perkara yang harus diperhatikan dalam masalah ini:
a. Kesalehan. Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah -radhiallahu ‘anhu- bahwa Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ: لِمَالِهَا, وَلْحَسَبِهَا, وَلِجَمَالِهَا, وَلِدِيْنِهَا, فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدَّيْنِ
“Wanita dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya, maka pilihlah wanita yang bagus agamanya”.
Karenanya, hendaknya dia memilih wanita yang taat kepada Allah dan bisa menjaga dirinya dan harta suaminya baik ketika suaminya hadir maupun tidak. Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda tatkala beliau ditanya tentang wanita yang paling baik:
اَلَّتِيْ تُطِيْعُ إِذَا أُمِرَ، وَتَسُرُّ إِذَا نُظِرَ، وَتَحْفَظُهُ فِيْ نَفْسِهَا وَمَالِهِ
“Wanita yang taat jika disuruh, menyenangkan jika dilihat, serta yang menjaga dirinya dan harta suaminya”. (HR. Ahmad: 4/341)
Bahkan Allah -Ta’ala- berfirman:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang ta`at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menta`atimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”. (QS. An-Nisa`: 34)
Kata qonitat, Sufyan Ats-Tsaury -rahimahullah- berkata tentangnya, “Yakni wanita-wanita yang mentaati Allah dan mentaati suami-suami mereka”. (Riwayat Ibnu Jarir dalam tafsirnya: 5/38 dengan sanad yang shahih)
Dan Imam Qotadah bin Di’amah berkata menafsirkan “hafizhotun …”, “Wanita-wanita yang menjaga hak-hak Allah yang Allah bebankan atas mereka serta wanita-wanita yang menjaga (dirinya) ketika suaminya tidak ada di sisinya”.(Riwayat Ibnu Jarir: 5/39 dengan sanad yang shahih)
Karenanya pula dilarang menikah dengan orang yang yang tidak menjaga kehormatannya, yang jika pasangannya tidak ada di sisinya dia tidak bisa menjaga kehormatannya, semacam pezina (lelaki dan wanita) atau wanita yang memiliki PIL (pria idaman lain) dan sebaliknya. Imam Al-Hasan Al-Bashry -rahimahullah- berkata:
لاَ تَحِلُّ مُسَافَحَةٌ وَلاَ ذَاتُ خَدَنٍ لِمُسْلِمٍ
“Tidak halal bagi seorang muslim (untuk menikahi) al-musafahah (pezina) dan dzati khadanin (PIL/TTM).” (Riwayat Said bin Manshur dalam Sunannya: 5/8 dengan sanad yang shahih)
Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash -radhiallahu ‘anhuma- berkata:
أَنَّ أَبَا مَرْثَدِ الْغَنَوِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَأْذِنُهُ أَنْ يَنْكِحَ اِمْرَأَةً بَغِيًّا كَانَتْ صَدِيْقَتَهُ فِيْ الْجَاهِلِيَّةِ تُدْعَى عَنَاقُ. فَسَكَتَ عَنْهُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, فَنَزَلَ قَوْلُ اللهِ تَعَالَى: ((اَلزَّانِيَةُ لاَ يَنْكِحُهَا إِلاَ زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ)). فَدَعَاهُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَرَأَهَا عَلَيْهِ، وَقَالَ لَهُ: ((لاَ تَنْكِحْهَا))
“Sesungguhnya Abu Martsad Al-Ghanawy -radhiallahu ‘anhu- datang menemui Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- meminta izin kepada beliau untuk menikahi seorang wanita pezina yang dulunya wanita itu adalah temannya saat jahiliyah yang bernama ‘Anaq. Maka Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- diam lalu turunlah firman Allah -Ta’ala-, “Pezina wanita, tidak ada yang boleh menikahinya kecuali pezina laki-laki atau musyrik laki-laki.” (QS. An-Nur: 3). Maka Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- memanggilnya lalu membacakan ayat itu kepadanya dan beliau bersabda, “Jangan kamu nikahi dia”. (HR. Imam Empat kecuali Ibnu Majah dengan sanad yang hasan)
Demikian pula dibenci menikahi orang yang fasik atau ahli bid’ah, berdasarkan keumuman sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dalam hadits Abu Hurairah di atas.
b. Subur lagi penyayang, karenanya dibenci menikah dengan lelaki atau wanita yang mandul. Dari hadits Ma’qil bin Yasar -radhiallahu ‘anhu-, beliau berkata:
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, فَقََالَ: إِنِّيْ أَحْبَبْتُ امْرَأَةً ذَاتَ حَسَبٍ وَجَمَالٍ، وَإِنَّهَا لاَ تَلِدُ، أَفَأَتَزَوَّجُهَا؟ قَالَ: ((لاَ)). ثَمَّ أَتَاَهُ الثَّانِيَةَ فَنَهَاهُ، ثُمَّ أَتَاهُ الثَّالِثَةَ، فَقَالَ: ((تَزَوَّجُوْا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ، فَإِنَّيْ مُكَاثِرٌ بِكُمُ الْأُمَمُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ)).
“Pernah datang seorang lelaki kepada Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- lalu berkata, “Saya menyenangi seorang wanita yang memiliki keturunan yang baik lagi cantik hanya saja dia tidak melahirkan (mandul), apakah saya boleh menikahinya?”, beliau menjawab, “Tidak boleh”. Kemudian orang ini datang untuk kedua kalinya kepada beliau (menanyakan soal yang sama) maka beliau melarangnya. Kemudian dia datang untuk ketiga kalinya, maka beliau bersabda, “Nikahilah wanita-wanita yang penyayang lagi subur, karena sesungguhnya saya berbangga dengan banyaknya jumlah kalian pada hari kiamat”. (HR. Abu Daud no. 2050 dan An-Nasai: 6/65)
An-Nasa`i -rahimahullah- memberikan judul bab untuk hadits ini dengan ucapannya, “Bab: Makruhnya menikahi orang yang mandul”.
c. Masih perawan. Hal ini berdasarkan Jabir bin ‘Abdillah -radhiallahu ‘anhu- bahwasanya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bertanya kepadanya, “Wanita apa yang kamu nikahi?”, maka dia menjawab, “Saya menikahi seorang janda”, maka Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
فَهَلاَّ جَارِيَةً تُلاَعِبُهَا وَتُلاَعِبُكَ
“Tidakkah kamu menikahi wanita yang perawan?! Yang kamu bisa bermain dengannya dan dia bisa bermain denganmu?!” (HR. Al-Bukhari: 3/240 dan Muslim no. 2/1078)
http://al-atsariyyah.com/? p=1854
READ MORE - ^MencaRi dan MemiLih Jodoh^
Tanya:
Ustadz, bagaimana kriteria wanita yg d jadikan istri?
Ibnu muhammad [Jibnunmuhammadjawas@yahoo
Jawab:
Para ulama menyebutkan beberapa kriteria dalam memilih calon istri, yang mana kriteria ini juga berlaku bagi wanita yang mencari calon suami. Berikut beberapa perkara yang harus diperhatikan dalam masalah ini:
a. Kesalehan. Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah -radhiallahu ‘anhu- bahwa Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ: لِمَالِهَا, وَلْحَسَبِهَا, وَلِجَمَالِهَا, وَلِدِيْنِهَا, فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدَّيْنِ
“Wanita dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya, maka pilihlah wanita yang bagus agamanya”.
Karenanya, hendaknya dia memilih wanita yang taat kepada Allah dan bisa menjaga dirinya dan harta suaminya baik ketika suaminya hadir maupun tidak. Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda tatkala beliau ditanya tentang wanita yang paling baik:
اَلَّتِيْ تُطِيْعُ إِذَا أُمِرَ، وَتَسُرُّ إِذَا نُظِرَ، وَتَحْفَظُهُ فِيْ نَفْسِهَا وَمَالِهِ
“Wanita yang taat jika disuruh, menyenangkan jika dilihat, serta yang menjaga dirinya dan harta suaminya”. (HR. Ahmad: 4/341)
Bahkan Allah -Ta’ala- berfirman:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang ta`at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menta`atimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”. (QS. An-Nisa`: 34)
Kata qonitat, Sufyan Ats-Tsaury -rahimahullah- berkata tentangnya, “Yakni wanita-wanita yang mentaati Allah dan mentaati suami-suami mereka”. (Riwayat Ibnu Jarir dalam tafsirnya: 5/38 dengan sanad yang shahih)
Dan Imam Qotadah bin Di’amah berkata menafsirkan “hafizhotun …”, “Wanita-wanita yang menjaga hak-hak Allah yang Allah bebankan atas mereka serta wanita-wanita yang menjaga (dirinya) ketika suaminya tidak ada di sisinya”.(Riwayat Ibnu Jarir: 5/39 dengan sanad yang shahih)
Karenanya pula dilarang menikah dengan orang yang yang tidak menjaga kehormatannya, yang jika pasangannya tidak ada di sisinya dia tidak bisa menjaga kehormatannya, semacam pezina (lelaki dan wanita) atau wanita yang memiliki PIL (pria idaman lain) dan sebaliknya. Imam Al-Hasan Al-Bashry -rahimahullah- berkata:
لاَ تَحِلُّ مُسَافَحَةٌ وَلاَ ذَاتُ خَدَنٍ لِمُسْلِمٍ
“Tidak halal bagi seorang muslim (untuk menikahi) al-musafahah (pezina) dan dzati khadanin (PIL/TTM).” (Riwayat Said bin Manshur dalam Sunannya: 5/8 dengan sanad yang shahih)
Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash -radhiallahu ‘anhuma- berkata:
أَنَّ أَبَا مَرْثَدِ الْغَنَوِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَأْذِنُهُ أَنْ يَنْكِحَ اِمْرَأَةً بَغِيًّا كَانَتْ صَدِيْقَتَهُ فِيْ الْجَاهِلِيَّةِ تُدْعَى عَنَاقُ. فَسَكَتَ عَنْهُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, فَنَزَلَ قَوْلُ اللهِ تَعَالَى: ((اَلزَّانِيَةُ لاَ يَنْكِحُهَا إِلاَ زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ)). فَدَعَاهُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَرَأَهَا عَلَيْهِ، وَقَالَ لَهُ: ((لاَ تَنْكِحْهَا))
“Sesungguhnya Abu Martsad Al-Ghanawy -radhiallahu ‘anhu- datang menemui Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- meminta izin kepada beliau untuk menikahi seorang wanita pezina yang dulunya wanita itu adalah temannya saat jahiliyah yang bernama ‘Anaq. Maka Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- diam lalu turunlah firman Allah -Ta’ala-, “Pezina wanita, tidak ada yang boleh menikahinya kecuali pezina laki-laki atau musyrik laki-laki.” (QS. An-Nur: 3). Maka Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- memanggilnya lalu membacakan ayat itu kepadanya dan beliau bersabda, “Jangan kamu nikahi dia”. (HR. Imam Empat kecuali Ibnu Majah dengan sanad yang hasan)
Demikian pula dibenci menikahi orang yang fasik atau ahli bid’ah, berdasarkan keumuman sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dalam hadits Abu Hurairah di atas.
b. Subur lagi penyayang, karenanya dibenci menikah dengan lelaki atau wanita yang mandul. Dari hadits Ma’qil bin Yasar -radhiallahu ‘anhu-, beliau berkata:
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, فَقََالَ: إِنِّيْ أَحْبَبْتُ امْرَأَةً ذَاتَ حَسَبٍ وَجَمَالٍ، وَإِنَّهَا لاَ تَلِدُ، أَفَأَتَزَوَّجُهَا؟ قَالَ: ((لاَ)). ثَمَّ أَتَاَهُ الثَّانِيَةَ فَنَهَاهُ، ثُمَّ أَتَاهُ الثَّالِثَةَ، فَقَالَ: ((تَزَوَّجُوْا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ، فَإِنَّيْ مُكَاثِرٌ بِكُمُ الْأُمَمُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ)).
“Pernah datang seorang lelaki kepada Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- lalu berkata, “Saya menyenangi seorang wanita yang memiliki keturunan yang baik lagi cantik hanya saja dia tidak melahirkan (mandul), apakah saya boleh menikahinya?”, beliau menjawab, “Tidak boleh”. Kemudian orang ini datang untuk kedua kalinya kepada beliau (menanyakan soal yang sama) maka beliau melarangnya. Kemudian dia datang untuk ketiga kalinya, maka beliau bersabda, “Nikahilah wanita-wanita yang penyayang lagi subur, karena sesungguhnya saya berbangga dengan banyaknya jumlah kalian pada hari kiamat”. (HR. Abu Daud no. 2050 dan An-Nasai: 6/65)
An-Nasa`i -rahimahullah- memberikan judul bab untuk hadits ini dengan ucapannya, “Bab: Makruhnya menikahi orang yang mandul”.
c. Masih perawan. Hal ini berdasarkan Jabir bin ‘Abdillah -radhiallahu ‘anhu- bahwasanya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bertanya kepadanya, “Wanita apa yang kamu nikahi?”, maka dia menjawab, “Saya menikahi seorang janda”, maka Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
فَهَلاَّ جَارِيَةً تُلاَعِبُهَا وَتُلاَعِبُكَ
“Tidakkah kamu menikahi wanita yang perawan?! Yang kamu bisa bermain dengannya dan dia bisa bermain denganmu?!” (HR. Al-Bukhari: 3/240 dan Muslim no. 2/1078)
http://al-atsariyyah.com/?